kentara. Hal ini menyebabkan banyaknya kemiskinan terdapat pada sektor pertanian. Menurut data BPS sebagian besar penduduk miskin berada di perdesaan yang
menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Penduduk di sektor pertanian menempati proporsi 55 persen dari total penduduk miskin dan diketahui 75 persen
diantaranya pada subsektor tanaman pangan. Jumlah tenaga kerja berdasarkan sektor perekonomian tersaji pada Tabel 9 dibawah ini.
Tabel 9. Jumlah Tenaga Kerja Menurut Sektor Perekonomian Kabupaten Kota di Provinsi Jawa Barat, Tahun 2001 – 2005
Sektor Perekonomian Jumlah Tenaga Kerja Ribu Jiwa
Persentase Pertanian 4
856 33.72
Industri 2 834
19.68 Jasa 6
332 43.97
Sektor Lainnya 879
6.10 Total Tenaga Kerja
14 402 100.00
Sumber : Statistik Tenaga Kerja Provinsi Jawa Barat, Tahun 2001 – 2005.
5.4. Kemiskinan di Wilayah Provinsi Jawa Barat
Dilihat dari persebaran penduduk miskin menunjukkan bahwa sekitar 20.48 juta orang atau sekitar 56.67 persen terdapat di pulau Jawa, dan sebagian besar berada di
daerah perdesaan. Dari fenomena ini menunjukkan bahwa Pulau Jawa menanggung beban yang sangat berat dalam memenuhi kesejahteraan penduduknya, terlebih bila
dikaitkan dengan kondisi lahan pertanian di Pulau Jawa yang semakin menipis akibat pertambahan penduduk yang relatif tinggi dan meningkatnya konversi lahan pertanian
untuk kepentingan perumahan dan industri. Konversi lahan pertanian terus meningkat dari sebesar 85 500 hektar per tahun pada tahun 1981 – 1999, menjadi 141 286 hektar
per tahun pada tahun 1999 – 2002. Kondisi ini telah menyebabkan meningkatnya jumlah
petani gurem yaitu petani yang menguasai lahan rata-rata 0.25 hektar. Pada saat ini diperkirakan jumlah rumah tangga petani gurem sudah mencapai 75 persen dari total
rumah tangga petani di Jawa, padahal pada tahun 1993 masih 70 persen BPS, 2005. Tabel 10. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Tahun 2004
Provinsi Jumlah Penduduk Miskin
Ribu jiwa Kota Desa Total
Tingkat Kemiskinan Kota Desa Total
Nangroe Aceh Darusalam Sumatera Utara
Sumatera Barat Riau
Jambi Sumatera Selatan
Bengkulu Lampung
Bangka Belitung DKI Jakarta
Jawa Barat Jawa Tengah
DKI Jogjakara Jawa Timur
Banten Bali
Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan Kalimantan Timur
Sulawesi Utara Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara
Gorontalo Maluku
Maluku Utara Papua
Indonesia 98.40 958.80 1157.20
633.40 1166.70 1800.10 167.80 304.60 472.40
160.50 583.90 744.40 130.80 194.30 325.10
455.10 924.20 1379.30 112.80 232.30 345.10
317.30 1244.40 1561.70 33.00 58.80 91.80
277.10 - 277.10 2243.20 2411.00 4654.20
2346.50 4497.30 6843.80 301.40 314.80 616.20
2230.60 5081.90 7312.50 279.90 499.30 779.20
87.00 144.90 231.90 492.50 539.10 1031.60
122.70 1029.40 1152.10 143.80 414.40 558.20
33.00 161.10 194.10 63.50 167.50 231.00
84.30 233.90 318.20 35.90 156.30 192.20
70.50 415.80 486.30 152.20 1089.30 1241.50
38.00 380.40 418.40 43.70 215.40 259. 10
41.10 356.50 397 .60 23.00 83.90 107.80
49.10 917.70 966.80 11 369.00 24 777.90 36 146.90
17.58 32.66 28.47 12.02 17.19 14.93
12.28 9.67 10.46 6.44 18.36 13.12
17.34 10.46 12.45 20.13 21.33 20.92
25.43 21.16 22.39 20.17 22.81 22.22
7.73 10.06 9.07 3.18 - 3.18
11.21 13.08 12.10 17.52 23.64 21.11
15.96 23.65 19.14 14.62 24.02 20.08
5.69 11.99 8.58 5.05 8.71 6.85
32.66 21.09 25.38 18.11 29.77 27.66
13.29 14.15 13.91 6.13 12.20 10.44
5.28 8.33 7.19 5.63 18.68 11.57
4.37 11.76 8.94 15.33 23.33 21.69
6.11 18.65 14.90 9.21 25.39 21.90
18.63 32.70 29.01 11.99 39.86 32.13
10.50 13.10 12.42 7.71 49.28 38.69
12.13 20.11 16.66
Sumber : Data dan Informasi Kemiskinan, BPS, Tahun 2004.
