Dunia Keseharian Simbolik: Batasan Yang Menjadi Dorongan
129 dirinya sebagaimana hal tersebut tidak bisa dilakukan di rumah dan di sekolah. Namun
represi yang demikian ini menjadi hal baik sejauh subjek berada dalam posisi yang demikian
. Masalahnya, makna ‘baik’ ini, sebagaimana dikatakan oleh Lacan, merupakan hal yang relatif; makna ‘baik’ bisa menjadi sebaliknya, tergantung pada
relasi subjek dengan objek hasratnya
128
. Hasrat subjek untuk berbuat baik ini merupakan konstruksi budaya meskipun
dalam konteks pembacaan tertentu kebaikan ini merupakan kebalikan dari karakter dasar subjek polimorfus-perversif; subjek yang bergerak atas dorongan kenikmatan. Di
satu sisi, kebaikan yang harus dilakukan oleh subjek justru menjadi batasan bagi subjek dalam rangka untuk berbuat sesuka hati demi mendapatkan kenikmatan dan kepenuhan.
Demi menjaga ‘kepentingan bersama’ maka lahirlah aturan. Aturan main dalam masyarakat tidak hanya hukum yang tertulisakan dan disahkan
melalui lembaga hukum, lembaga agama, adat, dan lain sebagainya. Aturan main hadir dalam wacana-wacana yang terus bergulir dalam masyarakat; wacana-wacana dari
relasi subjek yang mengisyaratkan hasrat tertentu. Sebagai contoh, wacana-wacana yang bergulir di masyarakat di Indonesia pada umumnya cenderung menempatkan
penilaian-penilaian tertentu terhadap kehadiran seniman teater. Salah satu penilaian yang dialamatkan kepada pelaku teater adalah bahwa berteater merupakan hal yang
aneh atau menyimpang dari kehidupan pada umumnya. Sementara, bagi seniman teater sendiri berteater merupakan hal yang dianggap baik. Hal ini bisa dilihat dari
pengalaman yang dituturkan oleh Tita: “Dulu sebenarnya, setelah lulus kuliah Tita merupakan alumni jurusan
psikologi Universitas Sanata Dharma orang tuaku menginginkan aku
128
Kebenaran, kebaikan, etika, nilai atau ideal merupakan sesuatu yang berdasar pada prinsip kenikmatan pleasure principle dalam relasi penandaan. Sebagai penanda atau bahasa,
hal tersebut tidak memiliki makna yang stabil, bergantung pada relasi subjek. Lihat konsepsi Kesel, 2009: 115-116.
130 bekerja di kantor atau di perusahaan apa gitu. Aku sempat melamar kerja di
perusahaan farmasi, bahkan sudah wawancara kerja. Tapi waktu itu aku berfikir dan aku merasa tidak nyaman melakukannya. Aku ingin menjadi
seniman. Meskipun orang tuaku marah besar aku tetap melakukannya. Konsekuensinya aku harus pergi dari rumah di Bogor, dan kembali lagi ke
Jogja, lalu berkesenian.”
129
Pengalaman Tita dalam memilih dan menjalani kehidupan teater yang pada awalnya ditentang oleh kedua orang tuanya karena menurut orang tua Tita, berteater
tidak memiliki masa depan; secara ekonomi sulit untuk hidup. Hal ini merupakan hal yang lumrah secara kultural; orang tua selalu khawatir dengan pilihan anaknya jika
pilihan itu berbeda dengan yang dikehendaki oleh orang tua. Fenomena tersebut merupakan dialektika hasrat pada tataran yang mendasar; hasrat yang lebih dari sekedar
pemenuhan atas rasa lapar, melainkan pada nilai. Bisa saja menurut orang tua Tita menjadi seniman bukanlah status sosial yang diinginkan karena seniman identik
wacana umumnya dengan, misalnya, aneh, gila, semrawut, berpakaian gembel, dekil, dan lain sebagainya.
