Dunia Keseharian Simbolik: Batasan Yang Menjadi Dorongan

129 dirinya sebagaimana hal tersebut tidak bisa dilakukan di rumah dan di sekolah. Namun represi yang demikian ini menjadi hal baik sejauh subjek berada dalam posisi yang demikian . Masalahnya, makna ‘baik’ ini, sebagaimana dikatakan oleh Lacan, merupakan hal yang relatif; makna ‘baik’ bisa menjadi sebaliknya, tergantung pada relasi subjek dengan objek hasratnya 128 . Hasrat subjek untuk berbuat baik ini merupakan konstruksi budaya meskipun dalam konteks pembacaan tertentu kebaikan ini merupakan kebalikan dari karakter dasar subjek polimorfus-perversif; subjek yang bergerak atas dorongan kenikmatan. Di satu sisi, kebaikan yang harus dilakukan oleh subjek justru menjadi batasan bagi subjek dalam rangka untuk berbuat sesuka hati demi mendapatkan kenikmatan dan kepenuhan. Demi menjaga ‘kepentingan bersama’ maka lahirlah aturan. Aturan main dalam masyarakat tidak hanya hukum yang tertulisakan dan disahkan melalui lembaga hukum, lembaga agama, adat, dan lain sebagainya. Aturan main hadir dalam wacana-wacana yang terus bergulir dalam masyarakat; wacana-wacana dari relasi subjek yang mengisyaratkan hasrat tertentu. Sebagai contoh, wacana-wacana yang bergulir di masyarakat di Indonesia pada umumnya cenderung menempatkan penilaian-penilaian tertentu terhadap kehadiran seniman teater. Salah satu penilaian yang dialamatkan kepada pelaku teater adalah bahwa berteater merupakan hal yang aneh atau menyimpang dari kehidupan pada umumnya. Sementara, bagi seniman teater sendiri berteater merupakan hal yang dianggap baik. Hal ini bisa dilihat dari pengalaman yang dituturkan oleh Tita: “Dulu sebenarnya, setelah lulus kuliah Tita merupakan alumni jurusan psikologi Universitas Sanata Dharma orang tuaku menginginkan aku 128 Kebenaran, kebaikan, etika, nilai atau ideal merupakan sesuatu yang berdasar pada prinsip kenikmatan pleasure principle dalam relasi penandaan. Sebagai penanda atau bahasa, hal tersebut tidak memiliki makna yang stabil, bergantung pada relasi subjek. Lihat konsepsi Kesel, 2009: 115-116. 130 bekerja di kantor atau di perusahaan apa gitu. Aku sempat melamar kerja di perusahaan farmasi, bahkan sudah wawancara kerja. Tapi waktu itu aku berfikir dan aku merasa tidak nyaman melakukannya. Aku ingin menjadi seniman. Meskipun orang tuaku marah besar aku tetap melakukannya. Konsekuensinya aku harus pergi dari rumah di Bogor, dan kembali lagi ke Jogja, lalu berkesenian.” 129 Pengalaman Tita dalam memilih dan menjalani kehidupan teater yang pada awalnya ditentang oleh kedua orang tuanya karena menurut orang tua Tita, berteater tidak memiliki masa depan; secara ekonomi sulit untuk hidup. Hal ini merupakan hal yang lumrah secara kultural; orang tua selalu khawatir dengan pilihan anaknya jika pilihan itu berbeda dengan yang dikehendaki oleh orang tua. Fenomena tersebut merupakan dialektika hasrat pada tataran yang mendasar; hasrat yang lebih dari sekedar pemenuhan atas rasa lapar, melainkan pada nilai. Bisa saja menurut orang tua Tita menjadi seniman bukanlah status sosial yang diinginkan karena seniman identik wacana umumnya dengan, misalnya, aneh, gila, semrawut, berpakaian gembel, dekil, dan lain sebagainya. Jika tatanan simbolis yang hadir, misalnya, dalam wacana yang dilontarkan oleh orang tua Tita merupakan represi, maka bisa dibaca demikian bahwa represi tak lain adalah hasrat Liyan 130 Hasrat orang tua Tita yang menginginkan anaknya memiliki kehidupan yang lebih baik, dalam artian kebaikan tersebut merujuk pada penanda lain selain teater. Dalam konteks tersebut, hukum atau etika, atau sesuatu yang baik secara sederhana tampak pada relasi dalam keseharian dan relasi tersebut selalu dimediasi oleh material penandaan bahasa verbal, barang produksi, gaya hidup, rumah, pakaian, makanan, dsb.. Penanda-penanda yang kebetulan terlihat oleh orang tua Tita terhadap seniman adalah dekil, semrawut, tidak teratur, dan lain sebagainya yang hal ini bisa jadi 129 Wawancara dengan Tita pada tanggal 24 Juni 2014 di Padepokan Seni Bagong Kussudihardja 130 Hukum atau aturan terbentuk atas dasar hasrat. Lihat selengkapnya pemaparan Kesel 2009 pada bagian Crucial Problem. 