Namun berdasarkan tingkat kemiskinan maka provinsi yang mempunyai tingkat kemiskinan tertinggi terdapat di luar Jawa yaitu Provinsi Papua, Maluku, Gorontalo,
NAD, NTT, NTB. Tingkat kemiskinan dari enam provinsi diatas jauh diatas tingkat kemiskinan Indonesia dengan jumlah penduduk yang hanya sebesar 4.97 juta jiwa .
Sementara pulau Jawa yang memiliki luas kurang dari 10 persen wilayah Indonesia harus menampung penduduk miskin 20.48 juta jiwa penduduk miskin atau 56.67 persen dari
total penduduk di Indonesia. Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk miskin terbesar ketiga di Indonesia setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Namun apabila
dilihat dari tingkat kemiskinan Jawa Barat memiliki tingkat kemiskinan di bawah tingkat kemiskinan rata-rata nasional, bahkan merupakan provinsi ketiga di Pulau Jawa yang
mempunyai tingkat kemiskinan terendah setelah DKI Jakarta dan Banten. Tingkat kemiskinan di Jawa Barat dari tahun ke tahun mengalami penurunan yang
berfluktuatif seiring dengan terjadinya penurunan kemiskinan di Indonesia. Pada waktu terjadi krisis kemiskinan meningkat tajam baik Indonesia maupun Jawa Barat kemudian
menurun kembali dengan penurunan yang relatif kecil. Tingkat kemiskinan di Jawa Barat selalu berada di bawah tingkat kemiskinan Indonesia. Gambar 9 disajikan
perbandingan perkembangan tingkat kemiskinan di Jawa Barat dan di Indonesia. Persebaran penduduk miskin di wilayah Provinsi Jawa Barat tidak merata, daerah
kabupaten jumlah penduduk miskin relatif lebih besar dibanding daerah kota. Daerah yang mempunyai struktur ekonomi berbasis pertanian jumlah penduduk miskin relatif
lebih besar dibanding dengan daerah yang mempunyai struktur ekonomi berbasis industri dan perdagangan.
Sumber : Data dan Informasi Kemiskinan BPS, 2005. Gambar 9. Perkembangan Persentase Penduduk Miskin Indonesia
dan Jawa Barat
5 10
15 20
25 30
35 40
1995 1996
1997 1998
1999 2000
2001 2002
2003 2004
2005
Persentase Penduduk
Miskin Indonesia
Persentase Penduduk
Miskin Jabar
Kabupaten Cianjur, Indramayu, Kuningan, Majalengka yang dikenal sebagai sentra penghasil beras di Jawa Barat menunjukkan tingkat kemiskinan yang relatif
tinggi dengan laju pengurangan kemiskinan yang relatif lambat. Hal ini perlu mendapat perhatian bagi pemerintah bagaimana petani-petani di daerah sentra beras, dimana
komodiiti beras telah mengalami levelling off pada peningkatan produksinya bisa meningkat produktivitasnya. Peningkatan produktivitas petani beras bisa dilakukan selain
melalui peningkatan produktivitas tanaman padi juga perlu diupayakan sumber-sumber pertumbuhan baru dari sektor tanaman pangan selain padi dan subsektor lain seperti
peternakan dan perikanan melalui usahatani terpadu. Selain itu juga perlu diupayakan terciptanya nilai tambah bagi petani pada tingkat off farm activities dengan melakukan
kegiatan agribisnis maupun agroindustri pangan. Kota Bekasi, Depok dan Bandung yang dikenal sebagai daerah industri dan perdagangan menunjukkan tingkat kemiskinan paling
kecil di Jawa Barat. Berikut disajikan perkembangan dan persebaran jumlah penduduk miskin di kabupaten kota di Wilayah Provinsi Jawa Barat.