Jika tatanan simbolis yang hadir, misalnya, dalam wacana yang dilontarkan oleh orang tua Tita merupakan represi, maka bisa dibaca demikian bahwa represi tak lain
adalah hasrat Liyan
130
Hasrat orang tua Tita yang menginginkan anaknya memiliki kehidupan yang lebih baik, dalam artian kebaikan tersebut merujuk pada penanda lain
selain teater. Dalam konteks tersebut, hukum atau etika, atau sesuatu yang baik secara sederhana tampak pada relasi dalam keseharian dan relasi tersebut selalu dimediasi oleh
material penandaan bahasa verbal, barang produksi, gaya hidup, rumah, pakaian, makanan, dsb.. Penanda-penanda yang kebetulan terlihat oleh orang tua Tita terhadap
seniman adalah dekil, semrawut, tidak teratur, dan lain sebagainya yang hal ini bisa jadi
129
Wawancara dengan Tita pada tanggal 24 Juni 2014 di Padepokan Seni Bagong Kussudihardja
130
Hukum atau aturan terbentuk atas dasar hasrat. Lihat selengkapnya pemaparan Kesel 2009 pada bagian Crucial Problem.
131 sangat berbeda jika dibandingkan dengan penanda-penanda yang tampak pada selain
seniman, misalnya: pegawai negri. Dengan demikian, represi di keseharian hadir dalam bentuk konstruksi sosial melalui relasi penandaan dan inilah, sebagaimana dikatakan
Lacan, yang menyusun ketaksadaran manusia; ketaksadaran manusia terstruktur seperti bahasa.
Wacana-wacana dominan mengambil contoh dari dialektika Tita dengan orang tuanya menyuarakan bahwa berteater di Indonesia, lebih tepatnya menjadi aktor teater,
sebagaimana juga dikatakan oleh Tony Broer, merupakan hal yang, jika dilihat dari perspektif ekonomi, berat untuk dilakukan; berteater tidak dipandang sebagai pekerjaan
melainkan kegiatan yang menghabis-habiskan uang: “Ini teater itu memang apa? Pekerjaan atau bukan? Kan gitu Jadi kalau di
barat itu sendiri kan memenag udah jadi profesi kan? Jadi otomatis pekerjaan kan? Profesional Jadi mereka berlatih itu pasti menghasilkan.
Nah sekarang kalau elo berlatih itu belum tentu menghasilkan, udah susah sponsor, jadi ngerti nggak loe, ada kesan gini; justru berteater itu mencari
kesulitan sebenernya. Makanya, pokok persoalan di kita itu ada teater tapi nggak ada infrastrukturnya. Jadi aneh itu sebenernya di kita itu Jadi kalo
loe nanya itu, itu benar. Tapi kalo loe tanya ke yang profesi itu nggak mungkin: Loe ngapain teater? Pasti jawabanya: Itu profesi gue. Nah di kita,
itu sebenarnya profesi juga nggak, jadi seperti yang elo bilang, sebenarnya dia itu masih bingung. Jadi pertanyaanya ngapain loe teater? Padahal ente
malah susah-susah nyari duit justru untuk bikin teater. Nah itu yang membedakan bahwa teater itu bukan pekerjaan. Gue, justru posisi gue
karena gue pegawai negri. Apakah pekerjaan gue aktor? Nggak, gue pegawai negri, gue mengajar, gitu. Kalo gue ngandalin aktor gue, gue mati
Jadi gue itu pegawai negri, yang ngajar. Ya pegawai negri yang sebulanan gaji, gitu”
131
Dari pemaparan Tony Broer, sistem budaya yang ia tinggali saat ini belum memiliki infrastruktur memadai untuk menempatkan fungsi aktor teater sebagai mata
pencaharian. Hal ini berbeda dengan dunia layar lebar atau layar kaca yang telah
131
Wawancara dengan Tony Broer pada tanggal 3 Agustus 2014 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta.
