155 Saya ingin menampar wajah ibu saya. “lantas apakah saya tidak cukup
alasan untuk dibereskan? Kenapa mama menebus saya? Saya yang bersalah Saya memaksa Rajib memberi pekerjaan untuk saya Dia
tidak sepantasnya dipukuli, ma” saya menjerit-jerit dengan emosi dalam mobil hlm. 193.
156 “Tak ada orang yang bisa menubus Rajib. Tidak juga saya, sudah
nasibnya seperti ini. Dulu dia pernah bilang sama saya. Hidupnya akan berhenti begitu dia ditangkap. Sebab, dia bukan orang yang
terpandang atau punya cukup uang untuk menyelamtkan diri. Hanya saja saya tidak menyangka, dia akan benar-benar ditangkap.” hlm.
228.
Kekecewaan juga yang dirasakan oleh Arimbi, ketika mengetahui orang tuanya selingkuh. Perbuatan dari kedua orang tuanya inilah yang menyebabkan
Arimbi merasa bahwa Arimbi sudah tidak memiliki rasa kebahagiaan dalam keluarga. Arimbi merasa bahwa dalam keluarga juga dia tidak pernah diperhatikan, kedua
orang tuanya selalu saja sibuk dengan urusan mereka sendiri-sendiri. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut :
157 “Mereka punya kekasih masing-masing. Papa dengan pacar gelapnya.
Mama dengan pacar gelapnya. Mereka punya dunia indah masing- masing, tapi dengan bodoh mau mempersatukan diri dalam
pertarungan yang tak pernah berhenti di rumah ini.” hlm. 203.
3.1.2 Tidak Terpenuhinya Kebutuhan Akan Penghargaan
Seseorang yang memiliki cukup harga diri akan lebih percaya diri serta lebih mampu, maka juga lebih produktif. Sebaliknya jika harga diri setiap orang kurang,
maka orang itu akan diliputi rasa rendah diri serta rasa tidak berdaya, yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
selanjutnya seseorang dapat menimbulkan rasa putus asa serta tingkah laku neurotik. Maslow via Goble, 1987 : 76.
Harga diri sangat dibut uhkan oleh setiap orang. Penghargaan diri dari orang lain dapat membuat seseorang lebih percaya diri dalam menghadapi hidup. Seseorang
yang tidak mendapatkan penghargaan dari orang lain akan tertekan batinnya. Arimbi merasakan hal ini, yaitu Arimbi tidak pernah mengetahui apa itu
kehidupan, Arimbi hanya bisa memikirkan bagaimana cara untuk bisa mati. Arimbi selalu saja berpikir cara yang terbaik untuk mati, berbagai cara Arimbi mencoba, tapi
ternyata sia-sia. Arimbi juga sempat mencoba untuk bunuh diri, tapi ketahuan oleh pihak panti yaitu penjaga panti tempat Arimbi rehabilitasi. Hal yang dilakukan
Arimbi adalah tidak adanya penghargaan atas dirinya sendiri. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut :
158 “Seminggu lagi orang tua saya akan menciduk saya dari sini dan
membawa saya ke Amerika.” Setelah berulang kali mereka menciduk saya di tempat persembunyian saya, kali ini saya sudah putus asa.
Mereka tak akan bisa membawa saya pergi. Saya sudah mati pada saat mereka datang. Saya sudah mempelajari teknik bunuh diri yang
efektif. Tapi panti itu begitu reseh. Mereka me rampas obat tidur saya, memeriksa setiap senti meter kamar tidur saya setiap hari, dan tak
memb iarkan saya menyimpan silet. hlm. 20.
159 Mereka merampas sesuatu yang bisa menggantung leher saya. Tali,
gasper, kain panjang, mereka tak mengizinkan saya menyemprot nyamuk dengan pembasmi serangga, bahkan tak menaruh benda
kimiawi apapun di kamar ini. Mereka pikir saya bisa mati dengan menelan sabun atau mene gguk sampo. Mereka menggeledah saya
sebelum pergi tidur.” hlm. 20. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kebutuhan penghargaan atas dirinya pun tidak pernah Arimbi perhatikan. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
160 Kalau boleh saya sebut siapa musuh terbesar dalam hidup saya, dia
adalah diri saya sendiri. Dia yang tak pernah saya kenali. Dia yang tak pernah bisa berkompromi. Dia yang bahkan sulit saya usir dari tubuh
saya sendiri. Hlm. 23. 161
Saya mulai membenci diri sendiri sejak usia sebelas. Ketika sudah habis masa- masa indah menertawai dunia dengan otak anak kecil.
