Proses dan Praktik Melakukan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi

2. Proses dan Praktik Melakukan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi

Dasar Hukum Kejaksaan dalam melakukan penyidikan Tindak Pidana Korupsi adalah : 1. Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 39 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 serta Pasal 39 UU No. 30 Tahun 2002. 2. Pasal 248 ayat 2 UU No. 8 Tahun 1981. 3. Pasal 30 UU No. 16 Tahun 2004 4. Pasal 17 PP No. 27 1983. 5. Pasal 44 Keppres No. 31 Tahun 1983, Keppres No. 228 Tahun1967, Inpres No. 15 Tahun 1983, Keppres 11 Tahun 2005. 6. Putusan Mahkamah Agung RI No. 1604KPid1990 tanggal 10 November 1994 dan Fatwa KMA No. KMA102III2005 tanggal 9 Maret 2005 Materi Tindak Pidana Korupsi merupakan bagian dari Hukum Pidana Khusus Ius Speciale, Ius Singulare Bijzonder Strafrecht dan pihak yang berhak melakukan penyidikan terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi adalah Pihak Kejaksaan. 34 1. Bahwa sebagai bagian dari hukum pidana khusus Ius Speciale, Ius Singulare Bijzonder Strafrecht, modus operandi dan aspek pembuktian dari Tindak Pidana Korupsi harus ditangani secara lebih spesifik sehingga dibutuhkan keterampilan dan profesionalisme tertentu. Yang menjadi dasar bahwa pihak Kejaksaan berhak melakukan peyidikan perkara Tindak Pidana Korupsi didukung argumentasi adalah : 2. Keppres No. 228 Tahun 1967 tanggal 2 Desember 1967 tentang pembentukan Tim Pemberantasan yang ditentukan Ketua Timnya adalah Jaksa Agung yang 34 Ibid hal 132 – hal 137 Universitas Sumatera Utara secara yuridis berdasarkan ketentuan Pasal 284 ayat 2 KUHAP yang berbunyi “dalam dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.” berdasarkan ketentuan Pasal 30 huruf d UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan berdasarkan ketentuan Pasal 17 “Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 yang dimungkinkan untuk Tindak Pidana Korupsi disidik dan dituntut oleh Pihak Kejaksaan. 3. Instruksi Presiden RI No. 15 Tahun 1983 dan Keppres RI No. 15 Tahun 1991 yang pada pokoknya ditentukan bahwa dalam pedoman pelaksanaan pengawasan, Para Menteri Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Depertemen Pimpinan Instansi lainnya yang bersangkutan setelah menerima laporan, melakukan pengaduan tindak pidana dengan menyerahkan kepada Kepala Kejaksaan Republik Indonesia dalam hal terdapat indikasi tindak pidana khusus, seperti korupsi. 4. Bahwa dengan bertitik tolak kepada Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Korupsi No. R-124FFpk.171995 tanggal 24 Juli 1995 dalam angka 2 berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI No. 1604KPid1990 tanggal 10 November 1994 dalam perkara Tindak Pidana Korupsi yang telah ditolak Majelis Hakim dengan alasan bahwa berkas perkara tidak lengkap, oleh karena perkaranya disidik Penyidik Umum Polri dan berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 55 Tahun 1991 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI yang terakhir diubah dengan Keppres No. 86 Tahun 1999 pada Baba II Universitas Sumatera Utara Bagian Pertama Pasal 4 angka 6 adanya Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus yang pada Pasal 22 angka 3 Keppres 86 Tahun 1999 membawahi Direktorat Tindak Pidana Korupsi dan Keputusan Jaksa Agung RI No. KEPJA- 035J.A31992 tanggal 22 Maret 1992 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, yang kemudian diubah dengan Keputusan Jaksa Agung RI No. KEPJA-115J.A101999 tanggal 20 Oktober 1999, dan diubah kembali dengan Keputusan Jaksa RI No. KEPJA-558J.AXII2003 