Berpijak Pada Teks: Dari Subjek Makna Sampai Subjek Hasrat

87 naskah adalah ketika aktor merasa menemukan dirinya bagian dari dirinya, misalnya pengalaman hidupnya dalam naskah tersebut. Dengan kata lain, aktor berhasil menciptakan pemaknaannya sendiri atas proses membaca identifikasi yang ia lakukan. Pemaknaan ini berasal dari proses aktor menyusun kembali penanda-penanda dalam ruang ketaksadarannya; naskah menjadi medium bagi aktor untuk memaknai symptom- nya 89 sendiri. Dari uraian tersebut, naskah yang menyenangkan tentunya bersifat relatif; tergantung pada hubungan aktor dengan naskah. Bisa jadi naskah Oedipus Sang Raja bukan naskah yang menyenangkan bagi Tony Broer meski naskah tersebut sangat berarti bagi Pak Untung. Naskah menimbulkan kesenangan bagi aktor sejauh naskah tersebut berkenaan dengan symptom dan mampu membuat aktor menciptakan fantasi; naskah mampu menyeret aktor pada lack yang ia miliki lack atas dunia simbolik sebagaimana naskah tersebut juga ditulis berdasarkan lack penulis naskah. Naskah menjadi medium bagi aktor untuk berhadapan dengan das Ding kekosongan di balik naskah. Meminjam pemaparan Lacan melalui puisi-puisi sublim para courtly lovers 90 , kiranya naskah drama bisa disetarakan sekaligus ditempatkan sebagai wacana histeris; 89 Evans, 2006: 205. Sebagaimana Freud, Lacan mengatakan bahwa symptom merupakan formasi ketidaksadaran. Pada tahun 1953 Lacan mengatakan bahwa symptom merupakan signifier. Selanjutnya, symptom dimaknai sebagai signifikasi, lalu metafor, dan pada tahun 1962, symptom didefinisikan sebagai sesuatu yang tak bisa ditafsirkan sebagaimana symptom itu merupakan pure jouissance yang telah terepresi ketika subjek memasuki tatanan simbolik. Sunardi menafsirkan symptom sebagai hal yang serupa; penanda yang tidak bisa begitu saja ditafsirkan. Meskipun symptom ini berwujud penanda yang berasal dari tatanan simbolik, namun symptom ini memiliki hubungan khusus dengan dunia Real. Jika subjek mendapatkan jouissance dalam dunia simbolik melalui symptom represi, maka symptom berubah nama menjadi sinthome ketika subjek mendapatkan kenikmatan yang berasal dari dunia Real melalui sublimasi Handout perkuliahan yang ditulis oleh St. Sunardi. 90 Lihat Kesel, 2009: 175 88 karakter dasar dari sublimasi estetis. Lacan mendefinisikan sublimasi sebagai “elevation of an object to the dignity of das Ding ,” 91 yang kurang lebih hal ini berkenaan dengan relasi antara subjek, objek hasrat, dan dengan dunia Real das Ding. Jika definisi Lacan tersebut diartikan sebagai jalan yang ditempuh oleh subjek untuk mengelevasi atau menghadirkan objek hasrat yang berhubungan dengan jouissance pada das Dingthe Thing sesuatu yang melampaui bahasa kekosongan, hal ini karena subjek ingin menutup kekosongan pada das Ding. Secara garis besar, dalam puisi para courtly lovers, objek yang dielevasi sebagai penanda baru dalam puisi adalah The Lady; objek hasrat 92 yang tak pernah dimiliki sehingga subjek mengalami pengalaman luka atau lack 93 . The Lady menempati posisi sebagai das Ding melalui kata-kata puisi yang menggambarkan kecantikan atau mengekspresikan kekaguman penyair pada the Lady. Bisa jadi puisi tersebut terlalu berlebihan atau malah minus dalam menggambarkan kecantikan the Lady sehingga bisa dikatakan bahwa kecantikan atau keindahan bahasa puisi itu menutupi keadaan yang sesungguhnya. Dalam situasi ini, penyair menempati posisi sebagai subjek histeris; dia tetap tidak mendapatkan the Lady berjarak dengan das Ding sehingga hasratnya tetap menyala 91 Ibid, 2009: 179. 