Ketika usia mulai membebani saya dengan banyak persoalan yang tak saya sukai. Saya benci pagi hari. Ketika beker menunjukkan pukul
06.00, dan saya harus buru-buru menyudahi kenikmatan tidur yang tak terbayar. Hlm. 23.
162 Saya selalu mengenakan seragam sekolah dengan bibir cemberut. Saya
tak menyukai tubuh sendiri. Terutama dua gundukkan kecil di dada yang membuat saya enggan berdiri tegap. Hlm. 23.
Sebagai seorang anak, Arimbi sangat ingin dihargai oleh orang tuanya.
Arimbi ingin sekali agar orang tuanya selalu memperhatikan dia, dan mau meluangkan waktu sebentar untuk bisa makan dan berkumpul bersama. Sebagaimana
layaknya hidup dalam sebuah keluarga. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut: 163
Saya hanya memiliki sedikit kenangan hingga usia beranjak remaja. Orang-orang bilang saya enak jadi orang kaya. Orang-orang bilang
hidup saya seperti mimpi. Saya bilang, hidup saya tak punya cerita. Apa yang bisa diceritakan dari hari-hari yang hanya punya tititk
tempat, rumah, sekolah, dan mobil mewah. Hlm. 31
164 Maka begitu ingin saya menyemburkan kata-kata pada teman-teman
saya di sekolah. Mereka mengatakan saya bahagia karena saya anak orang kaya. Saya ingin mengatakan pada mereka apakah mereka
sering menyaksikan ibu mereka dipukuli oleh ayah mereka?. Hlm. 34.
165 Saya tidak pernah melihat mama membela diri saat dianiaya papa.
Saya tak bisa memakai contoh sinetron atau film- film. Saat seorang istri yang digebuki lantas menuntut cerai atau sekalian kabur dari
rumah. Saya pernah menonton film, tentang seorang istri teraniaya yang mati- matia n menuntut perilaku suaminya ke pengadilan. Tidak,
ibu saya tak seberani itu. Atau tak sepintar itu. Ekspresinya tiap kali dipukuli ayah saya selalu serupa. Dia hanya berteriak-teriak seperti
ayam yang baru dipenggal, merunduk-runduk seperti kucing ketakutan. Hlm. 35.
166 Saya mulai menangis. Bukan hanya telinga saya kini yang menjadi
ingin pecah. Hati saya bahkan sudah siap meledak. Saya menengok ke segala penjuru. Berharap ada seseorang muncul dan bisa
menghentikan tindakkan biadap papa. Tapi tak ada seorangpun orang terdekat semestinya adalah sopir dan saya. Hlm.40.
167 Saya tak tahan lagi. Saya ingin berlari ke kamar itu, tapi kaki saya
seperti dikunci. Tangis saya menjadi seduh sedan tak terkendali. Saya berdiri, dan jatuh menggeleser begitu saja. Kenapa saya lemah Saya
memaki dalam hati. Saya terus menangis. Ketika suara itu berhenti, tangis saya menjadi sisa dalam ruang ya ng tiba-tiba menjadi senyap.
Hlm. 40.
Sebagai seorang anak, Arimbi merasa bahwa kedua orang tuanya tidak pernah menghargai dirinya, sebagai anak mereka. Orang tuanya selalu saja mengurus
keperluan mereka sendiri. Mereka tidak pernah memperdulikan keadaan Arimbi. Akibat dari perbuatan kedua orang tuanya, Arimbi merasa bahwa dia tidak dihargai
lagi oleh kedua orang tuanya. Pada akhirnya Arimbi mengambil keputusan untuk pergi dari rumah. Hal ini terlihat dalam kutipan sebagai berikut:
168 Saya sudah memutuskan hubungan dengan rumah bahkan tanpa
sepengetahuan orang tua saya. Saya melakukan banyak haj yang tidak diketahui orang tua saya. Les- les tak saya datangi lagi. Saya ganti
dengan nongkrong bersama teman-teman sekolah yang sama kesepian, sama kebingungan. Saya tak merasa perlu bilang orang tua. Sebab
mereka tak mengenal saya dan saya tak mengenal mereka. Maka, saya tak merasa bersalah telah membohongi mereka. Sebab mereka tidak
mengenal saya. Hlm. 51. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
169 Kebiasaan saya merokok bertambah parah. Terlebih setelah rumah
semakin memisahkan penghuninya. Pap semakin sering dinas luar. Bahkan saya dengar dari mama, papa kini masuk klub eksklusif yang
punya kegiatan rutin golf di Nirwana Bali. Itu artinya hampir seminggu sekali papa ke Bali, jika sedang tidak ada acara lain. Saya
semakin tak punya akhir pekan dengan keluarga yang lengkap. Papa
juga jarang menampilkan diri di ruang makan ketika saya menghabiskan nasi goreng setiap pagi. Papa mulai bangun kesiangan.