Tabel 11. Perkembangan dan Keragaan Persentase Penduduk Miskin menurut Kabupaten Kota di Jawa Barat Tahun 2003 – 2005
No Kabupaten Kota
PendudukMiskin Tahun 2003
Penduduk Miskin Tahun 2004
Penduduk Miskin Tahun 2005
1. 2.
3. 4.
5. 6.
7. 8.
9. 10.
11. 12.
13. 14.
15. 16.
17. 18.
19. 20.
21. 22.
Kab. Bogor Kab. Sukabumi
Kab. Cianjur Kab. Bandung
Kab. Garut Kab. Tasikmalaya
Kab.Ciamis Kab. Kuningan
Kab. Cirebon Kab. Majalengka
Kab. Sumedang Kab. Indramayu
Kab. Subang Kab. Purwakarta
Kab. Karawang Kab. Bekasi
Kota Bogor Kota Sukabumi
Kota Bandung Kota Cirebon
Kota Bekasi Kota Depok
Jawa Barat 12.54
17.03 18.49
12.53 15.40
16.21 16.22
20.36 19.64
18.89 14.40
18.65 16.59
13.99 14.55
6.61 7.34
8.29 3.51
9.00 3.66
5.62 13.16
12.56 16.32
19.05 12.78
15.48 17.99
15.18 19.50
17.33 17.66
12.82 17.46
16.07 13.09
13.60 6.86
8.22 7.67
3.95 7.76
3.15 4.96
12.70 11.94
14.70 17.36
11.84 15.37
16.14 14.73
18.95 16.59
17.42 11.74
16.49 14.67
12.60 13.28
6.35 7.85
6.16 3.38
7.52 3.04
4.84 12.10
Sumber : BPS Jawa Barat, 2005.
Laju pengurangan kemiskinan di Jawa Barat berjalan sangat lambat pada masa implementasi desentralisasi fiskal. Apabila dicermati pada masing- masing kabupaten
kota di Jawa Barat penurunan kemiskinan berjalan sangat fluktuatif yaitu ada yang
tingkat kemiskinannya naik kemudian turun namun secara rata-rata berkecenderungan menurun.
5.5. Kinerja Ketahanan Pangan di Wilayah Propinsi Jawa Barat
Ketahanan pangan adalah keterjaminan akses terhadap kecukupan pangan sepanjang waktu agar dapat melakukan aktifitas dan hidup sehat. Sedang kerawanan
pangan merupakan kondisi suatu daerah, masyarakat atau rumah tangga yang tingkat ketersediaan dan keamanan pangannya tidak cukup untuk memenuhi standar kebutuhan
fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan sebagian masyarakat. Ada beberapa aspek yang menyebabkan terjadinya kerawanan pangan yaitu : 1 aspek produksi, 2 aspek
distribusi, dan 3 aspek konsumsi. Melalui aksesibilitas terhadap pangan akan menjadi penentu tercapainya konsumsi pangan dan selanjutnya akan mempengaruhi status gizi
masyarakat yang merupakan faktor determinan terhadap derajat kesehatan masyarakat yang dicerminkan pada ukuran umur harapan hidup.
Ketahanan pangan merupakan satu dari delapan common goals Provinsi Jawa Barat yang pada tahun 2007 difokuskan pada ketahanan pangan fokus beras melalui
sinergitas lintas SKPD, dimana tujuan bersama tersebut merupakan komitmen program dan kegiatan yang disepakati untuk dikerjakan melalui model pendekatan sinergitas lintas
SKPD Provinsi dengan penggalangan segenap pelaku pembangunan Jawa Barat yang relevan. Sasaran common goals ketahanan pangan fokus beras pada tahun 2007 adalah :
1 terpenuhinya stok beras regional Jawa Barat, 2 tertatanya distribusi dan perdagangan beras, dan 3 menurunnya tingkat kehilangan pasca panen.
Provinsi Jawa Barat sebagai daerah produsen beras nomer satu di Indonesia, menggunakan indikator produksi padi dan beras sebagai salah satu ukuran kinerja
ketahanan pangan. Walaupun banyak terjadi kendala yang salah satunya adalah alih fungsi lahan sawah yang cukup signifikan, namun produksi padi sawah Jawa Barat pada
masa implementasi desentralisasi tahun 2001 – 2005 terus mengalami peningkatan dengan laju peningkatan produksi sebesar 2.62 persen yang disebabkan laju luas panen
sebesar 0.92 persen dan laju produktivitas sebesar 1.70 persen. Peningkatan produksi padi hampir terjadi di seluruh kabupaten kota kecuali Kabupaten Bandung, Kota Bogor, Kota
Depok dan Kota Bekasi Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, 2007. Gambar 10 menunjukkan perkembangan produksi padi sawah, padi ladang dan padi
sawah + ladang di Jawa Barat.
Sumber : Dinas Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, 2006. Gambar 10. Produksi Padi Ladang, Padi Sawah, Padi Ladang + Sawah
Tahun 2001 – 2005 Jawa Barat Ton
1000000 2000000
3000000 4000000
5000000 6000000
7000000 8000000
9000000 10000000
2001 2002
2003 2004
2005
Produksi Padi
Ladang
Produksi Padi
Sawah
Produksi Padi
Ladang + Sawah
Peningkatan produksi belum cukup untuk dapat dijadikan ukuran kinerja ketahanan pangan, tetapi perlu juga diketahui ketersediaan beras yang tersedia untuk
dikonsumsi serta jumlah konsumsi beras bagi masyarakat. Berikut ini disajikan perkembangan produksi beras, ketersediaan beras untuk konsumsi, jumlah konsumsi
beras dan kondisi persediaan daerah.
Tabel 12. Perkembangan Produksi Gabah, Produksi Beras, Ketersedian Beras untuk Konsumsi, Jumlah Konsumsi Beras dan Kondisi Persediaan Beras Daerah
Tahun Produksi
Padi Ton GKG
Produksi Beras Ton
Ketersediaan Konsumsi
Beras Ton Total
Konsumsi Beras Ton
Surplus Defisit
Ton Rasio
S K 2001
9 166 872 5 958 466.8
5 362 620.1 4 475 033.5 + 887 586.5
1.20 2002
8 776 889 5 704 977.9
5 134480.1 4 557 650.6 + 576 829.4
1.13 2003
9 602 302 6 241 496.3
5 617 346.7 4 696 897.4 + 920 449.3
1.20 2004
9 787217 6 361 691.1
5 725 522.1 4 795 304.3 + 930 217.8
1.19 2005
9 418 572 6 122 071.8
5 509 864.6 4 888 511.3 + 621 353.3
1.13 Sumber : Dinas Tanaman Pangan Jawa Barat, 2005 dan BPS Jawa Barat, 2005.
Pada tahun 2001 produksi padi sawah dan ladang Jawa Barat mencapai 9 166 872 ton GKG apabila dikonversi ke beras sebesar 5 958 466.8 ton beras, dengan populasi
penduduk sebanyak 37 291 946 jiwa dan apabila jumlah kebutuhan per kapita sebanyak 120 kg per tahun, maka surplus beras Jawa Barat dengan memperhitungkan tercecer dan
benih sebesar 887 586.5 ton beras. Berdasarkan rasio antara ketersediaan beras untuk konsumsi dengan jumlah konsumsi, pada tahun 2001 di Jawa Barat mengalami surplus
beras sebesar 20 persen dari tingkat ketersediaan konsumsi beras. Sebanyak 14 kabupaten mengalami surplus beras sedang sisanya dua kabupaten Kabupaten Bogor dan
Kabupaten Bandung serta semua kota di Jawa Barat mengalami defisit beras. Selama
tahun 2001 sampai 2005 pada masa implementasi desentralisasi fiskal Jawa Barat secara umum mengalami surplus beras pada kisaran 13 sampai 20 persen.