131 sangat berbeda jika dibandingkan dengan penanda-penanda yang tampak pada selain seniman, misalnya: pegawai negri. Dengan demikian, represi di keseharian hadir dalam bentuk konstruksi sosial melalui relasi penandaan dan inilah, sebagaimana dikatakan Lacan, yang menyusun ketaksadaran manusia; ketaksadaran manusia terstruktur seperti bahasa. Wacana-wacana dominan mengambil contoh dari dialektika Tita dengan orang tuanya menyuarakan bahwa berteater di Indonesia, lebih tepatnya menjadi aktor teater, sebagaimana juga dikatakan oleh Tony Broer, merupakan hal yang, jika dilihat dari perspektif ekonomi, berat untuk dilakukan; berteater tidak dipandang sebagai pekerjaan melainkan kegiatan yang menghabis-habiskan uang: “Ini teater itu memang apa? Pekerjaan atau bukan? Kan gitu Jadi kalau di barat itu sendiri kan memenag udah jadi profesi kan? Jadi otomatis pekerjaan kan? Profesional Jadi mereka berlatih itu pasti menghasilkan. Nah sekarang kalau elo berlatih itu belum tentu menghasilkan, udah susah sponsor, jadi ngerti nggak loe, ada kesan gini; justru berteater itu mencari kesulitan sebenernya. Makanya, pokok persoalan di kita itu ada teater tapi nggak ada infrastrukturnya. Jadi aneh itu sebenernya di kita itu Jadi kalo loe nanya itu, itu benar. Tapi kalo loe tanya ke yang profesi itu nggak mungkin: Loe ngapain teater? Pasti jawabanya: Itu profesi gue. Nah di kita, itu sebenarnya profesi juga nggak, jadi seperti yang elo bilang, sebenarnya dia itu masih bingung. Jadi pertanyaanya ngapain loe teater? Padahal ente malah susah-susah nyari duit justru untuk bikin teater. Nah itu yang membedakan bahwa teater itu bukan pekerjaan. Gue, justru posisi gue karena gue pegawai negri. Apakah pekerjaan gue aktor? Nggak, gue pegawai negri, gue mengajar, gitu. Kalo gue ngandalin aktor gue, gue mati Jadi gue itu pegawai negri, yang ngajar. Ya pegawai negri yang sebulanan gaji, gitu” 131 Dari pemaparan Tony Broer, sistem budaya yang ia tinggali saat ini belum memiliki infrastruktur memadai untuk menempatkan fungsi aktor teater sebagai mata pencaharian. Hal ini berbeda dengan dunia layar lebar atau layar kaca yang telah 131 Wawancara dengan Tony Broer pada tanggal 3 Agustus 2014 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta. 132 memiliki pasar yang lebih baik, sebagaimana bagi Gunawan Maryanto, kadang-kadang bermain film menyelamatkan dia dari segi ekonomi. Aktor layar lebar atau layar kaca merupakan sesuatu yang bisa dipandang sebagai profesi. Artinya mereka bisa hidup hanya dengan mengandalkan akting. Bahkan, dalam masyarakat, mereka cenderung dipuja dan diidolakan meski barangkali mereka hanya bermain sinetron dengan akting atau teks yang ‘kurang bermutu’ dengan penanda-penanda yang ‘itu-itu juga’ dikarenakan oleh banyak faktor, misalnya proses produksi sinetron harus kejar jam tayang, atau memang karena sumber daya manusianya yang kurang memadai. Keterbatasan infrastruktur untuk teater, atau pasar untuk teater menandakan bahwa sistem atau kondisi sosial dalam sistem itu sendiri merupakan batasan. Dan tentu batasan yang semacam ini bukanlah batasan yang dimaksudkan sebagai hal yang baik, akan tetapi batasan tersebut menandakan sebaliknya, yakni ketidakmampuan lack. Barangkali penilaian ini terlalu subjektif, akan tetapi