50
yang bertujuan untuk menciptakan pemerataan atau mengurangi kesenjangan antar wilayah, kelas sosial maupun sektoral.Fungsi fiskal ketiga adalah stabilisasi, yaitu bila
terjadi ketidakseimbangan yang ekstrem misalnya harga bahan pokok yang sangat tinggi atau sangat rendah maka pemerintah dapat melakukan intervensi melalui
anggaran untuk mengembalikan tingkat harga pada titik yang rasional Departemen Keuangan, 2004; Jhingan, 2000.
Anggaran dari sisi manajemen memiliki beberapa fungsi antara lain yaitu sebagai 1 pedoman bagi pemerintah untuk melaksanakan tugas-tugasnya pada
periode yang akan datang, 2 sebagai produk politik yang dibuat oleh eksekutif dan legeslatif atas nama kepentingan masyarakat dan pembebanan konsekuensi diatas
pundak publik, maka anggaran bisa berfungsi sebagai alat kontrol masyarakat terhadap pelaksanaan kebijakan yang dibuat pemerintah, dan 3 anggaran dapat
digunakan masyarakat untuk menilai seberapa jauh pencapaian pemerintah dalam melaksanakan kebijakan dan program-program yang direncanakan Departemen
Keuangan, 2004; Jhingan, 2000.
2.3. Kemiskinan
Dalam pokok bahasan ini akan dikaji tentang konsep kemiskinan secara mendalam, tipe dan faktor-faktor penyebab terjadinya kemiskinan dan dijelaskan
beberapa indikator yang digunakan sebagai tolok ukur untuk mengukur tingkat kemiskinan. Kemiskinan menyangkut konsep yang multidemensional dalam
penelitian ini kemiskinan dibatasi pada konsep yang berhubungan dengan faktor ekonomi dan kriteria yang digunakan dalam mengukur kemiskinan adalah kriteria
yang menurut Badan Pusat Statistik BPS.
51
2.3. 1. Konsep dan Indikator Kemiskinan
Persoalan kemiskinan barangkali seumur dengan sejarah manusia dan mungkin akan tetap ada selama kehidupan manusia di bumi ini masih ada. Hal ini
tersirat pula di semua ajaran agama, untuk memberikan derma kepada orang miskin. Dengan kata lain yang miskin itu akan tetap ada sepanjang masa. Masalahnya adalah
bagaimana meminimumkan jumlahnya dan memberikan perlakuan yang adil dan sewajarnya kepada kelompok masyarakat miskin Hasibuan, 2000.
Walaupun kemiskinan telah ada sepanjang sejarah manusia, tetapi mendefinisikannya tidaklah mudah karena adanya berbagai pandangan tentang
masalah kemiskinan itu sendiri. Itulah sebabnya kemiskinan menjadi tidak mudah menjabarkannya maupun mengukurnya secara persis karena kemiskinan mengandung
unsur-unsur dan juga menyangkut nilai dan persepsi yang sering kali bersifat relatif Supriatna, 1997.
Pengertian kemiskinan ada bermacam-macam, diantaranya adalah : kriteria kemiskinan menurut BPS dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan dalam
memenuhi kebutuhan dasar baik kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan. Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi
kebutuhan pangan maupun non pangan yang bersifat mendasar seperti sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan. Kebutuhan dasar untuk makanan adalah sebesar
2100 kkal energi per kapita per hari Makmun, 2003; Muharminto, 1993. Sedang kriteria kemiskinan menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional BKKBN adalah keluarga miskin pra sejahtera yaitu apabila : 1 tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya, 2 seluruh anggota keluarga tidak
mampu makan dua kali sehari, 3 seluruh anggota keluarga tidak memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja sekolah dan bepergian, 4 bagian terluas dari
52
rumahnya berlantai tanah, dan 5 tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan. Kemiskinan menurut Bank Dunia adalah keadaan tidak tercapainya
kehidupan yang layak dengan penghasilan USD 1.00 per hari Supriatna, 1997. Kemiskinan adalah situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena
dikehendaki oleh si miskin, melainkan karena keadaan yang tidak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya. Kemiskinan ditandai oleh sikap dan tingkah laku
yang mencerminkan keadaan yang seakan-akan tidak dapat diubah yang tercermin dalam lemahnya kemauan untuk maju, rendahnya kualitas sumber daya manusia,
lemahnya nilai tukar hasil produksi, rendahnya produktivitas, terbatasnya modal yang dimiliki, rendahnya pendapatan dan terbatasnya kesempatan berpartisipasi dalam
pembangunan Supriatna, 1997. Bigsten 1992 mendefinisikan bahwa kemiskinan adalah keadaan serba
kekurangan harta dan benda berharga yang diderita oleh seseorang atau sekelompok orang yang hidup dalam lingkungan serba miskin atau kekurangan modal, baik dalam
pengertian uang, pengetahuan, kekuatan sosial, politik, hukum maupun akses terhadap fasilitas pelayanan umum, kesempatan berusaha dan bekerja.
