Kebutuhan dan Kualitas Air Bersih di Permukiman Kumuh.
infrastruktur yang sudah ada dan investasi baru yang sangat dibutuhkan. Di
kebanyakan daerah, keluarga dan orang miskin dapat keluar dari kemiskinan dan mengurangi kerentanan mereka sebagai bagian dari usaha mereka sendiri.
Tanggapan keluarga dan masyarakat miskin terhadap masalah dan krisis yang terjadi di lingkungan mereka tergantung oleh asset – tenaga kerja, sumber daya
manusia, dan sumber daya social yang mereka dapat gunakan USDU, 2003. Di kawasan permukiman kumuh kebutuhan air cenderung meningkat
seiring dengan makin banyaknya jumlah orang yang tinggal di kawasan permukiman kumuh. Banyak kota-kota di Indonesia menghadapi tantangan
adanya kekurangan dalam pelayanan kota. Sebagai contoh, pada tahun 1999, hanya 33 persen rumah tangga yang bias dilayani oleh air bersih; kurang dari 1
persen dari seluruh rumah tangga di seluruh kota dihubungkan dengan pipa air bersih. Air permukaan dan air tanah terkontaminasi, meluasnya sedotan air tanah
telah menambah persoalan lingkungan yang besar di perkotaan. Tidak ada laporan yang pasti mengenai drainase perkotaan atau pengendalian banjir, tetapi informasi
terbatas menunjukkan kesenjangan sedang berlangsung di berbagai area. Lingkup pengelolaan sampah relative cukup baik, jika tidak, itu terjadi di seluruh
Indonesia. Tetapi pembuangan akhir masih menjadi masalah baik jumlahnya maupun kualitasnya. Transportasi kota juga terjadi layanan yang sangat kurang,
walaupun jalan-jalan utama ada perbaikan dan perluasan antara tahun 1980an – 1990an. Kemacetan lalu lintas adalah persoalan yang besar di sebagian besar kota
dan transportasi umum tidak bias diandalkan. Pembangunan dari semua pelayanan menjadi semakin terhenti akibat krismon USDU, 2003.
Kepadatan penduduk yang tinggi di kawasan permukiman kumuh menyebabkan terjadinya pencemaran pada sumber airnya, terutama limbah rumah
tangga. Di kawasan permukiman padat penduduk dengan tingkat sanitasi lingkungan yang rendah sering ditemukan pencemaran akibat buangan limbah
rumag tangga, misalnya ditemukannya bakteri Escherichia coli di sumber air yang digunakan oleh penduduk. Effendi 2003 menyebutkan bahwa E.coli adalah salah
satu bakteri coliform tidak berbahaya yang ditemukan dalam tinja manusia, sehingga keberadaan E.coli secara melimpah menunjukkan bahwa perairan
tersebut tercemar oleh manusia.
Walaupun Indonesia memiliki sumber air yang cukup, saat ini muncul kekhawatiran tentang kualitas air di Indonesia, akses dan tidak adanya pola
penggunaan yang berkelanjutan. Akses untuk memperoleh air yang aman di Indonesia sangat terbatas dan keberadaannya akan terus menurun seiring dengan
meningkatnya polusi air. Sampah rumah tangga, limbah industri, penggunaan untuk pertanian yang berlebihan dan sampah organic dan sampah kering adalah
penyebab polusi dan penurunan kualitas air di Indonesia. Sistem penyimpanan yang tidak baik dan penggunaan bahan-bahan kimia pada industripertanian
memperparah kondisi ini USDU, 2003. Pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat,
energi dan atau kehidupan lain ke dalam air dan atau berubahnya tatanan komposisi air oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas air
turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya Peraturan Pemerintah Nomor 82
Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Untuk mengetahui tingkat pencemaran air, perlu diuji sifat-sifat air, dan
disesuaikan dengan baku mutu air sesuai dengan kriterianya. Menurut Fardiaz 1992, yang dimaksud dengan baku mutu air pada sumber air adalah batas kadar
yang diperbolehkan bagi zat atau bahan pencemar yang terdapat dalam air, tetapi air tersebut tetap dapat digunakan sesuai dengan kriterianya. Air pada sumber air
menurut Fardiaz 1992 dapat dibedakan menurut kegunaannya menjadi: 1.
Golongan A, yaitu air yang dapat digunakan sebagai air minum secara langsung tanpa harus diolah terlebih dahulu.
2. Golongan B, yaitu air yang dapat digunakan sebagai air baku untuk diolah
sebagai air minum dan keperluan rumah tangga. 3.
Golongan C, yaitu air yang dapat digunakan untuk keperluan perikanan dan peternakan.
4. Golongan D, yaitu air yang dapat digunakan untuk keperluan pertanian dan
dapat dimanfaatkan, untuk usaha perkotaan, industri, dan listrik tenaga air. Dalam penelitian ini dibatasi pada air Golongan A dan B.
Sumber pencemaran air dibedakan menjadi sumber pencemaran domestik dan sumber pencemaran non domestik. Sumber pencemaran domestik rumah
tangga terdiri dari perkampungan, kota, pasar, jalan, terminal, rumah sakit dan sebagainya. Sedang sumber pencemaran non domestik yaitu pabrik, industri,
pertanian, peternakan, perikanan, transportasi dan sebagainya Sastrawijaya,1991.
