Feminisme Psikoanalisis dan Gender Feminisme Eksistensialis

melakukan perubahan struktur kelas dan pemutusan hubungan dengan sistem kapitalis internasional. Paham yang dikemukakan oleh feminisme marxis sama dengan feminisme soaialis, yaitu bahwa penindasan perempuan terjadi dari kelas manapun, bahkan revolusi sosialis ternyata tidak serta merta menaikkan posisi perempuan. Atas dasar itulah mereka meletakan eksploitasi sebagai dasar penindasan gender.

4. Feminisme Psikoanalisis dan Gender

Feminisme psikoanalisis dan gender memfokuskan diri pada mikrosmos seorang individu, dan mengklaim bahwa akar opresi terhadap perempuan sesunguhnya tertanam pada psike seorang perempuan Tong 2006:7. Feminisme psikoanalisis bertolak dari Freud yang menekankan seksualitas sebagai unsur yang penting yang membedakan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan ini berakar pada perbedaan psikis laki-laki dan perempuan yang disebabkan oleh perbedaan biologis antar keduanya. Faktor penentu tentang terjadinya sistem kekuasaan yang patriarki dalam masyarakat dan keluarga. Pendapat yang dikemukakan Freud mendapat kririkan dari kaum feminis. Mereka berpendapat bahwa kedudukan sosial dan ketidakberdayaan perempuan tidak ada kaitannya dengan biologis perempuan. Sifat feminis yang dimiliki perempuan adalah ciptaan masyarakat. Berlawanan dengan feinisme sebelumnya, feminisme psikoanalisis dan gender ini percaya bahwa penjelasan fundamental atas cara bertindak perempuan berakar dalam psike perempuan, terutama dalam cara berpikir perempuan Tong 2006:190 Feminisme gender, seperti juga feminis psikoanalisis sama-sama memikirkan psike perempuan, namun feminis gender juga menggali hubungan antar psikologi dan moralitas perempuan Tong 2006:190.

5. Feminisme Eksistensialis

Pelopor feminisme eksistensialis adalah Simon de Beauvior, pengarang buku The Second Sex. Menrut Beauvior dalam Tong 2006:281-282 seorang perempuan tidak harus merasa rendah, harus dapat merasa bangga dengan tubuhnya, dan seksualitasnya. Setiap orang dapat menjadi bangga dengan tubuhnya, tetapi jangan menempatkan tubuh sebagai pusat dari jagad ini. Tubuh perempuan tidak harus menjadi dasar untuk bereksistensi, setiap perempuan harus membentuk cara bereksistensinya sendiri yang mungkin berebeda dengan perempuan lain. Setiap perempuan harus menggariskan nasibnya sendiri. Beauvior menyadari situasi hukum, politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan yang menghambat perempuan. Tidak ada seorang pun yang dapat menghambat perempuan yang berketetapan hati untuk maju.

6. Feminisme Postmodern