tanggal 17 Desember 2003 pada Bab XVIII Bagian Pertama Pasal 569 tentang Kejaksaan Negeri yang dalam Pasal 573 angka 6 Susunan Organisasi Kejaksaan Tinggi adalah Asisten Tindak Pidana Khusus yang terdiri dari Seksi Tindak Pidana Korupsi Pasal 627 ayat 1 angka 2. Untuk tingkat Kejaksaan Negeri yang tergolong Tipe A Pasal 692 ayat 1 angka 5 salah satu bagian adalah Seksi Tindak Pidana Khusus dan berdasarkan Pasal 708 ayat 1 angka 2, salah satu subseksi Tindak Pidana Korupsi dan pada Kejaksaan Negeri Tipe B berdasarkan Pasal 718 ayat 1 angka 5 adalah Seksi Tindak Pidana Khusus, Perdata dan Tata Usaha Negara. 5. Ketentuan Pasal 26 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, yang menyatakan bahwa : “Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.” Ketentuan Pasal 27 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, yang menentukan bahwa : Universitas Sumatera Utara “Dalam menentukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, dapat dibentuk tim gabungan dibawah koordinasi Jaksa Agung.” Pada ketentuan Pasal 39 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001, yang menetukan bahwa : “Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan besama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer.” Yang dimaksud dengan mengkoordinasikan yang terdapat dalam Pasal 39 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 adalah kewenangan Jaksa Agung sesuai dengan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan yang sesuai dengan ketentuan Pasal 39 UU No. 30 Tahun 2002, yang menyatakan bahwa : “Penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan Undang- Undang No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.” Berdasarkan ketentuan Pasal 30 ayat 1 huruf d Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang menyatakan bahwa : Di bidang pidana Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.” Dalam penjelasan Pasal 30 ayat 1 huruf d menyebutkan : “Kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Universitas Sumatera Utara Asasi Manusia dan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.” 6. Fatwa Mahkamah Agung Republik Indonesia No. KMA102III 2005 yang menentukan bahwa Jaksa berwenang melakukan penyidikan terhadap perkara tindak pidana korupsi pasca berlakunya UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 dengan berdasar pada ketentuan Pasal 26, Pasal 27 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, Pasal 284 ayat 2 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana KUHAP, Pasal 17 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 dan Pasal 30 ayat 1 huruf d UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Proses penyidikan yang dilakukan oleh Pihak Kejaksaan terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi adalah bahwa Berdasarkan Keputusan Jaksa Agung RI No. KEP-518 AJ.A112001 tanggal 1 November 2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia No. Kep-132 J.A111994 tanggal 7 November 1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana dan kelaziman praktik penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi, modus operandi terungkapnya perkara korupsi dapat karena adanya inisiatif penyidik sendiri atau karena laporaninformasi seseorang tentang telah terjadinya Tindak Pidana Korupsi. Dalam praktik laporan informasi ini mempergunakan bentuk P-l. Pada dasarnya, bentuk penerima laporan berisikan tentang hari, tanggal, tempat, identitas lengkap penerima dan pemberi laporan Nama, Pangkat, NIP, Jabatan dan Kop Kejaksaan Setempat. Apabila pelapor meminta identitas dirinya dilindungi