Teater: Antara Kesenangan, Kegelisahan, dan Kegilaan Dalam Kehidupan

75 pacaran bahkan sudah menikah, istilah cinta itu mungkin sudah nggak ada. Istilah seneng itu mungkin nggak ada. Aku berteater itu karena seneng kah? Karena apa ya? Ya seneng tapi juga gelisah. Macam-macam, tapi justru di situ. Tidak sebatas karena senang saya berteater. Tapi ya karena saya gelisah, karena saya sedih, karena saya marah, karena saya ingin menyampaikan sesuatu, karena saya berfikir, karena saya hidup. Bukan karena senang. Akan menjadi sempit kalau begitu. Aku berteater karena senang kok Iya po? Bagi saya nggak semata-mata itu kok. Ya kan sudah hampir dari separuh umur saya kan saya berteater. Jadi mungkin sudah melewati fase itu, bahwa pertanyaan berteater karena senang itu bukan lagi pertanyaan yang perlu saya jawab. Kamu senang? Nggak saya jawab, tapi saya yakin secara personal untuk saya jalani.” 72 Ada kesenangan, ada kegelisahan, ada kesedihan yang melebur menjadi satu seperti yang dimaknai Andika dengan mengibaratkan teater sebagai perempuan yang ia cintai. Sebagai praktiknya, ia merasa bahwa teater tidak hanya memberikan sesuatu pada Andika, akan tetapi sebagai gantinya, ia harus memberikan sesuatu kepada teater sebagai sumbangan pemikiran. Tak jarang Andika harus mengorbankan sesuatu untuk proses penciptaan teater dalam situasi budaya yang didominasi oleh pasar. Kerja teater dimaknai andika sebagai sesuatu yang tidak berakhir di panggung saja dan kerja ini berbeda konteksnya sebagai pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Kerja teater memiliki banyak turunan, bagi Andika, salah satunya dalam bentuk latihan dan latihan ini bukan semata-mata untuk pentas, melainkan untuk hidup. Akan tetapi dibalik ungkapan-ungkapan yang dilontarkan oleh para aktor tersebut, ada keyakinan-keyakinan tertentu yang membuat mereka tetap bertahan di teater, yakni keyakinan bahwa teater berguna bukan hanya bagi mereka yang telah berproses, melainkan bagi orang lain. “Berteater itu berguna untuk pembentukan karakter,” 73 ujar Mbah Tohir dan hal ini juga diakui oleh para aktor lain. Berguna dalam hal ini berarti 72 Wawancara dengan Andika pada tanggal 20 Juni 2014 73 Wawancara dengan Mbah Tohir pada tanggal 5 Maret 2015 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta. 76 baik . Namun apakah makna ‘baik’ jika dikaitkan dengan bisa memerankan banyak karakter? Bagaimana kemudian mereka berhadapan dengan masyarakat? Manfaat pembentukan karakter dalam hal ini bukan berarti menjadi tokoh lain lantas menggunakannya untuk membohongi orang lain. Mbah Tohir menegaskan; “Di teater itu dilatih. Orang biar jadi pinter, misalnya kita dilatih untuk berperan menjadi tokoh baik, atau tokoh jahat, dari situ kita kan mendapat pengetahuan, yang membuat kita kemudian bisa memilih, mana yang terbaik untuk kehidupan kita. Teater membuat orang jadi cerdas dan punya karakter. Bisa paham sesuatu juga bisa dipahami orang lain. Di teater itu kita harus jujur. Dalam memainkan peran nggak bisa kita bohong. Nggak jadi. Sehingga orang berteater itu orang yang dilatih untuk jujur sebenarnya.” 