Rumusan Masalah Tujuan Penelitian
9 Penelitian lain disertasi yang saya tinjau adalah penelitian yang dilakukan oleh
Daniel Waycott Johnston. Penelitian tersebut berjudul Active Metaphysics: Acting as Manual Philosophy or Phenomenological Interpretations of Acting Theory 2007.
Penelitian tersebut merupakan kajian filsafat dengan pendekatan fenomenologi Martin Heidegger. Sebagaimana tertera dalam judul tersebut, penelitian Johnston dimaksudkan
untuk mewacanakan aktor sebagai wujud konkret filsuf manual atau yang ia istilahkan sebagai manual philosophy.
Johnston menyebut aktor sebagai filsuf manual berdasarkan pada penafsirannya yang menyatakan bahwa akting merupakan suatu cara yang bisa digunakan untuk
mengungkapkan aspek eksistensi dan being. Fokus penelitian yang dilakukan oleh Johnston ini berangkat dari dasar pemikiran Heidegger yang tertuang dalam Being and
Time. Beberapa konsep kunci dari pemikiran Heidegger yang dipakai Johnston dalam merumuskan pemikirannya adalah konsep tentang kebenaran truth, Dasein Being
There, Being in the world dan Being in itself. Saya tidak menerjemahkan istilah-istilah tersebut ke dalam Bahasa Indonesia karena dalam beberapa hal, padanan kata dalam
bahasa Indonesia menurut saya mengurangi kelenturan makna istilah-istilah tersebut. Dalam tesisnya, Johnston menganalisa pemikiran tiga tokoh teater yang paling
berpengaruh dunia, yakni Constantin Stanislavsky, Antonin Artaud, dan Bertolt Brecht dalam rangka untuk menguji aspek kebenaran eksistensial yang diusung oleh
fenomenologi Heidegger melalui proses penciptaan akting. Johnston menegaskan bahwa ia tak bermaksud untuk menyandingkan gagasan Heidegger dengan pencapaian
aktor, akan tetapi dengan meneliti aktor dalam menciptakan kediriannya melalui akting, hal tersebut menjadi dialektika baru dalam memahami fenomena kebenaran; Being there
10 dan Being in the world. Menurut Johnston, aktor teater merupakan perwujudan dari
abstraksi pemikiran Heidegger terkait dengan kebenaran. Dalam tesisnya Johnston menyebutkan bahwa aktor merupakan filsuf manual atau
dengan kata lain aktor merupakan perwujudan dari filsafat manual. Akan tetapi, Johnston menyatakan bahwa tidak semua aktor adalah filsuf manual. Hanya aktor-aktor
yang sesuai dengan kategori ideal tiga tokoh teater tersebutlah yang layak disebut sebagai filsuf manual. Dengan kata lain, Stanislavsky, Artaud, dan Brecht merupakan
tokoh ideal yang layak disebut sebagai filsuf manual. Cara ketiga tokoh tersebut dalam mengkonsepsikan ideal teater, ideal aktor, dan ideal kehidupan sudah dengan sendirinya
mengantar ketiga tokoh tersebut sebagai tokoh kunci yang namanya layak disandingkan dengan pemikir-pemikir lain di bidang ilmu sosial. Sehingga, analisis Johnston dengan
pendekatan fenomenologi
Heidegger terkesan
sekedar mencocokkan
atau menyetarakan; ibarat Heidegger membuat sebuah teori, sebuah abstraksi tentang
kebenaran eksistensial kemanusiaan, Stanislavsky, Artaud, dan Brecht merupakan model yang tepat karena bidang mereka adalah bidang penciptaan akting yang kaitan
mendasarnya adalah memperlihatkan perilaku manusia dalam dunianya sendiri. Namun demikian, saya menemukan hal yang menarik dari penafsiran Johnston
yang menyatakan bahwa fenomena teater, atau yang tampak di panggung merupakan fenomena sebagaimana adanya. Peristiwa di panggung bukanlah sebuah kepalsuan atau
sekedar representasi atas kenyataan, akan tetapi adalah kenyataan itu sendiri dengan kewajaran yang tak bisa disamakan dengan kewajaran sehari-hari.
Penelitian berikutnya yang saya jadikan tinjauan adalah penelitian yang dilakukan oleh Marian McCurdy yang berjudul Acting and Its refusal in Theatre and Film 2014.
Dalam thesis tersebut McCurdy meneliti perilaku aktor yang menolak untuk akting