Menghayati Peran: Menjadi Orang Lain
45 Bagi Gunawan Maryanto, teks merupakan hal benar-benar menjadi acuan dan
sebisa mungkin, sebagai aktor, Gunawan Maryanto berproses untuk mewujudkan ide- ide yang ada dalam teksnaskah tersebut. Menghayati peran setara artinya dengan
mewujudkan ide yang ada dalam naskah yang prosesnya kurang lebih seperti yang dikatakan oleh Gunawan Maryanto. Sementara, bagi Mbah Tohir, jika ia mengatakan
bahwa akhir-akhir ini ketika pentas ia tidak menggunakan naskah tertentu, artinya ia lebih mengutamakan improvisasi daripada harus melakukan akting menafsirkan akting
seketat dengan yang tertulis dalam naskah. Dari dua hal yang berbeda tersebut, setidaknya ada benang merah yang
mempertemukan keduanya, yakni bahwa akting bertujuan untuk menyampaikan sesuatu kepada penonton. Lebih dari itu, aktor harus berusaha meyakinkan penonton atas apa
yang ia katakan di atas panggung. Artinya, ketika berada di panggung, poin pentingnya dalam hal ini adalah bukan pada yang dikatakan, melainkan bagaimana cara
mengatakan hal tersebut baca: menyampaikan teks. Sehingga, ketika ditarik ke wilayah intensitas aksi, seorang aktor harus merasakan sungguh-sungguh atas apa yang
ia lakukan sehingga penanda-penanda yang dimunculkan melalui tubuhnya mampu meyakinkan penonton. Bahkan emosi-emosi tertentu yang mewakili aksi tersebut harus
dihadirkan dengan jujur dan sungguh-sungguh demi mencapai kewajaran. Dengan demikian fungsi aktor sebagai bahasa akan terwujud; aktor harus bisa meyakinkan
penonton. Terkait dengan hal tersebut, Gunawan Maryanto mengatakan: “Ya di panggung itu banyak orang bilang seolah-olah, berpura-pura, tetapi
tetap, aku juga sepakat bahwa akting itu, agar ia tampak wajar ya ia harus jujur. Akting yang jujur. Memang yang di kejar itu behaviour, itu yang
dikejar. Bagaimana perilakunya, lalu penonton itu juga teryakinkan atas aksi yang dilakukan di atas panggung itu. Karena orang juga bisa ngrasa ini jujur
46 atau enggak lho. Itu kerasa lho, orang itu pura-pura atau enggak itu kerasa.
Jadi tetep, sama, itu ya ng dikejar selain kewajaran ya kejujuran.”
42
Mengaitkan hal tersebut dengan wacana bahwa menghayati peran yang dimainkan oleh aktor identik dengan menjadi tokoh tersebut, lantas bagaimana aktor menyikapi
pembaharuan dalam dirinya sebagai penghayatan? Lebih jauh lagi, sebagai tokoh di dalam panggung, bagaimana aktor menghayati perannya? Gunawan Maryanto
menegaskan pentingnya kelenturan emosional yang harus dimiliki oleh aktor. Dengan ini, artinya aktor mampu menakar dan menuang emosinya dalam setiap lakunya di
panggung. Kelenturan ini juga merupakan bentuk kesadaran yang telah dilatih aktor terkait dengan bentuk aksi dan muatan emosi yang mengisi bentuk aksi tersebut. Jika
menghayati peran kemudian dikatakan sebagai menjadi orang lain, hal ini tidak sepenuhnya tepat demikian. Yang dilakukan aktor adalah membuat bahasa baru melalui
tubuhnya sehingga ia tampak sebagai orang lain. Sementara dalam tataran psikologis, tidak ada yang hilang dari karakter sehari-hari aktor. Tidak hilang melainkan bertambah
sebagaimana Gunawan Maryanto mengatakan demikian: “Setiap kali melakukan satu proses itu kita nambah. Entah pengalaman atau
pengetahuan. Semua orang lain juga seperti itu, mendapat pengalaman baru, pengetahuan baru, tentu saja akan berpengaruh pada kehidupan setelahnya.