Produksi palawija di Jawa Barat masih di bawah kebutuhan penduduk berdasarkan norma gizi, dimana pencapaian produksi komoditas jagung baru mencapai
51.83 persen, umbi-umbian 55.36 persen dan kacang-kacangan 19.82 persen Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, 2005. Pada Tabel 13 ditunjukkan
perkembangan potensi sumber pangan non beras yang dihasilkan Jawa Barat.
Tabel 13. Perkembangan Produksi Sumber Pangan Palawija di Jawa Barat Tahun 2001 – 2005
Ton Nama Pangan
2001 2002
2003 2004
2005 Jagung
464 163 461 930
549 441 587 189
573 263 Kedele
29 790 19 893
29 090 23 712
24 494 Kacang Tanah
66 468 91 867
97 723 100 684
91 817 Kacang Hijau
12 602 11 178
13 950 15 612
13 228 Ubi Kayu
1 800 257 1 661 558
2 074 023 2 054 747
2 044 674 Ubi Jalar
367 786 342 794
389 640 390 382
389 043 Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, 2005.
Indikator kinerja ketahanan pangan dari aspek konsumsi secara agregat diukur dari rata-rata tingkat konsumsi energi dan protein per kapita. Indikator ini memberikan
gambaran kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan gizi, yang ditentukan secara langsung oleh kemampuan daya beli dan perilaku. Pada Gambar 11 ditunjukkan
bahwa konsumsi energi per kapita per hari penduduk Jawa Barat masih belum memenuhi standar kecukupan gizi yaitu sebesar 2200 kkal kapita hari. Perkembangan rata-rata
tingkat konsumsi energi per kapita penduduk Jawa Barat mengalami penurunan, penurunan konsumsi energi pada tahun 1996 – 1999 relatif lebih kecil dibanding
penurunan pada tahun 1999 – 2005 pada masa desentralisasi fiskal. Namun untuk tingkat konsumsi protein sudah memenuhi standar kecukupan gizi yaitu sebesar 52 gram per
kapita per hari, walaupun dalam perkembangannya juga mengalami penurunan tetapi tingkat penurunan tidak sebesar pada penurunan konsumsi energi.
20 40
60 80
100 120
1996 1999
2002 2005
Konsumsi Energi
Konsumsi Protein
Sumber : Susenas BPS, berbagai tahun terbitan. Gambar 11. Perkembangan Persentase Kecukupan Konsumsi
Energi dan Protein per Kapita per Hari Penduduk Jawa Barat
Pencapaian konsumsi energi per kapita penduduk menurut kabupaten kota masih jauh dari Angka Kecukupan Gizi AKG energi 2 200 Kkal, hanya ada satu kota
Bekasi yang pencapaian konsumsi energi diatas 80 persen AKG dan ada empat kabupaten kota yaitu : Kabupaten. Karawang, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Garut
dan Kota Bandung yang pencapaian konsumsi berada diatas 70 - 80 persen. Sedang sisanya merupakan kabupaten kota yang mengalami defisit konsumsi energi
70 persen AKG. Pencapaian konsumsi protein per kapita seluruh kabupaten kota
sudah diatas batas 80 persen AKG, bahkan beberapa kabupaten kota mecapai diatas 100 persen AKG.
Angka rata-rata konsumsi energi di atas belum memberikan gambaran besarnya masalah defisit energi pada populasi penduduk. Kabupaten yang mempunyai.proporsi
rumah tangga mengalami defisit konsumsi energi paling tinggi adalah dialami dua kabupaten, yaitu Majalengka dan Purwakarta. Kabupaten kota dengan proporsi rumah
tangga defisit energi sedang sebanyak sembilan kabupatenkota yaitu : Kabupaten Bogor, Cianjur, Kuningan, Indramayu, Ciamis serta Kota Bogor, Sukabumi, Depok dan
Tasikmalaya dan sisanya merupakan kabupaten kota dengan proporsi rumah tangga defisit energi rendah.
