Berpijak Pada Sinthome: Panggung Sublimasi

116 bermain di panggung, mereka mengalami berbagai perasaan yang muncul bersamaan: tegang, senang, cemas, takut, percaya diri, dan lain sebagainya. Perasaan-perasaan tersebut barangkali bisa diwakili dengan istilah jouissance; sakit tapi nikmat. Sebagai salah satu bentuk atau efek yang dialami tubuh ketika berdiri diatas panggung boleh disebut sebagai efek ‘keajaiban panggung’ adalah hadirnya ketidakmungkinan; tubuh hadir melampaui batas-batasnya. Sebagai contoh, Mbah Tohir bercerita demikian: “Malam itu saya jalan kaki dan jatuh diselokan. Nggak kelihatan waktu itu. Kaki saya kena cor-coran got. Bengkak. Saya nggak bisa jalan. Itu pas di semarang, habis baca geguritan, saya dipanggil panitia, terus jatuh. Yang paling berkesan bagi saya karena waktu itu bisa menjadi salah satu pembuktian pengalaman. Kalau sekedar masuk angin, asam urat, itu sudah biasa saya atasi. Tapi kalau jatuh saya nggak bisa gerak. Waktu itu yang saya pikirkan adalah pentas saya: bagaimana pentas saya nanti? Akhirnya saya ditolong oleh kawan-kawan teater di semarang, pijet refleksi, bisa jalan tapi harus pake krek. Nah pentas di Tegal Pekalongan itu saya pake krek. Nah itu yang paling menarik bagi saya. Ujian keaktoran saya ya di situ. Pas pentas, awalnya saya masih pake krek, untuk baca puisi, kidung jula-juli. Lalu pas saya main, akhirnya krek saya taruh, dan saya bisa jalan. Nah kan si peran yang saya mainkan tidak sakit. Saya jadi itu dengan kesadaran tokoh, saya bisa jalan dan tidak merasa sakit. Tapi ada juga kekawatiran, makanya saya jaga-jaga, krek saya bawa masuk buat jadi properti sekalian. Nah itu siasat aktor. Sekalian saya menjadikan peristiwa jatuh itu bagian dari cerita.” 118 Istilah yang diberikan Mbah Tohir adalah ketika ia berada di panggung, dia menjadi dirinya dengan kesadaran tokoh objek penciptaan. Tentu kesadaran ini merujuk pada konsep tokoh yang diciptakan oleh Mbah Tohir, yakni Mat Kasir yang masih muda dan tidak sakit. Dan yang terjadi kemudian ketika dia menjadi subjek atas tubuhnya di atas pentas, dia tidak mengalami tidak peduli dengan rasa sakit seperti yang dia derita ketika tidak sedang pentas. Pegalaman tubuh yang dialami semacam ini 118 Wawancara dengan Mbah Tohir pada tanggal 5 Maret 2015 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta. 117 setara dengan tubuh-tubuh penari pada pentas Jathilan, misalnya, ketika penarinya mengalami kesurupan; melampaui situasi normal; tubuh yang hadir dengan energi yang besar dan kadang-kadang melakukan tindakan di luar kewajaran, misalnya makan bohlam lampu neon, atau mengupas kelapa dengan gigi; tubuh mungkin melakukannya karena tubuh mengalami jouissance. Dalam kasus ini dorongan subjek yang hadir pada tubuh merupakan dorongan kematian death drive yang bertujuan untuk melampaui prinsip kenikmatan dengan berada di realitas ketidakmungkinan melampaui normalitas untuk mendapatkan jouissance; kenikmatan yang dialami dengan melalui penderitaan. Apakah ini penghayatan? Istilah-istilah yang khas dan sering muncul di kalangan teater yang merujuk pada pemahaman menghayati peran, salah satunya adalah ‘menjadi tokoh’, atau lebih ‘dalam’ dari itu ‘merasakan tokoh’ seperti misalnya yang diungkapkan oleh Mbah Tohir: “Saya jadi itu dengan kesadaran tokoh, saya bisa jalan dan tidak merasa sakit [...] saya yang mengendalikan dengan kesadaran penuh, jadi ini bukan bisa menjadi tokoh [...] ya saya bisa merasakan tokoh.” 