Berpijak Pada Teks: Dari Subjek Makna Sampai Subjek Hasrat
87 naskah adalah ketika aktor merasa menemukan dirinya bagian dari dirinya, misalnya
pengalaman hidupnya dalam naskah tersebut. Dengan kata lain, aktor berhasil menciptakan pemaknaannya sendiri atas proses membaca identifikasi yang ia lakukan.
Pemaknaan ini berasal dari proses aktor menyusun kembali penanda-penanda dalam ruang ketaksadarannya; naskah menjadi medium bagi aktor untuk memaknai symptom-
nya
89
sendiri. Dari uraian tersebut, naskah yang menyenangkan tentunya bersifat relatif;
tergantung pada hubungan aktor dengan naskah. Bisa jadi naskah Oedipus Sang Raja bukan naskah yang menyenangkan bagi Tony Broer meski naskah tersebut sangat
berarti bagi Pak Untung. Naskah menimbulkan kesenangan bagi aktor sejauh naskah tersebut berkenaan dengan symptom dan mampu membuat aktor menciptakan fantasi;
naskah mampu menyeret aktor pada lack yang ia miliki lack atas dunia simbolik sebagaimana naskah tersebut juga ditulis berdasarkan lack penulis naskah. Naskah
menjadi medium bagi aktor untuk berhadapan dengan das Ding kekosongan di balik naskah.
Meminjam pemaparan Lacan melalui puisi-puisi sublim para courtly lovers
90
, kiranya naskah drama bisa disetarakan sekaligus ditempatkan sebagai wacana histeris;
89
Evans, 2006: 205. Sebagaimana Freud, Lacan mengatakan bahwa symptom merupakan formasi ketidaksadaran. Pada tahun 1953 Lacan mengatakan bahwa symptom
merupakan signifier. Selanjutnya, symptom dimaknai sebagai signifikasi, lalu metafor, dan pada tahun 1962, symptom didefinisikan sebagai sesuatu yang tak bisa ditafsirkan sebagaimana
symptom itu merupakan pure jouissance yang telah terepresi ketika subjek memasuki tatanan simbolik.
Sunardi menafsirkan symptom sebagai hal yang serupa; penanda yang tidak bisa begitu saja ditafsirkan. Meskipun symptom ini berwujud penanda yang berasal dari tatanan simbolik,
namun symptom ini memiliki hubungan khusus dengan dunia Real. Jika subjek mendapatkan jouissance dalam dunia simbolik melalui symptom represi, maka symptom berubah nama
menjadi sinthome ketika subjek mendapatkan kenikmatan yang berasal dari dunia Real melalui sublimasi Handout perkuliahan yang ditulis oleh St. Sunardi.
90
Lihat Kesel, 2009: 175
88 karakter dasar dari sublimasi estetis. Lacan mendefinisikan sublimasi sebagai “elevation
of an object to the dignity of das Ding ,”
91
yang kurang lebih hal ini berkenaan dengan relasi antara subjek, objek hasrat, dan dengan dunia Real das Ding. Jika definisi Lacan
tersebut diartikan sebagai jalan yang ditempuh oleh subjek untuk mengelevasi atau menghadirkan objek hasrat yang berhubungan dengan jouissance pada das Dingthe
Thing sesuatu yang melampaui bahasa kekosongan, hal ini karena subjek ingin menutup kekosongan pada das Ding.
Secara garis besar, dalam puisi para courtly lovers, objek yang dielevasi sebagai penanda baru dalam puisi adalah The Lady; objek hasrat
92
yang tak pernah dimiliki sehingga subjek mengalami pengalaman luka atau lack
93
. The Lady menempati posisi sebagai das Ding melalui kata-kata puisi yang menggambarkan kecantikan atau
mengekspresikan kekaguman penyair pada the Lady. Bisa jadi puisi tersebut terlalu berlebihan atau malah minus dalam menggambarkan kecantikan the Lady sehingga
bisa dikatakan bahwa kecantikan atau keindahan bahasa puisi itu menutupi keadaan yang sesungguhnya.
Dalam situasi ini, penyair menempati posisi sebagai subjek histeris; dia tetap tidak mendapatkan the Lady berjarak dengan das Ding sehingga hasratnya tetap menyala
91
Ibid, 2009: 179.
92
Lihat tulisan Bruce Fink, 1997: 51-53. Menurut Lacan, hasrat manusia tidak memiliki objek, akan tetapi ada suatu objek yang
dapat membangkitkan hasrat manusia, yaitu objek a objek penyebab hasrat; hasrat liyanother’s desire . Namun demikian, objek a bukanlah objek material yang hadir melalui sistem
penandaan, melainkan sesuatu dibalik penanda. Yang menjadi poin penting dalam hal ini, fungsi dari objek a adalah sebagai sesuatu yang diandaikan dapat memberikan pemenuhan.