Bukan hanya di keaktoran. Tapi memang dalam keaktoran agak berbeda, mediumnya kan tubuh dan perasaannya. Nah persoalannya ketika kita
menghayati sesuatu, ketika kemampuan kita untuk lentur secara emosi itu jika nggak terlatih ya emang susah. Untuk menghayati sesuatu dan lepas
dari situ itu kan butuh waktu. Sebenarnya aktor itu kan punya periode itu kan, pertama memasuki karakter, kedua tinggal di dalam karakter, dan yang
ketiga itu meninggalkan karakter.”
43
42
Wawancara dengan Gunawan Maryanto pada tanggal 7 Maret 2015 di Garasi Institute of Performance, Nitiprayan, Yogyakarta.
43
Wawancara dengan Gunawan Maryanto pada tanggal 7 Maret 2015 di Garasi Institute of Performance, Nitiprayan, Yogyakarta..
47 Sebagai contoh dari pemaparan Gunawan Maryanto, kita bisa membaca kisahnya ketika
memerankan tokoh Hamm dalam naskah End Game
44
: “Di proses End Game itu sebenarnya pentas atas permintaan Salihara, teater
Garasi diminta untuk mementaskan kembali End Game yang pernah dipentaskan garasi sebelumnya. Aku sama Theo sama teman-teman baru
Garasi itu, dalam prosesnya, sebagai pelapis, sebagai tim B istilahnya, sementara tim A itu ya yang main di End Game yang pertama. Sehingga
kami prosesnya nonton dulu tim A, Yudi sama mas Whani. Karena sebagai pelapis, artinya kami harus siap kapan saja digunakan sebagai lawan main
untuk tim A, kadang saya main sama mas Whani, kadang Theo juga sama Yudi. Nah, biar ini mendukung tim A, artinya ketika menciptakan peran,
kami harus mendekati permainan tim A. Kalau aku ya pas mainin Hamm pada akhirnya berusaha semirip mungkin dengan Yudi, prosesnya
menggunakan pendekatan yang dipakai Yudi. Sehingga bisa dikatakan sebagai re-enactment kan. Lalu dalam prosesnya, akhirnya tim B ini juga
menjadi pertunjukan sendiri, aku main sama Theo. Mulainya dari re- enactment sampai kemudian akhirnya kami yang tim B ini mempunyai
ritme sendiri dalam memainkannya. Kan tidak mungkin juga kan meniru semirip mungkin, lha bentuk tubuhnya saja sudah berbeda. Ya akhirnya
hasil proses tim B juga layak dijadikan pentas sendiri karena memiliki keunikan sendiri. [...] Rasanya berada di panggung itu ya sama saja
sebenarnya. Apa ya? ya aktor itu kan menyampaikan teks, sama kayak kita ngobrol sekarang ini. Ya barangkali tensinya, sekaligus caranya. Mungkin
cara inilah yang melahirkan tensi. Di panggung itu kan extra daily, melakukan sesuatu dengan cara yang berbeda dengan di keseharian,
sehingga pasti tensinya akan berbeda.”
45
Bahkan, untuk pertunjukan yang prosesnya berawal dari re-enactment peniruan yang bertujuan untuk dihadirkan kembali pun, pengalaman Gunawan Maryanto pada
akhirnya akan mengantar dirinya pada penghayatan tokoh yang sifatnya individual. Dan untuk persoalan penghayatan, atau mengalami pengalaman di atas panggung, bagi
Gunawan Maryanto rasanya pun tak jauh berbeda ketika ia berada dalam keseharian. Namun Gunawan Maryanto menyebutkan bahwa yang membuat pengalaman berada di
44
Pertunjukan ini diselenggarakan di Salihara pada tanggal 30 Juni 2013 pukul 16.00 WIB.
45
Wawancara dengan Gunawan Maryanto pada tanggal 5 Juni 2015 di Garasi Institute of Performance, Nitiprayan, Yogyakarta.