119 Sementara, kata menghayati itu berasal dari kata hayat yang artinya kurang lebih adalah hidup. Dengan kata lain, menghayati tokoh bisa berarti menghidupi tokoh; membuat tokoh menjadi hidup, atau tampak hidup, atau‘memiliki roh’ atau ada jiwanya, kalau memakai istilah orang-orang teater. Terkait dengan pemaparan tersebut, penghayatan aktor ini bermula dari proses identifikasi; yakni ketika berelasi dengan naskah, hasrat subjek dibangkitkan dan ego terbentuk. Identifikasi ini berlanjut ketika aktor mencari model liyan dalam dunia simbolis realitas sosial. Proses yang ditempuh oleh aktor ini menyediakan dua kemungkinan, pertama ia masih 119 Wawancara dengan Mbah Tohir pada tanggal 5 Maret 2015 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta. 118 terepresi menjadi subjek bahasa dikuasai tokoh kedua ia mengalami pengalaman sublim menjadi subjek dorongan menguasai tokoh; memainkan tokoh. Kiranya penghayatan ini lebih tepat ditempatkan pada saat aktor telah menjadi subjek dorongan yang tak lagi dikuasai oleh bahasa. Sehingga, dalam proses latihan menuju pentas, khususnya ketika menjelang pentas, ada istilah menarik: “Lupakan teknik, bermainlah dengan bebas.” Teknik pola- pola penciptaan, metode, ideal, dsb. dalam hal ini menjadi represi, sementara bebas dalam hal ini merupakan sublimasi; ketika bermain, aktor sudah tidak mempedulikan teknik atau aturan atau bahkan penonton. Sehingga, dalam situasi ‘bebas’ ini, aktor bisa melakukan improvisasi; mengalir dan menyesuaikan dengan situasi yang sedang terjadi. Terkait dengan kesadaran dan identifikasi, apakah ketika aktor bermain di panggung artinya mereka telah selesai dengan identifikasinya? Jika identifikasi melahirkan makna, misalnya pemahaman tentang ke-aku-an, Lacan mengatakan bahwa makna tidak pernah stabil sebagaimana makna itu sendiri tercipta dari proses signifikasi. Begitupula dengan proses identifikasi; sejauh proses ini melibatkan relasi subjek dengan material di luar dirinya, maka identifikasi ini tidak pernah selesai dan kesadaran selalu berubah. Improvisasi menandai adanya proses identifikasi dan kesadaran yang terus berlangsung. Sementara jika aktor terpaku pada teknik sesuatu yang telah baku dibakukan dalam proses penciptaan, sebaliknya, improvisasi ini tidak pernah muncul. Jika dikaitkan dengan penghayatan peran yang pengertiannya ditempatkan sebagai menghidupkan tokoh; tepat kiranya ketika aktor sedang bermain di atas panggung maka ia masih melakukan proses identifikasi atau menyadari segala sesuatu disekelilingnya sebagaimana aktor telah menjadi subjek atas tubuhnya. 119 Hal ini juga tampak pada pengalaman Andika ketika bermain dalam Panji Amabar Pasir. Improvisasi yang ia lakukan membuatnya seolah tidak peduli lagi dengan capek, atau malu, atau bahkan keindahan. Di salah satu adegan ketika ia membabat hutan, ia tampak seperti orang kesurupan; mencabik rumput, mencakar tanah, berguling-guling, menggeram untuk meluapkan sekian perasaan-perasaan marah. Hal ini tentunya tak mungkin dilakukan dalam situasi normal dan dipanggung pertunjukan perilaku Andika adalah sinthome atau semacam Nama-Sang-Ayah darurat 120 yang menyelamatkan Andika dari ‘kegilaan’ atau memperbolehkan Andika berbuat gila. Pengalaman berpijak pada sinthome seperti yang dialami oleh Mbah Tohir dan Andika sedikit berbeda dengan yang dialami oleh Tita. Jika Mbah Tohir tidak peduli dengan sakit, sebaliknya Tita mengalami kesedihan ketika harus mengatakan bahwa tokoh yang sedang ia perankan