Teater: Antara Kesenangan, Kegelisahan, dan Kegilaan Dalam Kehidupan
75 pacaran bahkan sudah menikah, istilah cinta itu mungkin sudah nggak ada.
Istilah seneng itu mungkin nggak ada. Aku berteater itu karena seneng kah? Karena apa ya? Ya seneng tapi juga gelisah. Macam-macam, tapi justru di
situ. Tidak sebatas karena senang saya berteater. Tapi ya karena saya gelisah, karena saya sedih, karena saya marah, karena saya ingin
menyampaikan sesuatu, karena saya berfikir, karena saya hidup. Bukan karena senang. Akan menjadi sempit kalau begitu. Aku berteater karena
senang kok Iya po? Bagi saya nggak semata-mata itu kok. Ya kan sudah hampir dari separuh umur saya kan saya berteater. Jadi mungkin sudah
melewati fase itu, bahwa pertanyaan berteater karena senang itu bukan lagi pertanyaan yang perlu saya jawab. Kamu senang? Nggak saya jawab, tapi
saya yakin secara personal untuk saya jalani.”
72
Ada kesenangan, ada kegelisahan, ada kesedihan yang melebur menjadi satu seperti yang dimaknai Andika dengan mengibaratkan teater sebagai perempuan yang ia
cintai. Sebagai praktiknya, ia merasa bahwa teater tidak hanya memberikan sesuatu pada Andika, akan tetapi sebagai gantinya, ia harus memberikan sesuatu kepada teater
sebagai sumbangan pemikiran. Tak jarang Andika harus mengorbankan sesuatu untuk proses penciptaan teater dalam situasi budaya yang didominasi oleh pasar. Kerja teater
dimaknai andika sebagai sesuatu yang tidak berakhir di panggung saja dan kerja ini berbeda konteksnya sebagai pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Kerja
teater memiliki banyak turunan, bagi Andika, salah satunya dalam bentuk latihan dan latihan ini bukan semata-mata untuk pentas, melainkan untuk hidup.
Akan tetapi dibalik ungkapan-ungkapan yang dilontarkan oleh para aktor tersebut, ada keyakinan-keyakinan tertentu yang membuat mereka tetap bertahan di teater, yakni
keyakinan bahwa teater berguna bukan hanya bagi mereka yang telah berproses, melainkan bagi orang lain. “Berteater itu berguna untuk pembentukan karakter,”
73
ujar Mbah Tohir dan hal ini juga diakui oleh para aktor lain. Berguna dalam hal ini berarti
72
Wawancara dengan Andika pada tanggal 20 Juni 2014
73
Wawancara dengan Mbah Tohir pada tanggal 5 Maret 2015 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta.
76 baik
. Namun apakah makna ‘baik’ jika dikaitkan dengan bisa memerankan banyak karakter? Bagaimana kemudian mereka berhadapan dengan masyarakat? Manfaat
pembentukan karakter dalam hal ini bukan berarti menjadi tokoh lain lantas menggunakannya untuk membohongi orang lain. Mbah Tohir menegaskan;
“Di teater itu dilatih. Orang biar jadi pinter, misalnya kita dilatih untuk berperan menjadi tokoh baik, atau tokoh jahat, dari situ kita kan mendapat
pengetahuan, yang membuat kita kemudian bisa memilih, mana yang terbaik untuk kehidupan kita. Teater membuat orang jadi cerdas dan punya
karakter. Bisa paham sesuatu juga bisa dipahami orang lain. Di teater itu kita harus jujur. Dalam memainkan peran nggak bisa kita bohong. Nggak
jadi. Sehingga orang berteater itu orang yang dilatih untuk jujur sebenarnya.”
74
Dari ujaran Mbah Tohir, dia memberikan contoh konkrit bagaimana latihan teater bisa membentuk karakter yang bisa berinteraksi dengan sesama. Mbah Tohir bercerita
bahwa di suatu sekolah, ada seorang anak yang diwajibkan ikut teater karena bagian dari mata pelajaran. Sebelumnya, anak tersebut merupakan anak yang susah berinteraksi
meskipun ia memiliki kecerdasan di atas teman-temannya. Lantas, melalui proses teater, pada akhirnya anak tersebut terpaksa belajar berinteraksi hingga kemudian anak tersebut
menemukan cara dan menyenangi pengalamannya berinteraksi dengan orang lain. Ungkapan Mbah Tohir ini merupakan suatu mode pembelajaran teater dalam arti
yang lebih luas dari sekedar untuk penciptaan pentas. Jika salah satu efek dari latihan teater ini adalah untuk membentuk karakter yang bisa berinteraksi dengan orang lain,
artinya latihan teater semestinya merupakan praktik yang dibutuhkan kebudayaan; interaksi antar manusia.