Berdasarkan data pencapaian konsumsi protein terhadap AKG semua kabupaten kota diatas 80 persen, ternayata bila dirinci pada tingkat rumah tangga masih cukup
banyak rumah tangga yang mengalami defisit protein. Kabupaten yang proporsi rumah tangga mengalami defisit protein tinggi adalah Kabupaten Majalengka, Purwakarta dan
Tasikmalaya. Sedang yang termasuk kategori sedang adalah Kabupaten Bogor, Cianjur, Kuningan, Indramayu, Bekasi, Kerawang, Subang, Garut, Ciamis, Kota Bogor, Kota
Sukabumi dan Kota Bandung. Sedang sisanya termasuk kabupaten kota dengan proporsi rumah tangga defisit konsumsi protein rendah.
Indikator lain yang mencerminkan penyerapan pangan oleh tubuh adalah status gizi, dimana status gizi merupakan gambaran kerawanan pangan di tingkat individu.
Rumah tangga dengan ketahanan pangan yang baik, belum menjamin bahwa seluruh anggota keluarga terlindungi dari status gizi yang baik terlebih untuk anggota keluarga
yang peka terhadap kerawanan pangan seperti ibu hamil dan balita. Prevalensi balita gizi
kurang dan buruk merupakan salah satu indikator yang mengambarkan kondisi terjadinya kerawanan pangan pada anggota masyarakat yang peka terhadap kerawanan pangan.
Pada Tabel 14 ditunjukkan bahwa angka prevalensi gizi kurang dan buruk di Jawa Barat secara umum terjadi kecenderungan meningkat, walaupun ada beberapa kabupaten kota
yang mengalami penurunan. Angka prevalensi gizi kurang dan buruk terbesar didapat oleh Kabupaten dan Kota Cirebon yang pada tahun 2005 mencapai seperempat dari
populasi balita yang ada. Tabel 14. Perkembangan dan Keragaan Prevalensi Balita Gizi Kurang dan Buruk
Menurut Kabupaten Kota di Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 – 2005
Kabupaten Kota Balita Gizi Buruk
Tahun 2003 Balita Gizi Buruk
Tahun 2004 Balita Gizi Buruk
Tahun 2005 Kab Bogor
Kab Sukabumi Kab Cianjur
Kab Bandung Kab Garut
Kab Tasikmalaya Kab Ciamis
Kab Kuningan Kab Cirebon
Kab Majalengka Kab Sumedang
Kab Indramayu Kab Subang
Kab Purwakarta Kab Karawang
Kab Bekasi Kota Bogor
Kota Sukabumi Kota Bandung
Kota Cirebon Kota Bekasi
Kota Depok Jawa Barat
14.51 15.01
16.61 11.22
12.93 16.14
13.11 12.20
21.54 12.94
11.93 15.92
10.68 9.12
14.18 10.99
11.48 11.67
10.13 18.04
18.05 10.14
13.57 19.70
20.90 23.00
14.90 21.00
14.60 7.70
17.90 24.70
17.30 17.50
19.90 16.60
16.30 22.30
20.50 21.30
17.10 16.20
26.90 18.40
18.90 18.80
16.58 18.24
23.28 15.20
20.18 14.20
8.26 18.21
25.40 19.55
12.50 23.70
18.20 14.26
24.80 18.70
16.85 13.60
12.30 24.20
16.40 12.50
17.64 Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, 2005.
Angka kematian bayi merupakan salah satu indikator penyerapan pangan, dimana angka kematian bayi merupakan indikator yang bisa mencerminkan perubahan status
sosial dan ekonomi. Tingginya angka kematian bayi di suatu daerah bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti kemiskinan, penyakit infeksi, pendidikan yang rendah, akses ke
pelayanan kebutuhan dasar yang rendah. Angka kematian bayi merupakan jumlah bayi yang mati dalam usia dibawah satu tahun dari 1000 kelahiran.