Menurut Todaro 2000 bahwa pada dasarnya konsep kemiskinan dikaitkan dengan perkiraan tingkat pendapatan dan kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar
minimum yang memungkinkan untuk hidup layak. Bila pendapatan tidak dapat memenuhi kebutuhan minimum, maka orang dapat dikatakan miskin. Jadi tingkat
pendapatan minimum merupakan pembatas antara keadaan miskin dan tidak miskin, atau sering disebut sebagai garis batas kemiskinan. Konsep ini sering disebut dengan
kemiskinan absolut, yang dimaksudkan untuk memenuhi tingkat pendapatan minimum yang cukup untuk memenuhi kebutuhan fisik seperti makan, pakaian dan
perumahan guna menjamin kelangsungan hidup.
53
Kemiskinan adalah suatu kondisi dimana orang atau kelompok orang tidak mempunyai kemampuan, kebebasan, asset dan aksesibilitas untuk kebutuhan mereka
di waktu yang akan datang serta sangat rentan vulnerable terhadap resiko dan tekanan yang disebabkan oleh penyakit dan peningkatan secara tiba-tiba atas harga-
harga bahan pangan dan uang sekolah Gemmel, 1992. Berg 1981 dan Sen 2002 mengukur kemiskinan dari perspektif yang lebih luas yaitu minimnya penghasilan,
tidak tersedianya akses kepada pengetahuan, sumber daya serta layanan sosial dan kesehatan, keterasingan dari arus utama pembangunan dan ketidak mampuan
memenuhi kebutuhan pokok. Dengan perspektif ini minimnya penghasilan hanyalah merupakan salah satu unsur, yang lebih mendasar adalah ketidakmampuan untuk
mengakses sumber-sumber ekonomi. Sen 1981 mencoba melihat kemiskinan melalui pendekatan kapabilitas
capability approach. Konsep kemampuan menunjukkan adanya kebebasan atau peluang yang dimiliki oleh seseorang untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Seseorang disebut miskin apabila dia tidak memiliki kapabilitas dan peluang yang sangat terbatas untuk meningkatkan kesejahteraannya, minimnya kemampuan dasar
untuk mencapai tingkat kesejahteraan minimal yang telah ditentukan. Indikator yang digunakan untuk melihat kemiskinan adalah tingkat
kemiskinan dan kesenjangan kemiskinan, pendekatan di dalam mengukur tingkat kemiskinan tersebut yaitu 1 headcount measure, yaitu memperkirakan jumlah orang
yang berada dibawah garis kemiskinan, dan 2 poverty gap adalah memperhitungkan jumlah dana yang diperlukan untuk mengatasi masalah kemiskinan BPS; 2005.
Ukuran lain yang digunakan untuk melihat tingkat garis kemiskinan yang ada di tingkat masyarakat adalah dengan melihat pengeluaran dan penerimaan per kapita
yang akan dibandingkan dengan tingkat kemiskinan yang dikeluarkan BPS.
54
Menurut Esmara ada beragam alternatif ukuran garis kemiskinan dengan memakai ukuran ”dibawah rata-rata”, yaitu angka 1 konsumsi beras kg per
orang, 2 konsumsi sembilan bahan pokok, 3 pengeluaran rumah tangga Rp orang, dan 4 konsumsi kalori dan protein orang hari secara terpisah dengan
membedakan nilai rata-rata menurut Jawa dan lain daerah, dan desa atau kota. Di bawah rata-rata itulah yang disebut miskin. Tetapi masih ada alternatif lain yang lebih
tepat yaitu di bawah 50 dan median. Kekurangan pada cara ukuran relatif tersebut adalah garis kemiskinan itu tidak dihubungkan dengan keperluan pokok, paling tidak
keperluan pangan dimana patokannya makin mantap, yaitu berdasarkan susunan umur sex, rumah tangga, jenis pekerjaan dan sebagainya. Cara dari segi kebijakan,
yaitu bagaimana dan berapa besarnya biaya usaha mengatasi kemiskinan oleh masyarakat luas dan oleh golongan miskin tersebut Makmun, 2003.