74
Wawancara dengan Mbah Tohir pada tanggal 5 Maret 2015 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta.
77 Sebagai narasumber yang paling tua dalam penelitian ini, Mbah Tohir merupakan
aktor monolog yang hidupnya berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain. Pengembaraannya ini merupakan pilihan hidupnya meskipun hal tersebut terkesan
sebagai kehidupan yang serba sulit. “Jika mau saya sudah jadi selebritis Srimulat mas. Lha saya yang ikut membangun, menulis naskah, juga menyutradarai. Tapi kan nggak
saya lakukan.”
75
Kemudian Mbah Tohir memilih untuk bermain monolog dan menjalani kehidupan yang sedemikian rupa seorang diri. “Ya ini latihan saya sebagai
aktor mas,” ujarnya, “Untuk mencari kesempurnaan saya sebagai manusia.”
76
Menurut cerita yang disampaikan Mbah Tohir, Tony Broer pernah mengatakan kepadanya bahwa
teaternya teater Mbah Tohir merupakan teater kehidupan, karena pada prakteknya, Mbah Tohir membawa teaternya sampai pada kehidupan kesehariannya.
Pilihan Mbah Tohir untuk menjadi dirinya yang seperti sekarang ini bisa dibilang merupakan pengalaman yang melawan mainstream ketika banyak orang saat ini yang
berlomba-lomba untuk menjadi selebritis. Pada umumnya, pilihan hidup semacam ini cenderung dianggap sebagai pilihan yang tidak realistis. Namun Mbah Tohir senang
menjalaninya dan menganggap bahwa pilihannya merupakan jalan yang baik untuk ia tempuh sebagai cara untuk memperoleh kesempurnaan hidup hingga akhir hayatnya
nanti. Mbah Tohir sangat menyadari bahwa yang dilakukannya tidak akan mengantarkannya pada kesempurnaan karena beliau percaya bahwa kesempurnaan
hanya milik tuhan dan manusia hanya bisa berusaha untuk melakukan hal yang terbaik. Ungkapan Mbah Tohir tersebut menciptakan kesan bahwa ada sisi spiritual yang
ia yakini dari berteater. Hal yang mirip juga diungkapkan oleh Andika, teater bukanlah
75
Wawancara dengan Mbah Tohir pada tanggal 5 Maret 2015 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta..
76
Ibid.
78 agama, namun dengan berteater Andika merasa mendapat pencerahan hidup dari segi
spiritualitas. Andika bercerita bahwa dulu ia merupakan seseorang yang jarang beribadah, namun dalam proses kedepannya, melalui teater, Andika mengakui bahwa
teater telah memberikan hal yang sifatnya spiritual yang bersifat abstrak yang sulit untuk ia jelaskan namun ia meyakininya. Demikian cerita Andika:
“Kalau saya nggak melihat teater seperti agama. Karena bagi saya kalau teater dianalogikan menjadi sebuah agama itu menjadi sesuatu yang salah.
Menurut saya. Tapi ini mungkin konteksnya berhubungan dengan keimanan saya. Nggak tahu kalau di agama lain. Teater ya teater, agama ya agama.