Tabel 15. Perkembangan dan Keragaan Angka Kematian Bayi Menurut Kabupaten Kota di Wilayah Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 – 2005
Jiwa 1000 Kelahiran Hidup Kabupaten Kota
Angka Kematian Bayi Tahun 2003
Angka Kematian Bayi Tahun 2004
Angka Kematian Bayi Tahun 2005
Kab Bogor Kab Sukabumi
Kab Cianjur Kab Bandung
Kab Garut Kab Tasikmalaya
Kab Ciamis Kab Kuningan
Kab Cirebon Kab Majalengka
Kab Sumedang Kab Indramayu
Kab Subang Kab Purwakarta
Kab Karawang Kab Bekasi
Kota Bogor Kota Sukabumi
Kota Bandung Kota Cirebon
Kota Bekasi Kota Depok
Jawa Barat
53.54 58.67
60.00 40.67
57.01 54.90
56.75 48.77
55.00 55.25
42.37 64.58
47.67 63.41
60.30 51.00
29.00 40.26
36.21 39.33
40.30 44.20
49.96 47.41
51.45 52.10
38.50 56.98
55.50 53.51
48.50 54.70
49.78 41.85
55.64 42.39
57.32 58.50
50.22 28.47
38.96 36.10
37.71 35.54
33.38 46.57
45.85 44.50
54.00 38.76
48.76 53.40
56.70 49.30
52.80 56.40
44.20 66.20
49.45 62.58
60.48 52.60
25.80 41.70
32.30 38.20
34.80 32.40
43.70
Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat, 2005.
Angka harapan hidup merupakan indikator yang dapat menggambarkan dampak kerawanan pangan yang terjadi di suatu wilayah. Umur harapan hidup dipengaruhi oleh
kondisi kesehatan termasuk status gizi. Seseorang yang sejak lahir hingga usia lanjut hidup dengan kondisi kesehatan, sosial, ekonomi yang baik lebih berpeluang mencapai
usia hidup yang tinggi. Berikut disajikan perkembangan dan keragaan angka harapan hidup menurut kabupaten kota di Jawa Barat.
Tabel 16. Perkembangan dan Keragaan Harapan Hidup Menurut Kabupaten Kota di Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 – 2005
Tahun Kabupaten Kota
Angka Harapan Hidup 2003
Angka Harapan Hidup 2004
Angka Harapan Hidup 2005
Kab Bogor Kab Sukabumi
Kab Cianjur Kab Bandung
Kab Garut Kab Tasikmalaya
Kab Ciamis Kab Kuningan
Kab Cirebon Kab Majalengka
Kab Sumedang Kab Indramayu
Kab Subang Kab Purwakarta
Kab Karawang Kab Bekasi
Kota Bogor Kota Sukabumi
Kota Bandung Kota Cirebon
Kota Bekasi Kota Depok
Jawa Barat 66.10
63.00 64.10
66.80 59.90
66.10 64.00
65.10 63.30
63.50 66.70
63.70 65.60
64.10 62.90
67.00 68.00
66.20 68.80
67.60 68.10
71.80 64.50
67.20 65.10
64.60 68.45
62.30 66.60
65.10 65.90
62.80 67.00
67.80 64.20
66.50 64.80
65.80 68.50
68.40 67.50
70.80 68.20
69.60 71.90
65.70 68.85
65.70 65.65
70.20 63.20
65.35 65.85
66.65 64.10
67.40 67.87
64.08 66.95
65.97 65.08
68.13 71.30
69.10 71.50
70.60 70.80
72.10 66.80
Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat, 2005.
Secara nasional usia harapan hidup telah mengalami peningkatan demikian pula dengan Jawa Barat. Pencapaian angka harapan hidup ternyata tidak harus sejalan dengan
peningkatan ekonomi semata tetapi juga dominan dipengaruhi faktor pendidikan dan kesehatan. Pencapaian angka harapan hidup di daerah perkotaan relatif lebih tinggi
dibanding daerah perdesaan.
VI. KERAGAAN MODEL DAN PEMBAHASAN