Menurut Sajogyo 1996 garis kemiskinan mempunyai ciri-ciri : 1 spesifikasi atas tiga garis kemiskinan yang mencakup konsepsi ”nilai ambang kecukupan
pangan” food threshold, dan 2 menghubungkan tingkat pengeluaran rumah tangga dengan ukuran kecukupan pangan kalori dan protein. Garis kemiskinan ciri pertama
dinyatakan dalam Rp bulan, dalam bentuk equivalen nilai tukar beras kg orang bulan agar dapat saling dibandingkan nilai tukar antar daerah dan antar zaman.
Memakai data tingkat pengeluaran rumah tangga dinilai lebih tepat karena : 1 dalam survei data ini dapat lebih tepat dilaporkan dibandingkan dengan angka penghasilan,
2 sudah mencakup penghasilan bukan uang, pemakaian tabungan masa lalu, pinjaman, pemberian barang modal yang dimakan, mekanisme transfer penghasilan
di lingkungan masyarakat tersebut, dan 3 data dari BPS mulai banyak tersedia. Hasil klasifikasi adalah sebagai berikut : 1 untuk perdesaan: a miskin = pengeluaran
rumah tangga di bawah 320 kg nilai tukar beras orang tahun, b miskin sekali =
55
pangan tak cukup di bawah 240 kg nilai tukar beras orang tahun, dan c paling miskin dengan pengeluaran di bawah 180 kg nilai tukar beras orang tahun., dan 2
untuk perkotaan : a miskin = pengeluaran rumah tangga di bawah 480 kg nilai tukar beras orang tahun, b miskin sekali = dibawah 380 kg nilai tukar beras orang
tahun, dan c paling miskin = dibawah 270 kg nilai tukar beras orang tahun.
2.3.2. Tipe dan Faktor Penyebab Kemiskinan
Ditinjau dari kelompok sasaran, terdapat beberapa tipe kemiskinan. Penggolongan tipe kemiskinan ini dimaksudkan agar setiap tujuan program memiliki
sasaran dan target yang jelas. Hasibuan 2000 membagi kemiskinan menjadi tiga kategori, yaitu : 1 kemiskinan absolut dimana pendapatan di bawah garis
kemiskinan dan tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, 2 kemiskinan relatif dimana situasi kemiskinan di atas garis kemiskinan berdasarkan pada jarak antara
miskin dan non-miskin dalam suatu komunitas, dan 3 kemiskinan struktural dimana kemiskinan ini terjadi saat orang atau kelompok masyarakat enggan untuk
memperbaiki kondisi hidupnya sampai ada bantuan untuk mendorong mereka keluar dari kondisi tersebut.
UNDP meninjau kemiskinan dari dua sisi, yaitu dari sisi pendapatan dan dari sisi kualitas manusia. Dilihat dari sisi pendapatan, kemiskinan ekstrim extreme
poverty atau kemiskinan absolut adalah kekurangan pendapatan untuk keperluan pemenuhan kebutuhan dasar atau kebutuhan minimal kalori yang diperlukan. Dari sisi
kualitas sumber daya manusia, kemiskinan secara umum overall poverty, atau sering disebut sebagai kemiskinan relatif, adalah kekurangan pendapatan untuk
memenuhi kebutuhan non pangan seperti pakaian, energi dan tempat bernaung UNDP, 2001.
56
Menurut Jhingan 2000 kemiskinan secara sederhana disebabkan karena rendahnya produktivitas tenaga kerja yang menyebabkan pendapatan per kapita
rendah, sehingga mereka kekurangan biaya untuk konsumsi dan kebutuhan penting lainnya. Karena pendapatan rendah maka tabungan untuk keluarga juga rendah yang
menyebabkan investasi untuk pengelolaan usaha juga rendah. Rendahnya investasi menyebabkan tingkat produktivitas tenaga kerja yang mengelolanya juga rendah.
Demikian siklus perangkap kemiskinan tersebut terus menerus berjalan tanpa akhir, yang menyebabkan golongan masyarakat miskin sulit untuk berkembang.