92 Lihat tulisan Bruce Fink, 1997: 51-53. Menurut Lacan, hasrat manusia tidak memiliki objek, akan tetapi ada suatu objek yang dapat membangkitkan hasrat manusia, yaitu objek a objek penyebab hasrat; hasrat liyanother’s desire . Namun demikian, objek a bukanlah objek material yang hadir melalui sistem penandaan, melainkan sesuatu dibalik penanda. Yang menjadi poin penting dalam hal ini, fungsi dari objek a adalah sebagai sesuatu yang diandaikan dapat memberikan pemenuhan. Sebab itulah, objek a menjadi objek penyebab hasrat. Tragisnya, subjek hanya bisa memperoleh objek material dan tidak pernah sampai pada sesuatu dibalik objek material itu objek a sehingga subjek selamanya merasa kurang dengan segala material penandaan yang ia miliki. 93 Kesel, 2009: 180. The Lady menempati posisinya sebagai das Ding selain karena tak terjamah juga karena the Lady yang membuat subjek terus bergerak sebagai desiring subject. Puisi-puisi yang menggambarkan the Lady melalui penataan kata-kata membuat the Lady terselubungi oleh keindahan sehingga the Lady itu sendiri tetap menjadi misteri sekaligus menjadi penanda utama. 89 sekaligus, ketika menulis puisi sinthome, ia telah berhasil memaknai kegagalannya melihat symptom atau rasa sakitnya dari sudut pandang lain dan melakukan transversing of fantasy menyelamatkan diri dari pengalaman traumatis dengan melalui fantasi. Posisi ini sekaligus dialamatkan oleh Lacan kepada seniman yang menciptakan penanda-penanda estetis karya seni sebagai cara untuk menggambarkan kekosongan yang mereka hadapi; menutup kekosongan dengan keindahan. Pengalaman luka bisa disejajarkan dengan lack atau tidak mendapatkan pemenuhan. Dalam kisah courtly love, menghubungkan lack dengan cinta penyair cinta ditafsirkan sebagai bentuk dorongan libidinal yang menghendaki jouissance sebagai pemenuhan kepada sang Lady, yang didapat oleh sang penyair adalah sebut saja kekecewaan. Namun, belum tentu kekecewaan ini menenggelamkan subjek dalam represi. Sebaliknya, emosi-emosi histeris ini merupakan sumber energi dorongan kreatif yang yang bisa dialihkan dalam bentuk karya seni 94 . Emosi-emosi histeris ini bisa saja tidak berangkat dari persoalan cinta; lebih dari itu, ketika dibaca berdasarkan relasi subjek dengan objek hasratnya dan sejauh relasi tersebut menghadirkan pengalaman luka jouissance yang terepresi, maka masih ada kemungkinan bagi subjek untuk mengespresikan lukanya memaknai symptom melalui penanda-penanda estetis; salah satunya adalah naskah. Kiranya naskah atau teks yang membangkitkan rasa senang pleasure adalah naskah yang seperti diuraikan tersebut; naskah menandai adanya kedalaman pengalaman hidup seseorang yang diukur dari penderitaannya dan barangkali penderitaan tersebut mewakili pengalaman banyak orang. Karya seni dalam hal ini bisa dilihat sebagai cara untuk memaknai penderitaan dengan cara lain. Hal ini bisa 94 Kesel, 2009: 184. 90 dipertemukan dengan pengalaman para aktor ketika mereka menyusun naskah mereka sendiri untuk dipentaskan. Mengambil cerita Tita dan Andika yang telah dinarasikan dalam bab II, ketika Tita berproses untuk pertunjukan yang berjudul Sangkar Madu, proses tersebut berangkat dari keinginan untuk mencari tahu kehidupan para Tenaga Kerja Indonesia TKI. Naskah disusun berdasarkan hasil wawancara para pelaku teater dengan narasumber TKI. Sebagian naskah berupa narasi, sebagian lain merupakan cerita- cerita narasumber yang dituliskan verbatim. Sementara