mengidap HIV; mata Tita berkaca-kaca ketika mengatakannya. Hal ini menimbulkan rasa haru tak hanya bagi penonton, tapi bagi Tita sendiri; seolah ia menghadirkan aibnya sendiri yang tersimpan sebagai symptom. Namun melalui pertunjukan, Tita melihat symptom dengan cara lain, memaknainya, dan mengatakannya sebagai sinthome sehingga bukan represi yang dialami Tita melainkan jouissance. Lantas bagaimana Gunawan Maryanto mengalami pengalaman berada di dalam panggung pertunjukan sebagai Hamm? Berperan sebagai Hamm, dia berelasi dengan Clove dengan konteks Hamm sebagai penindas Clove; saat itulah dia hadir sebagai 120 Handout perkuliahan yang ditulis oleh St. Sunardi. Jika di dunia simbolik Nama-Sang-Ayah berfungsi sebagai represi bagi subjek dan represi ini bersifat patologis atau hanya memberikan kenikmatan yang bersifat parsial, maka sinthome atau Nama-Sang-Ayah darurat di dunia panggung tidak bersifat represif sebagaimana di dunia simbolik sehingga subjek mengalami kenikmatan yang lebih jouissance purna dari yang ia peroleh di dunia simbolik. 120 subjek yang memunculkan sesuatu yang tidak mungkin dimunculkan dalam keseharian, yakni melakukan sesuatu sebagai pihak penindas yang barangkali ini merupakan hasrat semua orang untuk berposisi sebagai penguasa; posisi yang meminimalisir lack. Tentunya ini menyenangkan; dia bisa hadir dengan membentak-bentak lawan main atau mengumpat dunia simbolik di hadapan orang banyak dan ini adalah game. Jika hal ini dikaitkan dengan konsep Lacan yang mengatakan bahwa karakter semua subjek pada dasarnya adalah perversif dengan drive selalu mengarah pada kenikmatan, sementara, dunia keseharian merupakan sirkuit yang meregulasi kenikmatan subjek-subjek dalam bentuk hukum, norma, etika, aturan, atau dengan kata lain: prinsip kenikmatan kebaikan hidupgood life 121 , maka keseharian atas nama kebaikan telah mengurung hasrat subjek hasrat libidinal yang pada dasarnya berlawanan dengan moral. Sehingga, kenikmatan penuh diandaikan bisa diperoleh jika subjek melampaui etika moral, yakni dengan melakukan kejahatan. Karena pada dasarnya kar akter semua subjek itu adalah ‘jahat’, dunia simbolik menjamin keselamatan semua subjek dengan menghadirkan larangan. Sementara dunia pertunjukan menjamin keselamatan subjek dengan ‘memperbolehkan’ subjek untuk memperlihatkan ‘kejahatannya’ dengan selamat. Naskah yang mula-mula merupakan hasrat liyan di satu sisi menjadi sinthome atau medium bagi subjek untuk mengungkapkan symptom-nya yang selama ini telah terepresi. Memainkan karakter Hamm di satu sisi memberikan kenikmatan bagi subjek dalam rangka menyuarakan ‘protes’ atas ‘kejahatan dunia simbolik’ dalam merepresi ‘kejahatan’ subjek. Seperti telah dibahas di awal, kerakter Hamm atau naskah merupakan medium atau jalan yang bisa berfungsi untuk menghadirkan symptom dalam bentuk protes. 121 Kesel, 2009: 2. 121 Oedipus bisa disetarakan dengan Hamm dalam konteks kedua karakter ini merupakan medium. Pak Untung menggunakan tokoh Oedipus untuk menyerukan protes kepada dunia simbolik. Dalam pertunjukan tersebut, apakah Oedipus yang melakukan protes? Tentunya bukan; dalam hal ini Oedipus menemukan bentuknya ketika dihadirkan oleh Pak Untung sekaligus Pak Untung menampakkan dirinya yang lain ketika menjadi Oedipus. Tak jauh berbeda dengan Mbah Tohir, tubuh Pak Untung berbicara seolah- olah melampaui usia tuanya. Dorongan aktor ketika ia hadir di atas panggung justru merupakan dorongan kematian death drive sejauh