Kemiskinan di Indonesia mempunyai empat dimensi pokok, yaitu: 1 kurangnya kesempatan lack of opportunity, 2 rendahnya kemampuan low af
capabilities, 3 kurangnya jaminan low-level of security, dan 4 ketidak berdayaan low of capacity or empowerment. Kemiskinan dapat dilihat secara global, yakni
kemiskinan kolektif atau kemiskinan massa, kemiskinan musiman cyclical dan kemiskinan individu. Kemiskinan kolektif dapat terjadi pada suatu daerah atau negara
yang mengalami kekurangan pangan, kebodohan dan eksploitasi manusia dinilai sebagai penyebab keadaan itu. Sedang kemiskinan musiman atau periodik dapat
terjadi ketika daya beli masyarakat turun atau rendah. Ketika terjadi inflasi dengan tingkat pendapatan relatif tetap maka daya beli masyarakat akan turun. Kemiskinan
individu dapat terjadi pada setiap orang, terutama kaum cacat fisik atau cacat mental, anak-anak yatim dan kelompok lanjut usia Yudhoyono dan Harniati , 2004.
Kemiskinan menurut penyebabnya dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu : 1 kemiskinan alamiah, 2 kemiskinan struktural, dan 3 kemiskinan kultural.
Kemiskinan alamiah timbul karena sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya pembangunan lainnya yang langka jumlahnya, karena perkembangan
teknologi yang rendah, sehingga masyarakat tidak dapat berperan aktif dalam
57
pembangunan. Kemiskinan struktural timbul disebabkan hasil pembangunan yang belum merata, kepemilikan sumber daya yang belum merata, kemampuan tidak
seimbang, ketidak merataan kesempatan, menyebabkan keterlibatan masyarakat dalam pembangunan tidak merata. Kemiskinan kultural disebabkan pemahaman suatu
sikap, kebiasaan hidup dan data seseorang atau masyarakat yang merasa kecukupan dan tidak kekurangan. Kelompok ini tidak mudah untuk diajak berpartisipasi dalam
pembangunan dan cenderung tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya. Dengan ukuran absolut mereka dapat dikatakan miskin, tetapi mereka tidak merasa
miskin atau tidak mau disebut miskin Soegijoko, 1997. Alla 1981 menyebutkan bahwa kemiskinan secara garis besar disebabkan
oleh faktor endogen dan faktor eksogen. Faktor endogen adalah faktor-faktor dari dalam diri individu sendiri yang menyebabkan kemiskinan, atau sikap mentalnya
yang menyebabkan mereka miskin. Sedang faktor eksogen yang mempengaruhi kemiskinan adalah faktor alamiah dan faktor struktural. Apabila ditinjau dari segi
penyebabnya konsep kemiskinan dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu : 1 kemiskinan alamiah adalah kemiskinan yang terjadi karena langkanya sumber daya
dan rendahnya produktivitas; dan 2 kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang terjadi karena lembaga-lembaga yang ada menjadikan sekelompok masyarakat atau
secara perorangan tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan fasilitas yang tersedia secara merata. Kemiskinan alamiah disebabkan oleh faktor sumber daya manusia;
daya dukung wilayah dan ekologi manusia Muharminto,1993. Ikhsan 2001 menunjukkan beberapa determinan kemiskinan di daerah pedesaan
yaitu: 1 human capital endowment yang belum memadai yang menyulitkan proses transformasi tenaga kerja antar sektor, 2 kuantitas dan kualitas infrastuktur, 3
kontribusi pendapatan usahatani padi terhadap pendapatan keluarga petani hanya
58
berkisar 17 - 30 persen, karena luas lahan yang kecil dan curahan jam kerja yang hanya 10 hari dalam satu bulan, dan 4 faktor yang berkaitan dengan kebijakan
pemerintah. Kemiskinan yang digunakan dalam penelitian adalah pengukuran kemiskinan
yang ditetapkan berdasarkan kriteria BPS dengan pendekatan kebutuhan dasar, yaitu penduduk miskin adalah penduduk yang tidak bisa mencukupi kebutuhan dasarnya
berupa kebutuhan pangan dan kebutuhan lainnya. Penduduk miskin menurut kriteria penelitian ini adalah jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan
headcount measure. Penentuan garis kemiskinan didasarkan pada pengukuran pendapatan pengeluaran penduduk untuk mencukupi kebutuhan dasar yaitu berupa
kebutuhan untuk konsumsi energi sebesar 2100 kkal per kapita per hari, sehingga apabila penghasilannya ada dibawah konversi tersebut maka termasuk pada kategori
penduduk miskin. Besaran garis kemiskinan akan berbeda antar waktu karena adanya perubahan harga antar waktu, antar wilayah karena adanya perbedaan tingkat
kemahalan antar wilayah dan antara desa dan kota Todaro, 2000.
