Kebijakan Ekspor Kopi Dari Luar Negeri

5.1.2. Kebijakan Ekspor Kopi Dari Luar Negeri

a. Kebijakan Kuota Ekspor oleh ICO Kuota ekspor kopi merupakan cara yang dilakukan oleh ICO untuk mengatur lalu lintas perdagangan kopi internasional. Munculnya bencana alam, perubahan supply kopi dunia serta perubahan harga menyebabkan ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran. Ketidakseimbangan ini mendorong ICO sebagai organisasi internasional saat itu untuk membentuk suatu mekanisme perdagangan yang dapat menguntungkan semua pihak. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan yaitu penetapan kuota ekspor dan kuota impor bagi negara-negara anggota ICO tersebut. Pada tahun 1962 diselenggarakan konferensi diantara negara-negara eksportir kopi dunia dan berhasil menetapkan International Coffee Agreement ICA 1962 yang menghasilkan persetujuan untuk mengendalikan supply kopi ke pasar dunia. Oleh karena adanya penyakit kopi dan frost bencana iklim yang dingin dan kering di Brazil, produksi kopi Brazil menurun drastis sehingga harga melonjak tajam. Menghadapi situasi tersebut, ICO tidak memberlakukan sistem kuota sejak Oktober 1972. Pada periode 1980-1985, harga kopi melemah sebagai akibat kelebihan produksi dan resesi ekonomi. ICO kembali melakukan sistem kuota. Pada tahun 1986, kembali terjadi kekeringan di Brazil sehingga harga kopi melonjak tajam. ICO tidak bisa lagi mempertahankan mekanisme kuota sehingga pasar kopi kembali dibebaskan. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama, dimana gejolak harga kopi dunia yang merugikan produsen menyebabkan kuota diberlakukan kembali, dan barulah pada tanggal 14 Juli 1989 kuota dibekukan secara permanen, artinya eksportir dapat mengekspor kopi secara bebas ke negara- negara anggota ICO dan non ICO. ICA sebenarnya dimaksudkan untuk mencapai keseimbangan antara produksi dan konsumsi sehingga harga diharapkan relatif stabil. Namun seperti kebanyakan nasib agreement komoditas lainnya, ICA dinilai belum berhasil terutama dalam menjaga stabilitas harga. ICA direvisi oleh negara-negara anggota ICO secara rutin, karena mengikuti kondisi perkopian internasional pada tahun berlaku. Semenjak kuota tidak diberlakukan lagi, ICA tetap direvisi secara rutin walaupun tidak setiap tahun. Akan tetapi agreement yang dicantumkan hanya berupa keanggotaan, susunan struktur kepengurusan ICO, keuangan, program- program dalam promosi kopi, dan hasil studi tentang kopi. Aturan-aturan ICA sudah tidak memiliki “greget” lagi diantara para anggota ICO, karena peraturan yang dibuatnya tidak memiliki sanksi yang jelas. ICA sulit menerapkan sanksi karena peraturan yang dibuat tersebut tidak mengikat dan tidak ada pengawasan bagi para anggota. Namun demikian, kenyataan menunjukkan tanpa adanya regulasi terhadap perdagangan kopi menyebabkan harga kopi dunia akan turun pada tingkat yang sangat rendah. Keadaan ini sangat merugikan produsen kopi dan hanya akan menguntungkan konsumen kopi dunia. Pada tahun 1991 tersebut, terbentuklah lembaga internasional Association of Coffee Producing Countries ACPC yang kemudian melahirkan kebijakan stock retention plan yang pada gilirannya dapat mengendalikan harga kopi pada tingkat yang wajar. b. Kebijakan Retensi Stok oleh ACPC Kebijakan retensi stok oleh ACPC pada dasarnya adalah kebijakan perdagangan yang mengatur tersedianya pasok dalam jumlah yang cukup pada tingkat harga yang sesuai bagi konsumen dan produsen. Tujuan utama retensi stok adalah untuk menjaga stabilitas harga kopi dunia pada tingkat yang tidak merugikan produsen tetapi juga tidak membebani konsumen. Besarnya retensi kopi adalah persentase dari volume ekspor ketika setiap kali eksportir mengekspor, yang selanjutnya ditahan di gudang sebagai stok. Besarnya retensi kopi dapat berubah-ubah tergantung pada tingkat harga indikator yang terjadi. Ada empat tahap yaitu tahap retensi, tahap netral, tahap pelepasan