itu, proses Andika dalam menyusun naskah di proses Panji Amabar Pasir berbeda dengan pengalaman Tita. Naskah Panji Amabar Pasir ditulis lebih tepatnya dijadikan acuan berdasarkan improvisasi yang dihasilkan oleh para aktornya. Improvisasi tersebut direkam dan ditelaah sebelum akhirnya dibekukan menjadi dialog. Secara garis besar, teks tersebut merupakan teks yang berbicara tentang kehidupan pahit satu keluarga yang bertransmigrasi dari Jawa ke Kalimantan dan dalam teks tersebut, Andika berperan sebagai Ayah. Dari dua proses penciptaan naskah yang berbeda tersebut, dalam praktiknya naskah tetap menempati posisinya sebagai yang pertama-tama diidentifikasi oleh aktor. Naskah menjadi sumber peristiwa, atau fiksi yang dijadikan pegangan dalam penciptaan. Ada jarak yang harus ditempuh aktor untuk mendekati tokoh dalam naskah yang sedang dihadapinya. Jika merujuk pada, naskah Sangkar Madu yang dimainkan oleh Tita, pertama-tama, hasrat yang diartikulasikan dalam naskah tersebut tentu bukan milik Tita, meski pada awal proses tersebut Tita bersama rekan-rekan lainnya berhasrat untuk mementaskan wacana-wacana di seputaran kehidupan TKI. Hasrat aktor pada mulanya adalah mencari sesuatu untuk diartikulasikan di panggung karena tidak 91 mungkin aktor hanya memiliki modal hasrat untuk pentas. Sehingga, pada tahap selanjutnya aktor harus memiliki objek hasrat. Tita menggunakan teks orang lain sebagai objek hasratnya; objek penciptaan. Sementara, pada konteks yang berbeda, Andika dengan naskah yang ia ciptakan sendiri, mula-mula berhasrat untuk mementaskan sesuatu, dan sesuatu itu menjadi objek hasrat; teks yang akan dipentaskan. Lantas dengan melakukan improvisasi secara bersama-sama, Andika dan rekan-rekannya pada akhirnya berhasil menciptakan teks sebagai acuan. Teks tersebut dengan segala macam wacana yang tersirat di dalamnya meski awalnya berasal dari hasrat mereka untuk mengatakan sesuatu, tapi kemudian teks tersebut menandai kehadiran hasrat liyan kehidupan orang lain yang berjarak dengan kehidupan mereka sendiri berjarak dalam hal ini, teks tersebut berisi wacana yang mewakili kehidupan orang lain. Dalam konteks penciptaan naskah Panji Amabar Pasir, wacana yang digulirkan dalam naskah tersebut adalah kehidupan keluarga yang bertransmigrasi; dalam naskah tersebut digambarkan peristiwa menyedihkan yang dialami oleh orang-orang yang bertransmigrasi. Sehingga, teks tersebut harus diperlakukan dengan pola-pola penciptaan tertentu yang kurang lebih mirip dengan yang telah dikatakan oleh Gunawan Maryanto sampai pada akhirnya teks tersebut menjadi objek hasrat objek penciptaan yang mereka hadirkan di panggung. Lantas dari mana, misalnya, asal muasal wacana yang muncul dari improvisasi yang dilakukan Andika bersama rekan-rekannya? Ruang latihan memberikan stimulus kepada mereka untuk mengingat peristiwa-peristiwa yang pernah mereka saksikan, dan entah karena suatu kebetulan atau tidak, teks yang dimunculkan dari improvisasi tersebut kemudian merujuk pada kehidupan warga transmigran. Dalam hal ini, teks lahir dari ketidaksadaran symptom; wacana-wacana yang menumpuk dalam ingatan; masa 92 lalu; jouissance yang terepresi aktor yang dihadirkan kembali melalui penanda- penanda baru sinthome 95 . Menghubungkan dengan pemaparan tersebut, jika melihat pengalaman Tita atau Andika, sebagai contoh, ketika mereka berproses menyusun naskah untuk pentas, bisa dibilang mereka sama sekali tidak memiliki urusan khusus atau memiliki keterkaitan langsung antara