dorongan tersebut selalu membuat aktor melakukan tindakan-tindakan yang melampaui kewajaran. Dalam hal tubuh, pengalaman Tony Broer bisa menjadi ilustrasi atas dorongan kematian yang menginvasi tubuh untuk melakukan tindakan kekerasan yang melahirkan jouissance. Dalam latihan-latihannya, Tony Broer mengupayakan untuk mengabaikan belenggu pikiran, yang kurang lebih pengertiannya adalah menciptakan pengetahuan yang tidak diproduksi oleh pikiran melainkan pengetahuan yang merupakan produk tubuh; tubuh membuktikan terlebih dahulu sebelum pikiran mulai menyimpulkan. Dalam kasus latihan atau bahkan pementasan Tony Broer, di satu sisi, tubuh Tony Broer beridentifikasi dengan ruang tempat tubuh itu berada. Latihan tubuh yang demikian ini di kalangan orang-orang teater disebut sebagai latihan merespon ruang. Lalu apa yang terjadi ketika tubuh berkenalan lagi dengan ruang? Tubuh berusaha menciptakan pengetahuan-pengetahuan dengan beridentifikasi dengan ruang; tubuh membuktikan ruang atau sebaliknya. Contoh, dalam salah satu adegan dalam pertunjukannya, Tony Broer berada dalam sebuah drum, lalu ada dua aktor lain yang memukul drum tersebut dengan besi batangan. Dalam situasi itulah Tony Broer 122 berusaha mengidentifikasi kembali tubuhnya; mengalami sensasi yang diterima tubuh ketika berada dalam drum yang dipukul berkali-kali dengan besi batangan. Pengalaman tubuh inilah yang ‘menciptakan’ konsep dalam pikiran. Dalam pementasan-pementasan yang lakukan oleh Tony Broer, ia membawa tubuhnya untuk berdialog dengan berbagai macam ruang, saat itulah identifikasi terjadi dan ego terbentuk; tidak hanya dengan melihat bayangan di cermin, tetapi dengan menyentuh bayangan itu. Pengalaman tersebut sekaligus menempatkan Tony Broer sebagai subjek paranoia, yakni subjek yang tidak percaya dengan bayangan yang dipantulkan liyan. Justru karena tidak percaya itulah subjek selalu berhasrat untuk mencari tahu. Dalam hal ini, pengetahuan harus diketahui dengan cara dialami. Mengambil contoh aktivitas tubuhnya seperti berada di dalam tong yang dipukul berkali-kali dengan besi batangan, atau berlari dengan jarak yang sangat jauh, pada tataran pikiran atau pada umumnya hasilnya sudah bisa ‘diketahui’ yakni sakit atau capek. Namun pengetahuan tersebut merupakan pengetahuan simbolis jika diketahui tanpa harus dialami. Bentuk positif dari paranoia ini adalah ketika subjek tidak percaya maka ia mencari tahu 122 , dengan demikian ia hidup berdasarkan pengetahuan yang ia ciptakan dan ia menjadi master dalam realitasnya sendiri 123 . Dalam konteks yang lain, Tony Broer tidak hanya berhasrat untuk menciptakan pengetahuan tubuh ketika ia membawa tubuhnya ke tingkatan pertunjukan. Dalam sirkuit wacana estetika pertunjukan, tubuh subjek merupakan teks; wacana histeris sebagai bentuk protes atas dominasi estetika cantik wacana histeris yang berubah menjadi wacana tuan. Secara visual, tubuh subjek yang dihadirkan di pangung dengan 122 Kesel, 2009: 184. 123 Ibid, halaman 185. 