74 Dari ujaran Mbah Tohir, dia memberikan contoh konkrit bagaimana latihan teater bisa membentuk karakter yang bisa berinteraksi dengan sesama. Mbah Tohir bercerita bahwa di suatu sekolah, ada seorang anak yang diwajibkan ikut teater karena bagian dari mata pelajaran. Sebelumnya, anak tersebut merupakan anak yang susah berinteraksi meskipun ia memiliki kecerdasan di atas teman-temannya. Lantas, melalui proses teater, pada akhirnya anak tersebut terpaksa belajar berinteraksi hingga kemudian anak tersebut menemukan cara dan menyenangi pengalamannya berinteraksi dengan orang lain. Ungkapan Mbah Tohir ini merupakan suatu mode pembelajaran teater dalam arti yang lebih luas dari sekedar untuk penciptaan pentas. Jika salah satu efek dari latihan teater ini adalah untuk membentuk karakter yang bisa berinteraksi dengan orang lain, artinya latihan teater semestinya merupakan praktik yang dibutuhkan kebudayaan; interaksi antar manusia. 74 Wawancara dengan Mbah Tohir pada tanggal 5 Maret 2015 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta. 77 Sebagai narasumber yang paling tua dalam penelitian ini, Mbah Tohir merupakan aktor monolog yang hidupnya berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain. Pengembaraannya ini merupakan pilihan hidupnya meskipun hal tersebut terkesan sebagai kehidupan yang serba sulit. “Jika mau saya sudah jadi selebritis Srimulat mas. Lha saya yang ikut membangun, menulis naskah, juga menyutradarai. Tapi kan nggak saya lakukan.” 75 Kemudian Mbah Tohir memilih untuk bermain monolog dan menjalani kehidupan yang sedemikian rupa seorang diri. “Ya ini latihan saya sebagai aktor mas,” ujarnya, “Untuk mencari kesempurnaan saya sebagai manusia.” 76 Menurut cerita yang disampaikan Mbah Tohir, Tony Broer pernah mengatakan kepadanya bahwa teaternya teater Mbah Tohir merupakan teater kehidupan, karena pada prakteknya, Mbah Tohir membawa teaternya sampai pada kehidupan kesehariannya. Pilihan Mbah Tohir untuk menjadi dirinya yang seperti sekarang ini bisa dibilang merupakan pengalaman yang melawan mainstream ketika banyak orang saat ini yang berlomba-lomba untuk menjadi selebritis. Pada umumnya, pilihan hidup semacam ini cenderung dianggap sebagai pilihan yang tidak realistis. Namun Mbah Tohir senang menjalaninya dan menganggap bahwa pilihannya merupakan jalan yang baik untuk ia tempuh sebagai cara untuk memperoleh kesempurnaan hidup hingga akhir hayatnya nanti. Mbah Tohir sangat menyadari bahwa yang dilakukannya tidak akan mengantarkannya pada kesempurnaan karena beliau percaya bahwa kesempurnaan hanya milik tuhan dan manusia hanya bisa berusaha untuk melakukan hal yang terbaik. Ungkapan Mbah Tohir tersebut menciptakan kesan bahwa ada sisi spiritual yang ia yakini dari berteater. Hal yang mirip juga diungkapkan oleh Andika, teater bukanlah 75 Wawancara dengan Mbah Tohir pada tanggal 5 Maret 2015 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta.. 76 Ibid. 78 agama, namun dengan berteater Andika merasa mendapat pencerahan hidup dari segi spiritualitas. Andika bercerita bahwa dulu ia merupakan seseorang yang jarang beribadah, namun dalam proses kedepannya, melalui teater, Andika mengakui bahwa teater telah memberikan hal yang sifatnya spiritual yang bersifat abstrak yang sulit untuk ia jelaskan namun ia meyakininya. Demikian cerita Andika: “Kalau saya nggak melihat teater seperti agama. Karena bagi saya kalau teater dianalogikan menjadi sebuah agama itu menjadi sesuatu yang salah. Menurut saya. Tapi ini mungkin konteksnya berhubungan dengan keimanan saya. Nggak tahu kalau di agama lain. Teater ya teater, agama ya agama. Gampangnya gini, karena saya