Konflik Sumberdaya Air TINJAUAN PUSTAKA
menjadi masalah konflik lintas regional menjadi empat aspek, yaitu : terjadinya degradasi polusi lingkungan, adanya kelangkaan scarcityshortages dari
sumberdaya alam dan lingkungan, maldistribusi sumberdaya alam inequitable allocation
, dan bencana alamlingkungan atau kecelakaan yang terjadi secara alami atau akibat perbuatan manusia. Keempat kategori tersebut semuanya terkait
dengan ketersediaan sumberdaya alam. Empat model hubungan antara perubahan lingkungan dan terjadinya konflik, yaitu Scarcity Model, Modernization Model,
Spillover Model, dan Leading Edge Model Spector, 2001. Keempat model
konflik sumberdaya tersebut dapat berkembang menjadi konflik lintas wilayah. Model scarcity model kelangkaan merupakan model yang paling populer
dibandingkan model lainnya. Tiga faktor yang menyebabkan terjadinya kelangkaan : penurunan dan degradasi pasokan sumberdaya alam, peningkatan
kebutuhan dan konsumsi sumberdaya alam, dan distribusi sumberdaya alam yang tidak merata di dalam populasi. Kelangkaan sumberdaya alam mempengaruhi
kondisi ekonomi, sosial, dan budaya di dalam suatu wilayah. Sebagai contoh penurunan produksi pertanian akibat makin terbatasnya suplai air berpengaruh
terhadap meningkatnya kesukaran ekonomi, migrasi terjadi, ketegangan etnis meningkat, dan sistem pemerintahan melemah. Dampak-dampak tersebut akan
memicu konflik yang hebat. Konflik yang terjadi akibat kelangkaan air di Timur Tengah merupakan contoh konflik berdasarkan model kelangkaan scarcity
model .
Model modernisasi modernization didasarkan atas asumsi bahwa tekanan akibat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan khususnya di negara-negara
berkembang telah mengakibatkan pemanfaatan sumberdaya alam yang sangat intensif dan menimbulkan polusi lingkungan yang menyebabkan pembangunan
berjalan tidak berkelanjutan. Sebagai contoh dampak pencemaran air di hulu atau tengah daerah aliran sungai DAS akibat buangan limbah industri akan dirasakan
oleh masyarakat di wilayah hilir sungai, sehingga memicu konflik antar wilayah hulu-hilir. Perbaikan teknologi dan investasi pengolahan limbah diperlukan untuk
menghindari terjadinya konflik. Model spillover melihat konflik lingkungan berasal dari sengketa domestik,
tetapi secara cepat berkembang menjadi sengketa antar wilayah. Dalam prosesnya
sifat konflik dapat berubah dari masalah lingkungan menjadi masalah sosial, ekonomi, dan politik. Spector 2001 mencontohkan implikasi model ini pada
peristiwa dehutanisasi di Haiti yang menyebabkan erosi tanah hebat, sehingga tanah pertanian tidak bisa diolah kembali. Akibat rusaknya tanah pertanian di
Haiti telah memaksa penduduknya untuk bermigrasi ke Amerika Serikat. Kedatangan pengungsi Haiti menjadi masalah sosial, ekonomi, dan politik yang
serius antara Haiti dan Amerika Serikat. Model terakhir yaitu Leading Edge Model memandang masalah-masalah
lingkungan sebagai pemicu dan pemanas konflik antar pengguna sumberdaya yang sebelumnya telah ada tetapi tidak muncul ke permukaan bersifat laten.
Spector 2001 mencontohkan konflik antara Senegal dan Mauritania tentang kelangkaan lahan pertanian dan ancaman kekeringan di Lembah Sungai Senegal.
Pada tahun 1989 terjadi peperangan untuk memperebutkan Lembah Sungai Senegal yang menewaskan ratusan orang dan ribuan penduduk mengungsi.