gejala ini ketika teater terhambat pertumbuhannya sementara pada praktiknya orang-orang teater justru menempuh jalur proses yang, bagi saya, jauh lebih bermutu daripada penciptaan sinetron, menandakan kedangkalan sistem simbolik dalam memilah dan menyirkulasikan wacana; hal ini tetap berlanjut sepanjang hari, tanpa sensor mulai dari sinetron, gosip, film televisi, atau acara entertainment layar kaca lainnya 132 . Mirisnya, untuk aktor teater seperti Andika bersama kelompoknya yang mengupayakan teks-teks pertunjukan yang lebih bermutu daripada sinetron, misalnya untuk dihadirkan kepada masyarakat harus menjalani kehidupan yang seperti ini: “Kalau sehari-hari itu aktivitasnya macem-macem. Ya sebenarnya kalau sehari-hari itu saya tidak hanya hidup berteater. Jadi selain berteater, saya 132 Hal ini merupakan asumsi. Namun demikian, asumsi ini juga diperkuat oleh tesis yang ditulis oleh Anicetus Windarto yang berjudul Simulasi Gosip Infotainment Dalam Retorika Image Keaiban Selebritis, Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2013. 133 harus cari makan. Macem-macem mas yang saya lakukan. Misalnya saya perform-perform kecil untuk nyambung hidup, mbadut apa nyebar flayer di jalan itu kan masih saya lakukan hingga hari ini. Ya masih ironis, sejak tahun berapa orang-orang teater itu kayak gitu lah, pake kostum apa terus nyebar brosur di lampu merah pake singuit njuk dada-dada itu masih saya lakukan,jujur saja. Terus kadang-kadang saya bantu teman yang punya penerbitan; saya menyampul buku, menata buku, usung-usung buku itu saya lakukan. Saya kadang-kadang nulis untuk dipublikasikan. Ya kalau dijogja belum pernah dipublikasikan tapi itu saya pernah nulis di jurnal Skana, itu dulu, tapi kalau sekarang saya lebih sering bantu teman saya yang jadi redaktur itu di Bali. Saya nulis esai, ngreview pertunjukan, itu juga cuma bantu dia aja. Terus saya juga kadang-kadang pas ada worksop apa gitu saya diundang untuk ngasih workshop. Meski saya tidak pernah menentukan tarif, ya ada lah itu. Nah itulah aktivitas saya mas. Selain itu paling saya ya baca buku, olahraga, hahaha, latihan lah mas kalau di luar itu.” 133 Sampai sejauh ini konstruksi sosial menempatkan keaktoran, khususnya dalam bidang teater, sebagai sesuatu yang dikenali oleh orang-orang tertentu saja. Lain cerita dengan aktor sinetron atau film layar lebar yang dikenali secara luas. Yang menjadi pertanyaannya, apakah kemudian, jika dikaitkan dengan kekuasaan pemangku kebijakan yang membuat ‘aturan main’ untuk kehidupan bersama yang lebih baik, konstruksi sosial yang dibentuk dalam hal ini melalui media televisi dalam tayangan seperti sinetron yang bisa kita saksikan setiap hari, merupakan konstruksi yang menjamin pembentukan karakter masyarakat yang baik? Saya sejujurnya ragu, dan bahkan tidak percaya. Namun dalam kehidupan keseharian yang menjunjung etika dengan berbagai benturan wacana-wacana yang dihadirkan media masa sebagai asas kehidupan untuk kehidupan yang lebih baik, dorongan hidup aktor dalam berproses untuk menciptakan pertunjukan teater justru mengarah pada sesuatu yang ingin mendialektikan kembali etika yang baik, nilai-nilai kehidupan yang baik kita bisa melihat dari karya-karya yang mereka pentaskan. Tidak bisa dipungkiri bahwa, menurut pengakuan para aktor, dalam 133 Wawancara dengan Andika pada tanggal 20 Juni 2014 134 proses kreatif penciptaan teater, mereka berpijak dari fenomena-fenomena kehidupan yang mereka saksikan. Dalam kehidupan yang mereka alami, tak jarang mereka menggelisahkan isu-isu sosial politik yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti misalnya ketidakadilan hukum, pencemaran lingkungan, kebejatan para pemangku kebijakan, korupsi, kekerasan militer, kesetaraan