Memaknai Akting: Akting di Panggung Teater dan Panggung Keseharian

71 keseharian hal ini bukanlah sesuatu yang perlu diberi perhatian lebih. Persoalan aksi inilah yang biasanya dibongkar oleh para aktor dalam proses penciptaan akting mereka. Hal ini menjadi wajar jika aktor, sebagaimana Tony Broer terus menerus melakukannya, sering mempertanyakan kembali tentang bagaimana berjalan kaki? Apa motivasi berjalan kaki? Mau kemana? Bagaimana caranya? Bagaimaa temponya? Bagaimana duduk? Bagaimana berbicara? Dsb. Para aktor harus melatih kembali hal- hal yang dalam keseharian menjadi hal yang sepele dengan asumsi bahwa apa yang mereka lakukan akan terbaca sebagai tanda. Dalam hal ini, bagi para aktor, teater dan keseharian merupakan dua hal yang berbeda akan tetapi saling berhubungan satu sama lain. Proses penciptaan teater selalu berpijak pada pengalaman hidup senimannya menafsirkan kehidupan. Dalam ruang yang sempit, keseharian merupakan sumber gagasan yang utama. Dan setelahnya, proses berteater menjadi bekal untuk memandang dan menjalani kehidupan keseharian.

E. Teater: Antara Kesenangan, Kegelisahan, dan Kegilaan Dalam Kehidupan

Proses perjalanan menempuh keaktoran dan penciptaan teater pada akhirnya membuahkan pemaknaan-pemaknaan tertentu bagi para aktor. Bagian ini merupakan bagian yang menarasikan makna teater dan kehidupan yang dialami oleh para aktor. Pemaknaan-pemaknaan ini lebih bersifat personal, tergantung dari pengalaman yang mereka dapatkan melalui proses latihan dan proses penciptaan yang mereka jalani. Secara umum, pengalaman berteater yang lakukan oleh para aktor ini bermula dari rasa senang, akan tetapi kedepannya, rasa senang ini berubah bentuk menjadi kegelisahan- kegelisahan tertentu untuk menyampaikan sesuatu melalui teater. Hasilnya kurang lebih 72 adalah pengetahuan, gaya hidup, dan keyakinan yang dimiliki oleh para aktor dalam menempuh kehidupan mereka masing-masing. Jika kita membaca pengalaman Tony Broer pada bagian sebelumnya, kita mungkin akan menemui kesan bahwa ia merupakan tokoh yang unik, nyentrik, berani dan keras kepala. Namun dibalik hal tersebut, Tony Broer mempunyai keyakinan yang menjadi alasan kenapa ia berteater dengan gaya yang sedemikian rupa dan cenderung menyimpang dari bentuk-bentuk teater pada umumnya di lingkungan berkeseniannya. Tony Broer bercerita demikian: “Pengalaman loe itu harus loe jadikan landasan hidup loe, apapun jenis pangalamannya. Makanya pilihan dulu. Kalau loe di teater cuma sebagai apa...daripada nganggur itu kan susah juga Nah makanya kalau gue itu pilihan. Gue kan pegawai negri juga, tapi tetep melakukan ini. Sebenernya kalau nggak melakukan ini pun hidup gue nyaman, pura-pura sok pinter aja gue kan, baca buku yang banyak, terus ngomong soal teater; gua jadi dosen, pasti orang akan nganggap kan? Tapi kan gue nggak, gue lakukan latihan juga Kalau dilihat dari umur juga ngapain sebenernya gue capek-capek, apa sih yang gue kejar sebenernya? Ya sebenernya experience gue itu yang membuat gue sampai sekarang tetep bertahan. Sebab itu yang jadi kekuatan gue nanti yang orang lain gak punya.” 66 Dari pemaparan tersebut kita bisa melihat bahwa dalam hidupnya, pilihan atau kalau bisa dibilang kepuasan bagi Tony Broer adalah ketika ia terus melakukan pencarian; menjawab kegelisahan terbesar dalam hidupnya, yakni tubuh. “Persoalan tubuh itu belum selesai, makanya gua terus menerus nyari, mempertanyakan kembali soal-soal tubuh yang dianggap telah selesai.” 