stok dan tahap pemberlakuan kembali retensi. Tahap retensi diberlakukan ketika harga indikator kopi sampai dengan US cents 60,00 lbs untuk kopi robusta, dimana pada saat eksportir membeli kopi dari produsen wajib menyimpan retensi sebesar 20 persen dari volume kopi yang diekspor. Tahap netral berlaku pada tingkat harga US cents 60,1 lbs hingga US cents 65,00 lbs untuk kopi Robusta, dimana pada saat eksportir membeli kopi dari produsen wajib menyimpan retensi sebesar 10 persen dari volume kopi yang diekspor. Tahap pelepasan stok berlaku saat harga komposit kopi Robusta mencapai US cents 65,01 lbs hingga US cents 70,00 lbs, dimana saat eksportir membeli kopi dari produsen wajib menyimpan retensi sebesar 0 persen dari volume kopi yang diekspor. Tahap retensi baru yaitu setelah hasil retensi dilepas maka dibentuk tahap retensi baru dengan tingkat harga indikator yang semula. Kebijakan retensi stok sebenarnya ingin diterapkan di Indonesia pada tahun 1991. Akan tetapi pada saat itu Indonesia merasa belum siap untuk menerapkan retensi stok dan meminta pengunduran selama 1 tahun. Akhirnya Indonesia berencana untuk menerapkan retensi stok pada tahun 1992. Akan tetapi pada tahun 1992 itu saat Indonesia akan menerapkan retensi stok, terjadi shock penurunan supply kopi dunia yang diakibatkan terjadinya frost di Brazil dan dikhawatirkan akan mendorong harga kopi dunia melonjak naik. Karena kejadian tersebut Indonesia membatalkan rencana untuk menerapkan retensi stok, dan setelah kejadian tersebut Indonesia tidak pernah menerapkan retensi stok kopi dari ACPC. Organisasi ACPC saat ini dapat dikatakan sudah tidak ada karena sudah tidak pernah ada kegiatan yang dilaksanakan walaupun sampai saat ini ACPC masih belum dibubarkan. c. Kebijakan Mengenai Keamanan Pangan, Kesehatan, dan Lingkungan Semenjak tahun 2004 setiap negara mulai memperhatikan berbagai masalah mengenai keamanan pangan, kesehatan dan lingkungan dalam menjalankan kegiatan perdagangan dengan negara lain. Tidak terkecuali dalam perdagangan internasional komoditi kopi, berbagai persyaratan mutu yang tinggi diterapkan oleh setiap negara bagi kopi yang diimpornya. Ada beberapa kriteria yang ditetapkan oleh negara-negara importir kopi, tetapi yang menjadi perhatian utama dalam kurun waktu belakangan ini antara lain mengenai kandungan obat bahan kimia dan pestisida dalam kopi serta kandungan toksin dalam kopi. Masing-masing negara memiliki kriteria tertentu, dan apabila tidak memenuhi kriteria tersebut maka mereka tidak segan untuk mengembalikan kopi yang diimpor ke negara asalnya. Diantara negara-negara importir kopi dari Indonesia, negara seperti Jepang, negara Eropa dan Amerika merupakan konsumen yang sangat ketat dalam pemberlakuan kebijakan tersebut. Negara-negara tersebut mengeluarkan suatu kriteria mutu kopi yang boleh masuk ke negaranya. Karena keterbatasan sumber dan informasi, kriteria yang ditetapkan oleh masing-masing negara tidak dapat ditampilkan dalam penelitian ini. Mengenai masalah kriteria keamanan pangan dan kesehatan, negara pengimpor biasanya akan menghubungi Kedutaan Besar Republik Indonesia yang ada di masing-masing negara apabila ada kopi yang melewati ambang batas kandungan toksin atau pestisida, lalu informasi tersebut diberikan ke Departemen Perdagangan. Jepang, Uni Eropa dan Amerika sudah secara resmi menerapkan ambang batas Pesticide Residue. Masing-masing negara memiliki pertimbangan sendiri tentang ambang batas dari bahan kimia atau pestisida berbahaya yang terkandung dalam bahan makanan yang diimpornya. Restriksi tersebut akan memberatkan Indonesia karena negara-negara tersebut merupakan pasar potensial bagi kopi Indonesia. Selain itu dikhawatirkan kopi Indonesia tidak akan lolos ambang batas tersebut karena kopi dari perkebunan rakyat tidak dapat dikontrol oleh pemerintah mengenai penggunaan pestisida.

5.1.3. Evaluasi Kebijakan Ekspor Kopi yang Ada dan Pernah Ada