Islam, waktunya sholat ya harus sholat. Meskipun saya belum lama melakukannya. Saya dulu juga orang nakal, wis ora tau sholat. Tapi itu dulu, sekarang itu saya memandang teater ya teater, agama ya agama, dan keduanya itu bagian dari hidup saya. Dan teater itu juga berkait dengan agama saya, dengan keimanan saya. Agama juga begitu, karena ada kaitannya dengan...saya nggak berani ngomong gimana ndak seperti sombong, tapi bagi saya teater memberikan pengaruh pada saya di wilayah spiritualitas. Dan itu bukan janji teater, melainkan itu kegunaan teater bagi saya. Ya melalui latihan-latihan apapun itu, membaca naskah, berhubungan dengan masyarakat, berbagai macam pesan yang saya dapat dari latihan, dari naskah, dari pentas, bagi saya semua proses latihan teater itu memberikan stimulus bagi saya tentang spiritualitas. Ya kalau berbicara konkrit itu nggak ada wujudnya, tapi saya meyakini hal itu. Kontribusi teater ada di situ, untuk membuat saya sadar, membuat saya yakin. Teater mempunyai peran itu. Bagi saya itu ada, meskipun ada orang-orang tertentu yang meyakini teater itu sebagai agama. Berteater itu juga masuk surga. Ya itu nggak apa-apa, terserah. Tapi kalau saya, dalam konteks keimanan saya, itu terpisah antara agama dan teater karena keduanya mempunyai paradigmanya masing-masing. Tapi kalau apakah teater itu ada hubungannya dengan agama ya bagi saya ada. Saya yakin spiritualitas seseorang itu berpengaruh pada karyanya kok. Spiritualitas orang itu pasti sedikit banyak ada di karyanya. Bahkan kebodohan, kedangkalan, kejelian itu pasti terepresentasikan melalui karya seseorang. Nah tadi kalau soal cita- cita yang diinginkan dari teater, untuk sekarang ini saya nggak menginginkan apa-apa. Karena teater bagi saya sudah memberikan banyak hal pada saya. Nah kalau saya kemudian saya latihan, saya proses lagi, dan saya mendapatkan sesuatu, ya itu yang patut saya syukuri. Bagi saya teater itu memberikan banyak hal bagi saya. Tuhan memberikan hal tersebut melalui teater.” 77 77 Wawancara dengan Andika pada tanggal 20 Juni 2014 79 Berbeda ungkapan dengan mbah Tohir dan Andika, Nunung memaknai teaternya sebagai energi yang menjadi sumber bagi kehidupannya. Baik dalam hal menciptakan proses pertunjukan ataupun sebagai penonton, Nunung merasa bahwa teater adalah energi positif yang membuatnya merasa ingin bergerak dan menciptakan sesuatu. Tita, dekat dengan yang diungkapkan Nunung, merasa bahwa dengan berteater, ia terdorong untuk memaksakan dirinya berkreativitas. “Teater adalah energi kreatif untuk hidup dan mengkreatifi kehidupan ” 78 ujarnya. Dengan teater, mereka merasa hidup. Karena: “Teater adalah rasa hidup.” 79 Kata Nunung. Namun rasa hidup yang bagaimanakah? Nunung bercerita: “Di panggung itu rasanya gimana ya? Aku nggak tahu tapi selalu begitu; kayak meluap-luap. Rasane ki urip banget, aku seolah merasakan aliran energi ya dari penonton, ya dari situasi yang terbangun di panggung. Kamu sering lihat aku kan kalau sebelum pentas itu aku selalu mual-mual, pengen muntah, bolak-balik di kamar mandi. Ada ketegangan yang entah gimana karena semua yang aku lakukan di proses akan dipertaruhkan saat itu juga.” 80 Sementara bagi Tita, dengan mengatakan bahwa teater merupakan energi kreatif untuk hidup dan teater merupakan cara untuk membuat kreatifitas kehidupan, teater bagi Tita merupakan sesuatu yang mendorong Tita untuk