Pasal 2 UU No. 3 Tahun 1971 berlaku untuk semua perumusan delik, baik yang dibuat oleh pembuat UU No. 3 Tahun 1971 Pasal 1 ayat 1 sub d, maupun pasal-pasal
KUHP yang ditarik menjadi delik korupsi. Masalah pengertian pegawai negeri dalam UU PTPK UU No. 3 Tahun 1971
bertambah rumit ketika pasal-pasal yang terdapat dalam KUHP seperti Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425 dan Pasal 435
KUHP dimasukkan ke dalam Pasal 1 ayat 1 sub c UU No. 3 Tahun 1971 karena dalam pasal-pasal KUHP tersebut terdapat perbedaan mengenai pengertian pegawai
negeri dan pejabat. Sebagian dari pasal-pasal tersebut seperti Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal
423, Pasal 425 dan Pasal 435 KUHP hanya mencantumkan pegawai negeri sebagai subyek delik. Sedangkan pasal-pasal yang lain seperti Pasal 415, Pasal 416, dan Pasal
417 menyatakan bahwa di samping pegawai negeri sebagai subyek , juga ada tambahan “orang lain yang diwajibkan untuk seterusnya atau untuk sementara waktu
menjalankan jabatan umum.” Dengan demikian, subyek delik yang terdapat dalam Pasal 415, Pasal 416, dan Pasal 417 lebih luas daripada yang tercantum dalam Pasal
418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425 dan Pasal 435 KUHP.
18
B. PERTANGGUNGJAWABAN DELIK KORUPSI
Pada dasarnya Hukum pidana Indonesia bersumber dari Belanda dan pertanggungjawaban pidana dalam delik korupsi lebih luas dari hukum pidana umum.
Hal ini terdapat dalam :
18
Ibid, hal 92
Universitas Sumatera Utara
1. Kemungkinan penjatuhan pidana secara in absentia Pasal 23 ayat 1 sampai
ayat 4 UU No. 3 Tahun 1971 ; Pasal 38 ayat 1, 2,3, dan 4 UU No. 31 Tahun 1999 ;
2. Kemungkinan perampasan barang-barang yang telah disita bagi terdakwa yang
telah meninggal dunia sebelum ada putusan yang tidak dapat diubah lagi Pasal 23 ayat 5 UU No. 3 Tahun 1971 ; Pasal 38 ayat 5 UU No. 31 Tahun 1999
bahkan kesempatan untuk melakukan banding tidak ada ; 3.
Perumusan delik dalam UU No. 3 Tahun 1971 yang sangat luas ruang lingkupnya, terutama unsur ketiga pada Pasal 1 ayat 1 sub a dan b UU No. 3
Tahun 1971 ; Pasal 2 dan 3 UU No. 31 Tahun 1999 ; 4.
Penafsiran kata “menggelapkan” pada delik penggelapan Pasal 415 KUHP oleh yurisprudensi baik yang berasal dari Belanda ataupun Indonesia sangat
luas dan pasal ini diadopsi menjadi Pasal 8 UU No. 20 Tahun 2001. Dalam Hukum pidana Indonesia, terkadang unsur kesengajaan tidak
diutamakan dalam kejahatan maupun pelanggaran termasuk UU TPE di Indonesia mengenai pemidanaan orang yang tidak dikenal onbekende overtreder.
Pemidanaan orang yang tidak dikenal dalam arti sempit tidak dikenal dalam delik korupsi, tetapi dilakukan melalui pemeriksaan sidang dan putusan dijatuhkan
tanpa kehadiran terdakwa putusan in absentia sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat 1 sampai ayat 4 UU No. 3 Tahun1971 Pasal 38 ayat 1, 2, 3, dan 4 UU No.
31 Tahun 1999. Bagi orang yang meninggal sebelum ada putusan tang tidak dapat diubah lagi,
yang diduga telah melakukan korupsi, hakim atas tuntutan penuntut umum, dapat memutuskan perampasan barang-barang yang telah disita, Pasal 23 ayat 5, tidak
Universitas Sumatera Utara
kesempatan banding dalam putusan ini. Orang yang telah meninggal dunia tidak mungkin melakukan delik. Delik dilakukan sewaktu ia masih hidup, tetapi
pertanggungjawabannya setelah meninggal dunia dan dibatasi sampai pada perampasan barang-barng yang telah disita.