gender, kehidupan jalanan, kisah-kisah cinta dan lain sebagainya. Sederhananya, aktor melihat sesuatu salah dalam kehidupan sosial yang ingin mereka konsepsikan ulang melalui peristiwa teater; aktor melihat kekosongan di balik bahasa dan melalui kekosongan itu para aktor melihat symptom-nya sendiri yang tak lain berasal dari symptom liyan. Isu-isu sosial yang terjadi di masyarakat, sebagai sesuatu yang menyimpang dari etika sosial, menjadi hal yang mengerikan ketika sesuatu yang ‘salah’ tersebut menjadi fenomena yang dimaklumi oleh masyarakat dan mengarah pada konvensi baru dalam menjalani kehidupan; misalnya, mencurangi hukum dijadikan hal yang wajar sebagai cara hidup dan dilakukan oleh masyarakat. Situasi tersebut merupakan sasaran yang cenderung dituju sebagai wacana untuk disampaikan melalui peristiwa teater. Jika yang dilakukan oleh para seniman teater ini merupakan sesuatu yang berakar dari hasrat, maka seperti yang dikatakan Lacan, hasrat subjek dalam sirkuit wacana yang demikian ini merupakan hasrat untuk melakukan sesuatu atas nama kebaikan 134 . Bentuk yang khas dari teater sebagai salah satu jalan untuk menyikapi wacana sosial adalah menghadirkan pertunjukan dengan teks yang di dalamnya terangkum wacana-wacana tertentu sebagai media untuk berdialektika; merenungkan kehidupan yang lebih baik. 134 Lihat Kesel 2009 halaman 2. Hal ini ditinjau dari relasi analisan dan analis; tujuan analis adalah mengembalikan hasrat analisan, lebih spesifik yakni hasrat untuk mencari atau berbuat sesuatu atas nama kebaikan. 135 Keseharian dengan segala keterbatasannya, dengan segala fenomena ‘baik’ dan ‘buruk’ yang tampak dan dialami oleh para aktor, justru tidak selalu menjadi sesuatu yang membatasi, melainkan sebagai inspirasi untuk berdialektika, untuk bercakap-cakap dengan penanda-penanda baru yang mereka ciptakan melalui teater. Barangkali ada suatu kebaikan yang bisa dimaknai dari fenomena ketidakmakmuran aktor teater yang terjadi atas keterbatasan sistem budaya karena dengan demikian, setidaknya ketika pertunjukan teater berbicara soal kemiskinan, hal tersebut bukan omong kosong belaka; para aktor yang memainkan lakon tersebut memang mengalami hal yang mereka bicarakan.

2. Melampaui Keseharian Melalui Teater

Pada bagian sebelumnya, dunia keseharian yang dijalani oleh para aktor saya tempatkan sebagai dunia yang merepresi, sebagaimana pemaknaan tersebut berpijak pada pemikiran Lacan bahwa ketika subjek memasuki tatanan simbolik dalam hal ini bermasyarakat maka subjek harus rela mengikuti aturan main bahasa yang berlaku. Lacan mengatakan bahwa bahasa merupakan satu-satunya jalan bagi subjek untuk mengartikulasikan hasratnya, sekaligus merepresi subjek atas segala batasan yang ada pada bahasa 135 . Namun bukan berarti batasan bahasa tersebut tidak bisa dilewati; selalu ada celah, void, sebagaimana bahasa tersebut dilahirkan atas hasrat, atas lack yang diderita oleh bahasa Liyan; atas sublimasi. Paradoksnya, jalan untuk melewati batasan tersebut, kata Lacan, adalah dengan melalui sublimasi 136 . 135 Lihat tahapan pembentukan subjek pada fase simbolik: Kesel, 2009: 23, Homer, 2005: 43. 136 Material penandaan bisa dipahami sebagai batasan tidak bisa sepenuhnya memberikan objek pemenuhan kepada subjek sehingga subjek harus mencari objek lain. Lihat Kesel, 2009: 170-171. 