umum serta dominasi laki-laki terhadap perempuan pada khususnya.
2.2.3. Citra Perempuan
Menurut Philip Kotler, citra adalah seperangkat keyakinan, ide, dan kesan yang dimiliki seseorang terhadap suatu obyek 1997:259. Sutisna
mengemukakan, Citra adalah total persepsi terhadap suatu obyek yang dibentuk dengan memproses informasi dari berbagai sumber setiap waktu 2001:183. Citra
didefinisikan Buchari Alma sebagai, kesan yang diperoleh sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman seseorang tentang sesuatu 2002:317. Citra
menurut Rhenald Kasali, yaitu kesan yang timbul karena pemahaman akan suatu kenyataan 2003:28. Pendapat-pendapat tersebut, citra adalah kesan suatu obyek
terhadap obyek lain yang terbentuk dengan memproses informasi. Citra perempuan menurut Sugihastuti 2000: 121 adalah gambaran
tentang peran perempuan dalam kehidupan sosialnya. Perempuan dicitrakan
sebagai insan yang memberikan alternative baru sehingga menyebabkan kaum
pria dan perempuan memikirkan tentang kemampuan perempuan pada saat sekarang.
Citra perempuan adalah makhluk sosial, yang hubungannya dengan manusia lain dapat bersifat khusus maupun umum tergantung kepada bentuk
hubungan itu. Hubungan perempuan dalam masyarakat dimulai dari hubungannya dengan orang-seorang, antar orang, sampai ke hubungan dengan masyarakat
umum. Termasuk ke dalam hubungan orang-seorang adalah hubungan perempuan dengan pria dalam masyarakat Sugihastuti, 2002: 125.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, KBBI 2005: 216 pengertian citra
adalah rupa, gambar. Makna lainnya adalah kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frasa atau kalimat dan merupakan unsur dasar yang
khas di karya prosa dan puisi. Wanita Jawa dituntut untuk sabar, legawa, dan patuh, wanita Jawa juga
dituntut mencitrakan
kecerdasan, kewibawaan,
dan berakhlakulkarimah
http:jurnal.pdii.lipi.go.idadminjurnal361085965.pdf
diunduh pada tanggal 25 April 2011.
Citra wanita meliputi gambaran perempuan dalam citra fisik, citra perilaku, citra psikis, dan citra sosial Armani 2007: 1. Di samping itu, kajian ini
menitikberatkan pada masalah citra wanita yang terlkandung di dalam novel seperti masalah keluarga, perkawinan, serta nilai keindahan, kelembutan, dan kerendahan
hati. Ki Ageng Suryomentaram dalam Sastroatmodjo pada tahun 1928, pernah
mengajarkan, bahwa kaum wanita hendaknya memenuhi kriteria lima pancadan guna mendapatkan kesempurnaan dumadi yaitu :
1. Wanita kedah bekti, semanggem miwah sumungkem wanita harus berbakti,
mematuhi dan bersujud kepada tanah air dan bangsa. 2.
Wanita kedah ririh, ruruh, rereh wanita hendaknya melatih kelembutan, kestabilan emosi, keteduhan sikap dan tenang dikala menghadapi problema.
3. Wanita kedah tajem, jinem, premanem wanita hendaknya mantap dan
terkonsentrasi dalam kehadirannya di tengah masyarakat. Teguh, mantap, namun sigap mengatasi segala hal.
4. Wanita kedah wingit, lantip, lepas ing panggraita wanita harus cerdas, leih
banyak tekun-cermat-teladan, dan cepat menanggapi getaran-getaran seputar.
5. Wanita kedah gemi, nastiti, surti, ngati-ati wanita haruslah pandai berhemat,
tidak konsumtif berlebihan, hati-hati dalam menyimpan penghasilan suaminya, dan pandai menyusun anggaran.
Ajaran-ajaran tersebut harusnya masih dijunjung tinggi wanita-wanita maupun perempuan-perempuan pada jaman sekarang. Kriteria yang disebutkan
oleh Ki Ageng Suryomentaram memang sudah sangat lama sekali, tetapi masih sangat relevan untuk menjadikan wanita yang bermoral dan terhormat.
Citra pribadi merupakan penggambaran diri seseorang. Citra pribadi dapat dianalisis berdasarkan citra fisik, citra perilaku, citra psikis, dan citra sosial. Untuk
menganalisi citra diri tokoh perempuan dalam novel Cintrong Paju-Pat maka harus diketahui struktur yang ada pada novel tersebut. Struktur pada novel dapat dianalisis
menggunakan teori tokoh dan penokohan. Dibawah ini dijelaskan mengenai teori tokoh dan penokohan.
2.2.4. Tokoh dan Penokohan