Dalam perumusan Pasal 1 ayat 1 sub a dan b UU No.3 Tahun 1971, terdapat unsur “langsung dan tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau
perekonomian negara” dan pada sub b memiliki tambahan kata “dapat” merugikan keuangan negara. Penjelasan dari Pasal 1 ayat 1 sub a dan b tersebut ialah bahwa
“kerugian negara” yang timbul akibat perbuatan melawan hukum itu merupakan sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan yang pengertiannya sama dengan strict
liability, karena “langsung atau tidak langsung dapat merigikan keuangan negara” merupakan perumusan yang sangat luas artunya sehingga dengan mudah penuntut
umum membuktikannya. Di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999, kata langsung atau tidak langsung telah dihapuskan.
Strict liability merupakan suatu konsepsi yang tidak memerlukan pembuktian adanya unsur sengaja dan alpa pembuat delik, hanya untuk regulator offence dan hanya
dipakai dalm hukum perdagangan secara khusus dalam hukum perdagangan Internasional.
19
1. Esensial untuk menjamin bahwa peraturan hukum yang penting tertentu demi
kesejahteraan masyarakat harus ditaati. Menurut A. Zainal Abidin, ada tiga alasan diterima strict liability terhadap
delik-delik tertentu :
19
Ibid, hal 93-95
Universitas Sumatera Utara
2. Pembuktian mens area sikap batin si pembuat terhadap delik-delik yang sama
sangat sulit. 3.
Suatu tingkat tinggi “bahay sosial” dapat membenarkan penafsiran suatu delik yang menyangkut masalah strict liability.
20
Dalam delik korupsi yang berbentuk penggelapan yang dilakukan oleh pegawai negeri atau pejabat dalam Pasal 415 KUHP, yang menjadi delik korupsi dalam Pasal
8 UU No. 20 Tahun 2001, secara expresis verbis tercantum unsur sengaja. Berbeda dengan delik ekonomi dan delik fiskal yang bukan hanya orang yang
menjadi penanggung jawab pidana, tetapi juga badan hukum dan koperasi, delik korupsi hanya mengenal orang sebagai penanggung jawab pidana. UU No. 3 Tahun
1971 menyebut “badan” atau “badan hukum” tetapi bukan sebagai penanggung jawab pidana, melainkan sebagai pihak yang diperkaya atau diuntungkan oleh delik korupsi
berdasarkan Pasal 1 ayat 1 sub a dan sub b UU No. 3 Tahun 1971. Dan UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 menjaidkan korporasi subyek delik.
UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 memperluas pengertian orang Pasal 1 sub 3c menyebut dengan kata “setiap orang” termasuk juga korporasi.
Pasal 1 sub 1 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 memberi arti korporasi adalah sebagai berikut :
“Kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”
Dalam Pasal 1 sub 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 menyebutkan :
“Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.”
20
A. Zainal. Abidin, Hukum Pidana, Makasar, Taufiq, 1962, hal 1
Universitas Sumatera Utara
Dalam setiap rumusan delik korupsi UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 Pasal 2 sampai dengan Pasal 16, Pasal 21 dan Pasal 22 menyebut pelaku delik
dengan kata “setiap orang.” Pertanggung jawaban dalam hukum pidana perlu dibahas karena pada delik
korupsi dikenal alasan pembenar, uang tercantum dalam Pasal 17 ayat 2 UU No. 3 Tahun 1971, yakni “Kalau dalam perbuatan itu negara tidak dirugikan atau dilakukan
demi untuk kepentingan umum.” Simons merumuskan strafbaar feit atau delik sebagai berikut :
“Suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan pidana, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seorang yang bersalah dan orang itu dipandang bertanggung
jawab dengan perbuatannya.”
