Perjalanan Menjadi Aktor: Perjalanan Melampaui Batasan

32 ketrampilan, dan lain sebagainya. Jikalau kemudian aktor memiliki tubuh yang sexy setelah mengalami latihan yang sedemikian rupa, hal itu hanyalah efek samping. Poin utamanya dalam latihan tersebut adalah untuk memperlebar dimensi jangkauan tubuh; fleksibilitas tubuh aktor memang harus dilatih dalam rangka sebagai wadah, sebagai medium, karena latar belakang sejarah kebertubuhan aktor bisa jadi sangat jauh dengan latar belakang sosial karakter yang akan dimainkan. Oleh sebab itulah, dalam rangka menciptakan kewajaran peran, tubuh aktor haruslah siap terlebih dahulu. Menurut Gunawan Maryanto, meski aktor memainkan pementasan realis dengan ukuran kewajaran sehari-hari, aktor masih akan tetap dituntut untuk melebarkan rentang tubuhnya. Kesiapan tubuh tidak hanya sebagai wadah untuk karakter yang akan dimainkan, akan tetapi di panggung teater bagaimanapun juga seorang aktor harus melakukan segala aktivitas dengan tensi yang lebih dibandingkan dengan aktivitas di keseharian, misalnya, proyeksi suara aktor yang sedang melisankan dialognya minimal harus sampai pada penonton yang duduk di barisan paling belakang. Dengan demikian, tak heran jika latihan keaktoran membutuhkan waktu yang sangat lama. Selain harus melampaui batasan tubuh, dalam bentuk yang berbeda, bagi Pak Untung Basuki 21 , seorang aktor harus mengalahkan rasa malu. Pada usianya yang tak lagi muda, Pak Untung Basuki kadang berangkat latihan sambil berteriak-teriak di jalan dalam rangka menghafalkan dialog. Beliau tak peduli jikalau ada orang lain yang terheran-heran melihat beliau bertingkah seperti itu di jalan. “Latihan teater ya siap- siap menjadi gila,” 22 kata beliau dalam wawancara yang saya lakukan. Gila dalam 21 Untung Basuki merupakan salah satu tokoh senior dalam teater Indonesia saat ini. Ia pernah berproses bersama Rendra dengan Bengkel Teaternya dan saat ini ia masih aktif menjadi pengurus Sanggar Bambu. Selain berteater, ia juga dikenal sebagai musisi, penulis puisi, dan pelukis. 22 Wawancara dengan Untung Basuki pada tanggal 8 Maret 2015. 33 konteks ini memang sebuah konsekuensi dari latihan teater. Bahkan bagi Pak Untung, ketika sedang dalam proses latihan penciptaan peran sebagai Oedipus, ia menganggap bahwa latihan yang ia lakukan merupakan aktivitas yang aneh: “Itu saya di sembarang tempat teriak-teriak. Jalan di tengah alun-alun itu saya teriak-teriak: Anak-anakku, anak-anak Katmus pendiri kota Thebes ini....kenapa kalian datang berbondong-bondong bagai demonstran? Itu sambil jalan di sana. Yang paling asyik itu kalau hujan. Pas hujan, naik motor, kan helm sudah rapet kan, nggak pake mantel itu tahan aja sih, teriak-teriak nggak ada yang tahu Hahahaha Ya itu mencari karakter ya begitu itu. Nah kalau menghapal naskah, karena memori saya cukup lemah, ini saya bawa kertas atau apalah, itu saya corat-coret dengan dialog saya, lha ini Sampai banyak kayak gini. Ini misalnya pas saya ke dokter tadi, ada kertas resep di lantai tak ambil aja, tak tulisi bagian belakangnya, hahahaha Ya karena saya dengan menulis ini jadi lebih ngrasa memiliki kata-kata itu. Meresapkan ke dalam. Bahkan kalau bisa itu meniti kata demi kata. Karena satu kata itu bisa diucapkan dengan banyak cara.” 23 Gambar 2: Pentas Dramatik Reading Oedipus Sang Raja; Pak Untung kanan Dok. Novita Budi Lestari 24 Bagi Pak Untung, tidak mungkin seorang aktor menghayati peran tanpa merasa memiliki teks yang dimainkan. Sehingga, seorang aktor terkadang memiliki cara yang 23 Wawancara dengan Untung Basuki pada tanggal 8 Maret 2015. 