2.4. Ketahanan Pangan Pada pokok bahasan ini akan dikaji secara komperhensif tentang
pemahaman dari konsep ketahanan pangan, mulai dari konsep yang paling sederhana pendekatan ketersediaan pangan, sampai pada konsep yang paling mutakhir yang
melihat dari berbagai dimensi yaitu selain dari ketersediaan pangan juga tentang keterjangkauan pangan baik secara fisik dan ekonomi, faktor keamanan sampai pada
faktor akses pangan secara individu terhadap pangan yang diukur dengan indikator status gizi masyarakat yang merupakan muara akhir dari semua subsistem ketahanan
pangan.
59
2.4.1. Konsep Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan yang merupakan terjemahan dari food security merupakan fenomena yang komplek mencakup banyak aspek dan faktor lain yang terkait secara
luas sehingga setiap orang mencoba menterjemahkan sesuai dengan tujuan dan ketersediaan data. Seperti diungkapkan oleh Reutlinger 1987 bahwa ketahanan
pangan diinterprestasikan dengan banyak cara sesuai kebutuhan dan tujuannya. Berg 1981 juga mengungkapkan bahwa pamakaian istilah ketahanan pangan dapat
menimbulkan perdebatan dan banyak isu yang membingungkan karena aspek ketahanan pangan adalah luas dan banyak tetapi merupakan salah satu konsep yang
sangat penting bagi banyak orang di seluruh dunia. Definisi ketahanan pangan berubah dari satu periode waktu ke periode waktu berikutnya Salim et al, 2005.
Sebenarnya sejak tahun 1970-an ketahanan pangan mulai menjadi issue internasional seiring terjadinya krisis pangan global Maxwell and Frankenberger,
1992. Pada awalnya konsep ketahanan pangan sebagai terjemahan dari istilah food security yang difokuskan kepada kondisi ketersediaan pangan baik di tingkat nasional
maupun internasional terutama padi-padian, hal ini karena terjadinya krisis pangan dunia pada waktu itu tahun 1972 – 1974. Sehingga pada masa awal orde baru
kebijakan ketahanan pangan di Indonesia didasarkan pada pendekatan penyediaan pangan yang lebih dikenal dengan istilah Food Availability Approach FAA.
Pendekatan ini tidak memperhatikan aspek distribusi dan aspek akses terhadap pangan. Asumsi yang mendasari pendekatan ini adalah jika pasokan pangan tersedia
maka 1 para pedagang akan menyalurkan pangan tersebut ke seluruh wilayah secara efisien, dan 2 harga pangan akan tetap stabil pada tingkat yang wajar sehingga dapat
dijangkau oleh seluruh keluarga.
60
Tetapi dalam kenyataan, meskipun tersedia pangan yang cukup sebagian orang masih menderita kelaparan karena tidak mempunyai cukup akses terhadap pangan.
Fenomena ini disebut sebagai hunger paradox. Sehingga pendekatan ketersediaan pangan mengalami kegagalan dalam mencapai ketahanan pangan berkelanjutan di
beberapa negara. Dalam periode tersebut ketahanan pangan lebih ditekankan pada unsur ketersediaan pangan di tingkat nasional dan global Simatupang, 1999.
Pada tahun 1980-an konsep ketahanan pangan beralih dari konsep ketersediaan pangan ke konsep akses pangan pada tingkat rumah tangga dan individu.
Kalau pada awalnya ketahanan pangan masih berkisar pada pertanyataan “ dapatkah dunia memproduksi pangan yang cukup,” kemudian pertanyaan tersebut dipertajam
lagi oleh International Food Policy Recearch Institute IFPRI menjadi “dapatkah dunia memproduksi pangan yang cukup pada tingkat harga yang pantas dan
terjangkau oleh kelompok miskin serta tidak merusak lingkungan hidup.” Pada waktu itu terjadi pergeseran konsep ketahanan pangan yang ditekankan pada akses pangan
di tingkat rumah tangga dan individu. Definisi ketahanan pangan tersebut adalah setiap orang pada setiap saat memiliki aksesibilitas secara fisik dan ekonomi terhadap
pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan agar dapat hidup produktif dan sehat. Analisis terhadap ketahanan pangan rumah tangga. harus memperhatikan
empat konsep utama yaitu : 1 kecukupan sufficiency , 2 akses acces, 3 keterjaminan security , dan 4 waktu time Maxwell and Frankenberger,
1992. Komponen akses ekonomi bagi individu untuk memperoleh pangan, hal ini
berkaitan dengan pemilikan sumberdaya untuk memproduksi pangan, harga pangan, maupun daya beli. Ketidaktahanan pangan rumah tangga disebabkan oleh kemiskinan
atau pendapatan yang rendah. Dalam konteks rumah tangga, definisi tersebut
61
didasarkan pada konsep entitlement atau kemampuan untuk menguasai pangan. Lemahnya entitlement faktor kepemilikan rumah tangga dan individu yang
menyebabkan ketidak mampuannya melakukan kontrol terhadap pangan. Derajat entitlement berhubungan linier dengan tingkat stabilitas akses rumah tangga dan
individu terhadap pangan karena derajat entitlement tersebut ditentukan oleh apa yang mereka miliki, produksi, jual dan diwariskan atau diberikan Sen, 1981.