Gampangnya gini, karena saya Islam, waktunya sholat ya harus sholat. Meskipun saya belum lama melakukannya. Saya dulu juga orang nakal, wis
ora tau sholat. Tapi itu dulu, sekarang itu saya memandang teater ya teater, agama ya agama, dan keduanya itu bagian dari hidup saya. Dan teater itu
juga berkait dengan agama saya, dengan keimanan saya. Agama juga begitu, karena ada kaitannya dengan...saya nggak berani ngomong gimana ndak
seperti sombong, tapi bagi saya teater memberikan pengaruh pada saya di wilayah spiritualitas. Dan itu bukan janji teater, melainkan itu kegunaan
teater bagi saya. Ya melalui latihan-latihan apapun itu, membaca naskah, berhubungan dengan masyarakat, berbagai macam pesan yang saya dapat
dari latihan, dari naskah, dari pentas, bagi saya semua proses latihan teater itu memberikan stimulus bagi saya tentang spiritualitas. Ya kalau berbicara
konkrit itu nggak ada wujudnya, tapi saya meyakini hal itu. Kontribusi teater ada di situ, untuk membuat saya sadar, membuat saya yakin. Teater
mempunyai peran itu. Bagi saya itu ada, meskipun ada orang-orang tertentu yang meyakini teater itu sebagai agama. Berteater itu juga masuk surga. Ya
itu nggak apa-apa, terserah. Tapi kalau saya, dalam konteks keimanan saya, itu terpisah antara agama dan teater karena keduanya mempunyai
paradigmanya masing-masing. Tapi kalau apakah teater itu ada hubungannya dengan agama ya bagi saya ada. Saya yakin spiritualitas
seseorang itu berpengaruh pada karyanya kok. Spiritualitas orang itu pasti sedikit banyak ada di karyanya. Bahkan kebodohan, kedangkalan, kejelian
itu pasti terepresentasikan melalui karya seseorang. Nah tadi kalau soal cita- cita yang diinginkan dari teater, untuk sekarang ini saya nggak
menginginkan apa-apa. Karena teater bagi saya sudah memberikan banyak hal pada saya. Nah kalau saya kemudian saya latihan, saya proses lagi, dan
saya mendapatkan sesuatu, ya itu yang patut saya syukuri. Bagi saya teater itu memberikan banyak hal bagi saya. Tuhan memberikan hal tersebut
melalui teater.”
77
77
Wawancara dengan Andika pada tanggal 20 Juni 2014
79 Berbeda ungkapan dengan mbah Tohir dan Andika, Nunung memaknai teaternya
sebagai energi yang menjadi sumber bagi kehidupannya. Baik dalam hal menciptakan proses pertunjukan ataupun sebagai penonton, Nunung merasa bahwa teater adalah
energi positif yang membuatnya merasa ingin bergerak dan menciptakan sesuatu. Tita, dekat dengan yang diungkapkan Nunung, merasa bahwa dengan berteater, ia terdorong
untuk memaksakan dirinya berkreativitas. “Teater adalah energi kreatif untuk hidup dan mengkreatifi kehidupan
”
78
ujarnya. Dengan teater, mereka merasa hidup. Karena: “Teater adalah rasa hidup.”
79
Kata Nunung. Namun rasa hidup yang bagaimanakah? Nunung bercerita:
“Di panggung itu rasanya gimana ya? Aku nggak tahu tapi selalu begitu; kayak meluap-luap. Rasane ki urip banget, aku seolah merasakan aliran
energi ya dari penonton, ya dari situasi yang terbangun di panggung. Kamu sering lihat aku kan kalau sebelum pentas itu aku selalu mual-mual, pengen
muntah, bolak-balik di kamar mandi. Ada ketegangan yang entah gimana karena semua yang aku lakukan di proses akan dipertaruhkan saat itu
juga.”
80
Sementara bagi Tita, dengan mengatakan bahwa teater merupakan energi kreatif untuk hidup dan teater merupakan cara untuk membuat kreatifitas kehidupan, teater bagi
Tita merupakan sesuatu yang mendorong Tita untuk selalu berfikir lebih dan berbuat lebih. Kerena teater, hal itu membuat Tita menjadi harus untuk melakukannya. Namun
harus dalam hal ini berbeda dengan harus yang bersifat menekan mematuhi hukum, misalnya, melainkan keharusan karena suatu keinginan yang mendesak. Tita bercerita:
“Kalau di teater, aku nggak bisa tinggal diam begitu saja. Aku harus melakukan sesuatu. Sebagai aktor kan kita menafsirkan, menciptakan, nah
ini yang selalu aku jadikan pegangan. Aktor itu seniman, dan seniman itu harus kreatif. Kalau nggak gitu aku ngrasa nggak memberi kontribusi pada
78
Wawancara dengan Tita pada tanggal 24 Juni 2014 di Padepokan Seni Bagong Kussudihardja
79
Wawancara dengan Nunung pada tanggal 26 Juni 2014
80
Ibid.
