BAB III SUBYEK DAN PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA
A. SUBYEK DELIK KORUPSI
Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, terdapat subyek delik yang dibagi dalam 2 dua kelompok, yang jika melakukan perbuatan pidana diancam dengan
sanksi. Subyek delik korupsi tersebut ialah : 1.
Manusia 2.
Setiap orang 3.
Korporasi 4.
Pegawai negeri Berbeda dengan perundang-undangan pidana khusus yang lain seperti Undang-
Undang Nomor 7 Tahun1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi dan perundang- undangan pidana fiskal, yang pemidanaan terhadap badan hukum atau korporasi
dimungkinkan, dalam hal ini UU PTPK 1971 mengikuti hukum pidana KUHP yang ditetapkan dalam Pasal 59, yaitu :
“Dalam hal-hal yang hukuman ditentukan karena pelanggaran terhadap para pengurus, para anggota suatu badan pengurus atau komisaris, tiada dijatuhkan hukuman atas
pengurus atau komisaris jika ternyata bahwa ia tidak turut campur tangan dalam melakukan pelanggaran itu.”
Menurut UU No. 31 Tahun 1999 yang disebut manusia ialah laki-laki atau wanita. Setiap manusia sering dirumuskan dengan kata-kata “hij” atau “barang siapa”
terdapat dalam pasal 362 KUHP atau “setiap orang” terdapat dalam pasal 2, pasal 3, pasal 16 UU No. 31 Tahun 1999 juga “ibu” pasal 341, pasal 342 KUHP.
Universitas Sumatera Utara
Yang dimaksud dengan setiap orang adalah orang-perseorangan individu- individu, atau termasuk korporasi. Menurut Moelyatno, ungkapan tersebut berarti :
“orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dijatuhi pidanakalau dia tidak melakukan perbuatan pidana. Tapi meskipun melakukan perbuatan pidana, tidak selalu
dia dapat dipidana.
10
Menurut Pasal 1 ayat 1 UU No. 31 Tahun 1999, yang dimaksud dengan korporasi ialah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisir baik merupakan
badan hukum maupun bukan badan hukum. Pada prinsipnya kata-kata setiap orang adalah orang atau mereka yang bukan
pegawai negeri, sedangkan yang dikategorikan sebagai pegawai negeri ialah mereka yang termasuk dalam kelompok pasal 92 ayat 1, 2, dan ayat 3 KUHP.
Dalam Memori van Toelichting Pasal 51 Ned. W.v.S Pasal 59 KUHP dinyatakan :
“Suatu strafbaar feit hanya dapat diwuudkan oleh manusia dan fiksi tentang badan hukum tidak berlaku di bidang hukum pidana.”
11
Dalam UU No. 31 Tahun 1999 telah ditentukan bahwa korporasi adalah subyek delik. Artinya, selain individu yang memimpin dilakukanya kejahatan atau memberi
perintah, korporasi tersebut juga dapat dipertanggungjawabkan. Dalam delik korupsi, Dalam Pasal 1 ayat 1 ini, terdapat 2 dua subyek yaitu ; pertama, adalah
kumpulan orang yang terorganisasi baik merupakan badan hukum atau bukan badan hukum ; kedua, adalah kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum.
10
Moelyatno, Asas-Asas Hukuk Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 1993, hal. 155.
11
Lihat Pasal 1 UU No. 31 Tahun 1999
Universitas Sumatera Utara
terdapat banyak kesulitan untuk menjadikan korporasi sebagai subyek karena sulit untuk membuktikan adanya kesalahan terutama dalam bentuk “sengaja” suatu korupsi.
Dalam Pasal 415, Pasal 416 KUHP, “pegawai negeri atau orang lain yang diwajibkan untuk seterusnya atau untuk sementara waktu menjalankan jabatan umum”
de ambtenaar of ander met eenigen openbaren dienst voortdurend of tijdelijk belast persoon dan Pasal 413 KUHP mengenai “panglima tentara”. Dengan demikian pasal-
pasal tersebut ditarik menjadi delik korupsi. Menurut Pasal 2 UUPTPK Tahun 1971 UU No. 3 Tahun 1971, yang
dimaksud dengan pegawai negeri ialah yang meliputi orang-orang yan menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah atau menerima gaji atau upah dari suatu
badan badan hukum yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari
negara atau masyarakat.
12
1. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Kepegawaian. Menurut Pasal 1 sub 2 UUPTPK UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20
Tahun 2001, pegawai negeri meliputi :
2. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Pidana.
3. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah.
4. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima
bantuan dari keuangan negara atau daerah.