selalu berfikir lebih dan berbuat lebih. Kerena teater, hal itu membuat Tita menjadi harus untuk melakukannya. Namun harus dalam hal ini berbeda dengan harus yang bersifat menekan mematuhi hukum, misalnya, melainkan keharusan karena suatu keinginan yang mendesak. Tita bercerita: “Kalau di teater, aku nggak bisa tinggal diam begitu saja. Aku harus melakukan sesuatu. Sebagai aktor kan kita menafsirkan, menciptakan, nah ini yang selalu aku jadikan pegangan. Aktor itu seniman, dan seniman itu harus kreatif. Kalau nggak gitu aku ngrasa nggak memberi kontribusi pada 78 Wawancara dengan Tita pada tanggal 24 Juni 2014 di Padepokan Seni Bagong Kussudihardja 79 Wawancara dengan Nunung pada tanggal 26 Juni 2014 80 Ibid. 80 orang lain. Kalau aku lihat pentas atau karya seni gitu dan aku merasa mendapat inspirasi, maka ketika aku harus berproses, ya gimana caranya supaya orang lain nanti mendapat inspirasi dari apa yang aku lakukan. Nah kalau teater kan yang ditampilkan adalah peristiwa kehidupan, jadi bagiku itu adalah kehidupan yang harus dikreatifi. Kalau pakai istilah kita di padepokan ya teater adalah energi kreatif untuk hidup dan mengkreatifi kehidupan.” 81 Melihat berbagai pemaknaan atas teater dari cerita-cerita para aktor tersebut, dari berbagai macam versinya, bisa diartikan bahwa masing-masing pemaknaan tersebut tak lepas dari relasi aktor dengan teater dan kehidupan yang mereka alami. Semua pemaknaan tersebut bersifat personal dan cenderung mengarah pada hal baik yang ditempuh melalui teater. Pemaknaan teater dalam konteks yang lebih luas diutarakan oleh Gunawan Maryanto selaku aktor sekaligus seseorang yang sangat familiar dengan dunia penelitian teater. Ketika saya melontarkan pertanyaan yang terkait dengan perkembangan teater saat ini, Gunawan Maryanto bercerita demikian: “Ya memang berkembang. Tumbuh. kalau dulu teater itu kayak upacara, lalu menjadi media lakon, ini kita bisa melihat teater tradisi, masyarakatnya sudah tahu ceritanya, yang mungkin sudah berulang-ulang, tapi mereka masih membutuhkan itu sebagai wahana, untuk berkumpul, untuk meneguhkan: Oo...aku masih orang jawa lho dengan melihat wayang. Meskipun ia tidak memperhatikan ceritanya, tapi dengan datang ke situ, dia masih mengikatkan diri dengan suatu kelompok masyarakat tertentu. Fungsi itu masih dan berkembang. Dalam arti kalau dulu itu masih menjadi reriyungan, untuk meneguhkan ikatan-ikatan yang lebih emosional, tapi untuk perkembangannya teater kan menjadi satu wahana untuk bercakap- cakap, diskusi, untuk mengungkapkan kenyataan-kenyataan hari ini, kan gitu.” 82 Berteater memang tak lepas dari kebutuhan untuk berbaur bersama orang lain; meneguhkan ikatan emosional, jika meminjam istilah Gunawan Maryanto atau srawung 81 Wawancara dengan Tita pada tanggal 24 Juni 2014 di Padepokan Seni Bagong Kussudihardja 82 Wawancara dengan Gunawan Maryanto pada tanggal 7 Maret 2015 di Garasi Institute of Performance, Nitiprayan, Yogyakarta. 