Konferensi FAO tahun 1992 mencetuskan dasar-dasar ketahanan pangan yang pada intinya menjamin kecukupan ketersediaan pangan bagi umat manusia dan
terjaminnya setiap individu untuk dapat memperoleh pangan. Definisi tersebut disempurnakan pada waktu International Congress of Nutrition ICN di Roma
pada tahun 1994 menjadi, ketahanan pangan rumah tangga adalah kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar
dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari. Dalam sidang Committee on Work Food Security tahun 1995 definisi di atas diperluas dengan
menambah persyaratan harus diterima oleh budaya setempat. Definisi tersebut dipertegas lagi pada Deklarasi Roma pada World Food Summit tahun 1996, ketahanan
pangan terwujud apabila semua orang setiap saat memiliki akses secara fisik maupun ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan
sesuai seleranya bagi kehidupan yang aktif dan sehat Badan Ketahanan Pangan, 2005a; Saliem et al. , 2005.
Indonesia sebagai salah satu negara yang menyatakan komitmen untuk melaksanakan deklarasi Roma menerima konsep ketahanan pangan tersebut yang
kemudian dilegitimasi pada rumusan dalam Undang-Undang Pangan No.7 tahun 1996. Namun konsep ketahanan pangan di Indonesia telah memasukkan aspek
keamanan, mutu dan keragaman sebagai kondisi yang harus dipenuhi dalam
62
pemenuhan kebutuhan pangan penduduk secara cukup, merata serta terjangkau. Sementara itu lokakarya Ketahanan Pangan Rumah Tangga pada tahun 1996 juga
menghasilkan rumusan baru konsep ketahanan pangan rumah tangga yaitu : ketahanan pangan rumah tangga adalah kemampuan untuk memenuhi pangan anggota keluarga
dari waktu dan berkelanjutan baik dari produksi sendiri maupun membeli dalam jumlah, mutu dan ragamnya sesuai dengan lingkungan setempat serta sosial budaya
rumah tangga agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari secara produktif Badan Ketahanan Pangan, 2005a; Saliem et al., 2005; Maxwell and
Frankenberger, 1992. Konsep dari ketahanan pangan sangat luas dan beragam yang meliputi dimensi
sasaran global, nasional, regional, rumah tangga dan individu serta dimensi waktu atau musim, ruang dan dimensi sosial ekonomi masyarakat. Ketahanan pangan global,
nasional, regional, lokal dan rumah tangga serta individu merupakan suatu rangkaian sistem hirarkis, dimana ketahanan pangan nasional dan regional merupakan syarat
keharusan necessary condition bagi ketahanan pangan masyarakat, rumah tangga dan individu. Dan ketahanan pangan individu merupakan syarat kecukupan
sufficiency condition bagi ketahanan pangan nasional Simatupang, 1999. Ketahanan pangan merupakan rangkaian dari tiga komponen utama yaitu : 1
ketersediaan dan stabilitas pangan food availability and stability , 2 kemudahan memperoleh pangan food accessibility, dan 3 pemanfaatan pangan food
utilization FAO, 1996.