kehidupan mereka dengan kehidupan naskah yang mereka susun. Namun proses tersebut mengantarkan mereka pada ikatan-ikatan emosional tertentu; mereka merasa seolah-olah memiliki pengalaman histeris dari kehidupan tokoh yang dirujuk sebagai naskah. Merujuk pada naskah atau kehidupan tokoh objek hasrat yang mereka mainkan, aktor diajak untuk melihat dan memiliki lack dari objek hasrat tersebut. Di sisi lain, objek yang mereka ciptakan melalui bahasa naskah justru membuat objek tersebut menempati posisi das Ding yang tidak lagi tampak karena ditutupi oleh bahasa. Sehingga, objek yang mereka angkat melalui naskah pada akhirnya merupakan penanda-penanda baru sinthome sebagai hasil dari memaknai symptom. Ketika naskah sudah mulai berbicara dengan penanda-penanda baru, dalam hal ini naskah merupakan bentuk dari sublimasi. Efeknya, di satu sisi, melalui naskah, sesuatu yang dibicarakan hadir dengan cara yang segar. Mengambil contoh lain melalui pengalaman Pak Untung yang ingin mengkritik pemimpin negara yang salah dengan menggunakan naskah Oedipus Sang Raja, tentu cara yang ditempuh Pak Untung ini berbeda dengan pengalaman Tita dan Andika. Pak Untung melihat symptom naskah setara dengan symptom-nya sendiri sebagaimana symptom tersebut ada karena lack dari 95 Kesel, 2009: 192. Sinthome merupakan invasi struktur simbolik dari jouissance subjek; sinthome hadir dalam bentuk penanda-penanda baru dalam dunia simbolik. 93 dunia simbolik. Di satu sisi, pengalaman Pak Untung bisa disejajarkan dengan pengalaman Sophocles ketika ia menutup das Ding dengan naskah Oedipus dalam konteks Pak Untung ingin juga membicarakan kekosongan pemimpin negaranya melalui Oedipus. Lantas bagaimana dengan bentuk-bentuk pertunjukan seperti yang dilakukan oleh Tony Broer? Apakah ada naskahnya? Bagaimana naskahnya? Bagi Tony Broer, naskah dalam pertunjukan adalah tubuhnya sendiri. Konsep ini berangkat dari pemahaman Tony Broer bahwa tubuh sudah merupakan gagasan. Jika di dalam naskah terdapat gagasan atau ide-ide yang akan diterjemahkan melalui akting, maka ketika Tony Broer mengatakan bahwa tubuh adalah gagasan, maka tubuh adalah naskah. Yang dilakukan Tony Broer dalam menyikapi tubuh sebagai naskah adalah dengan melatih tubuhnya terus menerus. Lebih jauh, ketika tubuh bertemu dengan ruang-ruang tertentu, tubuh memiliki caranya sendiri untuk berinteraksi dengan ruang tersebut; tubuh beridentifikasi dengan ruang. Hal ini kurang lebih setara dengan yang dilakukan Andika ketika melakukan improvisasi bersama rekan-rekannya lalu melahirkan naskah. Hanya saja, perbedaan hasil capaian dari proses yang ditempuh Andika dengan proses yang dijalani Tony Broer adalah soal bahasa; Tony Broer menggunakan visual tubuhnya sebagai bahasa utama. Improvisasi tubuh yang dilakukan oleh Tony Broer adalah pertemuan langsung antara tubuh dengan ruang dan situasi yang terbangun pada waktu itu membuat dia menyusun sendiri narasi tubuhnya. Tentu narasi tubuh ini susah terbaca; tidak seperti bahasa verbal yang diucapkan melalui dialog. Sehingga, ketika dia pentas, bisa jadi penonton tidak paham, tapi penonton bisa mengenali ekspresi-ekspresi tubuhnya. 94 Konsekuensinya, pertunjukan tersebut membuka peluang untuk ditafsirkan dengan berbagai kemungkinan cara. Yang unik dari naskah tubuh Tony Broer ini adalah bahwa proses yang ia tempuh merupakan proses membuka sekaligus menutup das Ding tubuh. Membuka dalam hal ini Tony Broer menelanjangi tubuhnya dari penanda-penanda simbolik konstruksi sosial yang melekat pada tubuh, misalnya; ia tak mau menjadikan tubuhnya sebagai media penyampai pesan melainkan tubuh adalah pesan itu sendiri. Sementara menutup dalam hal ini Tony Broer menghadirkan penderitaan tubuhnya yang berinteraksi langsung dengan ruang; ketika tubuh bergerak atas ‘ketelanjangannya’ sekaligus tubuh itu menutup das Ding dengan sisi buruk, sisi kelam, dan penderitaan manusia yang ingin lepas dari ‘kecantikan’ yang menutupinya. Merujuk pada pemaparan-pemaparan tersebut, naskah di satu sisi merupakan ‘keindahan’ yang menutup kekosongan das Ding. Keindahan tersebut hadir melalui rangkaian penanda bahasa yag digunakan penulis untuk memaknai symptom-nya setelah ia melihat kekosongan das Ding di balik objek a objek membuat penulis menjadi subjek hasrat dan subjek yang terdorong untuk bergerak menuju das Ding. Sementara itu, aktor melihat naskah mula-mula adalah sebagai objek a kecantikan yang ditampilkan melalui penanda-penanda estetis. Objek a diandaikan mampu memberikan pemuasan bagi aktor, namun yang terjadi justru sebaliknya; aktor hanya menemukan kekosongan dibalik objek a. Sehingga, aktor tetap menjadi subjek yang mengalami lack dan tetap menjadi subjek hasrat. Hanya dengan cara itulah subjek memiliki gairah hidup dan terus menerus terdorong untuk melakukan sesuatu; mengisi kekosongan dengan penanda-penanda baru. 95

2. Berpijak Pada Tubuh: Dari Subjek Hasrat Sampai Subjek Dorongan

Body changes change the self 96 Antony Synnott Pada bagian sebelumnya telah diuraikan bahwa relasi aktor dengan naskah merupakan relasi imajiner. Dalam proses identifikasi tersebut hasrat aktor dibangkitkan; aktor tak lagi menjadi subjek bahasa melainkan menjadi subjek hasrat. Bagian ini menjelaskan proses aktor sebagai subjek hasrat menjadi subjek dorongan. Untuk itu saya akan menguraikan lagi garis besar identifikasi aktor melalui naskah yang membuat aktor tidak berhenti sebagai subjek bahasa melainkan menjadi subjek atas tubuhnya. Merujuk pada proses identifikasi subjek melalui cermin, ketika subjek melihat pantulan dirinya visual tubuh di cermin maka ego terbentuk; ke-aku-an yang berasal pada pemahaman atas bayangan tubuh yang dipantulkan oleh cermin 97 . Tubuh menjadi salah satu penanda bagi subjek untuk memaknai ke-aku-annya. Sehingga sangat mungkin perubahan bentuk tubuh mempengaruhi perubahan ego dan sebaliknya; perubahan ego bisa saja mempengaruhi perubahan tubuh. Proses identifikasi semacam ini senantiasa memberikan kenikmatan tertentu bagi subjek. Mengaitkan hal ini dengan naskah, bagaimana aktor mengidentifikasikan dirinya melalui naskah? Bagaimana tubuh aktor berinteraksi dengan naskah? Kenikmatan apa yang diperoleh aktor dalam proses identifikasi ini dan lebih jauh kenikmatan apa yang diperoleh dalam menempuh proses latihan? 96 Anthony Synott dalam bukunya yang berjudul The Body Social; Symbolism, Self, and Society, Routledge, 1993. Lihat halaman 2. 97 Sebagai catatan, identifikasi tidak hanya melalui bentuk visual, melainkan segala jenis bentuk material penandaan. 