Sebab itulah, objek a menjadi objek penyebab hasrat. Tragisnya, subjek hanya bisa memperoleh objek material dan tidak pernah sampai pada sesuatu dibalik objek material itu objek a
sehingga subjek selamanya merasa kurang dengan segala material penandaan yang ia miliki.
93
Kesel, 2009: 180. The Lady menempati posisinya sebagai das Ding selain karena tak terjamah juga karena the Lady yang membuat subjek terus bergerak sebagai desiring subject.
Puisi-puisi yang menggambarkan the Lady melalui penataan kata-kata membuat the Lady terselubungi oleh keindahan sehingga the Lady itu sendiri tetap menjadi misteri sekaligus
menjadi penanda utama.
89 sekaligus, ketika menulis puisi sinthome, ia telah berhasil memaknai kegagalannya
melihat symptom atau rasa sakitnya dari sudut pandang lain dan melakukan transversing of fantasy menyelamatkan diri dari pengalaman traumatis dengan melalui
fantasi. Posisi ini sekaligus dialamatkan oleh Lacan kepada seniman yang menciptakan penanda-penanda estetis karya seni sebagai cara untuk menggambarkan
kekosongan yang mereka hadapi; menutup kekosongan dengan keindahan. Pengalaman luka bisa disejajarkan dengan lack atau tidak mendapatkan
pemenuhan. Dalam kisah courtly love, menghubungkan lack dengan cinta penyair cinta ditafsirkan sebagai bentuk dorongan libidinal yang menghendaki jouissance sebagai
pemenuhan kepada sang Lady, yang didapat oleh sang penyair adalah sebut saja kekecewaan. Namun, belum tentu kekecewaan ini menenggelamkan subjek dalam
represi. Sebaliknya, emosi-emosi histeris ini merupakan sumber energi dorongan kreatif yang yang bisa dialihkan dalam bentuk karya seni
94
. Emosi-emosi histeris ini bisa saja tidak berangkat dari persoalan cinta; lebih dari itu, ketika dibaca berdasarkan
relasi subjek dengan objek hasratnya dan sejauh relasi tersebut menghadirkan pengalaman luka jouissance yang terepresi, maka masih ada kemungkinan bagi subjek
untuk mengespresikan lukanya memaknai symptom melalui penanda-penanda estetis; salah satunya adalah naskah.
Kiranya naskah atau teks yang membangkitkan rasa senang pleasure adalah naskah yang seperti diuraikan tersebut; naskah menandai adanya kedalaman
pengalaman hidup seseorang yang diukur dari penderitaannya dan barangkali penderitaan tersebut mewakili pengalaman banyak orang. Karya seni dalam hal ini bisa
dilihat sebagai cara untuk memaknai penderitaan dengan cara lain. Hal ini bisa
94
Kesel, 2009: 184.
90 dipertemukan dengan pengalaman para aktor ketika mereka menyusun naskah mereka
sendiri untuk dipentaskan. Mengambil cerita Tita dan Andika yang telah dinarasikan dalam bab II, ketika
Tita berproses untuk pertunjukan yang berjudul Sangkar Madu, proses tersebut berangkat dari keinginan untuk mencari tahu kehidupan para Tenaga Kerja Indonesia
TKI. Naskah disusun berdasarkan hasil wawancara para pelaku teater dengan narasumber TKI. Sebagian naskah berupa narasi, sebagian lain merupakan cerita-
cerita narasumber yang dituliskan verbatim. Sementara itu, proses Andika dalam menyusun naskah di proses Panji Amabar Pasir berbeda dengan pengalaman Tita.
Naskah Panji Amabar Pasir ditulis lebih tepatnya dijadikan acuan berdasarkan improvisasi yang dihasilkan oleh para aktornya. Improvisasi tersebut direkam dan
ditelaah sebelum akhirnya dibekukan menjadi dialog. Secara garis besar, teks tersebut merupakan teks yang berbicara tentang kehidupan pahit satu keluarga yang
bertransmigrasi dari Jawa ke Kalimantan dan dalam teks tersebut, Andika berperan sebagai Ayah.