81 jika memakai cerita Mbah Tohir. Dalam praktiknya memang demikian, seorang aktor harus belajar berbicara, menyampaikan sesuatu, memikirkan sesuatu; dengan sendirinya berteater tak lain adalah belajar berkehidupan. Lebih dalam dari hal itu; mengakali kehidupan, sebagaimana yang dikatakan Tita bahwa teater memberikan energi kreatif untuk hidup, mengkreatifi kehidupan. Jika melihat pemaknaan-pemaknaan yang telah diceritakan oleh para aktor tersebut, kiranya kita bisa melihat bahwa berteater merupakan pendekatan yang penting untuk menjalani kehidupan. Berbekal mempelajari kehidupan untuk kemudian ditampilkan di atas panggung, minimal hal itu berdampak pada diri aktor sendiri, sebagaimana dikatakan Gunawan Maryanto, setiap kali proses artinya ada yang bertambah pada diri aktor. Artinya dia tidak membeku pada satu pencapaian, melainkan terus beranjak, terus bergerak untuk melampaui yang telah ia capai sebagai manusia seperti kata Mbah Tohir, berteater untuk menyempurnakan kemanusiaan dan setidaknya, seperti kata Nunung, berteater untuk mendapatkan rasa hidup; senang, sedih, marah, gelisah, takut, cemas yang melebur menjadi satu, yang dikatakan oleh Andika sebagai cinta. 82

BAB III RE-KREASI KEHIDUPAN MELALUI TEATER

Bab III ini dimaksudkan sebagai analisa atas fenomena pengalaman aktor teater dalam menjalani perannya di dunia teater dan sebagian kecil dari pengalaman mereka sehubungan dengan keaktoran dan teater di dunia keseharian. Pengalaman- pengalaman tersebut telah dinarasikan dalam bab II dan untuk menganalisa narasi tersebut, dalam bab III ini, saya menggunakan teori sublimasi Lacanian. 83 Secara garis besar, kerangka teori sublimasi ini sudah dipaparkan dalam Bab I dan sebagai aplikasinya, kerangka teori tersebut kini dipergunakan untuk membahas pengalaman- pengalaman aktor sebagai pengalaman sublim. Bab III ini dibagi menjadi dua sub-bab. Sub-bab pertama membahas pengalaman aktor dalam menghayati peran yang dimainkannya dan sub-bab kedua akan membahas pengalaman aktor dalam menjalani dua dunia yakni dunia teater dan dunia keseharian. Dalam sub-bab pertama, beberapa hal yang hendak dibicarakan dibagi dalam tiga bagian, yakni berpijak pada teks: dari subjek makna sampai subjek hasrat, dan berpijak pada tubuh: dari subjek dorongan sampai subjek hasrat, dan berpijak pada sinthome: panggung sublimasi. Sementara dalam sub-bab kedua dibahas mengenai dunia keseharian simbolik: batasan yang menjadi dorongan dan melampaui keseharian melalui teater. 83 Teori sublimasi Lacanian ini telah ditafsirkan kembali oleh Marc De Kesel dalam bukunya yang berjudul Eros and Ethics: Reading Jaques Lacan’s Seminar VII dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Sigi Jottkandt. 83

A. Membaca Penghayatan Aktor Melalui Perspektif Teori Subjek Lacanian

Bagian ini merupakan analisa atas pengalaman aktor ketika menjalani proses penciptaan pertunjukan. Untuk menempatkan jenis pengalaman-pengalaman tersebut sebagai pengalaman sublim, pengalaman tersebut harus dibaca sebagai pengalaman- pengalaman yang terbentuk dari relasi aktor terhadap hal-hal di luar dirinya 84 . Berdasarkan teori sublimasi, bagian ini akan meneliti perkembangan pembentukan subjek seorang aktor, yaitu aktor sebagai subjek bahasa subject of language dan subjek hasrat subject of desire, sebagai subjek dorongan subject of drive, dan pengalaman akan sinthome dalam panggung sublimasi. Berdasarkan data yang telah dinarasikan dalam bab sebelumnya, masing-masing tahap ini bisa dikaitkan dengan pengalaman aktor saat mendalami makna naskah sampai mencapai kenikmatan atau kesenangan pleasure teks, saat seorang aktor melampaui makna dan kenikmatan teks menuju das Ding dalam teks, dan saat seorang aktor berhasil melahirkan penandanya sendiri sinthome dalam panggung sublimasi.