12
Lihat Pasal 2 UUPTPK Tahun 1971 UU No. 3 Tahun 1971
Universitas Sumatera Utara
5. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan
modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
13
Di dalam Pasal 92 KUHP, dinyatakan bahwa : 1
Yang masuk sebutan amtenar pegawai, yaitu sekalian orang yang dipilih menurut pilihan yang sudah diadakan menurut undang-undang umum,
demikian pula sekalian orang yang bukan karena pemilihan menjadi anggota Dewan pembuat Undang-Undang Pemerintah atau perwakilan daerah yang
dibentuk oleh atau atas nama pemerintah, seterusnya sekalian anggota dari Dewan-Dewan daerah dan setempat dan sekalian kepala bangsa Indonesia dan
Timur Asing, yang melakukan kekuasaan yang sah. 2
Yang termasuk sebutan amtenar dan hakim, termasuk pula ahli memutus perselisihan, yang termasuk sebutan hakim yaitu mereka yang menjalankan
kekuasaan hukum administratif demikian juga ketua dan anggota dewan agama. 3
Sekalian orang yang masuk bala-tentara dipandang juga sebagai amtenar.
14
Pengertian pegawai negeri menurut Pasal 92 KUHP berlaku untuk semua perundang-undangan pidanan di luar KUHP sesuai dengan adagium lex specialis
derogat legi generalis yang tercantum dalam Pasal 103 KUHP. Pengertian pegawai negeri dalam KUHP merupakan perluasan pengertian menurut Undang-Undang Pokok
Kepegawaian. Pasal 2 UU PTPK 1971 UU No. 3 Tahun 1971 merupakan perluasan
pengertian pegawai negeri menurut Pasal 92 KUHP dan Undang-Undang Pokok Kepegawaian Nomor 18 Tahun1961, karena Undang-Undang Pokok Kepegawaian
tersebut telah dicabut yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
13
Lihat UU No. 31 Tahun 1999 jo. Uundang No. 20 Tahun 2001, Pasal 1 ayat 2
14
Lihat Pasal 92 KUHP
Universitas Sumatera Utara
1974 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian.
15
Pegawai Negeri menurut UU No. 43 Tahun 1999
Pengertian pegawai negeri menurut UU PTPK terbagi tiga bagian, yaitu :
Pegawai Negeri menurut Pasal 92 KUHP
Pegawai Negeri menurut UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001
Menurut Pasal 1 bagian 1 UU No. 43 Tahun 1999, “Pegawai Negeri adalah warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan,
diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.” Pasal 2 ayat 1 UU No. 43 Tahun 1999, membedakan Pegawai Negeri atas 3
tiga kelompok : 1.
Pegawai Negeri Sipil 2.
Anggota Tentara Nasional Indonesia 3.
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Pasal 2 ayat 2 dinyatakan bahwa Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1 huruf a, terdiri dari : 1.
Pegawai Negeri Sipil Pusat 2.
Pegawai Negeri Daerah
15
Jur. Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Jakarta : P.T. Raja Persada, 2007, hal 82
Universitas Sumatera Utara
Dalam Pasal 2 ayat 3, menyatakan “ Di samping Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, pejabat yang berwenang dapat mengangkat pegawai tidak
tetap. Oleh karena itu, Pasal 92 KUHP memperluas pengertian pegawai negeri dan
menyebutkan dalam ayat 3 sebagai pegawai “kekuasaan bersenjata” gewapende macht.
Perluasan pengertian Pegawai Negeri menurut Pasal 1 sub 2 UU PTPK UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 adalah sebagai berikut :
“Pegawai Negeri meliputi pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang tentang Kepegawaian ; pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana ; orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah ; orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang
menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah ; atau orang yang menerima gaji atau upah dri korporasi lain yang mempergunakan modal aatu fasilitas dari negara atau
masyarakat.” Pengertian pegawai negeri menurut Undang-Undang Pokok Kepegawaian dan
KUHP tersebut menimbulkan suatu masalah yaitu apakah ketentuan dalam UU PTPK berlaku juga bagi perumusan-perumusan delik yang berasal dari KUHP atau tidak. Jika
ketentuan tersebut tidak berlaku bagi perumusan-perumusan delik yang berasal dari KUHP, maka tidak memperluas subyek delik korupsi, tetapi jika berlaku bagi
perumusan-perumusan delik yang berasal dari KUHP, maka memperluas pengertian pengawai negeri dalam perumusan-perumusan KUHP dan memperluas subyek delik
korupsi.
16
16
Jur. Andi Hamzah, op.cit, hal 85
Universitas Sumatera Utara
Pasal atau perumusan delik yang berasal dari UU PTPK yang memiliki unsur bestaanddeel “pegawai negeri”, terdapat dalam Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 jo.
UU No. 20 Tahun 2001. Pasal 5 ayat 1 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 ialah
sebagai unsur bukan sebagai subyek karena pegawai negeri yang sebagai penerima suap saja dan pasal ini merupakan penyuapan aktif yaitu yang diancam dengan pidana
atau yang menjadi subyek ialah yang memberi suap kepada pegawai negeri. Dalam Pasal 5 ayat 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 mengancam dengan
pidana, pegawai negeri yang menerima suap penyuapan pasif atau pegawai negeri sebagai subyek delik.
