dikombinasikan dengan peristiwa pertumbuhan terumbu yang bergerak ke atas akibat kenaikan muka air laut.
Ketiga tipe di atas dapat mengalami modifikasi akibat perubahan kondisi geografis atau kejadian-kejadian tektonik. Modifikasi tersebut adalah pemisahan
bagian terumbu menjadi kelompok-kelompok kecil terumbu dalam rangkaian terumbu utama atau dikenal juga dengan patch reef. Tipe terumbu lain adalah
terumbu laut dalam yang sampai sekarang masih belum banyak teori yang mengungkap asal usul kejadiannya.
2.3 Persyaratan ligkungan
Sebaran terumbu dengan tipe-tipe seperti di atas dibatasi oleh beberapa faktor lingkungan antara lain temperatur, cahaya kejernihan dan kedalaman,
salinitas dan nutrien perairan. Pott dan Jacobs 2002 dari Vaunghan dan Wells, 1943 ; Wells, 1956 ; Newell, 1971 ; Fagerstrom, 1987 ; Veron, 1995 ; Hallock,
1997, dan Wood, 1999 menerangkan kondisi lingkungan optimal dan ekstrim terumbu karang seperti pada table berikut ini:
Tabel 1. Kondisi lingkungan optimal bagi terumbu dan biota karang pembentuk
terumbu KONDISI LINGKUNGAN
OPTIMAL EKSTRIM
Kedalaman meter 0-20
1-2 Kedalaman maksimum
perkiraan 100 15
Temperatur
o
C 18 - 32
10 dan 40 Lintang
28
o
LU - 32
o
LS 40
o
LS Salinitas
o oo
Perkiraan 34-36 25 dan 40
Nutrien Sangat rendah
Tinggi – Sangat Tinggi Sedimen
Rendah Tinggi
Turbiditi Rendah
Tinggi Cahaya
Tinggi Rendah
Oksigen Tinggi
Selalu rendah Stabilitas habitat
Tinggi Rendah
Arus cukup
Tidak ada gerakan
Umumnya terumbu karang berkembang baik pada perairan dangkal pesisir dan laut tropis dimana penetrasi cahaya matahari masih sampai ke dasar perairan.
Veron 1995 dan Wallace 1998 mengemukakan bahwa ekosistem terumbu karang adalah unik karena umumnya hanya terdapat di perairan tropis, sangat
sensitif terhadap perubahan lingkungan terutama suhu, salinitas, sedimentasi, eutrofikasi dan memerlukan kualitas perairan alami. Disamping itu untuk hidup
biota karang pembentuk terumbu membutuhkan suhu air yang hangat berkisar antara 25-32
o
C Sorokin, 1993 ; Veron, 1995 ; Nybakken, 1988 ; Nybaken dan Bertenss, 2005. Pada perubahan suhu perairan akibat pemanasan global yang
melanda perairan tropis di tahun 1998 telah menyebabkan pemutihan karang coral bleaching yang diikuti dengan kematian massal mencapai 90-95 Oliver
et al., 2004. Suharsono 1999 mencatat selama peristiwa pemutihan tersebut, rata-rata kenaikan suhu permukaan air di perairan Indonesia adalah 2-3
o
C di atas suhu normal.
Selain dari perubahan suhu, maka perubahan pada salinitas juga akan mempengaruhi terumbu karang. Birkeland 1997 menyebutkan bahwa terumbu
karang sangat berkembang baik pada salinitas air laut mendekati 35
o oo,
namun kondisi ini sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti pemasukan air
tawar. Hal ini sesuai dengan penjelasan McCook 1999 bahwa curah hujan yang tinggi dan aliran permukaan dari daratan mainland run off dapat membunuh
terumbu karang melalui peningkatan sedimen dan terjadinya penurunan salinitas air laut. Dampak selanjutnya adalah kelebihan zat hara nutrient overload
berkontribusi terhadap degradasi terumbu karang melalui peningkatan pertumbuhan makroalga yang melimpah overgrowth terhadap karang.
2.4 Biologi Biota Karang Batu 2.4.1 Taksonomi