Saya berangkat sekolah tanpa melihatnya. Dan pergi tidur sebelum papa kembali ke rumah. Hlm. 54.
170 Sementara mama semakin sibuk menggelar pameran lukisan. Bahkan
kali ini bukan hanya di Jakarta. Tapi juga Surabaya dan Medan. Mama ikut- ikutan seperti papa, kembali ke rumah ketika lampu- lampu telah
dimatikan. Saya hanya mendengar sayup deru mobilnya masuk, ketika kantuk saya sudah mencapai puncaknya. Saya tak merasa itu menjadi
masalah. Sebab saya tak mengenal mereka. Dan mereka tak mengenal saya. Hlm. 54.
171 Badan saya semakin kurus. Dan orang tua saya tidak cukup tahu. Saya
mulai mentertawakan perasaan melankolis saya dulu. Merasa bahwa saya cukup memperhatikan saya. Kenapa saya tak menyentuh batang
rokok sejak duduk sekolah dasar? Dengan demikian saya tak akan begitu lama tersiksa menyerap hal- hal yang membingungkan di rumah
saya. Hlm. 54.
Akibat dari perbuatan orang tuanya yang tidak pernah memperdulikan Arimbi, Arimbi merasa bahwa dia sudah tidak berharga lagi untuk tinggal bersama
kedua orang tuanya. Arimbi menjadi putus asa. Dan Arimbi juga merasa hidupnya tidak berharga lagi di mata kedua orang tuanya. Arimbi mulai bergabung dengan
orang-orang yang merasa kesepian seperti dia, orang-orang tersebut adalah teman- teman sekolahnya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
172 Saya semakin sering menghabiskan waktu di bar, di mal-mal atau di
arena biliar dan boling, dengan teman-teman pria yang semakin banyak. Bahkan kini teman-teman pria yang semakin banyak. Bahkan
kini teman saya juga bertambah, dari beberapa sekolah lain. Kebanyakkan dari kami memiliki uang cukup banyak. Karenanya
kami bisa memesan minuman yang cukup mahal. Dalam waktu yang amat singkat saya sudah mahir mabuk. Mabuk saya parah. Dan
memalukan. Hlm. 54-55.
173 Saya bingung dengan perasaan saya sendiri. Saya tak mengenali orang
tua saya. Dan saya tak mengenali diri sendiri. Saya panik. Pikiran saya berkecamuk tak tentu arah. Di rumah saya tersiksa dengan dua orang
yang selalu bergumul dengan nafsu masing- masing. Di luar rumah saya bergumul dengan diri sendiri. Mempertanyakan perasaan ane h
yang semakin lama semakin mencekram saya dala m kebingungan yang menyiksa. Hlm. 56.
174 Saya mengenalnya di mana-mana. Salah jika orang tua menganggap
saya sudah cukup aman dengan pendidikan komplet dan perlindungan mutahir dalam mobil mewah setiap hari. Saya tidak sepenuhnya aman
dari bubuk itu. Terutama karena saya dibiarkan sendiri ketika kebingungan yang tak berujung pangkal tanpa pertolongan sama
sekali. Hlm. 60.
175 Mereka sebetulnya memberikan pintu gerbang itu pada saya.
Kebodohan orang tua-orang tua kaya. Menceburkan anak dalam nista yang paling dekat. Hlm. 61.
3.1.3 Tidak Terpenuhinya Kebutuhan Akan Aktualisasi Diri