1. Berpijak Pada Teks: Dari Subjek Makna Sampai Subjek Hasrat

Setiap orang butuh fiksi karena hanya dengan itulah manusia masih ingin bertahan dengan kehidupan, percaya dengan janji-janji; melalui fiksi kita bisa membayangkan kehidupan yang lebih baik. Fiksi menyediakan fantasi 85 terkait dengan hal tersebut. 84 Marc De Kesel, Eros and Ethic: Reading Jaques Lacan’s Seminar VII translated by Sigi Jottkandt, 2009. Lihat halaman 166. 85 Buku Sean Homer yang berjudul Jaques Lacan, Routledge, 2005. Lihat halaman 86- 87. Dalam perspektif psikoanalisa, fantasi memiliki peran penting; fantasi, berbeda dengan objek a objek penyebab hasrat, merupakan jalan bagi subjek untuk menyusun hasratnya. Fantasi dan objek a merupakan satu kolaborasi yang menyebabkan subjek menjadi subjek hasrat desiring subject. Dengan adanya fantasi dan objek a, subjek pada akhirnya sampai pada tahap memiliki dorongan hidup drive yang mengarah pada sesuatu aksi. Namun demikian, fantasi ini penting bagi subjek sebagai carajalan untuk mengisi kekosongan di balik objek a. 84 Naskah drama pun demikian, seseorang menuliskannya; menuliskan kehidupan yang ia tafsirkan, melalui tokoh-tokoh fiktif dalam cerita, untuk menceritakan duduk persoalan dan kegelisahan yang dihadapi manusia. Konon naskah yang bagus adalah naskah yang bisa mempengaruhi emosi pembaca; jika naskah itu bercerita tentang kesedihan maka pembaca akan menangis dan jika naskah itu bercerita tentang kelucuan maka pembaca akan tertawa. Tak selesai sampai di sana, naskah yang bagus konon membuat pembaca tergerak untuk melakukan sesuatu. Relasi antara seorang aktor dengan naskah merupakan relasi yang sentral dalam proses penciptaan peran. Melalui naskah drama, aktor mencerap cerita yang dibahasakan oleh penulis naskah. Lantas bagaimana aktor menyikapi naskah drama, atau menyikapi cerita? Aktor adalah pembaca yang berbeda dengan pembaca biasa; ia tidak hanya sekedar membaca untuk mencari makna melainkan mencarikan dan menciptakan bahasa lain untuk menceritakan apa yang telah ia baca dengan penanda- penanda tubuh yang dinamai sebagai akting. Dalam hal ini, ketika aktor berhadapan dengan naskah dan memutuskan untuk mementaskan naskah tersebut, maka dia bukan lagi merupakan subjek bahasa dalam pengertian dia puas dengan naskah yang ia baca sehingga ia tidak perlu melakukan apa-apa lagi. Sebaliknya, dalam kasus ini dan berdasarkan data yang telah saya susun, aktor menempati posisinya sebagai subjek dorongan; hasrat aktor dibangkitkan melalui naskah. Aktor mengalami pengalaman lack dari proses membaca atau menulis ulang? akan dijelaskan dalam sub-bagian selanjutnya. Untuk melihat lebih jauh bagaimana aktor mengalami pengalaman Terminologi umum yang bisa disandingkan dengan fantasi adalah imajinasi; cara subjek menyusun gambaran atas ketiadaan. Kesel 2009: 38 mengatakan bahwa fantasi merupakan cara subjek bertahan atas kekosonganlack dari dunia simbolik. 85 menjadi subjek hasrat desiring subject, saya akan mengutip lagi pernyataan yang dilontarkan oleh Gunawan Maryanto: “Kalau kita ngangkat teks artinya kita berpijak pada teks dulu. Sebelum nanti ke yang lain-lain seperti observasi dan sebagainya itu yang pertama harus berpijak pada teks dulu. Jadi bedah naskah itu memang penting banget mulai dari mempelajari karakter dan hal-hal yang disampaikan di sana. Dari sana itu kan sebenarnya bisa kemana-mana, ke pengarangnya, ke kondisi sosial ketika teks itu di bangun dan konteks sosial ketika naskah itu akan di pentaskan, kan jadi banyak itu pengembangannya. Pada praktik keaktorannya memang tidak bisa berhenti di sana saja, kan itu telaah, ya telaah yang kemudian aktor kan harus