Permasalahan Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Indonesia

38 Pada saat ini belanja rutin lebih didominasi pengeluaran gaji pegawai karena banyaknya pegawai negeri sipil yang didaerahkan yang tentu membawa konsekuensi dalam pembayaran gaji yang dibebankan terhadap anggaran pemerintah daerah. Di setiap kabupaten kota pengeluaran rutin memiliki alokasi yang lebih besar dari pengeluaran pembangunan. Pengeluaran pembangunan adalah pengeluaran yang ditujukan untuk membiayai proses perubahan, yang merupakan kemajuan dan perbaikan menuju ke arah yang ingin dicapai. Pada umumnya biaya pembangunan tersebut sudah diprogram dalam Daftar Isian Proyek Daerah DIPDA. Pengeluaran pembangunan semuanya diprogramkan dalam berbagai proyek di setiap sektor dan subsektor. Pengeluaran pembangunan dialokasikan ke berbagai sektor sesuai dengan urutan prioritas dan kebijakan pembangunan daerah. Pengeluran pembangunan di kabupaten kota dialokasikan ke berbagai sektor perekonomian mulai dari sektor industri, sektor pertanian dan kehutanan, sektor sumber daya air dan irigasi, sektor tenaga kerja, sektor perdagangan, sektor transportasi, sektor pertambangan dan energi, sektor pariwisata, sektor kependudukan, sektor pendidikan, sektor agama, sektor hukum hingga sektor keamanan dan ketertiban umum Departemen Dalam Negeri, 2002a.

2.2.2. Permasalahan Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Indonesia

Undang-Undang No 22 Tahun 1999 dan No 25 Tahun 1999 yang mengamanatkan pelaksanaan otonomi daerah serta biaya penyelenggaraannya telah diimplementasi di daerah kabupaten dan kota seluruh provinsi di Indonesia. Pelaksanaan yang dimulai sejak 1 Januari 2001 tersebut walaupun masih singkat tetapi sudah ditemukan beberapa permasalahan. Masalah yang muncul dan esensial menurut Wardhono 2001 dan Raharjo 2001 adalah pemerintah daerah yang 39 menginginkan sumber pendapatan baru dapat dengan memperluas pajak dan pungutan retribusi. Kondisi tersebut harus diimbangi dengan insentif terhadap masyarakat. Masalah pajak dan pungutan lainnya di era desentralisasi fiskal memang menjadi topik utama dalam rangka kewenangan pemerintah daerah mengeksplorasi potensi daerah. Namun masalah pajak harus benar-benar diperhatikan dan diperhitungkan terutama masalah pungutan lain seperti retribusi yang sangat beragam dengan berbagai PERDA. Kekhawatiran lain adalah adanya dana perimbangan bagi hasil sumberdaya alam yang dapat meningkatkan ketimpangan ekonomi antar daerah yang kaya SDA dengan daerah yang miskin. Namun menurut Mubyarto 2001 bahwa kekhawatiran tersebut dapat dikompensasi dengan peningkatan kualitas SDM dan sumber daya ekonomi di daerah. Pengalokasian anggaran juga menjadi masalah dalam keuangan daerah, sehingga dibutuhkan efektivitas dan efisiensi anggaran pengeluaran. Menurut Ritonga 2002 dibutuhkan beberapa langkah yaitu : 1 keselarasan antara pengeluaran dan sumber daya yang tersedia melalui strategi skala prioritas perencanaan pengeluaran, 2 konsistensi setting skala prioritas dan implementasinya dalam pencapaian sasaran melalui teknik pembahasan, monitoring, evaluasi, pelaporan dan pengendalian pembayaran manajemen kas, 3 penentuan sasaran pengeluaran yang efisien melalui pengembangan standar harga dan pemgembangan sistem tender, 4 penentuan sistem keuangan yang dapat memberikan informasi akurat melalui standar akuntansi yang layak, 5 penentuan prosedur pengambilan keputusan yang jelas dalam pengelolaan anggaran melalui pembagian wewenang otorisator, ordonator dan computable, 6 sistem dan prosedur usulan, penyaluran, pertanggungjawaban 40 anggaran sederhana, transparan, informatif, dan 7 pemberdayaan masyarakat untuk berpartisipasi dalam aspek penganggaran antara lain dengan kontrol masyarakat. Permasalahan yang penting lainnya adalah masalah kelembagaan, menurut Sumodiningrat 1999 bahwa dalam mengimplementasi undang-undang serta melembagakan partisipasi rakyat hal yang penting untuk mencapainya tergantung pada pola hubungan antara pemerintah dengan masyarakat atau kelompok sasarannya. Secara bersama-sama harus menentukan fungsi kontrol dan pengawasan dalam pembangunan daerah. Kontrol dan pengawasan kinerja fiskal dan perekonomian daerah sesudah desentralisasi fiskal berada di eksekutif dan legislatif daerah kabupaten kota. Jika kondisi ini diharapkan pemerintah pusat terhadap kemandirian daerah, maka sewajarnya pemerintah daerah harus memiliki kapabilitas dan loyalitas yang tinggi terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat dan memiliki visi meningkatkan social welfare daerah yang salah satunya dengan menetapkan kebijakan anggaran yang berpihak pada masyarakat.

2.2.3. Dampak Pelaksanaaan Desentralisasi Fiskal