Dari keempat model konflik berbasis masalah lingkungan tersebut, tampak bahwa permasalahan lingkungan dapat menjadi kontributor atau pemicu
perselisihan antar wilayah yang selanjutnya diperbesar oleh masalah ekonomi, sosial, etnis, dan milititer. Konflik yang terjadi dalam memperebutkan
sumberdaya alam akan merangsang kelompok-kelompok yang bersengketa untuk mencari solusi menghindari konflik yang dapat mengganggu stabilitas regional.
Dari berbagai jenis sumberdaya alam yang memicu konflik antar wilayah, air adalah sumberdaya alam yang paling sering menjadi media konflik antar wilayah.
Konflik air pada dasarnya menyangkut sistem manajemen dan alokasi air yang efisien dan adil equitable, seperti variabilitas dan ketidakpastian pasokan
air, ketergantungan interdependencies diantara pemakai, serta peningkatan kelangkaan dan biaya pengadaan air Frederick, 2001. Adapun pengaruh manusia
sebagai akar dari konflik air adalah penurunan kualitas air dan ekosistem akuatik akibat kegiatan manusia, kegagalan menjadikan air sebagai komoditas ekonomi
yang menyebabkan pemanfaatan air tidak efisien, serta kebutuhan air yang tidak seimbang dengan kebutuhan pertanian dan pembangunan ekonomi lainnya.
Persaingan untuk memperebutkan air telah berlangsung sejak lama, misalnya di Timur Tengah, Sub Benua India Pakistan, India, dan Banglades, dan
negara-negara Asia Selatan bekas Uni Soviet. Di Timur Tengah konflik air terjadi di Sungai Yordan dan Efrat, di Sub Benua di Sungai Indus, dan di Asia Selatan
bekas jajahan Uni Soviet terjadi di Sungai Amu Dar’ya dan Sungai Syr Dar’ya. Kondisi perdamaian antar regional di Timur Tengah senantiasa terganggu karena
tidak adanya kesepakatan dalam pembagian air lintas regional. Konflik air terjadi dalam mengalokasikan dan mengontrol Sungai Yordan, pemanfaatan akuifer di
Tepi Barat, dan rencana Yordania untuk membangun dan mengoperasikan dam Syria di Yarmuk sebagai anak sungai utama Sungai Yordan Shiva,2002. Perang
antara Syria dan Israel pada tahun 1950-an dan 1960-an didasari oleh konflik air lintas regional Frederick, 2001. Selain konflik di Sungai Yordan, konflik air
terjadi juga di Sungai Efrat Euphrate yang alirannya melintasi negara Turki, Suriah Syria, dan Irak. Hulu sungai Efrat hampir 90 berada di wilayah Turki.
Konflik di Sungai Efrat yang terjadi pada tahun 1960-an dimulai ketika Turki dan Siria merencanakan membangun dam besar untuk irigasi dengan membendung
aliran Sungai Efrat. Konflik memanas pada tahun 1974 ketika Irak mengancam untuk membom dam di Tabqa, Suriah dan menyiagakan tentaranya di sepanjang
perbatasan, karena keberadaan dam tersebut telah mengurangi aliran air Sungai Efrat yang masuk ke wilayah Irak. Ancaman terhadap Suriah dilontarkan kembali
oleh Irak pada musim semi 1975. Selanjutnya dengan selesainya bendungan Ataturk pada Januari 1990, Turki memegang posisi sangat vital dalam mengontrol
aliran air Sungai Efrat dan menjadikannya sebagai senjata yang dapat digunakan melawan negara-negara di hilirnya. Pembangunan bendungan Ataturk tersebut
dapat mengurangi pasokan air ke Suriah dan Irak masing-masing sebesar 40 dan 80. Ancaman untuk mengurangi pasokan air telah digunakan Turki untuk
menekan Suriah dalam membantu membasmi pemberontakan Suku Kurdi di sebelah Selatan Turki. Keamanan perbatasan dan pembagian air antar negara
tersebut telah dinegosiasikan untuk menjamin stabilitas kedua negara. Resolusi konflik air adalah upaya-upaya mencari solusi atas
sengketakonflik air untuk mencapai tingkat pengelolaan air yang efisien dan berkeadilan. Penggunaan air yang tidak efisien merefleksikan masalah-masalah
dalam pengelolaan dan alokasi sumberdaya air di masing-masing wilayah. Ketidakjelasan property rights dan upaya transfer hak air ke wilayah lain menjadi
kendala sistem pengelolaan air lintas regional. Harga air yang ditetapkan belum menunjukkan nilai sebenarnya dari property rights air yang dianalisis dengan
pendekatan nilai ekonomi total total economic values, sehingga sering harga air tidak menggambarkan biaya konservasi dan perlindungan sumberdaya air.