24 Foto diambil pada saat pementasan dramatik reading di Beringin Soekarno Universitas Sanata Dharma pada tanggal 19 Mei 2015 pukul 15.00 WIB. 34 sangat personal untuk menciptakan tokoh. Jika perlu, rasa sakit ketika latihan itu harus dilawan. Untuk usianya yang tidak lagi muda, persoalan tubuh menjadi hal yang krusial. Namun semangat Pak Untung ketika berlatih kadang membuatnya lupa bahwa tubuhnya telah rentan penyakit. Mbah Tohir 25 pun demikian, pada usianya yang tak kalah tua dengan Pak Untung, rasa sakit pada tubuh tak mengalahkan semangatnya untuk tetap berpsoses. Mbah tohir bercerita demikian: “Malam itu saya jalan kaki dan jatuh diselokan. Nggak kelihatan waktu itu. Kaki saya kena cor-coran got. Bengkak. Saya nggak bisa jalan. Itu pas di semarang, habis baca geguritan, saya dipanggil panitia, terus jatuh. Yang paling berkesan bagi saya karena waktu itu bisa menjadi salah satu pembuktian pengalaman. Kalau sekedar masuk angin, asam urat, itu sudah biasa saya atasi. Tapi kalau jatuh saya nggak bisa gerak. Waktu itu yang saya pikirkan adalah pentas saya: bagaimana pentas saya nanti? Akhirnya saya ditolong oleh kawan-kawan teater di Semarang, pijet refleksi, bisa jalan tapi harus pake krek. Nah pentas di Tegal, Pekalongan, itu saya pake krek. Nah itu yang paling menarik bagi saya. Ujian keaktoran saya ya di situ. Pas pentas, awalnya saya masih pake krek, untuk baca puisi, kidung jula-juli. Lalu pas saya main, akhirnya krek saya taruh, dan saya bisa jalan. Nah kan si peran yang saya mainkan tidak sakit. Saya jadi itu dengan kesadaran tokoh, saya bisa jalan dan tidak merasa sakit. Tapi ada juga kekawatiran, makanya saya jaga-jaga, krek saya bawa masuk buat jadi properti sekalian. Nah itu siasat aktor. Sekalian saya menjadikan peristiwa jatuh itu bagian dari cerita.” 26 Entah karena sugesti atau bukan, tapi pengalaman tersebut merupakan pengalaman yang mengherankan bagi Mbah Tohir sehingga ia mengatakan bahwa pengalaman tersebut merupakan ujian keaktoran baginya yang telah berteater selama puluhan tahun. Di luar panggung beliau sakit dan tidak bisa jalan, tapi begitu masuk ke dalam panggung, berdasarkan keyakinan bahwa ia adalah tokoh lain yang tidak sakit, 25 Nama aslinya adalah Sutohir. Ia berasal dari Surabaya dan di sanalah sebelum ia memutuskan untuk menjadi aktor monolog dan menghabiskan hidupnya untuk pentas dari satu kota ke kota lain, ia pernah bergabung dengan kelompok Srimulat dan dikenal sebagai Tohir Drakula karena sering memerankan tokoh dracula. 26 Wawancara dengan Mbah Tohir pada tanggal 5 Maret 2015 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta. 35 maka ia berhasil melampaui rasa sakitnya dan bisa bermain sebagai sosok yang jauh dari kenyataan bahwa mbah Tohir malam itu sedang bengkak kakinya. Usaha untuk melampaui batasan diri ini juga ditempuh oleh beberapa aktor muda seperti Andika Ananda 27 , Tita Dian Wulan Sari 28 dan Nunung Deni Puspita Sari 29 . Mereka juga memiliki pengalaman yang hampir serupa dalam menjalani proses keaktoran mereka; rela membongkar batasan-batasan diri yang dimiliki sebagai manusia. Secara umur dan pengalaman, para aktor muda ini memang pernah belajar pada aktor-aktor senior yang telah terlebih dahulu menjalani kehidupan sebagai seniman. Dalam keaktoran yang mereka tempuh, usaha untuk melampaui batasan diri ini diistilahkan juga sebagai membongkar diri; membongkar tubuh, membongkar emosi, dan membongkar intelektualitas. Maksud dari istilah membongkar adalah menelusuri, memahami, dan menyadari kembali sejarah diri segala aspek yang membentuk karakter diri untuk kemudian merentangkan jangkauan karakter dirinya. Pada prakteknya, proses keaktoran selalu meninggalkan bekas pengalaman dan pengetahuan. Tak jarang pengetahuan yang telah didapat ini kedepannya menjadi hal yang dilampaui lagi. Bagi Andika, proses penciptaan akting bersama Teater Kalanari dulunya adalah teater Teku dengan teks KINTIR merupakan proses yang sangat berpengaruh dalam konsepsi berteaternya kelak. Proses tersebut merupakan proses yang dimulai dari nol. Andika dan teman-temannya pergi ke suatu desa, hidup bersama dengan mereka, lantas 27 Andika Ananda adalah salah satu aktor teater muda yang masih aktif berteater sejak tahun 2005. Saat ini ia menjadi salah satu pengurus Teater Kalanari. 28 Ia akrab dipanggil dengan nama Tita. Pengalamannya berteater pertama kalinya adalah ketika ia tergabung sebagai perserta Actor Studio yang diselenggarakan oleh Teater garasi pada tahun 2007. Sejak saat itu ia jatuh cinta dengan seni pertunjukan dan aktif menjadi aktor dengan cara ikut bergabung pada proses-proses yang diciptakan oleh rekan-rekannya. 29 Ibu beranak satu ini masih rajin berteater meski sehari-hari ia harus membagi waktunya untuk mengajar sebagai guru Honorer di SD Tumbuh Jetis dan menjalankan beberapa program Padepokan Seni Bagong Kussudihardja. 36 menciptakan sebuah teks pertunjukan tentang kehidupan sekaligus bersama dengan masyarakat yang mereka datangi. Pemahaman Andika sebagai pelaku teater muda merupakan pemahaman yang mencoba untuk melampaui konsepsi berkesenian yang cenderung menempatkan karya pertunjukan di panggung konvensional. Sementara yang dilakukan Andika dan teman-temannya merupakan hal yang bisa dibilang meninggalkan panggung konvensional. Andika bercerita bahwa konsepsi ini sedikit banyak terinspirasi dari kegilaan Tony Broer dalam melawan batasan estetika yang menurutnya merupakan kecenderungan pelaku teater modern Indonesia yang menempatkan estetika berteater Barat sebagai ukuran ideal. Bagi Tony Broer, juga Andika dan teman-temannya, kecenderungan ini harus diatasi dalam konteks kekinian sebagai strategi berteater di Indonesia kedepannya, salah satunya dengan membawa teater ke ruang-ruang yang lebih memiliki fleksibilitas. Andika bercerita demikian: “Sederhananya kami melihat teater, saya terutama, akhirnya tidak terbatas pada panggung. Kedua, proses pertunjukan itu bukan semata-mata kami ciptakan gitu, bukan semata-mata hasil eksplorasi kami sebagai awak pentas, tapi itu juga berkait dengan interaksi penonton. Jadi misalnya antara kami dengan anak-anak sana, kami membantu petani menyirami tanaman sawi, berinteraksi dengan tetangga sebelah dimana tempat kami nanti pentas, itu mewarnai teks-teks kami dan juga masuk ke dalam teks. Sadar atau tidak, teks Kintir itu merupakan hasil penciptaan kami dan orang-orang di sekitar area pentas dan latihan dan bagi saya hal itu merupakan hal yang sangat berharga. Sampai hari ini bahkan saya kenal baik dan masih berhubungan dengan orang-orang di sekitar situ. Bagi saya itu merupakan sebuah bonus yang lebih dari sekedar pentas.” 30 Proses yang demikian tersebut masih dilakukan dalam penciptaan teater Andika bersama Teater Kalanari seperti misalnya dalam proses Panji Amabar Pasir dan Kapai- Kapai Atawa Gayuh. Dalam proses penciptaan pertunjukan Panji Amabar Pasir, proses yang ditempuh Andika berjalan selama satu bulan, setiap hari, dari jam 3 sore hingga 30 Wawancara dengan Andika pada tanggal 20 Juni 2014 37 jam 10 malam. Proses tersebut dilakukan di pinggir sawah, guest house yang belum jadi dan tempat pembuatan batu bata di Nitiprayan Yogyakarta. Teks tersebut diciptakan melalui improvisasi yang dilakukan oleh para aktornya. Yang unik dari proses tersebut adalah tidak ada teks yang pasti dan harus dihafalkan oleh aktornya dalam berdialog. Seluruh rangkaian dialog tergantung kepekaan aktor terhadap lawan main, ruang, dan suasana pada waktu itu. Sehingga ketika proses ataupun pentas yang dilakukan selama dua hari tersebut, bentuk pertunjukan dan bahkan dialognya tidak pernah sama. Gambar 3: Andika bawah dalam Panji Amabar Pasir. Dok. Teater Kalanari 31 Sedikit berbeda dengan Andika yang berusaha untuk menembus batasan estetika penciptaan teater, di sisi lain, menembus batasan pikiran menjadi tantangan bagi Nunung Deni Puspita Sari. Berbeda bentuk dengan yang dimaksud dengan Tony Broer, dalam praktik berteaternya, Nunung bercerita bahwa pentas yang paling berkesan baginya adalah ketika ia berproses bersama anak-anak jalanan. Awalnya ia merasa tidak yakin jika ia akan mampu menempuhnya. Hanya atas dasar keinginan dan kepercayaan bahwa berteater merupakan pengalaman yang penting bagi dirinya dan anak-anak 31 Pertunjukan diselenggarakan pada 29-30 November 2013 pada pukul 19.30 WIB. di OmahKebon Guest House Nitiprayan, Bantul. 38 jalanan yang ia dampingi, Nunung harus berfikir dan bekerja keras untuk bisa mewujudkannya. Hal yang sampai saat ini ditekuni oleh Nunung adalah berproses dengan orang yang belum mengenal teater. Hal ini merupakan tantangan baginya yang harus dilampaui. “Berteater dengan orang teater itu, meski sulit, tapi lebih mudah dijalani, berbeda dengan orang yang belum pernah dilatih teater. Ini membuatku harus bekerja ekstra.” 32 Nunung membedakan proses berkeseniannya menjadi dua hal, pertama adalah berkesenian dengan seniman, dan kedua adalah berkesenian dengan orang yang belum memiliki latar belakang berkesenian. Ketika berproses bersama seniman lain, bagi Nunung proses itu merupakan kesempatan baginya untuk menimba ilmu, secara teknik, kemudian ilmu itu harus ia bagikan kepada orang lain dengan cara berproses bersama 33 . Bagi Tita Dian Wulandari, berteater merupakan usahanya untuk menyempurnakan yang kurang pada dirinya. Perjumpaannya dengan proses teater pertamakalinya adalah di Teater Garasi dan disanalah Tita menemukan konsepsi bahwa berteater itu merupakan cara untuk membentuk karakter, baik dari segi fisik, emosi, dan intelektual. Berteater bagi Tita merupakan sebuah tantangan sekaligus kesempatan. Tantangan ketika ia harus bernegosiasi dengan keluarganya yang menginginkan ia untuk tidak menjadi seniman karena seniman memiliki kesan tidak punya masa depan, sementara kesempatan ketika ia melihat peluang untuk membuktikan bahwa ia bisa hidup dengan berkesenian 34 . 32 Wawancara dengan Nunung pada tanggal 26 Juni 2014 33 Ibid. 34 Wawancara dengan Tita pada tanggal 24 Juni 2014 di Padepokan Seni Bagong Kussudihardja 39 Perjalanan Tita menjadi aktor merupakan perjalanan melawan stigma buruk yang dialamatkan pada seniman teater. Artinya, teater bagi Tita bukan sekedar hobi atau kesenangan, melainkan sebuah pembuktian bahwa ia bisa menjadi ‘orang’ dengan jalan teater. Dengan demikian, totalitas menjadi hal yang ia utamakan dalam berteater. Baik dalam keadaan hujan, panas, tengah malam, atau bahkan dalam kondisi sakit, selagi ia bisa berdiri dan berjalan, ia tetap datang latihan 35 . Apa saja aspek-aspek yang dituju oleh aktor melalui latihan? Jika dipetakan, secara umum para aktor sebagai narasumber penelitian ini mengatakan bahwa yang hendak dilebarkan sebagai jangkauannya meliputi tubuh, emosi, dan intelektual. Sebagai capaian ideal, sebagai aktor, jikalau bisa mereka harus bisa menguasai segala hal. Tidak menutup kemungkinan seorang aktor harus belajar silat, belajar tari, belajar musik, berbicara, meditasi, akrobatik, pantomim, dan lain sebagainya. Aktor harus juga mengenal baik konsep ruang dan pencahayaan untuk mengukur efek apa saja yang bisa dijadikan kemungkinan aksi. Untuk melatih kepekaan, semua narasumber sepakat bahwa aktor semestinya menyerap sebanyak mungkin kebudayaan lain yang asing darinya. Semakin banyak aktor berada pada berbagai macam tempat, berinteraksi dengan berbagai macam orang, maka kepekaan dan intelektualitasnya juga bertambah. Hal ini bukan semata-mata untuk pengetahuan saja, melainkan sebagai modal untuk penciptaan. Sebagai stimulus berfikir, aktor juga harus mau mengetahui berbagai macam bentuk wacana. Garis besarnya, semakin rumit dan semakin sulit aktor melatih dirinya, maka semakin mudah ia menciptakan akting. 35 Wawancara dengan Tita pada tanggal 24 Juni 2014 di Padepokan Seni Bagong Kussudihardja. 40 Dengan demikian, seperti yang diyakini Mbah Tohir, belajar keaktoran itu seperti tidak ada habisnya, “Saya terus berteater sampai saat ini ya karena saya ingin menyempurnakan kemanusiaan saya.” 36 Namun apakah semua yang dilakukan para aktor tersebut semata-mata untuk mencari kesempurnaan diri? Dalam tataran individual, hal tersebut diiyakan oleh para aktor, namun hal tersebut bukan poin utama. Seperti yang dikatakan Gunawan Maryanto bahwa berteater atau menjadi aktor bermula dari keinginan untuk menyampaikan sesuatu, maka sesuatu yang harus disampaikan tersebut tidak kalah pentingnya dengan usaha aktor untuk melatih instrumen tubuh dan wawasannya. Sebagai aktor, cara menyampaikan sesuatu sama pentingnya dengan sesuatu yang ingin disampaikan. Dalam tataran pemikiran, tak jarang hal yang disampaikan oleh orang-orang teater merupakan hal yang sensitif. Hal ini seolah menjadi tradisi semenjak teater menjadi media propaganda atau penyampai kritik 37 , hingga saat inipun dalam proses penciptaan, ada kesan atau semacam kewajiban bahwa sesuatu yang disampaikan haruslah sesuatu yang penting dan menyangkut permasalahan hidup orang banyak. Peristiwa ini juga dialami oleh semua narasumber. Salah satu yang paling lama berurusan dengan teater sebagai kritik adalah Pak Untung Basuki yang memiliki latar belakang berteater dengan Rendra di Bengkel Teater. Berteater di jaman itu bukan tanpa resiko; nyawa bahkan bisa dipertaruhkan demi menyampaikan teks tertentu untuk melawan rezim tertentu. 36 Wawancara dengan Mbah Tohir pada tanggal 5 Maret 2015 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta. 37 Hatley, 2014: 5. Lihat selengkapnya dalam buku yang Barbara Hatley dkk. Yang berjudul Seni Pertunjukan Indonesia Paska Orde Baru, Universitas Sanata Dharma Press, 2014. 41 Seperti halnya Pak Untung, Tony Broer, dalam bentuk berbeda, sebelum ia keluar dari Teater Payung Hitam, permainan panggungnya sangat ketal dengan nuansa kritik atas kekejaman militer. Saat inipun, ketika rezim Soeharto telah runtuh, teater Tony Broer pun masih bersifat resistensi, tidak hanya resisten terhadap wacana estetika dominan, melainkan terhadap tubuhnya sendiri. Keberanian untuk menembus batas- batas estetika merupakan hal yang digelisahkan Tony Broer hingga saat ini. Hal itu bukan tanpa konsekuensi, Tony Broer harus menghadapi bayak penolakan atas gagasan yang ia tekuni. Jika dilihat dari sejarahnya, teater selalu berkembang dan mengalami variasi dalam tataran bentuk dan gagasan. Bentuk ataupun gagasan baru yang muncul bisa terbaca, salah satunya, sebagai ketidakpuasan atas pencapaian masa lalu. Aktor melalui teater harus bisa menciptakan bahasa-bahasa baru, ekspresi-ekspresi baru yang tidak bisa lagi diwadahi oleh bentuk dan gagasan yang lama karena, seperti kata Gunawan Maryanto, “Ya zaman juga berubah, teater harus bisa menyesuaikan diri dengan situasi zamannya.” 38 Dan, semestinya, teater harus bisa melampaui apa yang sudah biasa terjadi pada situasi sosial yang dihadapi oleh para seniman teater.

B. Menghayati Peran: Menjadi Orang Lain

Dalam pengertian yang umum, menjadi aktor identik menjadi karakter yang lain, atau orang lain sesuai dengan tokoh dalam teksnaskah yang dijadikan pijakan. Sederhananya, akting identik dengan aksi pura-pura, atau perilaku yang tidak mewakili 38 Wawancara dengan Gunawan Maryanto pada tanggal 7 Maret 2015 di Garasi Institute of Performance, Nitiprayan, Yogyakarta. 42 esensi yang sebenarnya. Lantas bagaimana para aktor menyikapi peran yang dimainkannya? Semua usaha yang dilakukan para aktor melalui latihan berujung pada penghayatan atas dirinya yang akan hadir dalam bentuk pementasan. Mereka mengatakan bahwa akting tidak mungkin berhasil dilakukan dengan baik tanpa didasari oleh kejujuran. Bagi aktor teater tubuh seperti Tony Broer, atau teater yang berbasis naskah seperti yang dijalani oleh Mbah Tohir dan Pak Untung Basuki, atau keduanya seperti yang dilakukan oleh narasumber lainnya, panggung teater menjadi tempat untuk mempresentasikan pencapaian; aksi sekaligus akting. Pentas yang dilakukan oleh Mbah Tohir belakangan ini merupakan implementasi dari pengalaman-pengalaman masa lalunya pentas di berbagai tempat. Maksudnya, Mbah Tohir tidak lagi mempedulikan pakem-pakem tertentu dalam menyikapi naskah. Satu-satunya senjata utama ketika harus pentas adalah keaktoran yang telah dia miliki: “Saya memang merespon ruang dan waktu. Memang akhir-akhir ini saya pentas ya mengandalkan ruang dan waktu, sudah nggak pake panggung prosenium lagi. Jadi yang ada di naskah itu saya terjang itu ruang dan waktu. Dengan akting saja saya memanfaatkan itu semua.” 39 Bentuk-bentuk pementasan yang merespon ruang dan waktu, sebagai contoh, Mbah Tohir tidak pernah menciptakan konsep ruang yang pasti dalam pertunjukan, misalnya, yang berjudul Mat Kasir. Di berbagai macam tempat yang berbeda, naskah tersebut dimainkan Mbah Tohir dengan ruang yang seadanya. Dalam hal ini, bukan berarti Mbah Tohir tidak mempedulikan estetika, akan tetapi cara yang ia tempuh merupakan cara-cara yang tak lagi tergantung pada ukuran estetika ideal yang 39 Wawancara dengan Mbah Tohir pada tanggal 5 Maret 2015 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta. 43 menempatkan pertunjukan pada panggung konvensional. Gambar di bawah ini merupakan dokumentasi pentas Mbah Tohir yang berjudul Mat Kasir yang dipentaskan di belakang kantin Universitas Sanata Dharma pada tanggal 30 Juni 2014: Gambar 4: Dok. Agaton Hutama Teater Seriboe Djendela Bagi Mbah Tohir, teks harus jadi miliknya. Lebih jauh lagi, dalam menciptakan pertunjukan teater, tak jarang teks yang dibawakan oleh Mbah Tohir bercampur dengan subjektivitasnya sebagai aktor. Dalam menciptakan pertunjukan, antara teks dengan kedirian Mbah Tohir tidak lagi merupakan entitas yang berdiri sendiri-sendiri. Teks acuan dan pengalaman hidup Mbah Tohir sebelum berkenalan dengan teks tersebut melebur menjadi satu: menjadi sebuah teks baru. Hanya dengan cara itu Mbah Tohir merasa bisa menghidupkan dirinya sebagai tokoh di atas panggung. Mbah Tohir bercerita: “Kalau akhir-akhir ini saya nggak pake naskah. Dulu saya masih pakai. Kalau Bang Broer itu menyebut saya sebagai teater kehidupan; jadi peristiwanya ya mengalir saja lewat kata-kata saya, lewat tubuh, karena pengalaman saya berlatih itu sudah mejadi milik saya, dan keluar begitu saja. Hingga akhirnya ketika saya pentas sekarang ini, saya tidak mau dimainkan tokoh, tapi saya memainkan tokoh. Tokoh itu kan yang ada di depan, dan saya waktu di panggung, itu ya di belakang tokoh, yang 44 memainkan, yang mengendalikan dengan kesadaran penuh. Jadi ini bukan bisa menjadi tokoh, dalam keaktoran, bagi saya, ya saya harus bisa merasakan tokoh. Teater bagi saya ya itu, naskahnya adalah kehidupan. Sehingga improvisasi itu jadi penting. Maksudnya, kesadaran tadi itu lho, saya kan pernah juga main, harusnya dialognya begini, tapi mulut itu kok mblibet pengucapannya, sehingga waktu itu waktu dia pentas kesalahan itu ya saya mainkan, dengan semua perbendaharaan akting yang saya miliki, dengan kesadaran, mengolah yang salah dipanggung dalam bentuk improvisasi. Ya itu ada respon, spontanitas, dan improvisasi. Nah yang tadi itu merujuk pada ceritanya ketika ia mengalami kecelakaan begitu saya selesai main, saya ke mbali lagi merasakan sakit yang luar biasa.” 