menubuhkan, sehingga ada proses yang lebih jauh lagi. Ketika proses menubuhkan ini kemudian memang membutuhkan observasi; yang pertama, mencari padanan, mencari rujukan yang paling dekat lah di lingkungan kita. Mencari model; di observasi itu selain mencari data ya mencari model yang akan kita mainkan. Ya kemudian kembali lagi pada prinsip awal teater; teater itu kan tiruan. Ketika sudah menemukan modelnya kan kita melakukan peniruan-peniruan dulu. Dari tubuh, dari pelisanannya, dan sebagainya. Itu kan proses mewujudkan ide- ide yang ada dari teks itu.” 86 Pengalaman Gunawan Maryanto tersebut merupakan pengalaman aktor yang menjadi subjek hasrat; dia tergerak untuk melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar membaca untuk menemukan makna. Dengan melakukan analisis naskah, melakukan observasi, mencari refrensi, dan menempuh proses latihan, dia ingin menghadirkan pengalamannya berdialektika dengan naskah melalui akting yang ia ciptakan. Relasi aktor dengan naskah dalam proses identifikasi awal misalnya melalui tahapan pembacaan dan analisa naskah merupakan relasi imajiner 87 ; seperti halnya penonton mengidentifikasikan dirinya dengan apa yang ia tonton, dalam proses membaca naskah, aktor mengidentifikasikan dirinya dengan karakter alter ego dalam naskah. Pada proses identifikasi ini, aktor biasanya selalu mengimajinasikan dirinya 86 Wawancara dengan Gunawan Maryanto pada tanggal 7 Maret 2015 di Garasi Institute of Performance, Nitiprayan, Yogyakarta. 87 Konsepsi Lacan mengenai fase cermin ini dapat dilihat di tulisan Homer pada bab The Imaginary pada halaman 24. 86 sebagai tokoh dalam cerita; dia membayangkan dirinya mengalami peristiwa yang tertuliskan dalam naskah terbentuklah ego imajiner dan dalam relasi ini aktor menempati posisinya sebagai subjek hasrat hasrat subjek dibangkitkan melalui naskah; hal ini bisa dikaitkan dengan hasrat subjek untuk menghidupkan tokoh melalui dirinya. Di sisi lain, hasrat merupakan pengingat bahwa subjek selalu memiliki lack 88 . Dikaitkan dengan dunia pertunjukan, hasrat aktor salah satunya adalah untuk berdiri di atas panggung; mencari pengakuan. Tentunya pengakuan bisa merujuk pada bentuk- bentuk konkrit, misalnya ingin diakui sebagai aktor hebat. Namun hal ini tidak cukup demikian; disebut sebagai aktor hebat masih terkesan abstrak, untuk itu aktor butuh sesuatu yang konkrit; aktor harus menjadi seseorang yang lain punya identitas lain di atas panggung. Bagi aktor, naskah di sisi lain adalah jalan menuju kepanggung untuk mengatakan siapa dirinya; “aku adalah tokoh dalam cerita”. Ketika aktor berproses dengan menggunakan naskah, maka cara aktor untuk mengidentifikasi perannya, pertama-tama, adalah dengan menyenangi naskah yang akan dimainkan sebagaimana hal ini juga diceritakan oleh Pak Untung dan Mbah Tohir. Melihat pengalaman mereka sebagai subjek dalam fase cermin, ketika subjek mengidentifikasikan dirinya dengan cermin, subjek senang dengan bayangan yang dipantulkan oleh cermin; meskipun yang dipantulkan merupakan bayangan, namun subjek merasa bahwa bayangan tersebut adalah miliknya. Kenapa subjek senang? Karena melalui bayangan itu subjek merasa utuh; menemukan ‘aku’ ego terbentuk. Menyetarakan naskah dengan cermin, kesenangan dalam membaca bercermin dengan 88 Kesel, 2009: 3. Atau lihat buku Dylan Evans yang berjudul An Introductory of Dictionary of Lacanian Psychoanalysis, Taylor Francis e-Library, 2006. Halaman 36-39. Kebutuhan subjek dipenuhi dengan cara subjek mengatakan kebutuhannya meminta kepada Liyan. Namun pemenuhan ini tidak sepenuhnya memberikan kepuasan, selalu ada yang kurang lack. Kekurangan ini melahirkan hasrat desire.