dalam Universitas Sumatera Utara Tindak Pidana Korupsi, permintaan tersebut dicantumkan di dalamnya. Kemudian, dicatat pula tentang isi yang dilaporkan dan laporan itu dibuat atas dasar sumpah jabatan serta ditandatangani oleh Jaksa penerima laporan dengan administrasi turunan kepada DirekturKajatiKajariKacabjari dan Arsip. Atas dasar hal tersebut, Kejaksaan kemudian meng-eliminir, apabila laporan itu bersifat informasi ditangani seksi intelijen dan kalau sudah merupakan laporan terjadinya tindak pidana, langsung ditangani oleh seksi Tindak Pidana KhususKejaksaan Negeri Tipe A atau seksi Tindak Pidana khusus, Perdata dan Tata UsahaNegara Kejaksaan Negeri Tipe B. Dalam praktik, lazim untuk Tindak Pidana Korupsi bentuk laporan bersifat informasi saja yang banyak dilaporkan dan ditemukan. Apabila informasi perkara korupsi tersebut hanya melingkupi salah satusatu kabupaten saja, akan ditangani oleh Kepala Kejaksaan Negeri Kajari setempat, sedangkan apabila melingkupi beberapa kabupaten, akan ditangani oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Kajati. Dari Hasil seksi intelijen mendapatkan indikasi bahwa informasi tersebut mengandung kebenaran, hasil tersebut akan dipaparkan pra-ekspose dan apabila kemudian ternyata belum lengkap, akan dilengkapi, sedangkan bila telah lengkap lalu dibuat dalam bentuk laporan intelijen khusus bahwa perkara tersebut dapat dilakukan penyelidikan. Kemudian, Kepala Kejaksaan Negeri Kajari setempat mengeluarkan Surat Perintah Penyelidikan dalam bentuk P-2 dengan perintah kepada Jaksa Penyelidik melaksanakan penyelidikan. Secara administrasi, turunan P-2 dibuat rangkap 3 tiga, yaitu untuk yang bersangkutan, kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Kajari apabila penyelidikan dilakukan oleh KajariKacabjari dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Jam Pidsus apabila penyelidikannya dilakukan oleh Direktur dan Arsip. Universitas Sumatera Utara Dengan bertitik tolak Surat Perintah Penyelidikan tersebut, jaksa Penyelidik membuat Rencana Penyelidikan dengan bentuk P-3 dan dibuat dalam rangkap 3 tiga dengan turunan kepada Kasubdit Penyidikan Ass. PidsusKasi Pidsus kemudian dipergunakan sesuai dengan kebutuhan serta satu lembar turunan untuk arsip. Setelah rencana penyelidikan ini selesai dilakukan, kemudian dilakukan penyelidikan dengan meminta keterangan sesuai P-4 dibuat 3 tiga hari sebelum hari pertemuan yang ditentukan dalam surat permintaan keterangan, kemudian melalui bukti surat dan lain-lain. Apabila penyelidikan telah selesai, JaksPenyelidikemudiamelaporkan hasil penyelidikan tersebut dalam bentuk P-5 dengan berdasarkan pada hasil penyelidikan dan akhirnya memberikan kesimpulanpendapat dan saran, terhadap hasil penyelidikannya. Pada tahap ini sebelum dilakukan penyelidikan, dalam praktik dikcnal adanya suatu tahap yang dikenal dengan tahap pra-eksposepemapamn kembali perkara, disertai pembuatan Matrik Perkara berupa P-6. Proses pra-eksposepemaparan perkara dilakukan oleh Jaksa Penyelidik dibuat turunantembusan sesuai kebutuhan dengan titik tolak peserta pemaparan dan pada saat pemaparan suatu perkara biasanya diperlukan alat bantu berupa: a. Chart yang berupa gambar penguraian modus operandi perkara yang bersangkutan, yakni : • Uraian tentang perbuatan-perbuatan yang seharusnya dilakukan tersangkaterdakwa berdasarkan ketentuan peraturan yang berlaku; • Uraian modus operandiperbuatan yang dilakukan oleh tersangkaterdakwa • Pasal yang dilanggar. Universitas Sumatera Utara b. Matrik yang berisikan uraian tentang unsur-unsur pasal yang disangkakan