132 memiliki pasar yang lebih baik, sebagaimana bagi Gunawan Maryanto, kadang-kadang
bermain film menyelamatkan dia dari segi ekonomi. Aktor layar lebar atau layar kaca merupakan sesuatu yang bisa dipandang sebagai profesi. Artinya mereka bisa hidup
hanya dengan mengandalkan akting. Bahkan, dalam masyarakat, mereka cenderung dipuja dan diidolakan meski barangkali mereka hanya bermain sinetron dengan akting
atau teks yang ‘kurang bermutu’ dengan penanda-penanda yang ‘itu-itu juga’ dikarenakan oleh banyak faktor, misalnya proses produksi sinetron harus kejar jam
tayang, atau memang karena sumber daya manusianya yang kurang memadai. Keterbatasan infrastruktur untuk teater, atau pasar untuk teater menandakan
bahwa sistem atau kondisi sosial dalam sistem itu sendiri merupakan batasan. Dan tentu batasan yang semacam ini bukanlah batasan yang dimaksudkan sebagai hal yang baik,
akan tetapi batasan tersebut menandakan sebaliknya, yakni ketidakmampuan lack. Barangkali penilaian ini terlalu subjektif, akan tetapi gejala ini ketika teater terhambat
pertumbuhannya sementara pada praktiknya orang-orang teater justru menempuh jalur proses yang, bagi saya, jauh lebih bermutu daripada penciptaan sinetron, menandakan
kedangkalan sistem simbolik dalam memilah dan menyirkulasikan wacana; hal ini tetap berlanjut sepanjang hari, tanpa sensor mulai dari sinetron, gosip, film televisi, atau acara
entertainment layar kaca lainnya
132
. Mirisnya, untuk aktor teater seperti Andika bersama kelompoknya yang mengupayakan teks-teks pertunjukan yang lebih bermutu daripada
sinetron, misalnya untuk dihadirkan kepada masyarakat harus menjalani kehidupan yang seperti ini:
“Kalau sehari-hari itu aktivitasnya macem-macem. Ya sebenarnya kalau sehari-hari itu saya tidak hanya hidup berteater. Jadi selain berteater, saya
132
Hal ini merupakan asumsi. Namun demikian, asumsi ini juga diperkuat oleh tesis yang ditulis oleh Anicetus Windarto yang berjudul Simulasi Gosip Infotainment Dalam
Retorika Image Keaiban Selebritis, Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2013.
133 harus cari makan. Macem-macem mas yang saya lakukan. Misalnya saya
perform-perform kecil untuk nyambung hidup, mbadut apa nyebar flayer di jalan itu kan masih saya lakukan hingga hari ini. Ya masih ironis, sejak
tahun berapa orang-orang teater itu kayak gitu lah, pake kostum apa terus nyebar brosur di lampu merah pake singuit njuk dada-dada itu masih saya
lakukan,jujur saja. Terus kadang-kadang saya bantu teman yang punya penerbitan; saya menyampul buku, menata buku, usung-usung buku itu saya
lakukan. Saya kadang-kadang nulis untuk dipublikasikan. Ya kalau dijogja belum pernah dipublikasikan tapi itu saya pernah nulis di jurnal Skana, itu
dulu, tapi kalau sekarang saya lebih sering bantu teman saya yang jadi redaktur itu di Bali. Saya nulis esai, ngreview pertunjukan, itu juga cuma
bantu dia aja. Terus saya juga kadang-kadang pas ada worksop apa gitu saya diundang untuk ngasih workshop. Meski saya tidak pernah menentukan
tarif, ya ada lah itu. Nah itulah aktivitas saya mas. Selain itu paling saya ya baca buku, olahraga, hahaha, latihan lah mas kalau di luar itu.”