Dari dua proses penciptaan naskah yang berbeda tersebut, dalam praktiknya naskah tetap menempati posisinya sebagai yang pertama-tama diidentifikasi oleh
aktor. Naskah menjadi sumber peristiwa, atau fiksi yang dijadikan pegangan dalam penciptaan. Ada jarak yang harus ditempuh aktor untuk mendekati tokoh dalam naskah
yang sedang dihadapinya. Jika merujuk pada, naskah Sangkar Madu yang dimainkan oleh Tita, pertama-tama, hasrat yang diartikulasikan dalam naskah tersebut tentu bukan
milik Tita, meski pada awal proses tersebut Tita bersama rekan-rekan lainnya berhasrat untuk mementaskan wacana-wacana di seputaran kehidupan TKI. Hasrat aktor pada
mulanya adalah mencari sesuatu untuk diartikulasikan di panggung karena tidak
91 mungkin aktor hanya memiliki modal hasrat untuk pentas. Sehingga, pada tahap
selanjutnya aktor harus memiliki objek hasrat. Tita menggunakan teks orang lain sebagai objek hasratnya; objek penciptaan.
Sementara, pada konteks yang berbeda, Andika dengan naskah yang ia ciptakan sendiri, mula-mula berhasrat untuk mementaskan sesuatu, dan sesuatu itu menjadi objek
hasrat; teks yang akan dipentaskan. Lantas dengan melakukan improvisasi secara bersama-sama, Andika dan rekan-rekannya pada akhirnya berhasil menciptakan teks
sebagai acuan. Teks tersebut dengan segala macam wacana yang tersirat di dalamnya meski awalnya berasal dari hasrat mereka untuk mengatakan sesuatu, tapi kemudian
teks tersebut menandai kehadiran hasrat liyan kehidupan orang lain yang berjarak dengan kehidupan mereka sendiri berjarak dalam hal ini, teks tersebut berisi wacana
yang mewakili kehidupan orang lain. Dalam konteks penciptaan naskah Panji Amabar Pasir, wacana yang digulirkan dalam naskah tersebut adalah kehidupan keluarga yang
bertransmigrasi; dalam naskah tersebut digambarkan peristiwa menyedihkan yang dialami oleh orang-orang yang bertransmigrasi. Sehingga, teks tersebut harus
diperlakukan dengan pola-pola penciptaan tertentu yang kurang lebih mirip dengan yang telah dikatakan oleh Gunawan Maryanto sampai pada akhirnya teks tersebut
menjadi objek hasrat objek penciptaan yang mereka hadirkan di panggung. Lantas dari mana, misalnya, asal muasal wacana yang muncul dari improvisasi
yang dilakukan Andika bersama rekan-rekannya? Ruang latihan memberikan stimulus kepada mereka untuk mengingat peristiwa-peristiwa yang pernah mereka saksikan, dan
entah karena suatu kebetulan atau tidak, teks yang dimunculkan dari improvisasi tersebut kemudian merujuk pada kehidupan warga transmigran. Dalam hal ini, teks lahir
dari ketidaksadaran symptom; wacana-wacana yang menumpuk dalam ingatan; masa
92 lalu; jouissance yang terepresi aktor yang dihadirkan kembali melalui penanda-
penanda baru sinthome
95
. Menghubungkan dengan pemaparan tersebut, jika melihat pengalaman Tita atau
Andika, sebagai contoh, ketika mereka berproses menyusun naskah untuk pentas, bisa dibilang mereka sama sekali tidak memiliki urusan khusus atau memiliki keterkaitan
langsung antara kehidupan mereka dengan kehidupan naskah yang mereka susun. Namun proses tersebut mengantarkan mereka pada ikatan-ikatan emosional tertentu;
mereka merasa seolah-olah memiliki pengalaman histeris dari kehidupan tokoh yang dirujuk sebagai naskah. Merujuk pada naskah atau kehidupan tokoh objek hasrat yang
mereka mainkan, aktor diajak untuk melihat dan memiliki lack dari objek hasrat tersebut. Di sisi lain, objek yang mereka ciptakan melalui bahasa naskah justru
membuat objek tersebut menempati posisi das Ding yang tidak lagi tampak karena ditutupi oleh bahasa. Sehingga, objek yang mereka angkat melalui naskah pada
akhirnya merupakan penanda-penanda baru sinthome sebagai hasil dari memaknai symptom.
Ketika naskah sudah mulai berbicara dengan penanda-penanda baru, dalam hal ini naskah merupakan bentuk dari sublimasi. Efeknya, di satu sisi, melalui naskah, sesuatu
yang dibicarakan hadir dengan cara yang segar. Mengambil contoh lain melalui pengalaman Pak Untung yang ingin mengkritik pemimpin negara yang salah dengan
menggunakan naskah Oedipus Sang Raja, tentu cara yang ditempuh Pak Untung ini berbeda dengan pengalaman Tita dan Andika. Pak Untung melihat symptom naskah
setara dengan symptom-nya sendiri sebagaimana symptom tersebut ada karena lack dari
95
Kesel, 2009: 192. Sinthome merupakan invasi struktur simbolik dari jouissance subjek; sinthome hadir dalam bentuk penanda-penanda baru dalam dunia simbolik.