diterapkan dengan uraian fakta-fakta perbuatan yang dilakukan oleh tersangkaterdakwa serta dukungan alat bukti dan barang bukti lainnya. Apabila dari hasil penyelidikan tersebut terdapat cukup bukti untuk dilakukan penyidikan perkara lalu dikeluarkan bentuk P-7 tentang Surat Perintah Penyidikan yang pada pokoknya memerintahkan Jaksa Penyidik melaku-kan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi tersebut dan dibuat rangkap 5 lima untuk yang bersangkutan, Penuntut Umum sebagai laporan dimulainya penyidikan, kemudian Kajati Kajari disesuaikan dengan penandatanganan, kepada Kajati apabila penyidikan dilakukan KajariKacabjari atau kepada Jam Pidsus apabila penyidikan dilakukan oleh Direktur, pada berkas perkara dan arsip. Pada tingkat penyidikan ini, dilakukan pemanggilan kepada para saksiterdakwa sesuai bentuk P-9 dan penyampaian surat panggilan selambat-lambatnya dilakukan 3 tiga hari sebelum yang bersangkutan harus menghadap, dapat pula dilakukan permintaan bantuan pemanggilan saksi-saksiahli dengan bentuk P-10 atau bentuk P-ll. Bagaimana cara teknik dan taktik melakukan penyidikan ini, pada prinsipnya identik dengan cara penanganan perkara pidana pada umumnya sebagaimana telah Penulis uraikan di muka. Proses selanjutnya, apabila dalam melakukan penyidikan diperlukan adanya penggeledahanpenyitaan surat-surat, harta benda dan tindakan lain, diperlukan permintaan izin penggeledahanpenyitaan dengan bentuk B-l dan kemudian dilanjutkan dengan bentuk B-5 tentang Surat Penitipan Barang Bukti atau dapat dilakukan tindakan berupa permintaan izin khusus untuk membuka, memeriksa dan menyita surat dipergunakan bentuk B-6 permintaan penye-rahan surat-surat yang dicurigai dengan alasan kuat mempunyai hubungan dengan perkara yang sedang diperiksa dengan bentuk B-7 atau bentuk-bentuk B-8 Universitas Sumatera Utara tentang pem-beritahuan penyitaan barang bukti oleh Kejaksaan dan B-10 tentang label benda sitaanbarang bukti atau dapat pula dimohonkan izin dari Menkeu RI untuk memeriksa keuangan sesuai B-3. Selain itu pula, di dalam melakukan pemeriksaan terhadap tersangka dapat dilakukan suatu penangkapan dan penahanan atau tidak. Apabila dilakukan suatu penangkapan, dipergunakan bentuk T-l atau kalau dilakukan penahanan pengalihan jenis penahanan tingkat penyidikan dengan bentuk T-2 atau permintaan perpanjangan penahanan dengan T-3 dan Surat Perpanjangan penahanan dengan T-4. Terhadap semua tahap tersebut di atas kemudian dibuat Berita Acara Penyidikan yang ditandatangani oleh Penyidik dan saksi tersangka. Apabila tahap penyidikan telah selesai dilakukan, pemberkasan perkara kemudian dilaporkan kepada Kajari sesuai hierarki guna diteliti lebih lanjut serta dibuat juga Rencana Dakwaan Rendak. Pada tahap ini, dikenal adanya eksposepemaparan perkara ditentukan bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau ditutiip demi hukum, penuntutan terse-but dihentikan Pasal 140 ayat 2 huruf a KUHAP dan dikeluarkan Surat Penetapan Penghenlian Penyidikan atau lazim disebut SP 3 dan bila dari eksposepemaparan hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, dibuat Berita Acara Pendapat atau Resume sesuai P-24, disempurnakan Rencana Dakwaan Rendak menjadi Surat Dakwaan serta pula Surat Pelimpahan Perkara. Dengan surat pelimpahan perkara bersangkutan berkas perkara, surat dakwaan kemudian dilimpahkan ke Pengadilan Negeri setempat dengan permintaan agar diperiksa dan diadili di depan persidangan Pengadilan Negeri. 35 35 ibid hal 148 – hal 152 Universitas Sumatera Utara

3. Pemberian Bantuan Hukum Pada Tingkat Penyidikan