123 pola-pola gerak dan ekspresinya merujuk pada sesuatu yang menyimpang dari jenis pertunjukan teater pada umumnya. Umpamanya secara umum seni pertunjukan menghadirkan estetika cantik, sebaliknya, pertunjukan Tony Broer menunjukkan estetika keburukan Sejauh ini Tony Broer masih banyak mendapatkan pengaruh dari spirit seni pertunjukan Butoh yang memberontak pada estetika kecantikan dan keteraturan. Butoh justru dikenal sebagai tarian kematian; the dance of the darkness 124 dan sekaligus pertunjukan Tony Broer seolah menjadi gema dari gagasan Artaud tentang teater kekejaman Theatre of the Cruelty yang ingin menghadirkan otentisitas manusia; yakni tubuh-tubuh yang kejam 125 jika dilihat dari perspektif psikoanalisa merujuk pada tubuh polimorfus-perversif. Menempatkan pertunjukan tubuh Tony Broer dalam posisi paranoia menandakan bahwa subjek tidak mengalami trauma karena subjek tidak percaya pada trauma, sebaliknya jika dibaca sebagai histeria, maka tubuh subjek terbaca sebagai bentuk protes terhadap batasan estetika. Namun demikian, kehadiran gagasan pertunjukan Tony Broer dalam sirkuit seni pertunjukan memposisikan karyanya sebagai sesuatu yang lebih tepat jika ditempatkan sebagai wacana histeris. Sehingga, fenomena yang dihadirkan oleh Tony Broer bisa dibaca sebagai bentuk protes sekaligus gagasan baru dalam lingkungan teater yang dihadapinya. Pertunjukan menjadi ruang sublimasi dalam hal ini pertunjukan menyediakan ruang yang sifatnya menyerupai dunia fantasi. Di dalam fantasi, aktor mengandaikan dirinya sebagai tokoh utama yang bisa berbuat sesuka hati; tidak ada yang terepresi. Sehingga, ketika aktor menciptakan pertunjukan dan ia bermain di sana, hal itu setara 124 Lihat Fraleigh dan Nakamura dalam bukunya yang berjudul Hijikata Tatsumi And Ohno Kazuo, Routledge, 2006. 125 Lihat Artaud, Antonin, The Theatre And Its Double, by Grove Press, Inc. 1958. 124 dengan menghadirkan fantasinya; ia bisa hadir sesuka hatinya karena di atas panggung aktor adalah penguasa atas kehidupan yang berlangsung di sana. Yang berharga dalam dunia panggung, symptom yang dihadirkan oleh aktor merupakan symptom-symptom yang cenderung dimiliki oleh banyak orang; symptom dari represi sosial. Sehingga, symptom yang dihadirkan bukan hanya sebagai ‘proses penyembuhan’ bagi aktor, melainkan sebagai ajakan kepada penonton untuk merefleksikan symptom ‘kolektif’ mereka. Apapun hasilnya, meskipun tidak sepenuhnya mengalami kepenuhan dan memang seharusnya demikian, proses yang ditempuh aktor dalam dunia teater tetap menjaga agar hasrat aktor tidak padam sekaligus menyelamatkan aktor dari kegilaan.

B. Menjalani Kehidupan Dua Dunia

Bagian ini membahas dua dunia yang dijalani oleh subjek; yakni dunia teater dan dunia sehari-hari. Sebagaimana telah disinggung pada bagian sebelumnya, dunia teater lebih merupakan dunia mimpi atau dunia fantasi yang memungkinkan para aktor untuk menghadirkan sesuatu yang tak mungkin dihadirkan dalam dunia keseharian. Sementara dunia keseharian itu sendiri, meminjam perspektif Lacan, adalah dunia simbolik atau dunia bahasa; dunia sosial yang membuat subjek-subjek yang hidup di dalamnya harus mematuhi aturan main yang berlaku. Meskipun dua dunia tersebut bisa dibilang sebagai dua dunia yang berbeda sifatnya, akan tetapi dua dunia ini, bagi para aktor, merupakan dua hal yang saling melengkapi. Di satu sisi, dunia teater memberikan pemenuhan bagi subjek atas sesuatu yang tak bisa di dapatkan di dunia keseharian, sebaliknya, dunia keseharian juga memberikan pemenuhan tertentu yang tak bisa di dapat di dunia teater. Dunia teater 125 menempati posisinya sebagai dunia fantasi; dalam hal ini, para aktor mendapat kesempatan untuk berperilaku sebagai dirinya yang lain misalnya menjadi raja dan pengalaman tersebut merupakan kenikmatan tersendiri bagi mereka. Di sisi lain, mereka harus kembali ke dunia ‘nyata’ untuk bertemu dan berelasi dengan kenyataan-kenyataan sehari-hari. Dunia teater membutuhkan