133
Sampai sejauh ini konstruksi sosial menempatkan keaktoran, khususnya dalam bidang teater, sebagai sesuatu yang dikenali oleh orang-orang tertentu saja. Lain cerita
dengan aktor sinetron atau film layar lebar yang dikenali secara luas. Yang menjadi pertanyaannya, apakah kemudian, jika dikaitkan dengan kekuasaan pemangku kebijakan
yang membuat ‘aturan main’ untuk kehidupan bersama yang lebih baik, konstruksi sosial yang dibentuk dalam hal ini melalui media televisi dalam tayangan seperti
sinetron yang bisa kita saksikan setiap hari, merupakan konstruksi yang menjamin pembentukan karakter masyarakat yang baik? Saya sejujurnya ragu, dan bahkan tidak
percaya. Namun dalam kehidupan keseharian yang menjunjung etika dengan berbagai
benturan wacana-wacana yang dihadirkan media masa sebagai asas kehidupan untuk kehidupan yang lebih baik, dorongan hidup aktor dalam berproses untuk menciptakan
pertunjukan teater justru mengarah pada sesuatu yang ingin mendialektikan kembali etika yang baik, nilai-nilai kehidupan yang baik kita bisa melihat dari karya-karya yang
mereka pentaskan. Tidak bisa dipungkiri bahwa, menurut pengakuan para aktor, dalam
133
Wawancara dengan Andika pada tanggal 20 Juni 2014
134 proses kreatif penciptaan teater, mereka berpijak dari fenomena-fenomena kehidupan
yang mereka saksikan. Dalam kehidupan yang mereka alami, tak jarang mereka menggelisahkan isu-isu sosial politik yang menyangkut hajat hidup orang banyak
seperti misalnya ketidakadilan hukum, pencemaran lingkungan, kebejatan para pemangku kebijakan, korupsi, kekerasan militer, kesetaraan gender, kehidupan jalanan,
kisah-kisah cinta dan lain sebagainya. Sederhananya, aktor melihat sesuatu salah dalam kehidupan sosial yang ingin mereka konsepsikan ulang melalui peristiwa teater; aktor
melihat kekosongan di balik bahasa dan melalui kekosongan itu para aktor melihat symptom-nya sendiri yang tak lain berasal dari symptom liyan.
Isu-isu sosial yang terjadi di masyarakat, sebagai sesuatu yang menyimpang dari etika sosial, menjadi hal yang mengerikan ketika sesuatu yang ‘salah’ tersebut menjadi
fenomena yang dimaklumi oleh masyarakat dan mengarah pada konvensi baru dalam menjalani kehidupan; misalnya, mencurangi hukum dijadikan hal yang wajar sebagai
cara hidup dan dilakukan oleh masyarakat. Situasi tersebut merupakan sasaran yang cenderung dituju sebagai wacana untuk disampaikan melalui peristiwa teater. Jika yang
dilakukan oleh para seniman teater ini merupakan sesuatu yang berakar dari hasrat, maka seperti yang dikatakan Lacan, hasrat subjek dalam sirkuit wacana yang demikian
ini merupakan hasrat untuk melakukan sesuatu atas nama kebaikan
134
. Bentuk yang khas dari teater sebagai salah satu jalan untuk menyikapi wacana sosial adalah
menghadirkan pertunjukan dengan teks yang di dalamnya terangkum wacana-wacana tertentu sebagai media untuk berdialektika; merenungkan kehidupan yang lebih baik.
134
Lihat Kesel 2009 halaman 2. Hal ini ditinjau dari relasi analisan dan analis; tujuan analis adalah mengembalikan hasrat analisan, lebih spesifik yakni hasrat untuk mencari atau
berbuat sesuatu atas nama kebaikan.
135 Keseharian dengan segala keterbatasannya, dengan segala fenomena ‘baik’ dan
‘buruk’ yang tampak dan dialami oleh para aktor, justru tidak selalu menjadi sesuatu yang membatasi, melainkan sebagai inspirasi untuk berdialektika, untuk bercakap-cakap
dengan penanda-penanda baru yang mereka ciptakan melalui teater. Barangkali ada suatu kebaikan yang bisa dimaknai dari fenomena ketidakmakmuran aktor teater yang
terjadi atas keterbatasan sistem budaya karena dengan demikian, setidaknya ketika pertunjukan teater berbicara soal kemiskinan, hal tersebut bukan omong kosong belaka;
para aktor yang memainkan lakon tersebut memang mengalami hal yang mereka bicarakan.