48 panggung menjadi berbeda adalah soal cara dan tensinya. Artinya, di atas panggung
aktor menyadari posisinya sebagai tokoh yang memiliki karakter yang berbeda dengan dirinya sehari-hari. Maka aktor harus menggunakan penanda kehadiran yang lain, yang
asalnya adalah dari penafsirannya atas tokoh yang ia mainkan. Sebagai Hamm, yang pada prosesnya Gunawan Maryanto melihat dan meniru penanda-penanda yang
dimunculkan oleh Yudi Ahmad Tajudin, pada akhirnya ia berhasil menciptakan penanda-penandanya sendiri yang memiliki kekhasan yang berbeda dengan penanda-
penanda yang dimunculkan oleh Yudi. Gambar 5:
Gunawan Maryanto duduk memerankan Hamm. Dok. Teater Garasi
Tetapi salah satu hal lain yang membantu aktor dalam menghayati peran adalah pengetahuannya atas teks: tentang apa dan kepada siapa teks tersebut akan di
sampaikan. Sehingga, menemukan relevansi teks terhadap situasi sosial menjadi hal penting yang perlu dipikirkan karena bagaimanapun juga hal ini akan mempengaruhi
keyakinan aktor dalam menyampaikan teks kepada penonton dan keyakinan ini membuat aktor percaya diri ketika tampil di atas panggung. Terkait dengan hal ini,
Gunawan Maryanto bercerita: “Ketika memainkan End Game, saat itu kami berbicara lagi sebenarnya soal
relevansi mementaskan naskah ini. Dulu yang pas pentas ini dipentaskan pertama kalinya juga kami memikirkan relevansinya. Tapi menurutku
49 pribadi naskah ini tetap ada relevansinya dengan kehidupan sekarang. Ya
kan naskah End Game itu, peristiwanya di dalam bunker atau ruang entahlah kerena tidak terlalu dijelaskan. Sementara di luar bunker itu adalah ruang
yang sudah menjadi seperti neraka. Hamm itu orang yang merindukan dunia luar sebelum menjadi neraka, merindukan tatanan yang baik kan. Sementara
mereka bertahan dalam bunker entah sampai kapan. Hubungan tentang luar- dan dalam ini tak pikir selalu ada relevansinya hingga konteks sekarang.
Apa lagi karakter itu, Hamm dan Clove, sebenarnya kan bisa ditafsirkan sebagai palu dan paku paku payung yang bentuknya menyerupai cengkeh
kan. Hamm itu selalu menindas Clove, Clove itu juga menggemaskan; tau kalau ditindas tapi juga tetap melakukan karena ia merasa membutuhkan
Hamm, sehingga teks ini juga tentang relasi. Tak pikir sampai sekarangpun relasi seperti Hamm dan Clove masih relevan dengan situasi saat ini.”
46
Relevansi teks dengan realitas sosial merupakan benang merah yang mengantarkan cerita pada penafsiran penonton. Sehingga ketika Gunawan Maryanto
dan rekan-rekan dalam timnya menafsirkan End Game, sekaligus mereka mempunyai bayangan atas kepada siapa naskah tersebut akan disajikan. Hal ini juga merupakan hal
penting yang dialami oleh Tita ketika ia berproses dalam pementasan yang berjudul Sangkar Madu
47
. Dalam proses tersebut, Tita bersama timnya bertujuan untuk mementaskah kisah-kisah yang dialami oleh Tenaga Kerja Indonesia TKI yang tinggal
di desa Jangkaran, Congot, Kulonprogo. Relevansi dengan situasi sosial jelas, waktu itu TKI banyak dibicarakan oleh media masa dan sebagai pelaku teater, mereka tergelitik
untuk merespon berita-berita yang ditayangkan oleh media masa dengan meneliti lebih jauh kehidupan TKI dan mementaskannya dengan media teater. Mengaitkan hal ini
dengan keaktoran, khususnya soal penghayatan karakter, Tita mengaku dalam prosesnya ia lebih mudah untuk memainkannya karena ia menggunakan naskah dan
model akting yang nyata bukan tokoh fiktif. Tita bercerita demikian:
46
Wawancara dengan Gunawan Maryanto pada tanggal 5 Juni 2015 di Garasi Institute of Performance, Nitiprayan, Yogyakarta.
47
Pentas diadakan pada tanggal 25-26 April 2013 pukul 19.00 WIB. Di teater Garasi.