dunia keseharian sebagai acuan, modal atau bahan untuk dieksplorasi dalam proses penciptaan teater atau dengan kata lain, dunia teater merupakan efek dari dunia keseharian. Namun demikian, para aktor juga membawa pulang pengalaman-pengalaman mereka selama menempuh proses teater sebagai modal untuk menyikapi kehidupan mereka di dunia keseharian. Proses tersebut kehidupan di dunia teater dan dunia keseharian berlangsung terus menerus dalam sirkuit kehidupan mereka dan tentunya proses tersebut memberikan pengaruh bagi mereka setidaknya dalam dua hal: memberi pengaruh untuk menyikapi teater dan menyikapi keseharian mereka. Dengan meminjam konsep sublimasi Lacan untuk membahas kedua dunia tersebut, bagian ini saya bagi menjadi dua sub-pembahasan; pertama, saya menempatkan dunia keseharian para aktor sebagai dunia batasan, kedua saya menempatkan dunia teater sebagai jalan untuk melampaui batasan dunia keseharian.

1. Dunia Keseharian Simbolik: Batasan Yang Menjadi Dorongan

People may love the rigid limits culture forces them into, but their relation to culture is never “natural.” They relate to it from a polymorphous- perverse drive, that is, from a drive that “perverts” nature Kesel, 2009: 14. Pada bagian ini, saya menempatkan dunia keseharian sebagai tatanan simbolik atau kebudayaan dalam artian yang luas. Dalam dunia ini subjek mulai belajar dari 126 Liyan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mulai dari belajar bahasa hingga belajar tata krama. Sebagaimana dijelaskan oleh Kesel, dalam dunia ini tak ada lagi kehidupan manusia yang sifatnya natural. Bahkan, kebutuhan mendasar subjek makan, minum, seksualitas, dan lain sebagainya terkait dengan tubuhnya tak lagi merupakan hal yang bersifat biologis, melainkan kultural sejak awal subjek dilahirkan. Tubuh subjek bekerja tidak berdasarkan fungsi biologis, melainkan berdasarkan kenikmatan yang dialami tubuh; dorongan hidup subjek selalu mengarah pada pencapaian kenikmatan 126 . Namun dalam dunia simbolik, kenikmatan subjek dibatasi oleh prinsip kenikmatan atas nama kebaikan yang berwujud larangan Nama-Sang-Ayah. Di satu sisi, dunia simbolik merupakan dunia yang menjamin pemenuhan bagi subjek, akan tetapi pemenuhan yang diperoleh hanya sebatas apa yang boleh didapatkan subjek. Di dunia ini subjek diajari untuk hidup menurut kewajaran yang berlaku; kewajaran atas nama kebaikan. Subjek yang normal adalah subjek yang bisa berperilaku wajar seperti orang lain dalam hidup bermasyarakat meskipun kewajaran ini merupakan sesuatu yang abstrak dan susah diukur. Kalaupun ada, prinsip kenikmatan atas nama kebaikan atau kebenaran ini merupakan konstruksi yang berasal dari, misalnya, lembaga keagamaan, pendidikan, negara, adat, kata orang, atau wacana-wacana yang disebarkan oleh media masa. Di luar panggung teater, para aktor adalah bagian dari masyarakat yang hidup dengan cara yang telah ada dan telah tertata sedemikian rupa. Di dunia simbolik ini mereka juga diharuskan berfikir realistis; untuk hidup mereka butuh makan, butuh tempat tinggal, butuh sesuatu yang menghasilkan pemasukan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Sebagai contoh, Andika bercerita bahwa ada berbagai macam 126 Kesel, 2009: 15. 