136 Dari data yang telah dianalisis pada bagian sebelumnya, beberapa poin yang menjadi batasan atau lack dari realitas sosial yang hadir dalam keseharian subjek relasi subjek meliputi, pertama, penilaian masyarakat terhadap teater; dari segi ekonomi, teater lebih spesifik lagi adalah aktor teater bukanlah pilihan untuk menggantungkan hidup karena, kedua, teater tidak memiliki infrastruktur dan pasar yang memadai sebagaimana hal ini saya lihat sebagai konstruksi sosial. Ketiga, dalam hal tubuh, konstruksi sosial telah sedemikian rupa memberi batasan pada tubuh sehingga tubuh memiliki pola-pola identitasnya; kecenderungannya. Keempat, realitas sosial memberikan segudang wacana tentang isu-isu sosial, politik, pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, dan segala macam aspek kehidupan yang dialami oleh masyarakat; fenomena-fenomena yang menyimpang atau tidak sesuai dengan ideal baik etika. Fenomena ini menandakan adanya lack dalam realitas sosial dan sedikit banyak fenomena ini dialami oleh para aktor dalam menjalani keseharian. Namun demikian, lack dalam realitas sosial atau keseharian tersebut justru menginspirasi atau mendorong aktor untuk melakukan sesuatu melalui teater. Melihat pada empat poin tersebut, khususnya pada poin pertama dan kedua, ketika keseharian terbaca sebagai batasan bagi subjek para aktor sekaligus batasan bagi teater, justru ketika subjek para aktor memilih untuk menjalani proses teater, mereka malah tampak mencari masalah meminjam istilah Tony Broer. Hal ini berbanding terbalik dengan teori Lacan yang meyatakan bahwa pada dasarnya karakter manusia adalah perversif 137 polymorfus-perverse kecuali jika teater ternyata memberikan pemenuhan sekaligus kenikmatan. Kesenangan dan kenikmatan ini merupakan sesuatu yang membuat mereka senantiasa kangen untuk selalu berproses, kangen untuk bermain 137 Bisa juga diartikan sebagai makhluk pencari kenikmatan; subjek yang bergerak atas prinsip kenikmatan. Lihat Kesel, 2009: 14. 137 di panggung. Sehingga proses berteater atau proses keaktoran merupakan proses mencari kenikmatan melalui jalan yang menyakitkan dengan hasil jouissance kesenangan dan kesakitan yang melebur menjadi satu; pleasure and pain 138 . Dalam hal ini, terkait dengan poin pertama dan kedua, teater merupakan aktivitas yang lebih dari sekedar mencari uang. Bahkan untuk menciptakan teater, sebagaimana dikatakan oleh Tony Broer, tak jarang pelaku teater mengeluarkan biaya banyak. Di satu sisi, ketika para aktor memutuskan untuk berteater, mereka sedang mencari kepuasan dalam bentuk dan dengan cara yang tak bisa ditemukan dalam keseharian. Konsekuensinya, dalam hal-hal tertentu, mereka harus berbenturan dengan pihak lain. Sebagaimana jika hal ini dikaitkan dengan poin pertama, ketika teater dinilai sebagai sesuatu yang seolah tidak bisa menghidupi pelakunya, yang dilakukan oleh Gunawan Maryanto dan Tita merupakan salah satu pembuktian; mereka berdua adalah sosok-sosok yang menggantungkan hidupnya melalui kesenian. Yang mereka lakukan, dalam hal ini, terbaca sebagai pembuktian bahwa berkesenian merupakan cara hidup yang tak harus menjadi dekil, semrawut, aneh dan lain sebagainya. Mereka memang harus bekerja ekstra keras dalam menempuh hal tersebut karena berteater bukan berarti hanya menciptakan pentas, melainkan harus juga mengajukan pemikiran mereka dalam bentuk proposal yang ditujukan kepada lembaga-lembaga tertentu yang mau membiayai seluruh proses kerja mereka. Dengan membuktikan bahwa berteater juga bisa hidup merupakan wacana tandingan penanda baru untuk menghapus penilaian negatif penanda lama yang dialamatkan kepada seniman. Yang dilakukan oleh Tita dan Gunawan Maryanto merupakan bentuk dari sublimasi. Artinya, jalan-jalan yang mereka tempuh sebagai seniman dalam makna 138 Lihat juga penafsiran Homer terkait Jouissance, 2005: 89. 