Institusi dan budaya yang mengontrol penggunaan air secara efisien di banyak wilayah masih sangat lemah, karena air masih dipandang sebagai barang publik
yang bebas digunakan tanpa batas. Paradigma ini telah mendorong kelangkaan jumlah dan kualitas air. Oleh karena itu penataan institusi menjadi salah satu
instrumen penting dalam resolusi konflik air Bandaragoda, 2000. Air harus dipandang sebagai katalis kerjasama diantara pengguna air
daripada sebagai sumber konflik. Air sebagai katalis kerjasama memungkinkan terjadinya pengelolaan air secara bersama diantara wilayah-wilayah yang
berkepentingan. Berdasarkan Deklarasi Petersberg tahun 1998, faktor-faktor penting untuk mewujudkan kerjasama pengelolaan air yaitu :
a. Shared Vision Visi untuk berbagi. Setiap pengguna air perlu memiliki
keinginan untuk berbagi dalam memanfaatkan air, termasuk berbagi dalam pertukaran informasi dan teknologi pengelolaan air yang lebih
efisien. b.
Political commitment and public support adanya komitmen politik dan dukungan publik dari pengguna air untuk menciptakan sistem
pembagian air yang efisien dan merata adil. Komitmen yang kuat antar stakeholders
menjadi landasan normatif pengelolaan air berkelanjutan. c.
Broad Based Parternships kemitraan yang luas diantara pemerintah, legislatif, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan kelompok
masyarakat lainnya sebagai bentuk partisipasi dalam pengelolaan air. d.
Environmental Management pengelolaan lingkungan harus diintegrasikan ke dalam pengelolaan air. Alat-alat dalam pengelolaan
lingkungan seperti analisis dampak lingkungan, evaluasi kuantitas dan kualitas air, dan sebagainya akan menjamin ekosistem dan konservasi di
sepanjang aliran sungai. Tahapan selanjutnya setelah negosiasi adalah menetapkan mekanisme
alokasi air lintas regional yang akan dilaksanakan. Mekanisme alokasi air
sebaiknya didasarkan atas water property rights yang dapat didefinisikan dengan jelas dan disepakati oleh masing-masing wilayah. Frederick 2001 mengusulkan
digunakannya instrumen ekonomi untuk mengatur sistem alokasi air lintas regional, seperti diterapkannya mekanisme pasar air water market yang
menjamin penggunaan sumberdaya air lebih efisien. Konsep pasar air ini banyak ditentang oleh aktifis lingkungan dan gerakan anti-globalisasi, misalnya Shiva
2002 yang menyebut pasar air sebagai bentuk neo-liberalisme yang mengarah pada privatisasi air yang dapat mengurangi akses publik dalam mendapatkan air
sebagai kebutuhan primernya. Pengelolaan air harus dilakukan secara terpadu, komprehensif, dan interdisiplin yang melibatkan berbagai potensi untuk
mengelola air lebih baik dan efisien. Beberapa hal yang perlu dikembangkan untuk menuju pengelolaan air yang berkelanjutan adalah Ramdan, 2006:
a. Prinsip pembagian manfaat lebih penting daripada pembagian air semata perlu
dipahami dan diaplikasikan untuk menjadikan air sebagai katalis kerjasama pembangunan antar wilayah sebagai upaya menghindari konflik air.
b. Mendefinisikan hak-hak atas air water property rights secara jelas sebagai
bagian dari proses alokasi sumber air yang lebih efisien. c.
Mempromosikan penggunaan air yang lebih efisien. d.
Penggunaan insentif untuk meningkatkan efisiensi biaya dalam program- program pengelolaan air berkelanjutan.