21
21
E. Utrecht, Hukum Pidana I, Jakarta : Universitas, 1958, hal 255.
Pendapat yang memisahkan perbuatan dan pertanggung jawaban pidana, pertama-tama dianut oleh seorang sarjana hukum pidana Jerman, yang bernama
Herman Kantorowicz. Menurut Kantorowicz, untuk adanya penjatuhan pidana terhadap pembuat
Strafvorrassetzungen diperlukan lebih dahulu pembuktian adanya perbuatan pidana Strafbare Handlung, serta disertai dengan pembuktian adanya Sculd atau kesalahan
subjektif pembuat. Mengenai pertanggung jawaban pidana pada delik korupsi, dapat ditinjau pada
ketentuan Pasal 1 ayat 2 UU No. 3 Tahun 1971 yang kini menjadi Pasal 15 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 yang mengatur tentang percobaan dan
permufakatan melakukan korupsi.
Universitas Sumatera Utara
Dengan ketentuan ini terutama mengenai pemufakatan melakukan perbuatan korupsi, artinya jika sebelumnya perbuatan seperti itu bukan delik atau si pembuat
tidak dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, maka kini telah menjadi delik. Dalam KUHP ada ketentuan mengenai pemidanaan permufakatan sama
dengan delik selesai, yakni bahwa penjelasan atau penafsiran autentik tentang permufakatan yang tercantum dalam Pasal 88 KUHP tidak berlaku bagi perundang-
undangan pidana khusus dan perundangan-undangan lain yang bersanksi pidana karena pasal itu termasuk bab IX Buku I, yang tidak dinyatakan berlaku oleh Pasal 103 KUHP
untuk perundang-undangan lain yang bersanksi pidana. Hal yang dinyatakan berlaku hanyalah 8 delapan bab yang pertama Buku I KUHP yaitu yang terdiri dari bab I
sampai dengan bab IV dan tidak termasuk bab IX. Namun demikian, norma tentang penafsiran autentik permufakatan ini dapat diambil sebagai pemcerminan untuk
menafsirkan permufakatan melakukan perbuatan korupsi. Dalam percobaan melakukan delik korupsi syarat harus sama dengan ketentuan
Pasal 53 KUHP, artinya harus ada niat, ada permulaan pelaksanaan dan pelaksanaan tidak selesai. Hakim dalam melakukan penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak
pidana korupsi berbeda dengan hakim yang melakukan penjatuhan pidana terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana seperti orang yang mencoba melakukan
pembunuhan karena pelaku tindak pidana korupsi, pidananya tidak dipotong dengan sepertiganya atau ketentuan tersebut menyimpang dari ketentuan Pasal 53 KUHP.
Menurut Pasal 103 KUHP berlaku juga ketentuan seperti yang terdapat dalam Pasal 53 KUHP untuk perundang-undangan pidana khusus kecuali undang-undangitu
menentukan lain lex specialis derogat legi generali.
Universitas Sumatera Utara
Korporasi sudah dinyatakan bertanggung jawab yang berarti bahwa korporasi dapat dijatuhi pidana melakukan delik korupsi dan yang dapat dijatuhi pidana adalah
baik pimpinan yang memberi perintah ataupun mereka yang memimpin sendiri perbuatan korupsi itu bersama-sama dengan korporasi tersebut atau salah satunya.
Sebagaimana halnya dengan delik umum, tidak semua delik yang korporasi lakukan dapat dipertanggungjawabkan pidana. Ada delik yang memang ditujukan
kepada orang secara individual. Dalam delik korupsi, ada delik melawan hukum memperkaya diri sendiri, sulit
untuk dipertanggungjawabkan kepada korporasi. Akan tetapi, yang paling umum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi dalam delik korupsi adalah perbuatan
penyuapan pejabat publik. Dengan demikian, hal yang paling sulit dalam penerapan korporasi sebagai
subyek hukum pidana di Indonesia adalah jaksa belum biasa membuat surat dakwaan kepada korporasi.
22
22
Jur. Andi Hamzah, Ibid, hal 103-hal 109
Universitas Sumatera Utara
BAB IV WEWENANG DAN PERANAN JAKSA DALAM MELAKUKAN
PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI
A. WEWENANG JAKSA DALAM PENYIDIKAN KASUS KORUPSI