138 harafiah sebagai atau lebih luas dari seniman teater merupakan jalan lain yang bertolak belakang dengan jalan yang menghadirkan penanda-penanda ‘negatif’ dalam perspektif tertentu yang biasanya dikenakan oleh seniman dalam keseharian misalnya: pakaian dekil, bau, celana robek-robek, rambut gondrong, bertato, tubuh penuh tindikan. Bukankah penanda- penanda ‘negatif’ ini konon merupakan penanda-penanda baru yang hadir untuk memprotes batasan dalam keseharian? Bisa jadi demikian, akan tetapi ketika hal ini hanya sebatas style atau dandanan belaka atau bahkan hanya konsumsi, style tersebut telah bergeser maknanya. Bagaimana masyarakat bisa senang nonton teater kalau senimannya mengerikan? Di balik penanda- penanda ‘negatif tersebut merupakan kekosongan yang harus di isi dengan penanda lain agar teater dan pelakunya dimaknai dengan sudut pandang lain. Dengan menunjukkan penanda-penanda umum dalam hal ini merupakan styledandanan tubuh ketika berada di keseharian, mereka ingin menegaskan posisi mereka sebagai bagian dari dan yang bisa diterima oleh masyarakat. Lebih jauh lagi, yang terpenting dalam menjadi seniman teater adalah penanda-penanda yang mereka hadirkan di panggung pertunjukan. Dalam hal ini, penanda-penanda tersebut merupakan karya, bukan aksesoris belaka. Melihat pada poin kedua, yakni ketika infrastruktur dan pasar bagi teater bisa dibilang kurang memadai, hal ini tidak membuat teater berhenti berdenyut. Memang aktivitas teater bisa dibaca masih sebagai usaha dalam menciptakan pasarnya. Akan tetapi ketika melihat banyaknya fenomena pertunjukan gratis, atau pertunjukan yang bisa dilihat dengan membeli tiket yang harganya terjangkau, dan sesekali ada pertunjukan tertentu yang harga tiketnya mahal berteater atau menjadi aktor masih jauh bisa dibilang sebagai profesi atau pekerjaan, tanpa menutup kemungkinan bahwa 139 kadang-kadang aktor teater juga mendapatkan honor pentas. Jika diukur dengan uang, proses dan hasil kerja mereka tidak setimpal dengan honor yang didapatkan. Hal ini memang batasan, atau represi. Namun demikian, nyatanya para aktor tidak kapok, dan justru malah kangen untuk berproses lagi. Kenapa demikian? Untuk menafsirkan hal ini, saya akan mengutip sekali lagi ungkapan yang diceritakan Gunawan Maryanto dalam bab II: “Ya kalau aku ingin menyikapinya, dengan perasaan gitu, pengennya berteater itu masih sebagai hobi yang menyenangkan. Tapi di sisi lain kan nggak bisa seperti itu terus menerus. Ini kemudian menjadi disiplin pengetahuan yang tak jalani. Seperti sedang menempuh satu perjalanan menemukan pengetahuan dan pengalaman yang lain. Di sisi lain juga tetep, teater itu menjadi satu bentuk ekspresi. Sebagaimana orang-orang yang lain mempunyai bentuk ekspresinya sendiri-sendiri kan? Untuk melakukan sesuatu, menyampaikan sesuatu kepada yang lain, teater mejadi jalanku. Sebagai bagian dari masyarakat kan, orang ingin bercakap-cakap, ingin berbagi, ya jalannya beda- beda. Salah satu jalan ya teater.” 139 Dari pemaparan tersebut, teater dapat dilihat sebagai tiga hal; objek hasrat, medium hasrat, dan ruang sublimasi. Jika teater disikapi sebagai hobi yang menyenangkan, artinya teater memberikan kesenangan tertentu bagi pelakunya; teater menjadi objek hasrat. Dan demi kesenangan, sebagaimana umumnya, orang rela untuk mengorbankan sesuatu; menjadi subjek dorongan atas hasratnya. Kemudian sebagai subjek dorongan, ia melihat teaternya tak hanya sebatas hobi yang menyenangkan yang akan berakhir pada kekosongan, melainkan sebagai disiplin pengetahuan dan alat ekspresi untuk menyampaikan sesuatu. Pada tahap teater sebagai alat ekspresi, teater menjadi medium hasrat; aktor menemukan cara untuk menyampaikan sesuatu yang ia hadapi melalui penanda-penanda yang ia ciptakan untuk disampaikan kepada liyan. Sementara teater sebagai pengetahuan, dalam hal ini teater menjadi semacam ruang das 139 Wawancara dengan Gunawan Maryanto pada tanggal 7 Maret 2015 di Garasi Institute of Performance, Nitiprayan, Yogyakarta.