Limbah domestik merupakan semua buangan yang berasal dari kamar mandi, kakus, dapur, tempat cuci pakaian, cuci peralatan rumah tangga, apotik,
rumah sakit, rumah makan, dan sebagainya. Limbah tersebut terdiri dari zat organik padat atau cair, bahan berbahaya dan beracun B3, garam berkarat,
bakteri, terutama golongan fekal coli, jasad patogen, dan parasit. Sedang limbah non domestik limbah di luar tersebut. Kotoran rumah tangga domestik sewage
adalah air yang telah dipergunakan yang berasal dari rumah tangga atau kotoran permukiman tersebut, termasuk di dalamnya adalah air yang berasal dari kamar
mandi, tempat cuci, kakus, serta tempat memasak. Hubungan antara sumber pencemar dan wilayah yang tercemari beserta masyarakatnya merupakan faktor
penting pemicu konflik baik di permukiman kumuh maupun non kumuh Sastrawijaya,1991.
Permasalahan sumberdaya air perkotaan di Indonesia mencakup hal-hal sebagai berikut USDU, 2003 :
1. Hilangnya cadangan air;
2. Ketidakandalan pelayanan, juga karena kondisi pipa-pipanya, pelayanan
menjadi terbatas yang hanya beberapa jam perhari. 3.
Permukiman terpaksa harus mengandalkan sumur-sumur pribadi, mengadakan kontrak dengan penjual air dan membayar air botol untuk
mengurangi resiko ketidakandalan pasokan air bersih; 4.
Ketidakefisienan pengelolaan prasarana air. Standar umum efisiensi rendah di PDAM. Pengenaan tarif biasanya berdasarkan keputusan politik
daripada berdasarkan pertimbangan efisiensi biaya dan pemulihan biaya ekonomi. Lebih lanjut, usaha untuk berbagi sumber air dengan pemda
sekitar melalui kerja sama pemanfaatan sumber air agar dapat diperoleh skala ekonomi masih juga sulit dipromosikan.
5. Ketidakcukupan komitmen pemerintah daerah sebagai penjamin kinerja
dan pinjaman PDAM. Sebelum pengaturan, yang melibatkan supervise
dari pemerintah pusat dan penandatanganan SLA dengan Departemen Keuangan, secara efektif mengurangi peran dan tanggung jawab
pemerintah daerah. Walaupun belakangan penetapan tarif pada posisi yang kritis, mereka tidak mempunyai insentif untuk memonitor dan mendukung
PDAM kea rah kinerja yang lebih baik. 6.
Beberapa kondisi di atas membawa pada suatu keadaan yang kurang menguntungkan bagi investasi. Beberapa ada usaha untuk mengadakan
semacam kemitraan antara pemerintah daerah dan swasta Public-Private Partnership
dalam sektor air bersih, tetapi keberhasilannya sangat terbatas disebabkan berbagai proble keuangan pada banyak PDAM.
Indonesia merupakan salah satu yang menempati peringkat terendah dalam hal pengairan dan sanitasi di Asia. Jumlah penduduk yang memperoleh fasilitas
air PDAM sangat rendah. Pada saat ini kondisi air, pengairanselokan, infrastruktur pembuangan dalam kondisi yang memprihatinkan. Pemeliharaan
terhadap sistem pengairan sangat terbatas danatau mengkhawatirkan pada sebagian besar kota. Hal ini mengakibatkan meluasnya kontaminasi permukaan
air dan sumber air tanah. Air yang bersumber dari sebagian besar PDAM tidak dapat dikonsumsidiminum. Sangat sulit untuk memindahkan polutan dari air
dengan biaya yang terjangkau, dengan menggunakan plankton. Akibatnya, Indonesia pernah mengalami infeksi gastrointestinal epidemic dan kasus typus
tertinggi di Asia. Kuantitas dan kualitas sumber air yang kurang baik disebabkan oleh rendahnya system pengisian ulang air, gangguan system pengairan,
eksploitasi yang berlebihan; polusi yang berasal dari sampah rumah tangga, limbah pabrik, dan penggunaan untuk pertanian yang berlebihan; dan kurangnya
kebijakan harga. Ini menandakan bahwa beban polusi saat ini sangat tidak proporsional dengan masyarakat miskin perkotaan. Perkotaan di seluruh
Indonesia, pipa pengairan rumah tangga berkolerasi dengan pendapatan rumah tangga. Karena sumber air telah terpolusi dan dibeberapa daerah, danau, rumah
tangga yang tidak memiliki akses kepada system pipa pengairan tidak mempunyai pilihan kecuali harus membeli air minum dari pedagang keliling yang harganya
relative lebih mahal – sering sejumlah lima puluh kali lebih mahal per unit air daripada rumah tangga yang memiliki jaringan dengan PDAM USDU, 2003.
Tantangan utama untuk memperbaiki kualitas air termasuk kelemahan dan inkonsistensi penegakan hokum dan peraturan, kegagalan untuk menerapkan
program perijinan pada tahun 1995, kurangnya standar operasional prosedur bagi rumah sakit dan industri lain yang menangani limbah, dan kurangnya data yang
akurat untuk menentukan tingkat polusi. Melalui desentralisasi, kota dan kabupaten berhak merencanakan dan mengelola lingkunga, termasuk konstruksi
dan operasional pusat penanganan fasilitas limbahair. Masih terlalu dini untuk menyatakan dampak dari kebijakan ini terhadap managemen program kualitas
pengairan USDU, 2003.