Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

e. Undang-Undang Nomor 24 Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi menjadi undang- undang berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 Dalam Pasal 2 ayat 1 disebutkan : “Aturan-aturan mengenai pengusutan dan penuntutan menurut peraturan biasa, berlaku bagi perkara korupsi, sekadar tidak ditentukan dalam peraturan lain.” Isi dari Pasal 2 di atas menjelaskan bahwa jaksa tetap sebagai penyidik dalam kasus korupsi. Sedangkan dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 8 menjelaskan mengenai kewenangan-kewenangan yang dimiliki jaksa dalam kaitannya dengan mengambil tindakan-tindakan yang perlu untuk kepentingan pengusutan dan penuntutan.

f. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 kurang mampu mengakomodasi perkembangan masyarakat. Terhadap penyidikan ditentukan dalam Pasal 3 yang berbunyi : “Penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dijalankan menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku, sekadar tidak ditentukan lain dalam undang- undang.” Dalam Pasal 9 dijelaskan bahwa adanya kewenangan yang diberikan kepada jaksa untuk mengadakan pemeriksaan di bidang perbankan. Universitas Sumatera Utara Secara eksplisit dijelaskan bahwa jaksa agung sebagai pemimpin koordinator tugas penyidik perkara pidana korupsi terdapat dalam Pasal 26, yang berbunyi : “Jaksa Agung selaku penegak hukum dan penuntut umum tetinggi memimpin mengkoordinir tugas kepolisian represif yustisil dalam penyidikan perkara- perkara korupsi yang diduga atau mengandung petunjuk telah dilakukan oleh seorang yang harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer maupun oleh seorang yang harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.” Di dalam penjelasan tersebut dijelaskan bahwa Jaksa Agung sebagai koordinator yang memimpin penyidikan korupsi, baik pelaku sipil maupun militer.

g. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Lahirnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 ini juga dilatarbelakangi pemikiran bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dianggap tidak sesuai lagi sebagaimana yang terdapat dalam konsiderans menimbang huruf c, yaitu : “Bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi karena itu perlu diganti dengan Undang- Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru sehingga diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas Tindak Pidana Korupsi.” Undang-Undang ini memuat beberapa hal penting yang berbeda dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 yaitu mengenai masalah pertanggung jawaban pidana korporasi, ancaman pidana menggunakan minimum khusus speciale straf minima dan tidak menghapus pemidanaan, kewenangan bagi jaksa pengacara negara Universitas Sumatera Utara untuk melakukan gugatan perdata terhadap ahli waris pelaku korupsi yang meninggal saat proses peradilan belum selesai, penggunaan sistem pembuktian terbalik terbatas, dimungkinkannya peran serta masyarakat dan pembentukan tim pemberantasan korupsi. Pembentukan tim pemberantasan korupsi, dijelaskan dalam Pasal 26 yang berbunyi : “Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.” Dalam masalah penyidikan korupsi, tetap berlaku peraturan perundang- undangan dan KUHAP. Di dalam KUHAP, penyidikan diatur di dalam Pasal 284 yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 memungkinkan penyidikan korupsi dilakukan oleh jaksa. Pembentukan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dilakukan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 hanya mengenai korupsi yang sulit pembuktiannya sebagaimana diatur dalam Pasal 27 yang berbunyi : “Dalam menentukan Tim Pemberantasan Korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung.” Dengan demikian, jika Jaksa Agung dalam tim gabungan menjadi koordinator, maka dapat dikatakan bahwa jaksa sebagai penyidik karena Jaksa Agung adalah pucuk pimpinan tertinggi di Kejaksaan. Universitas Sumatera Utara h. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai perubahan atas Undang- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Korupsi. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ternyata tidak memberikan ketentuan-ketentuan tentang kewenangan penyidikan sehingga hal-hal yang mengatur penyidika korupsi tetap diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.

2. Dasar Kewenangan Kejaksaan dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi