memikirkan psike perempuan, namun feminis gender juga menggali hubungan antar psikologi dan moralitas perempuan Tong 2006:190.
5. Feminisme Eksistensialis
Pelopor feminisme eksistensialis adalah Simon de Beauvior, pengarang buku The Second Sex. Menrut Beauvior dalam Tong 2006:281-282 seorang
perempuan tidak harus merasa rendah, harus dapat merasa bangga dengan tubuhnya, dan seksualitasnya. Setiap orang dapat menjadi bangga dengan
tubuhnya, tetapi jangan menempatkan tubuh sebagai pusat dari jagad ini. Tubuh perempuan tidak harus menjadi dasar untuk bereksistensi, setiap perempuan harus
membentuk cara bereksistensinya sendiri yang mungkin berebeda dengan perempuan lain. Setiap perempuan harus menggariskan nasibnya sendiri.
Beauvior menyadari situasi hukum, politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan yang menghambat perempuan. Tidak ada seorang pun yang dapat menghambat
perempuan yang berketetapan hati untuk maju.
6. Feminisme Postmodern
Feminisme posmodern mengakui bahwa sangatlah sulit untuk menentang tatanan simbolik, ketika kata-kata yang tersedia yang dapat menantang tatanan itu
adalah kata-kata yang dilahirkan oleh tatanan tersebut. Feminisme posmodern tetap merupakan perekmbangan yang paling menggembirakan dari pemikiran
feminis kontemporer. Laki-laiki seperti juga perempuan juga dapat belajar dari feminisme posmodern dalam perayaan mereka atas keberagaman.
Perempuan mungkin juga dapat merugi dalam penerimaan mereka atas perbedaan ras, kelas, kecenderungan seksual, etnisitas, kebudayaan, umur, agama,
dan sebagainya Christine Stefano dalam Tong 2006:308.
7. Feminisme Multikultural dan Global
Feminisme Multikultural dan Global berbagi kesamaan dalam cara pandang mereka terhadap diri, yaitu diri adalah terpecah. Keterpecahan ini
bersifat budaya, rasial, dan etnik daripada seksual, psikologis, dan sastrawi. Aliran feminisme ini menentang “esensialis perempuan”, yaitu pandangan bahwa
gagasan tentang perempuan ada sebagai bentuk platonik, yang seolah oleh setiap perempuan dengan darah dan daging, dapat sesuai dalam kategori itu. Kedua
pandangan feminisme ini juga menafikan “chavinisme perempuan”, yaitu kecendeerungan dari segelintir perempuan, yang diuntungkan karena ras atau
kelas mereka, misalnya untuk berbicara atas nama perempuan lain Tong 2006:309.
8. Ekofeminisme
Aliran ekofeminisme berusaha untuk menunjukan hubungan antara semua bentuk opresi manusia, tetapi juga memfokuskan pada usaha manusia untuk
mendominasi dunia bukan manusia, atau alam. Karena perempuan secara hubungan kultural dikaitkan dengan alam, ekofeminis berpendapat ada hubungan
koseptual, simbolik, dan linguistik antara feminis dan isu ekologi Tong 2006:356.
Karen dalam Tong 2006:359 keyakinan, nilai, sikap, dan asumsi dasar dunia Barat atas dirinya sendiri dan orang-orangnya dibentuk oleh bingkai pikir
konseptual patriarkal yang opresif, yang bertujuan untuk menjelaskan, membenarkan, dan menjaga hubungan antara dominasi dan subordinasi secara
umum serta dominasi laki-laki terhadap perempuan pada khususnya.
2.2.3. Citra Perempuan