2.4.2. Ketahanan Pangan Sebagai Suatu Sistem
Dalam upaya memudahkan pemetaan tugas dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat dalam koordinasi di bidang perencanaan, pelaksanaan, monitoring
63
dan evaluasi, maka Badan Ketahanan Pangan 2005a mengkategorikan ketahanan pangan sebagai suatu sistem ekonomi pangan yang terdiri subsistem penyediaan,
distribusi dan konsumsi yang berinteraksi secara berkesinambungan. Ketahanan pangan sebagai suatu sistem digambarkan dalam Gambar 3, yang menunjukkan
adanya keterkaitan yang erat antar subsistem dalam sistem ketahanan pangan. Pembangunan subsistem penyediaan mencakup pengaturan kestabilan dan
kesinambungan penyediaan pangan baik yang berasal dari produksi dalam negeri, cadangan maupun impor. Pembangunan subsistem distribusi mencakup pengaturan
untuk menjamin aksesibilitas penduduk secara fisik dan ekonomis terhadap pangan antar wilayah dan antar waktu, serta stabilitas harga pangan strategis. Pembangunan
subsistem konsumsi mencakup pengelolaan pangan di tingkat daerah maupun rumah tangga, untuk menjamin setiap individu memperoleh pangan dalam jumlah, mutu gizi,
keamanan dan keragaman sesuai kebutuhan dan pilihannya. Ketiga subsistem merupakan satu kesatuan yang didukung adanya berbagai input sumberdaya alam
lahan, air, perairan darat dan laut, kelembagaan, budaya, permodalan dan teknologi. Proses pembangunan ketahanan pangan digerakkan oleh kekuatan masyarakat
dalam usaha agribisnis pangan yang ditopang oleh fasilitasi pemerintah. Peran fasilitasi pemerintah diimplementasikan dalam bentuk kebijakan ekonomi makro dan
perdagangan, pelayanan dan pengaturan, penyediaan prasarana dan sarana publik serta intervensi atas kegagalan pasar untuk mendorong terciptanya pasar agribisnis
pangan yang berkeadilan. Peran pemerintah adalah memberdayakan masyarakat agar mampu mengatasi masalah pangannya secara mandiri. Hasil yang diharapkan adalah
terpenuhinya hak azasi manusia atas pangan, berkembangnya SDM yang berkualitas, dan terciptanya kondisi kondusif ketahanan pangan, ketahanan ekonomi dan
ketahanan nasional.
Partisipasi Masyarakat
• Produsen Pertanian • Indutri Pengolahan
• Pedagang • Jasa Pelayanan
Input :
• SD alam lahan, air,
peraiaran • Kelmbaga
an • Budaya
• Teknologi
Ketersediaan
• Produksi • Cadangan
• Impor
Distribusi:
Akses fisik dan ekono
mi antar • Wilayah
• Waktu • Individu
Konsumsi :
• Kecukupan • Keragaman
• Mutu gizi • Keamanan
• Keterjangka uan
Output :
• Pemenuhan HAM
• Pengembang an SDM ber
kualitas • Ketahanan
pangan, eko nomi dan na
sional
Partisipasi Pemerintah
• Kebijakan ekonomi makro • Kebijakan perdagangan dalam negeri dan
internasional • Pelayananfasilitasi
• Intervensipengelolaan pasar terkendali
Sumber : Badan Ketahanan Pangan Nasional Jakarta 2005
Gambar 3. Kerangka Sistem Ketahanan Pangan
Produksi Daerah
Perdagangan : Cadangan
Pangan : - Antar Daerah
- Antar Negara - Pemerintah
- Pemda - Bantuan
LN
Cadangan Pangan
Masyarakat Bantuan
Pangan
Ketersediaan Di Pasar
Cadangan Pangan RT
Produksi Usaha Tani
Ketahanan Pangan RT
Konsumsi pangan Yang cukup untuk
Hidup sehat dan
Produktif :
- Setiap individu
- Setiap saat
- Sesuai pilihan
Pendapatan Usaha lain
Off-farm
Sumber : Badan Ketahanan Pangan Nasional Jakarta 2005 Gambar 4. Sistem Ketahanan Pangan Rumah Tangga
Produksi Daerah
Perdagangan : Cadangan
Pangan : - Antar Daerah
- Antar Negara - Pemerintah
- Pemda - Bantuan
LN
Cadangan Pangan
Masyarakat Bantuan
Pangan
Ketersediaan Di Pasar
Cadangan Pangan RT
Produksi Usaha Tani
Ketahanan Pangan RT
Konsumsi pangan Yang cukup untuk
Hidup sehat dan
Produktif :
- Setiap individu
- Setiap saat
- Sesuai pilihan
Pendapatan Usaha lain
Off-farm
Sumber : Badan Ketahanan Pangan Nasional Jakarta 2005 Gambar 4. Sistem Ketahanan Pangan Rumah Tangga
65
Perwujudan sistem ketahanan pangan di tingkat rumah tangga mikro dalam kerangka hubungannya dengan sistem ketahanan pangan tingkat wilayah atau negara
makro dapat digambarkan pada Gambar 4. Pada gambar tersaji bagaimana hubungan ketahanan pangan di tingkat mikro dengan ketahanan pangan tingkat
makro. Tercapainya ketahanan pangan di tingkat makro belum tentu tercapai ketahanan pangan di tingkat mikro karena pengaruh faktor individu dan rumah
tangga. Ditinjau dari sistem kelembagaan sosial pangan masyarakat, terwujudnya
ketahanan pangan dihasilkan oleh bekerjanya secara sinergis suatu sistem yang terdiri dari subsistem rumah tangga, subsistem lingkungan masyarakat dan subsistem
pemerintah. Subsistem rumah tangga mengelola penyediaan, cadangan dan pola konsumsi yang menjamin setiap individu memperoleh asupan gizi yang cukup.