50 “Itu aku sebagai perempuan namanya mbak yanti, umurnya itu sekitar 25an,
sekitar itulah. Dia pernah kerja di Taiwan sekitar 4 tahun, terus sekarang sudah menikah dan punya anak satu. Dia tinggal di Jangkaran. Nah aku
berperan sebagai dia saat dia menceritakan kisahnya ke kami. Cara menghayatinya itu enak karena objeknya sangat riil. Jadi aku bisa meniru
secara langsung, lewat pengamatan, rekaman vidio dan audio. Jadi aku meniru benar-benar suaranya, gestur tubuhnya, cara berpakaiannya, dari
ujung rambut sampai ujung kaki, cara dia mainin rambut, cara dia mainin bibir, apa yang menjadi ciri khasnya dia itu aku tiru. Terus kalau
penghayatannya, kalau soal rasa kemudian, empati yang pasti. Itu kalau aku ngrasain situasinya dia ya bisa lah, ya sedihnya, senengnya, itu yang tak
coba kurasakan.”
48
Terkait dengan penghayatan kerakter, Tita menceritakan bahwa penghayatan yang ia lakukan benar-benar mengandalkan teknik keaktoran. Dalam hal ini, penghayatan
tokoh atau memainkan karakter tidak sama dengan ‘benar-benar’ menjadi tokoh yang dimainkan. Dalam hal ini, Tita memainkan penanda-penanda yang dalam prosesnya ia
latih dan ia biasakan dalam tubuhnya. Tita bercerita: “Jadi di pentas itu aku mainin dua karakter, sebagai aku yang menceritakan
dia, juga sebagai dia yang bercerita sendiri. Nah asiknya itu, ketika bermain dua karakter, itu aku bener-bener memakai teknik, jadi nggak semata-mata
merasa berubah gitu nggak, tapi itu teknik keaktoran. Jadi untuk membedakannya, itu Mbak Yanti kan biasanya rambutnya terurai, kemudian
kalau jadi aku ya rambutku tak iket, biar jadi penanda yang beda. Terus juga gaya bicara itu bisa membedakan. Jadi itu secara sadar sampai nggak sadar,
aku malah ngamatin diriku sendiri dan juga dia untuk urusan produksi aktingnya. Aku pun ketika memerankan diriku sendiri di panggung harus
akting kan, nggak bisa juga aku menjadi aku yang seperti biasanya. Nah di proses itu kadang-kadang sampai sempat terbawa, misalnya ada teman yang
bilang, “Kok kamu seperti mbak Yanti sih”. Bahkan kadang juga terbawa perasaan. Itu muncul di ending, ada adegan yang sebenarnya aku nggak
nyaman ketika harus menjadi aku yang mengungkapkan bahwa TKI itu kena HIV aids.
Aku nggak tega mengatakannya, ya seperti kayak mengungkapkan aib sendiri. Tapi sebagai aktor aku mau nggak mau harus
melakukannya, karena pertunjukan ini berbasis data.”
49
48
Wawancara dengan Tita pada tanggal 5 Juni 2015 di Padepokan Seni Bagong Kussudihardja
49
Ibid.
51 Dari cerita tersebut, kita bisa melihat bahwa dalam proses menyesuaikan tubuh
dengan karakter baru seringkali dilakukan aktor hingga ke keseharian, sampai bisa jadi orang-orang di sekitar aktor tersebut kadang-kadang berkomentar seperti yang dialami
oleh Tita. Kedekatan Tita dengan Objek material penciptaannya bahkan sampai memunculkan empati atau perasaan-perasaan tertentu seperti yang dialami oleh Tita,
sehingga selain soal teknik, perasaan juga memiliki andil besar dalam proses menghayati peran.
Gambar 2:
Tita berdiri dalam pertunjukan Sangkar Madu Dok. Teater Garasi
Hampir mirip dengan pengalaman Tita, ketika Andika berproses untuk pertunjukan Panji Amabar Pasir, naskah yang dipentaskan merupakan naskah yang
diciptakan oleh para aktornya ketika sedang improvisasi. Bedanya, naskah Andika tidak menggunakan model nyata, melainkan imajinasi. Dalam proses tersebut, latihan yang
dilakukan Andika juga merupakan tempat untuk pentas nantinya, yakni di sebuah Guest House yang belum jadi yang bersebelahan dengan sawah dan tempat pembuatan batu
bata di Nitiprayan Yogyakarta. Ketiga ruangan tersebut menjadi tempat latihan sekaligus tempat pertunjukan.