67 Di sisi lain, melihat karakternya yang nyentrik, ternyata Tony Broer telah menjadi ayah beranak satu. Istrinya bernama Noriko Komuro, seorang wanita berdarah Jepang yang ia kenal ketika ia berkolaborasi dengan 66 Wawancara dengan Tony Broer pada tanggal 3 Agustus 2014 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta. 67 Wawancara dengan Tony Broer pada tanggal 3 Agustus 2014 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta. 73 beberapa seniman dari Indonesia, Jepang, Filipina, dan Amerika; sebuah kolaborasi untuk pertunjukan yang persiapannya berlangsung di Jepang selama 3 bulan pada tahun 2001. Saya membayangkan bahwa jikalau Tony Broer ingin hidup enak, ia sudah memilikinya tanpa perlu repot-repot latihan yang aneh-aneh, menciptakan teater yang aneh dan susah dipahami hingga sekarang. Namun pilihan hidup memang demikian adanya, sebagaimana juga diceritakan oleh Pak Untung Basuki untuk menjawab alasan hingga kini ia masih berteater: “Wah itu agak susah. Kalau panggilan hidup itu ya....ya sampai sekarang saya masih hidup di sana. Itu saya nggak dapat penghasilan dari teater lho. Saya berteater itu nggak tahu caranya untuk nyari duit. Ini proses Oedipus aja hampir setahun belum tahu mau pentas kapan. Apa nggak gila? Hanya orang gila yang mau kayak gini ini. Ya saya ini orang gila. Kenapa begitu? Nggak tahu, ya saya harus menjalani itu. Ini saya pentas itu berangkat dari satu alasan. Keprihatinan. Oedipus itu cerita tentang pemimpin negara yang salah. Ini maunya saya pentaskan dulu di tahun 2012, tapi belum bisa sampai sekarang, malah sudah ganti presiden. Ini saya pikir pentas Oedipus cocok, waktu itu pas presiden SBY. Itu antara 2012- 2013.” 68 Barangkali berteater memang soal keprihatinan: bentuk perhatian dari seseorang yang ingin memberikan sumbangan kepada kehidupan dalam bentuk teater untuk kehidupan yang lebih baik. Namun kadangkala perhatian tersebut belum tentu membuahkan hasil yang seketika. Sehingga kadang-kadang berteater itu memunculkan perasaan-perasaan tersendiri: “Saya ini ya nggak tahu mas kenapa masih berteater,“ 69 kata Pak Untung, “Ya ini absurd. Ya gila.” 70 Akan tetapi, barangkali yang lebih mendasar, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Gunawan Maryanto, berteater merupakan kebutuhan untuk bercakap-cakap. Jika meminjam ungkapan Pak Untung, maka percakapan ini adalah percakapan yang 68 Wawancara dengan Untung Basuki pada tanggal 8 Maret 2015. 69 Wawancara dengan Untung Basuki pada tanggal 8 Maret 2015. 70 Ibid. 74 mempercakapkan kehidupan yang memprihatinkan. Melihat dari sisi lain, Gunawan Maryanto menyikapi teaternya demikian: “Ya kalau aku ingin menyikapinya, dengan perasaan gitu, pengennya berteater itu masih sebagai hobi yang menyenangkan. Tapi di sisi lain kan nggak bisa seperti itu terus menerus. Ini kemudian menjadi disiplin pengetahuan yang tak jalani. Seperti sedang menempuh satu perjalanan menemukan pengetahuan dan pengalaman yang lain. Di sisi lain juga tetap, teater itu menjadi satu bentuk ekspresi. Sebagaimana orang-orang yang lain mempunyai bentuk ekspresinya sendiri-sendiri kan? Untuk melakukan sesuatu, menyampaikan sesuatu kepada yang lain, teater mejadi jalanku. Sebagai bagian dari masyarakat kan, orang ingin bercakap-cakap, ingin berbagi, ya jalannya beda- beda. Salah satu jalan ya teater.” 