96 Naskah tidak memberikan gambaran ‘yang sebenarnya’ atas peristiwa melalui teks yang tersusun di dalamnya. Naskah hanya menyediakan serangkaian bahasa yang disusun sedemikian rupa yang merujuk pada suatu peristiwa tertentu peristiwa ini bisa benar-benar pernah ada, sebagian pernah ada atau tidak sama sekali. Ketika aktor membaca naskah dan ia merasa bahwa naskah tersebut merujuk pada suatu peristiwa di realitas sosial, maka realitas yang dibayangkan aktor tersebut tentunya merupakan realitas yang bisa jadi tidak sama dengan realitas yang dialamidibayangkandituliskan oleh penulis naskah. Dalam hal ini, membaca naskah setara dengan menyusun ulang naskah. Bahasa naskah tidak begitu saja merujuk pada penanda-penanda di luar naskah, melainkan justru merujuk pada memori aktor. Membaca naskah setara dengan mengingat sesuatu; menyusun kembali penanda- penanda yang telah dimiliki aktor dengan menyetarakan penanda-penanda yang ada dalam naskah. Membaca naskah hanya bisa dilakukan ketika aktor memiliki pengalaman atas penanda-penanda yang digunakan dalam naskah; pengalaman bahasa yang diperoleh aktor ketika ia memasuki tatanan simbolis dengan cara menjadi subjek bahasa dan hidup bersama Liyan. Pengalaman bahasa kolektif inilah yang meninggalkan bekas pada aktor dan menjadi pengalaman personal pengalaman traumatisrepresi yang menimbulkan symptom. Pengalaman personal symptom ini merupakan modal bagi aktor untuk bercengkrama dengan dunia yang dituliskan melalui naskah. Sehingga, dalam konteks penciptaan pertunjukan, aktor A dan B misalnya pasti akan merepresentasikan hal yang berbeda meskipun mereka mementaskan naskah yang sama. 97 Dalam proses penciptaan peran, pertemuan aktor dengan teks pada akhirnya merupakan pertemuan tubuh dengan teks 98 . Jika proses membaca, sebagaimana telah diuraikan di atas, bisa disetarakan dengan menulis, maka aktor menulis naskah yang ia baca melalui tubuhnya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Gunawan Maryanto dalam bab II; sebelum aktor berbicara di panggung, tubuh aktor adalah hal pertama yang dilihat oleh penonton. Segala sesuatu yang dihadirkan oleh tubuh; gestur, tempo, mobilitas, tatapan mata, gerakan nafas, kostum dan riasan yang melekat pada tubuh, dan segala bentuk visual yang tampak melalui tubuh merupakan penanda-penanda yang menggiring penonton untuk menangkap makna. Bahkan ketika aktor sudah mulai bicara, perangkat wicara subjek tak lepas dari bagian tubuh. Dalam hal ini tubuh menempati posisi sebagai bahasa yang fungsinya bisa disetarakan dengan bahasa naskah. Meskipun demikian, bahasa aktor bukan lagi bahasa naskah. Bahasa aktor adalah jejak-jejak yang tersimpan dalam ruang ketaksadaran yang hadir kembali karena stimulus naskah. Yang unik dari dunia keaktoran adalah meskipun dunia ini memiliki metode- metode tertentu metode untuk memperlakukan diri dengan disiplin tertentu akan tetapi metode tersebut disiplin? merupakan jalan yang bersifat luwes dan fleksibel. Dalam hal ini, metode latihan keaktoran bertujuan untuk mencetak aktor handal; aktor yang bisa akting menjadi orang. Dengan kata lain, tidak ada metode spesifik yang bisa membuat aktor bisa akting karena pada dasarnya aktor sudah bisa akting sejauh akting ini dipahami sebagai bersikap dan berperilaku. Pada tahapan ini latihan keaktoran bisa dikatakan bahwa aktor mengalami represi. Namun, represi dalam latihan keaktoran dimaksudkan agar aktor bisa melampaui represi yang ada dalam keseharian. Menurut 98 ST. Sunardi dalam bukunya yang berjudul Estetika Kenikmatan Tekstual, Emansipasi Teks Lewat Tubuh, dalam Vodka dan Birahi Seorang Nabi, Jalasutra 2012. Lihat halaman 108. 