Penyuapan pasif atau pegawai negeri sebagai penerima suap yang menjadi subyek delik hanya ada dalam pasal-pasal atau perumusan yang berasal dari KUHP
yang menjadi yaitu Pasal 418, Pasal 419 dan Pasal 420 KUHP Pasal 5 ayat 2, Pasal 11, Pasal 12 huruf a, b, c dan d UU No. 20 Tahun 2001.
Jika pengertian pegawai negeri yang telah ditentukan dalam Pasal 2 UU No. 3 Tahun 1971 tidak berlaku bagi Pasal 5 ayat 2, Pasal 11 dan Pasal 12 huruf a, b, c dan
d dan pasal-pasal lin yang berasal dari KUHP maka tidak memperluas subyek delik korupsi, dan hanya berlaku untuk satu pasal atau satu perumusan saja, yaitu Pasal 1
ayat 1 sub d dan tidak sebagai subyek tetapi sebagai salah satu unsur bestanddeel dari perumusan tersebut.
Perumusan Pasal 1 ayat 1 sub d UU No. 3 Tahun 1971 adalah sebagai berikut. “Barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperi yang dimaksud
dalam Pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau suatu wewenang yang
Universitas Sumatera Utara
melekat pada jabatan atau kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu.”
Pendapat yang mengatakan perluasan pengertian Pegawai Negeri menurut Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1971 tidak berlaku bagi perumusan yang berasal dari KUHP
yang diadopsi menjadi delik korupsi, dikemukakan oleh Sudarto yaitu : “Suatu hal yang bisa dinyatakan ialah, apakah ketentuan itu juga berlaku terhadap
pengertian “Pegawai Negeri” yang disebutkan dalam pasal-pasal KUHP yang dicantumkan dalam Pasal 1 ayat 1 sub c tindak pidana jenis ketiga. Kami cenderung
untuk mengatakan tidak berlaku “Pegawai Negeri yang dimaksud dalam undang- undang harus diartikan perkataan-perkataan pegawai negeri yang secara tegas
dicantumkan dalam undang-undang ini”
17
1. Adanya Pasal 1 ayat 1 sub d sebagai penyuapan pasif secara khusus di
samping Pasal 209 KUHP yang ditarik melalui Pasal 1 ayat 1 sub c Adapun alasan pendapat tersebut dikemukakan ialah bahwa perluasan
pengertian pegawai negeri hanya berlaku bagi perumusan asli UU PTPK dan tidak berlaku bagi pasal-pasal atau perumusan yang berasal dari KUHP yang diadopsi
menjadi delik korupsi, karena :
2. Adanya penegasan di dalam Pasal 1 ayat 1 sub d bahwa “…….pegawai negeri
dimaksud dalam Pasal 2” sehingga menimbulkan keraguan dan perbedaan pendapat, karena adanya satu pasal dari UU PTPK yang berunsurkan pegawai
negeri sehingga Pasal 2 tidak memiliki makna. Dengan demikian pengertian pegawai negeri menimbulkan pendapat yang
berbeda-beda sehingga dikatakan bahwa perluasan pengertian pegawai negeri menurut
17
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana Bandung : Alumni, 1986, hal 140
Universitas Sumatera Utara
Pasal 2 UU No. 3 Tahun 1971 berlaku untuk semua perumusan delik, baik yang dibuat oleh pembuat UU No. 3 Tahun 1971 Pasal 1 ayat 1 sub d, maupun pasal-pasal
KUHP yang ditarik menjadi delik korupsi. Masalah pengertian pegawai negeri dalam UU PTPK UU No. 3 Tahun 1971
bertambah rumit ketika pasal-pasal yang terdapat dalam KUHP seperti Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425 dan Pasal 435
KUHP dimasukkan ke dalam Pasal 1 ayat 1 sub c UU No. 3 Tahun 1971 karena dalam pasal-pasal KUHP tersebut terdapat perbedaan mengenai pengertian pegawai
negeri dan pejabat. Sebagian dari pasal-pasal tersebut seperti Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal
423, Pasal 425 dan Pasal 435 KUHP hanya mencantumkan pegawai negeri sebagai subyek delik. Sedangkan pasal-pasal yang lain seperti Pasal 415, Pasal 416, dan Pasal
417 menyatakan bahwa di samping pegawai negeri sebagai subyek , juga ada tambahan “orang lain yang diwajibkan untuk seterusnya atau untuk sementara waktu
menjalankan jabatan umum.” Dengan demikian, subyek delik yang terdapat dalam Pasal 415, Pasal 416, dan Pasal 417 lebih luas daripada yang tercantum dalam Pasal
418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425 dan Pasal 435 KUHP.
18
B. PERTANGGUNGJAWABAN DELIK KORUPSI