52 Teks yang mencul berdasar pada respon aktor terhadap ruang ketika mereka
melakukan improvisasi. Ide dasarnya memang telah dimiliki oleh Sutradara, yakni cerita tentang seorang anak kecil yang ingin belajar menari tari topeng Panji, sementara dalam
prosesnya, muncul peristiwa dari improvisasi yang dilakukan aktor-aktornya bahwa si anak kemudian harus ikut orang tuanya transmigrasi ke Kalimantan sehingga ia tidak
bisa lagi berlatih dengan gurunya yang tinggal di Jawa. Dengan latar ruang berupa sawah yang menjadi ruang dominan, teks tersebut melahirkan peristiwa sosial dengan
latar belakang agraris. Singkat cerita, ketika sekeluarga tersebut pindah ke Kalimantan, mereka harus mengalami kegagalan berkali-kali dalam mengolah sawah karena tanah
Kalimantan berbeda dengan Jawa. Sehingga, sekeluarga tersebut merasa dibohongi oleh pemerintah yang mejanjikan kemakmuran ketika mereka mau bertransmigrasi.
Gambar 7:
Andika kanan, berdiri. Dokumentasi pribadi Andika Ananda.
Tentu saja teks yang berasal dari improvisasi tersebut tak lepas dari wacana- wacana yang pernah di dengar oleh para aktornya terkait persoalan transmigrasi. Yang
53 menarik, teks ini berasal dari imajinasi aktor yang muncul ketika mereka melakukan
improvisasi. Kurang lebih selama sebulan dan setiap hari mereka berlatih selama kurang lebih enam jam, akhirnya Andika dan teman-teman aktornya berhasil memainkan teks
yang mereka susun sendiri dalam pertemuan mereka dengan ruang dan stimulus dari sutradara. Untuk menghayatinya, meskipun naskah tersebut berasal dari improvisasi,
akan tetapi pada akhirnya Andika harus mencari model untuk memerankan tokoh Bapak. Karena setiap hari mereka berinteraksi dalam dan dengan ruang latihan, pada
pentasnya Andika tidak menemukan kesulitan karena merasa telah menubuh dengan ruang pertunjukan. Ketika melihat latihan tersebut, yang dilakukan oleh Andika dan
teman-temannya terlihat seperti sebuah keluarga yang hidup dalam kondisi yang mengenaskan, terlebih latar belakang ruang bermain sangat membantu menciptakan
situasi tersebut. Bahkan ketika hujan, dalam latihan, Andika dan rekannya yang menjadi tokoh anak memanfaatkan situasi tersebut seolah situasi nyata, yakni mereka
mencangkul sawah ketika hujan. Sehingga ketika dikaitkan dengan tubuh aktor, Andika mengatakan bahwa tubuhnya telah terbentuk ketika ia terus menerus secara intens
berada dalam ruang latihan tersebut. Kadangkala ia menyapu, membersihkan rumput, dan menambal lubang di tanah aktivitas tersebut sebenarnya bukan latihan, tapi
digunakan sebagai latihan, baca: kegiatan di luar teks. Sedikit berbeda dengan pengalaman Andika dan Tita, bagi Nunung, dalam sebuah
monolog yang ia pentaskan dalam satu rangkaian pentas Jagongan Wagen edisi Oktober 2012 dengan tema acara Brigadir Pamungkas; monolog yang menceritakan
pengalamannya pribadi ketika berproses di Padepokan Seni Bagong Kussudihardja, merupakan sebuah pementasan yang baginya dan bagi penonton menyiratkan
penghayatan yang mendalam. Sebagai pelaku, Nunung merasa bahwa ia menguasai teks
54 sebagaimana teks tersebut adalah miliknya. Sehingga, antara teks, tubuh, dan perasaan
yang Nunung munculkan pada waktu itu merupakan kesatuan yang utuh dan tidak berdiri sendiri-sendiri. Ia mengakui bahwa dalam pertunjukannya ia tidak menjadi
karakter orang lain, melainkan dirinya sendiri dengan intensitas yang berbeda ketika ia berada di luar panggung pertunjukan. Namun ketika memainkan tokoh lain, jalan yang
ditempuh Nunung kurang lebih setara dengan yang diceritakan oleh aktor-aktor lain. Gambar 8:
Dok. Milik Nunung; Tempat Istirahat
Pada pertunjukan Nunung yang sangat berbeda, sebagai pembanding, yang berjudul Tempat Istirahat
50
yang dipentaskan dalam rangka ulang tahun Teater Garasi yang ke 20, Nunung memerankan tokoh nenek yang telah berusia senja. Tentu karakter
tokoh tersebut sangat berjarak dengan karakter Nunung yang umurnya masih berkepala tiga. Salah satu bentuk aktivitas dalam proses yang dilakukan Nunung adalah melihat-
50
Pertunjukan re- enactment ulang tahun Teater Garasi “Bertukar Tangkap Dengan
Lepas” tanggal 21 Januari 2014 pukul 19.00 WIB. Di Ark Galeri.