71 Dengan menyikapi teater sebagai hobi yang menyenangkan, Gunawan Maryanto masih ingin tetap menjalani kehidupan yang berat di teater bukan sebagai beban, melainkan sebagai kesenangan dalam menempuh kehidupan. Meskipun saat ini Gunawan Maryanto, seperti yang telah diceritakan pada bagian sebelumnya, menggantungkan hidupnya dengan berteater. Namun pada akhirnya teater yang ditekuni Gunawan Maryanto membentuk suatu pemahaman bahwa teater merupakan salah satu bentuk pengetahuan dan sarana ekspresi yang ia butuhkan. Bahwa berteater merupakan hal yang lebih dari sekedar kesenangan, justru menurut Andika Ananda, dia merasa bahwa akan menjadi sempit maknanya jika teater dimaknai sebagai kesenangan semata, pada praktiknya, ia mengatakan bahwa ia berteater juga karena alasan-alasan lain yang sifatnya lebih jauh dari sekedar kesenangan: “Kalau teater itu ibaratnya perempuan mas ya, itu saya naksir dan pedekate dulu; saya ajak ngobrol, nelfon, sambil diperhatikan, terus didekati sampai benar-benar cinta. Saya pikir cinta kan tidak berhenti di situ. Sekian tahun 71 Wawancara dengan Gunawan Maryanto pada tanggal 7 Maret 2015 di Garasi Institute of Performance, Nitiprayan, Yogyakarta. 75 pacaran bahkan sudah menikah, istilah cinta itu mungkin sudah nggak ada. Istilah seneng itu mungkin nggak ada. Aku berteater itu karena seneng kah? Karena apa ya? Ya seneng tapi juga gelisah. Macam-macam, tapi justru di situ. Tidak sebatas karena senang saya berteater. Tapi ya karena saya gelisah, karena saya sedih, karena saya marah, karena saya ingin menyampaikan sesuatu, karena saya berfikir, karena saya hidup. Bukan karena senang. Akan menjadi sempit kalau begitu. Aku berteater karena senang kok Iya po? Bagi saya nggak semata-mata itu kok. Ya kan sudah hampir dari separuh umur saya kan saya berteater. Jadi mungkin sudah melewati fase itu, bahwa pertanyaan berteater karena senang itu bukan lagi pertanyaan yang perlu saya jawab. Kamu senang? Nggak saya jawab, tapi saya yakin secara personal untuk saya jalani.” 72 Ada kesenangan, ada kegelisahan, ada kesedihan yang melebur menjadi satu seperti yang dimaknai Andika dengan mengibaratkan teater sebagai perempuan yang ia cintai. Sebagai praktiknya, ia merasa bahwa teater tidak hanya memberikan sesuatu pada Andika, akan tetapi sebagai gantinya, ia harus memberikan sesuatu kepada teater sebagai sumbangan pemikiran. Tak jarang Andika harus mengorbankan sesuatu untuk proses penciptaan teater dalam situasi budaya yang didominasi oleh pasar. Kerja teater dimaknai andika sebagai sesuatu yang tidak berakhir di panggung saja dan kerja ini berbeda konteksnya sebagai pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Kerja teater memiliki banyak turunan, bagi Andika, salah satunya dalam bentuk latihan dan latihan ini bukan semata-mata untuk pentas, melainkan untuk hidup. Akan tetapi dibalik ungkapan-ungkapan yang dilontarkan oleh para aktor tersebut, ada keyakinan-keyakinan tertentu yang membuat mereka tetap bertahan di teater, yakni keyakinan bahwa teater berguna bukan hanya bagi mereka yang telah berproses, melainkan bagi orang lain. “Berteater itu berguna untuk pembentukan karakter,” 73 ujar Mbah Tohir dan hal ini juga diakui oleh para aktor lain. Berguna dalam hal ini berarti 72 Wawancara dengan Andika pada tanggal 20 Juni 2014 73 Wawancara dengan Mbah Tohir pada tanggal 5 Maret 2015 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta.