Pengalaman Keaktoran Sebagai Pengalaman Sublim

23 dengan dunia Real sehingga mereka tetap menjadi desiring subject tanpa harus mengalami trauma dan represi. Selama para aktor tetap berproses, teater menjadi medium bagi mereka untuk terus-menerus memaknai symptom mereka, terus menerus melampaui batas-batas yang mereka miliki sebagai manusia karena dengan cara itulah mereka berdialektika dengan kehidupan yang mereka hadapi; tidak sebatas sebagai subjek bahasa melainkan sebagai subjek atas tubuh mereka sendiri.

F. Metode Penelitian

Sebagaimana telah dijelaskan di bagian latar belakang, penelitian ini merupakan penelitian pengalaman hidup para aktor teater di Yogyakarta. Dua hal yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah, pertama meneliti pengalaman aktor teater dalam proses penciptaan pertunjukan, dan kedua meneliti pengalaman aktor teater dalam menyikapi kehidupan sehari-hari. Penelitian ini secara formal saya mulai sejak tahun 2013, dan selesai pada tahun 2015. Pemilihan narasumber dan proses wawancara saya lakukan pada pertengahan tahun 2014 hingga bulan Juni 2015. Namun saya tidak merasa terlalu menyia-nyiakan waktu sejak 2013 hingga pertengahan tahun Mei 2014 karena pada waktu itu saya terlibat beberapa proses dengan beberapa narasumber penelitian ini dan saya memaknai keterlibatan saya dalam proses tersebut sebagai salah satu bentuk metode observasi. Namun, secara non-formal, data yang saya peroleh dalam penelitian ini merupakan pengetahuan yang saya dapat sejak lama. Perkenalan saya dengan keaktoran dan teater dimulai sejak tahun 2005; pada waktu itu saya mulai tinggal di Yogyakarta dan bergaul dengan pelaku-pelaku teater di Yogyakarta. Pada tahun 2007 saya bertemu 24 dan berproses bersama Gunawan Maryanto dan Tita Dian Wulan Sari selama kurang lebih 7 bulan di program Actor Studio yang diselenggarakan oleh Teater Garasi. Tahun 2010 saya berkenalan dan berproses bersama Nunung Deni Puspita Sari di Padepokan Seni Bagong Kussudihardja yang berlanjut hingga tahun 2012. Pada awal tahun 2014, saya bertemu dengan Andika Ananda dan melakukan sebuah proses penciptaan bersama. Melalui proses tersebut saya juga sempat bertemu dan kenal secara lebih dekat dengan Tony Broer sosok yang sebelum itu saya pandang sebagai sosok yang angker dan menyeramkan. Dan pertengahan tahun 2014 itu akhirnya saya ikut latihan bersama Tony Broer sebagai ‘modus’ untuk mencari data sekaligus mengobati penasaran saya atas apa kata orang: “Kalau mau dihajar fisiknya ya ikut latihan sama Bang Broer”. Di tahun ini pula saya berkenalan dengan Mbah Tohir, sosok tua yang tak pernah menyerah dalam berteater. Dan pada tahun 2015, akhirnya saya sowan pada salah satu legenda yang tersisa dari Bengkel Teater Rendra, yakni Bapak Untung Basuki. Nama-nama yang telah saya sebutkan adalah nama-nama para aktor yang berbaik hati mau menjadi narasumber dalam penelitian ini. Kecuali Mbah Tohir dan Pak Untung Basuki, para aktor lain adalah para aktor yang semoga saya kenal dengan baik; saya kenal tidak sebatas melalui obrolan, melainkan bersama-sama dalam proses bersakit- sakit dahulu sebelum pentas kemudian. Data primer yang menjadi objek penelitian ini adalah data-data yang saya peroleh melalui wawancara. Pada tahun 2014, saya melakukan wawancara kepada Tita Dian Wulan Sari, Nunung Deni Puspita Sari, Andika Ananda, dan Tony Broer dan pada tahun 2015 saya melakukan wawancara dengan Mbah Tohir Sutohir, Pak Untung Basuki, dan akhirnya Gunawan Maryanto seseorang yang berhasil dengan baik mendidik saya sebagai aktor waktu itu --tahun 2007-- dan membuat saya bertahan 25 hingga saat ini. Di samping itu, teks-teks lain yang menjadi pelengkap dan menjadi bekal untuk membuat narasi merupakan catatan-catatan observasi yang saya peroleh baik dengan cara mengikuti proses latihan ataupun berdasarkan pengamatan atas proses yang ditempuh oleh para narasumber. Pemilihan nama-nama para aktor tersebut sebagai narasumber dalam penelitian ini berdasarkan ketertarikan saya atas gagasan, semangat, dan sepak terjang mereka di dunia teater. Tiga aktor seperti Mbah Tohir, Untung Basuki, dan Tony Broer merupakan aktor yang bisa dibilang telah banyak makan asam garam di dunia teater saya kategorikan sebagai angkatan lama. Sementara tiga aktor lain seperti Tita Dian Wulan Sari, Nunung Deni Puspita Sari, dan Andika Ananda merupakan angkatan muda yang telah berteater cukup lama dan belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti berteater. Justru hingga saat ini, mereka masih bersemangat untuk melakukan berbagai macam penciptaan teater. Gunawan Maryanto, di sisi lain, jika dilihat dari segi umur merupakan tokoh yang berada di antara angkatan lama dan angkatan muda; ia kenal baik dengan pendahulunya sekaligus dekat dengan para pelaku muda. Dalam penelitian ini, sosok Gunawan Maryanto merupakan salah satu mata kunci yang memberikan banyak informasi mengenai teater khususnya dalam bidang keaktoran. Kenapa saya tidak memilih tokoh-tokoh lain yang notabene memiliki nama besar dan telah ‘sukses’ berteater untuk menjadi narasumber dalam penelitian ini? Tokoh- tokoh besar dan bisa dibilang sukses dalam berteater barangkali tidak diragukan lagi telah mengunyah segudang pengalaman dan pengetahuan sehingga mereka berhasil dan bertahan atau malah ada yang menjadi penyokong perteateran di Yogyakarta. Namun demikian, saya lebih tertarik untuk meneliti orang-orang yang di mata saya mengagumkan namun nama mereka belum banyak di kenal oleh kalangan luas. 26 Tentunya saya juga mempertimbangkan hal lain, yakni di mata saya para aktor yang menjadi narasumber dalam penelitian ini merupakan orang-orang yang hidupnya sederhana jika dilihat dari perspektif ekonomi. Justru karena itulah saya menangkap gairah hidup yang luar biasa ketika mereka berteater: membuat karya yang ‘bukan bertujuan sebagai mata pencaharian’ meskipun pada praktiknya kadang-kadang mereka mendapatkan honor sekedarnya. Tentunya banyak sekali aktor di Yogyakarta yang memiliki kategori seperti yang telah saya paparkan tersebut. Akan tetapi, sebagai batasan saya hanya memilih beberapa aktor dari angkatan tua, angkatan muda, dan di antara kedua angkatan tersebut yang saya kira cukup sebagai model dan informan untuk menunjukkan bahwa teater bukan semata-mata media hiburan, informasi, dan kritik, melainkan sebagai media yang penting untuk membentuk subjek sebagaimana fokus dalam penelitian ini adalah meneliti pengalaman aktor sebagai pengalaman sublimasi; pengalaman subjek yang tak mau begitu saja menjadi subjek bahasa, melainkan subjek yang terus menerus berdialektika dengan bahasa. Adapun jenis data yang saya narasikan dalam bab dua adalah verbatim wawancara yang saya rekam dengan media recorder, foto yang saya dapatkan dari koleksi para aktor dan fotografer lain yang telah saya sebutkan namanya dalam narasi, dan refleksi atas segala pengetahuan yang saya peroleh selama kurang lebih 9 tahun sebagai pelaku teater aktor, sutradara, pendamping sekaligus pelatih di UKM Teater Seriboe Djendela Universitas Sanata Dharma, dan penata artistik. Dari seluruh data yang berhasil dikumpulkan saya narasikan dalam bab II. Data- data tersebut saya pilah dan pilih berdasarkan rumusan masalah yang saya jadikan acuan dalam penelitian ini. Selanjutnya, dalam bab III, narasi yang tersusun dalam bab II saya 27 analisis dengan menggunakan perspektif psikoanalisa Lacanian terkait dengan teori subjek dan sublimasi dengan tahap-tahap analisa seperti yang telah saya paparkan pada bagian kerangka teori.

G. Skema Penelitian

Penelitian ini dibagi menjadi empat bab. Bab I dalam penelitian ini berisikan pendahuluan yang melingkupi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritis, metode penelitian dan skema penelitian. Bab II menarasikan pengalaman berteater para aktor dalam menyikapi dan menghayati teater mereka masing-masing. Bab II ini dinarasikan menjadi lima sub-bab; yakni 1. Perjalanan Menjadi Aktor: Perjalanan Melampaui Batasan, 2. Menghayati Peran: Menjadi Orang Lain, 3. Menjalani Keseharian, 4. Memaknai Akting: Akting di Panggung Teater dan Panggung Keseharian dan 5. Teater: Antara Kesenangan, Kegelisahan, dan Kegilaan Dalam Kehidupan. Bab III merupakan analisis dari data yang telah dinarasikan dalam bab II. Analisis yang dilakukan dalam bab III ini secara garis besar menempatkan pengalaman aktor sebagai pengalaman sublim menurut perspektif Lacan. Bab III ini dibagi menjadi dua sub-bab, yaitu 1. Membaca Penghayatan Aktor Melalui Perspektif Teori Subjek Lacanian, 2. Menjalani Kehidupan Dua Dunia. Bab IV merupakan penutup dari penelitian ini.