40 Terkait dengan naskah, tiap-tiap aktor kadangkala mempunyai cara tersendiri untuk menyikapinya. Terkadang cara-cara tersebut memiliki kemiripan meski ada pula bedanya. Bisa jadi perbedaan ini dikarenakan oleh paham atau ideal tertentu yang dijadikan pedoman aktor. Sebagai contoh, berbeda dengan Mbah Tohir, Gunawan Maryanto bercerita demikian: “Kalau kita ngangkat teks artinya kita berpijak pada teks dulu. Sebelum nanti ke yang lain-lain seperti observasi dan sebagainya itu yang pertama harus berpijak pada teks dulu. Jadi bedah naskah itu memang penting banget mulai dari mempelajari karakter dan hal-hal yang disampaikan di sana. Dari sana itu kan sebenarnya bisa kemana-mana, ke pengarangnya, ke kondisi sosial ketika teks itu di bangun dan konteks sosial ketika naskah itu akan di pentaskan, kan jadi banyak itu pengembangannya. Pada praktik keaktorannya memang tidak bisa berhenti di sana saja, kan itu telaah, ya telaah yang kemudian aktor kan harus menubuhkan, sehingga ada proses yang lebih jauh lagi. Ketika proses menubuhkan ini kemudian memang membutuhkan observasi; yang pertama, mencari padanan, mencari rujukan yang paling dekat lah di lingkungan kita. Mencari model; di observasi itu selain mencari data ya mencari model yang akan kita mainkan. Ya kemudian kembali lagi pada prinsip awal teater; teater itu kan tiruan. Ketika sudah menemukan modelnya kan kita melakukan peniruan-peniruan dulu. Dari tubuh, dari pelisanannya, dan sebagainya. Itu kan proses mewujudkan ide- ide yang ada dari teks itu.” 41 40 Wawancara dengan Mbah Tohir pada tanggal 5 Maret 2015 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta. 41 Wawancara dengan Gunawan Maryanto pada tanggal 7 Maret 2015 di Garasi Institute of Performance, Nitiprayan, Yogyakarta. 45 Bagi Gunawan Maryanto, teks merupakan hal benar-benar menjadi acuan dan sebisa mungkin, sebagai aktor, Gunawan Maryanto berproses untuk mewujudkan ide- ide yang ada dalam teksnaskah tersebut. Menghayati peran setara artinya dengan mewujudkan ide yang ada dalam naskah yang prosesnya kurang lebih seperti yang dikatakan oleh Gunawan Maryanto. Sementara, bagi Mbah Tohir, jika ia mengatakan bahwa akhir-akhir ini ketika pentas ia tidak menggunakan naskah tertentu, artinya ia lebih mengutamakan improvisasi daripada harus melakukan akting menafsirkan akting seketat dengan yang tertulis dalam naskah. Dari dua hal yang berbeda tersebut, setidaknya ada benang merah yang mempertemukan keduanya, yakni bahwa akting bertujuan untuk menyampaikan sesuatu kepada penonton. Lebih dari itu, aktor harus berusaha meyakinkan penonton atas apa yang ia katakan di atas panggung. Artinya, ketika berada di panggung, poin pentingnya dalam hal ini adalah bukan pada yang dikatakan, melainkan bagaimana cara mengatakan hal tersebut baca: menyampaikan teks. Sehingga, ketika ditarik ke wilayah intensitas aksi, seorang aktor harus merasakan sungguh-sungguh atas apa yang ia lakukan sehingga penanda-penanda yang dimunculkan melalui tubuhnya mampu meyakinkan penonton. Bahkan emosi-emosi tertentu yang mewakili aksi tersebut harus dihadirkan dengan jujur dan sungguh-sungguh demi mencapai kewajaran. Dengan demikian fungsi aktor sebagai bahasa akan terwujud; aktor harus bisa meyakinkan penonton. Terkait dengan hal tersebut, Gunawan Maryanto mengatakan: “Ya di panggung itu banyak orang bilang seolah-olah, berpura-pura, tetapi tetap, aku juga sepakat bahwa akting itu, agar ia tampak wajar ya ia harus jujur. Akting yang jujur. Memang yang di kejar itu behaviour, itu yang dikejar. Bagaimana perilakunya, lalu penonton itu juga teryakinkan atas aksi yang dilakukan di atas panggung itu. Karena orang juga bisa ngrasa ini jujur