98 hemat saya, latihan keaktoran bukanlah represi sejauh dan dalam pengertian bahwa latihan ini bertujuan untuk membebaskan aktor dari batasan-batasan hasil konstruksi realitas sosial menyikapi symptom dengan cara lain. Proses dalam latihan keaktoran saya ibaratkan sebagai bersakit-sakit dahulu baru bersenang-senang kemudian. Untuk menganalisa jenis eksplorasi yang ditempuh aktor, saya membedakannya menjadi dua hal, yaitu eksplorasi yang merujuk pada penciptaan dengan basis naskah dan penciptaan dengan basis tubuh. Naskah dalam hal ini merujuk pada teks drama atau teks pertunjukan yang menggunakan bahasa verbal. Contoh pertunjukan dengan naskah ini adalah pertunjukan realis, naturalis, surealis, atau absurd. Sementara pada pertunjukan yang berbasis pada tubuh teater tubuh, bisa jadi pertunjukan tersebut berangkat dari naskah, ide, atau teks tertentu. Akan tetapi pada pementasannya, aktor hanya menghadirkan gerak dan ekspresi tubuhnya minus pelisanan sebagai lokus enunciation. Yang bisa dikatakan sebagai perbedaan mendasar dalam dua jenis penciptaan ini hanyalah fokus latihan; titik-titik tubuh yang diperlebar jangkauannya. Pada penciptaan teater yang berbasis pada naskah, lima bentuk latihan dasar yang biasanya dilakukan oleh aktor adalah melatih tubuh kelenturan, kekuatan, kecepatan, kepekaan, keluwesan, ketahanan, dsb., vokal artikulasi, proyeksi, nada, tempo, intonasi, dsb., emosi penghadiran, pengaturan, penggantian, dsb., imajinasi berkenaan dengan fantasi, dan intelektualitas 99 . Sederhananya, aktor bisa melakukan latihan apapun yang berkenaan dengan kelima poin tersebut. Ekstrimnya, cara hidup dalam realitas sosial bisa dimaknai dan ditempatkan sebagai latihan keaktoran. Dalam 99 Metode atau capaian yang harus dicapai dengan ideal yang kurang lebih demikian ini bisa dilihat pada sistem akting yang diciptakan oleh Stanislavsky. Sebagian besar narasumber penelitian ini pernah melakukan latihan dengan sistem akting Stanislavsky meski barangkali sebagian dari mereka tidak tahu darimana asal metode latihan tersebut secara spesifik. 99 proses penciptaan seperti ini salah satu tujuan pentingnya adalah aktor berhasil memerankan tokoh yang dituliskan dalam naskah. Karakter aktor berbeda dengan karakter tokoh yang dimainkan, dengan demikian aktor harus melahirkan tubuhnya kembali dengan serangkaian proses yang panjang. Aktor biasanya mencari model dalam dunia sehari-hari untuk ditirukan. Hal ini karena aktor tak lagi menjadi subjek bahasa, dan bukan pula subjek atas bentuk-bentuk artistik akting yang telah mapan, melainkan sebagai subjek yang terdorong untuk mencari bentuk-bentuk baru. Sebagai contoh, setelah Pak Untung melewati proses bedah naskah, menganalisa karakter, menghafalkan naskah, maka langkah selanjutnya adalah mencari model yang mirip seperti yang ia bayangkan atas sosok tokoh di dalam naskah: “Caranya ya macem-macem, kita bisa pergi ke pasar, melihat-lihat orang. Kalau bisa mendekatinya, mendengarkan caranya bicara, melihat gayanya.” 100 Dalam hal ini, Pak Untung adalah subjek yang berkeliaran untuk mencari bentuk. Setelah mencari model, lantas tahap selanjutnya adalah menirukan model tersebut. Benarkah dalam hal ini aktor benar-benar melakukan peniruan? Peniruan yang bagaimana? Tubuh aktor, dalam banyak hal misalnya; ukuran, berat badan, tinggi, usia, warna kulit, kapasitas, fleksibilitas, dsb. jelas berbeda dengan tubuh model yang dirujuk sebagai tokoh. Peniruan dalam keaktoran, atau isilah umumnya adalah imitasi, pada praktiknya tidak sepenuhnya imitasi. Selalu ada penyesuaian sehingga hal ini lebih mirip dengan proses negosiasi yang memungkinkan untuk memunculkan bahasa baru. Negosiasi dengan siapa? Dengan bahasa naskah, dengan tubuh model, dan dengan tubuh aktor sendiri. 100 Wawancara dengan Untung Basuki pada tanggal 8 Maret 2015.