Subsistem lingkungan masyarakat mengatur penyelenggaraan produksi, distribusi dan pemasaran yang menjamin penyediaan pangan di seluruh wilayah setiap saat. Adapun
subsistem pemerintah mengelola kebijakan, fasilitasi, pelayanan dan pengawasan yang menjamin sistem usaha pangan secara adil dan bertanggung jawab.
2.4 3. Indikator Ketahanan Pangan
Konsep dari ketahanan pangan berubah-ubah dan aspeknya sangat luas, sehingga indikator, cara dan data yang digunakan oleh peneliti untuk mengukur
ketahanan pangan juga sangat beragam tergantung dari tujuan dan kepentingannya. Untuk mengukur ketahanan pangan baik tingkat mikro dan makro dapat dicerminkan
oleh beberapa indikator yang tergantung dari tujuan dan kepentingan dari penelitian yang dijalanlankan serta ketersediaan data.
67
Indikator-indikator ketahanan pangan tersebut diantaranya adalah : 1 produksi pangan baik tingkat rumah tangga, wilayah, regional, nasional, 2 tingkat
ketersediaan pangan di rumah tangga, wilayah, regional, nasional, 3 proporsi pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total rumah tangga, 4 fluktuasi harga
pangan utama yang umum dikonsumsi rumah tangga, 5 keadaan konsumsi pangan, 6 status gizi, 7 angka indek ketahanan pangan rumah tangga, 8 angka rasio antara
stok dengan konsumsi pada berbagai tingkatan wilayah; 9 skor Pola Pangan Harapan PPH untuk tingkat ketersediaan dan konsumsi, 10 kondisi keamanan
pangan, 11 keadaan kelembagaan cadangan pangan masyarakat, 12 tingkat cadangan pangan pemerintah dibanding perkiraan kebutuhan, 13 kemampuan untuk
melakukan stok pangan, 14 indeks deversifikasi pangan indeks herfindahl, indeks simpson, indeks entropy, dan 15 indeks kemandirian pangan Saliem et al., 2005;
Ariani et al., 2007. Penentu utama ketahanan pangan di tingkat nasional, regional dan lokal dapat
dilihat dari tingkat produksi, permintaan, persediaan dan perdagangan pangan. Sementara penentu utama di tingkat rumah tangga adalah akses terhadap pangan,
ketersediaan pangan dan resiko yang terkait dengan akses serta ketersediaan pangan tersebut Saliem et al., 2005; Badan Ketahanan Pangan, 2005a.
Salah satu kunci terpenting dalam mendukung ketahanan pangan adalah tersedianya dana yang cukup negara dan rumah tangga untuk memperoleh pangan
FAO, 1996. Indikator outcome ketahanan pangan yang direkomendasikan oleh FAO tahun 2001 mencakup umur harapan hidup, prevalensi anak kurang gizi dan gizi
buruk dan angka kematian bayi dimana umur harapan hidup dan angka kematian bayi merupakan komponen dalam indikator pembangunan manusia IPM.
68
Pengukuran kinerja ketahanan pangan pada penelitian ini menyangkut berbagai dimensi baik ketahanan pangan secara makro yang merupakan syarat
keharusan juga ketahanan pangan secara mikro pada individu yang merupakan syarat kecukupan, yaitu meliputi : produksi beras, rata-rata konsumsi beras, konsumsi
energi, konsumsi protein, pendapatan sektor pertanian, pendapatan per kapita dan outcome ketahanan pangan yang direkomendasikan FAO 2001 yaitu umur harapan
hidup, angka kematian bayi dan prevalensi anak kurang gizi dan gizi buruk.
2.5. Studi Studi Terdahulu