80 orang lain. Kalau aku lihat pentas atau karya seni gitu dan aku merasa
mendapat inspirasi, maka ketika aku harus berproses, ya gimana caranya supaya orang lain nanti mendapat inspirasi dari apa yang aku lakukan. Nah
kalau teater kan yang ditampilkan adalah peristiwa kehidupan, jadi bagiku itu adalah kehidupan yang harus dikreatifi. Kalau pakai istilah kita di
padepokan ya teater adalah energi kreatif untuk hidup dan mengkreatifi kehidupan.”
81
Melihat berbagai pemaknaan atas teater dari cerita-cerita para aktor tersebut, dari berbagai macam versinya, bisa diartikan bahwa masing-masing pemaknaan tersebut tak
lepas dari relasi aktor dengan teater dan kehidupan yang mereka alami. Semua pemaknaan tersebut bersifat personal dan cenderung mengarah pada hal baik yang
ditempuh melalui teater. Pemaknaan teater dalam konteks yang lebih luas diutarakan oleh Gunawan Maryanto selaku aktor sekaligus seseorang yang sangat familiar dengan
dunia penelitian teater. Ketika saya melontarkan pertanyaan yang terkait dengan perkembangan teater saat ini, Gunawan Maryanto bercerita demikian:
“Ya memang berkembang. Tumbuh. kalau dulu teater itu kayak upacara, lalu menjadi media lakon, ini kita bisa melihat teater tradisi, masyarakatnya
sudah tahu ceritanya, yang mungkin sudah berulang-ulang, tapi mereka masih membutuhkan itu sebagai wahana, untuk berkumpul, untuk
meneguhkan: Oo...aku masih orang jawa lho dengan melihat wayang. Meskipun ia tidak memperhatikan ceritanya, tapi dengan datang ke situ, dia
masih mengikatkan diri dengan suatu kelompok masyarakat tertentu. Fungsi itu masih dan berkembang. Dalam arti kalau dulu itu masih menjadi
reriyungan, untuk meneguhkan ikatan-ikatan yang lebih emosional, tapi untuk perkembangannya teater kan menjadi satu wahana untuk bercakap-
cakap, diskusi, untuk mengungkapkan kenyataan-kenyataan hari ini, kan gitu.”
82
Berteater memang tak lepas dari kebutuhan untuk berbaur bersama orang lain; meneguhkan ikatan emosional, jika meminjam istilah Gunawan Maryanto atau srawung
81
Wawancara dengan Tita pada tanggal 24 Juni 2014 di Padepokan Seni Bagong Kussudihardja
82
Wawancara dengan Gunawan Maryanto pada tanggal 7 Maret 2015 di Garasi Institute of Performance, Nitiprayan, Yogyakarta.
81 jika memakai cerita Mbah Tohir. Dalam praktiknya memang demikian, seorang aktor
harus belajar berbicara, menyampaikan sesuatu, memikirkan sesuatu; dengan sendirinya berteater tak lain adalah belajar berkehidupan. Lebih dalam dari hal itu; mengakali
kehidupan, sebagaimana yang dikatakan Tita bahwa teater memberikan energi kreatif untuk hidup, mengkreatifi kehidupan.
Jika melihat pemaknaan-pemaknaan yang telah diceritakan oleh para aktor tersebut, kiranya kita bisa melihat bahwa berteater merupakan pendekatan yang penting
untuk menjalani kehidupan. Berbekal mempelajari kehidupan untuk kemudian ditampilkan di atas panggung, minimal hal itu berdampak pada diri aktor sendiri,
sebagaimana dikatakan Gunawan Maryanto, setiap kali proses artinya ada yang bertambah pada diri aktor. Artinya dia tidak membeku pada satu pencapaian, melainkan
terus beranjak, terus bergerak untuk melampaui yang telah ia capai sebagai manusia seperti kata Mbah Tohir, berteater untuk menyempurnakan kemanusiaan dan
setidaknya, seperti kata Nunung, berteater untuk mendapatkan rasa hidup; senang, sedih, marah, gelisah, takut, cemas yang melebur menjadi satu, yang dikatakan oleh
Andika sebagai cinta.
82