55 lihat kuburan di Taman Makam Pahlawan Yogyakarta pada sore hari menjelang
maghrib. Tujuannya adalah untuk sekedar mendapatkan stimulus dari suasana-suasana yang bernuansa kematian. Proses tersebut merupakan salah satu proses yang berkesan
bagi dia. Konsepsi bahwa teks, atau gagasan pertunjukan haruslah dimiliki aktor
merupakan syarat utama dalam menghayati peran. Hanya dengan memiliki teks, mengimajinasikan bahwa dirinyalah tokoh dalam teks tersebut, aktor mampu
menuangkan emosi-emosi tertentu dalam bentuk-bentuk yang ia ciptakan, baik yang tampak sebagai gestur, gerakan, atau di tataran pelisanan. Hal itu tidak selesai begitu
saja; aktor harus mau mengubah kebiasaannya, karena hanya dengan membiasakan hal baru yang ia tempuh, ia tidak lagi merasa canggung dengan perilakunya.
Hal ini barangkali lebih mudah dipahami dengan ilustrasi pemain musik atau penari. Pemain musik terlebih dahulu melatih tubuhnya, membiasakan tubuhnya dengan
instrumen yang ia mainkan. Artinya, dalam tataran teknis ia harus sudah menguasai dan bahkan sudah di luar kepala. Dari situlah pemain musik memiliki pijakan untuk
menikmati permainannya; menghayatinya. Hal yang berat sekaligus menantang adalah situasi ketika aktor harus memainkan
lebih dari satu karakter. Sebagai pemain monolog, Mbah Tohir tak jarang bermain sebagai banyak karakter dalam satu nomor pertunjukan. Jika seorang dalang mampu
memainkan banyak karakter melalui suara dan penghayatannya atas wayang perpanjangan dari tubuhnya, maka aktor melakukannya dengan seluruh tubuhnya.
Dalam situasi yang demikian, Mbah Tohir menyiasati latihannya dengan melihat dan meniru sebanyak mungkin perilaku manusia. Perbendaharaan jenis perilaku manusia
menjadi hal yang penting. Hal ini tidak selesai dalam tataran konsep, seorang aktor, kata
56 Gunawan Maryanto, tidak cukup hanya memikirkannya dan menghafalkannya melalui
ingatan, tubuh juga harus melakukan; tubuh harus punya memori atas berbagai jenis tingkah laku manusia.
Lantas dalam bentuk teater yang berbeda, yang tidak berpijak pada naskah teater drama melainkan atas gagasan tertentu seperti yang digelisahkan oleh Tony Broer,
bagaimana cara menghayatinya? Menurut Tony Broer, ketika tubuh telah siap pada tahapan tubuh tema seperti yang telah disinggung pada bagian sebelumnya, tema itu
sendiri menjadi fiksi yang dijadikan pijakan. Tidak jarang fiksi ini melampaui pikiran rasional. Maka dari itulah, sebelum memasuki tahapan ini, tubuh harus telah terlatih
untuk tidak terlalu didominasi oleh pikiran. Dengan demikian, dalam mengeksplorasi tubuh tema, tubuh telah memiliki jangkauan yang cukup luas untuk mewadahi fiksi-
fiksi tertentu. Gambar 9:
Dok. Pribadi milik Tony Broer
57 Bagi Tony Broer, tubuh semestinya bukan sebagai media untuk menyampaikan
tema-tema tertentu. Namun, dengan membalik pola latihannya, tema merupakan media bagi tubuh untuk menciptakan eksplorasi-eksplorasi tertentu. Dengan pola berfikir
demikian, Tony Broer mengatakan bahwa dalam sebuah pertunjukan yang ia lakukan, ia tidak sedang ingin menyampaikan pesan tertentu. Namun ia tidak menolak jika pada
akhirnya penonton penangkap suatu ‘pesan’ dari pertunjukan tubuhnya. Satu-satunya pesan yang ingin ia sampaikan adalah bahwa tubuh itu sendiri merupakan gagasan.