93 dunia simbolik. Di satu sisi, pengalaman Pak Untung bisa disejajarkan dengan
pengalaman Sophocles ketika ia menutup das Ding dengan naskah Oedipus dalam konteks Pak Untung ingin juga membicarakan kekosongan pemimpin negaranya
melalui Oedipus. Lantas bagaimana dengan bentuk-bentuk pertunjukan seperti yang dilakukan oleh
Tony Broer? Apakah ada naskahnya? Bagaimana naskahnya? Bagi Tony Broer, naskah dalam pertunjukan adalah tubuhnya sendiri. Konsep ini berangkat dari pemahaman
Tony Broer bahwa tubuh sudah merupakan gagasan. Jika di dalam naskah terdapat gagasan atau ide-ide yang akan diterjemahkan melalui akting, maka ketika Tony Broer
mengatakan bahwa tubuh adalah gagasan, maka tubuh adalah naskah. Yang dilakukan Tony Broer dalam menyikapi tubuh sebagai naskah adalah dengan melatih tubuhnya
terus menerus. Lebih jauh, ketika tubuh bertemu dengan ruang-ruang tertentu, tubuh memiliki caranya sendiri untuk berinteraksi dengan ruang tersebut; tubuh beridentifikasi
dengan ruang. Hal ini kurang lebih setara dengan yang dilakukan Andika ketika melakukan improvisasi bersama rekan-rekannya lalu melahirkan naskah. Hanya saja,
perbedaan hasil capaian dari proses yang ditempuh Andika dengan proses yang dijalani Tony Broer adalah soal bahasa; Tony Broer menggunakan visual tubuhnya sebagai
bahasa utama. Improvisasi tubuh yang dilakukan oleh Tony Broer adalah pertemuan langsung
antara tubuh dengan ruang dan situasi yang terbangun pada waktu itu membuat dia menyusun sendiri narasi tubuhnya. Tentu narasi tubuh ini susah terbaca; tidak seperti
bahasa verbal yang diucapkan melalui dialog. Sehingga, ketika dia pentas, bisa jadi penonton tidak paham, tapi penonton bisa mengenali ekspresi-ekspresi tubuhnya.
94 Konsekuensinya, pertunjukan tersebut membuka peluang untuk ditafsirkan dengan
berbagai kemungkinan cara. Yang unik dari naskah tubuh Tony Broer ini adalah bahwa proses yang ia tempuh
merupakan proses membuka sekaligus menutup das Ding tubuh. Membuka dalam hal ini Tony Broer menelanjangi tubuhnya dari penanda-penanda simbolik konstruksi
sosial yang melekat pada tubuh, misalnya; ia tak mau menjadikan tubuhnya sebagai media penyampai pesan melainkan tubuh adalah pesan itu sendiri. Sementara menutup
dalam hal ini Tony Broer menghadirkan penderitaan tubuhnya yang berinteraksi langsung dengan ruang;
ketika tubuh bergerak atas ‘ketelanjangannya’ sekaligus tubuh itu menutup das Ding dengan sisi buruk, sisi kelam, dan penderitaan manusia yang
ingin lepas dari ‘kecantikan’ yang menutupinya. Merujuk pada pemaparan-pemaparan tersebut, naskah di satu sisi merupakan
‘keindahan’ yang menutup kekosongan das Ding. Keindahan tersebut hadir melalui rangkaian penanda bahasa yag digunakan penulis untuk memaknai symptom-nya setelah
ia melihat kekosongan das Ding di balik objek a objek membuat penulis menjadi subjek hasrat dan subjek yang terdorong untuk bergerak menuju das Ding. Sementara
itu, aktor melihat naskah mula-mula adalah sebagai objek a kecantikan yang ditampilkan melalui penanda-penanda estetis. Objek a diandaikan mampu memberikan
pemuasan bagi aktor, namun yang terjadi justru sebaliknya; aktor hanya menemukan kekosongan dibalik objek a. Sehingga, aktor tetap menjadi subjek yang mengalami lack
dan tetap menjadi subjek hasrat. Hanya dengan cara itulah subjek memiliki gairah hidup dan terus menerus terdorong untuk melakukan sesuatu; mengisi kekosongan dengan
penanda-penanda baru.
95