127 aktivitas dalam keseharian yang ia lakukan seperti perform kecil untuk menyambung hidup, menyebarkan flayer di jalanan, bekerja di penerbitan, menulis artikel, esai, dan juga memberikan workshop. Sementara Nunung bekerja sebagai guru honorer dan bekerja di Padepokan Seni Bagong Kussudihardja, Pak Untung sesekali main film, mengajar kesenian, dan perform musik atau puisi, Tony Broer menjadi dosen, Mbah Tohir melukis wajah dan menjual batu akik, Tita dan Gunawan Maryanto menggantungkan seluruh nasibnya di kesenian. Fenomena kehidupan dalam ruang sosial, menurut Lacan, merupakan fenomena- fenomena yang hadir dalam relasi penandaan. Fenomena-fenomena dalam keseharian tak bisa lepas dari hukum bahasa dalam pengertian yang seluas-luasnya; konvensi. Dalam situasi sosial tersebut, dalam menjalani kehidupan bermasyarakat subjek tak lagi bebas untuk berbuat sesuka hati; ia harus mau mengikuti konvensi yang berlaku seberapapun berat konvensi tersebut menjadi tekanan atau batasan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Tekanan atau batasan tersebut tak lain adalah represi. Tetapi, represi ini bukan berarti hal yang melulu buruk meskipun represi ini menimbulkan pengalaman traumatis; karena represi itu sendiri misalnya dalam bentuk hukum, etika, norma, dsb. merupakan hasil dari sublimasi paradoks yang tak bisa dihindari. Represi ini ada untuk menjaga agar manusia berbuat baik dan bertanggung jawab, sebagaimana hal ini dialami oleh Pak Untung: “Saya menjadi manusia. Menjadi anggota masyarakat, menjadi kepala rumah tangga, ngurusi kampung, punya tanggung jawab. Sebagai kepala rumah tangga ya harus membina keluarga sedemikian rupa, supaya tenang, aman, damai. Itu di kampung juga demikian, harus ikut serta menciptakan suasana tenang, damai, artinya begini, kan ada orang yang dengan keluarganya itu begitu baik, tapi kalau dengan orang lain justru sebaliknya. Atau di luar dia baik, tapi di dalam dengan istri, dengan keluarganya malah 128 bertengkar. Itu saya maknai. Aku di luar dan di dalam sebisa mungkin sama.” 127 Di rumah, Pak Untung berperan menjadi kepala rumah tangga. Ini merupakan fungsi simbolik; misalnya, kepala rumah tangga berfungsi untuk membina rumah tangga. Sementara di luar rumah, pada tataran yang lebih luas, peran Pak Untung juga diidentifikasi orang lain sebagai seseorang yang posisinya lebih kompleks dari sekedar menjadi kepala rumah tangga. Dalam tiap-tiap posisi dan relasi yang berlainan, ada nilai yang harus dijaga. Relasi penandaan inilah yang menjaga membatasi Pak Untung untuk selalu berbuat baik. Nilai menjadi kebutuhan yang tak kalah penting dari kebutuhan dasar untuk hidup. Nilai ini seolah-olah menjadi hukum yang tak tertulis, sebagaimana nilai membuat Pak Untung harus merasa bertanggung jawab untuk menjalankan fungsinya posisinya sebagai tanda: ayah, anak, tetangga, warga, dan lain sebagainya. Menerapkan pentingnya nilai dalam menjalankan fungsinya sebagai seseorang dengan berbagai macam posisinya dihadapan orang lain tak hanya dialami oleh Pak Untung, hal ini juga dialami oleh Nunung; sebagai seorang istri, seorang ibu beranak satu, seorang guru SD ia juga tak lepas dari tanggung jawab untuk bersama-sama dengan suaminya membina keluarga yang baik. Nunung harus membagi waktunya sedemikian rupa untuk bekerja, berteater, dan berumah tangga. Di rumah, Nunung berperan sebagai ibu dan seorang istri, di sekolah ia berperan sebagai guru. Sebagai bentuk tanggung jawab, misalnya di dua tempat tersebut ia harus rela untuk contoh tindakannya tidak merokok demi penilaian yang dialamatkan oleh orang lain kepadanya. Namun di dunia kesenian merupakan saat baginya untuk mengekspresikan 127 Wawancara dengan Untung Basuki pada tanggal 8 Maret 2015.