Menurut Tony Broer, pemahaman atas tubuh yang ia konsepsikan ini mendapat pengaruh kuat dari seni Butoh; Bu berarti tari dan To berarti langkah yang bisa secara
sederhana diartikan sebagai tahap-tahap untuk menari atau pondasi tarian. Butoh itu sendiri juga dikenal sebagai anti tari, anti kecantikan, atau bahkan tarian kematian
51
. Gagasan-gagasan dalam seni Butoh menjadi pijakan bagi Tony Broer untuk
menciptakan gagasan teater TubuhKataTubuh yang saya tafsirkan sebagai teater anti teater teater yang telah meninggalkan ideal atau konvensi teater pada umumnya.
Keberhasilan pertunjukan tubuh Tony Broer ini sangat tergantung pada pengalaman tubuh itu sendiri dalam merespon ruang pertunjukan. Ruang dengan
sendirinya telah memiliki narasi, dan maknanya akan sangat berbeda ketika ada tubuh yang berinteraksi dengan ruang tersebut. Demikian juga sebaliknya, tubuh akan sangat
sensitif dengan ruang-ruang yang berbeda. Pemahaman ini membuat Tony Broer tidak lagi memprioritaskan panggung konvensional. Baginya, tubuh bisa pentas di mana saja.
Justru dengan meninggalkan panggung, dan memilih tempat lain seperti kebun, sungai, got, comberan, sawah, jalan raya, dan lain sebagainya, tubuh akan lebih luas
51
Sondra Fraleigh dan Tamah Nakamura dalam buku yang berjudul Hijikata Tatsumi And Ohno Kazuo. Routledge, 270 Madison Ave, New York, 2006. Lihat halaman 1.
58 menciptakan kemungkinan-kemungkinan ekspresi; ketika tubuh dan ruang bertemu,
teks dengan sendirinya akan dilahirkan tanpa harus membebani tubuh sebagai media penyampai pesan. Teks-teks yang dimunculkan oleh tubuh terkait dengan interaksi
tubuh dengan ruangnya bisa saja terbaca dengan bantuan tema seperti misalnya: Tubuh Setengah Ranting, Tubuh Perang, Tubuh Bumi, Tubuh Kota, Tubuh Jalanan, dan lain
sebagainya. Menghayati pertunjukan tubuh ini berarti Tony Broer harus menghayati tubuhnya sendiri dan ruang tempat tubuh itu berpijak.
Mengaitkan dengan kejujuran dalam melakukan aksi sebagaimana hal ini telah dikatakan oleh Gunawan Maryanto dan Mbah Tohir, justru ketika Tony Broer pentas
dengan menggunakan tubuhnya untuk merespon secara langsung ruang-ruang yang dihadapinya, kejujuran itu tak hanya ada dalam pikiran, melainkan mengalir di seluruh
tubuhnya. Sebagai contoh, salah satu adegan yang pernah dilakukan oleh Tony Broer dalam pentasnya adalah ia masuk ke dalam sebuah drum, lalu ada aktor lain yang
memukul drum tersebut dengan besi batangan. Tentu saja hal ini menimbulkan reaksi pada tubuh Tony Broer. Sehingga, rasa sakit yang dialami oleh Tony Broer ini
merupakan rasa sakit yang sebenarnya dialami oleh tubuh, dan tentu akan hadir dalam perasaan-perasaannya ketika ia pentas.
Dalam mengakhiri sebuah proses pertunjukan, persoalan menghayati peran hingga meninggalkan peran untuk kembali ke kebiasaan aktor yang semula merupakan hal
yang sama-sama sulit. Meninggalkan peran sebagai tokoh untuk kembali kepada dirinya lagi ibaratnya adalah menghayati kembali dirinya sebelum aktor membiasakan tubuhnya
dengan gambaran tubuh tokoh yang ia mainkan, dengan cara mengingat kebiasaan- kebiasaannya lagi sebagaimana perilaku aktor tersebut dikenali oleh orang lain dalam
situasi di keseharian.
59