Berpijak Pada Sinthome: Panggung Sublimasi
116 bermain di panggung, mereka mengalami berbagai perasaan yang muncul bersamaan:
tegang, senang, cemas, takut, percaya diri, dan lain sebagainya. Perasaan-perasaan tersebut barangkali bisa diwakili dengan istilah jouissance; sakit tapi nikmat.
Sebagai salah satu bentuk atau efek yang dialami tubuh ketika berdiri diatas panggung boleh disebut sebagai efek ‘keajaiban panggung’ adalah hadirnya
ketidakmungkinan; tubuh hadir melampaui batas-batasnya. Sebagai contoh, Mbah Tohir bercerita demikian:
“Malam itu saya jalan kaki dan jatuh diselokan. Nggak kelihatan waktu itu. Kaki saya kena cor-coran got. Bengkak. Saya nggak bisa jalan. Itu pas di
semarang, habis baca geguritan, saya dipanggil panitia, terus jatuh. Yang paling berkesan bagi saya karena waktu itu bisa menjadi salah satu
pembuktian pengalaman. Kalau sekedar masuk angin, asam urat, itu sudah biasa saya atasi. Tapi kalau jatuh saya nggak bisa gerak. Waktu itu yang
saya pikirkan adalah pentas saya: bagaimana pentas saya nanti? Akhirnya saya ditolong oleh kawan-kawan teater di semarang, pijet refleksi, bisa jalan
tapi harus pake krek. Nah pentas di Tegal Pekalongan itu saya pake krek. Nah itu yang paling menarik bagi saya. Ujian keaktoran saya ya di situ. Pas
pentas, awalnya saya masih pake krek, untuk baca puisi, kidung jula-juli. Lalu pas saya main, akhirnya krek saya taruh, dan saya bisa jalan. Nah kan
si peran yang saya mainkan tidak sakit. Saya jadi itu dengan kesadaran tokoh, saya bisa jalan dan tidak merasa sakit. Tapi ada juga kekawatiran,
makanya saya jaga-jaga, krek saya bawa masuk buat jadi properti sekalian. Nah itu siasat aktor. Sekalian saya menjadikan peristiwa jatuh itu bagian
dari cerita.”
118
Istilah yang diberikan Mbah Tohir adalah ketika ia berada di panggung, dia menjadi dirinya dengan kesadaran tokoh objek penciptaan. Tentu kesadaran ini
merujuk pada konsep tokoh yang diciptakan oleh Mbah Tohir, yakni Mat Kasir yang masih muda dan tidak sakit. Dan yang terjadi kemudian ketika dia menjadi subjek atas
tubuhnya di atas pentas, dia tidak mengalami tidak peduli dengan rasa sakit seperti yang dia derita ketika tidak sedang pentas. Pegalaman tubuh yang dialami semacam ini
118
Wawancara dengan Mbah Tohir pada tanggal 5 Maret 2015 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta.
117 setara dengan tubuh-tubuh penari pada pentas Jathilan, misalnya, ketika penarinya
mengalami kesurupan; melampaui situasi normal; tubuh yang hadir dengan energi yang besar dan kadang-kadang melakukan tindakan di luar kewajaran, misalnya makan
bohlam lampu neon, atau mengupas kelapa dengan gigi; tubuh mungkin melakukannya karena tubuh mengalami jouissance. Dalam kasus ini dorongan subjek yang hadir pada
tubuh merupakan dorongan kematian death drive yang bertujuan untuk melampaui prinsip kenikmatan dengan berada di realitas ketidakmungkinan melampaui normalitas
untuk mendapatkan jouissance; kenikmatan yang dialami dengan melalui penderitaan. Apakah ini penghayatan?
Istilah-istilah yang khas dan sering muncul di kalangan teater yang merujuk pada pemahaman menghayati peran, salah satunya adalah ‘menjadi tokoh’, atau lebih ‘dalam’
dari itu ‘merasakan tokoh’ seperti misalnya yang diungkapkan oleh Mbah Tohir: “Saya jadi itu dengan kesadaran tokoh, saya bisa jalan dan tidak merasa sakit [...] saya yang
mengendalikan dengan kesadaran penuh, jadi ini bukan bisa menjadi tokoh [...] ya saya bisa merasakan tokoh.”
119
Sementara, kata menghayati itu berasal dari kata hayat yang artinya kurang lebih adalah hidup. Dengan kata lain, menghayati tokoh bisa berarti
menghidupi tokoh; membuat tokoh menjadi hidup, atau tampak hidup, atau‘memiliki
roh’ atau ada jiwanya, kalau memakai istilah orang-orang teater. Terkait dengan pemaparan tersebut, penghayatan aktor ini bermula dari proses identifikasi; yakni ketika
berelasi dengan naskah, hasrat subjek dibangkitkan dan ego terbentuk. Identifikasi ini berlanjut ketika aktor mencari model liyan dalam dunia simbolis realitas sosial. Proses
yang ditempuh oleh aktor ini menyediakan dua kemungkinan, pertama ia masih
119
Wawancara dengan Mbah Tohir pada tanggal 5 Maret 2015 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta.
118 terepresi menjadi subjek bahasa dikuasai tokoh kedua ia mengalami pengalaman
sublim menjadi subjek dorongan menguasai tokoh; memainkan tokoh. Kiranya penghayatan ini lebih tepat ditempatkan pada saat aktor telah menjadi subjek dorongan
yang tak lagi dikuasai oleh bahasa. Sehingga, dalam proses latihan menuju pentas, khususnya ketika menjelang
pentas, ada istilah menarik: “Lupakan teknik, bermainlah dengan bebas.” Teknik pola- pola penciptaan, metode, ideal, dsb. dalam hal ini menjadi represi, sementara bebas
dalam hal ini merupakan sublimasi; ketika bermain, aktor sudah tidak mempedulikan teknik atau aturan atau bahkan penonton. Sehingga, dalam situasi ‘bebas’ ini, aktor bisa
melakukan improvisasi; mengalir dan menyesuaikan dengan situasi yang sedang terjadi. Terkait dengan kesadaran dan identifikasi, apakah ketika aktor bermain di panggung
artinya mereka telah selesai dengan identifikasinya? Jika identifikasi melahirkan makna, misalnya pemahaman tentang ke-aku-an, Lacan mengatakan bahwa makna tidak pernah
stabil sebagaimana makna itu sendiri tercipta dari proses signifikasi. Begitupula dengan proses identifikasi; sejauh proses ini melibatkan relasi subjek dengan material di luar
dirinya, maka identifikasi ini tidak pernah selesai dan kesadaran selalu berubah. Improvisasi menandai adanya proses identifikasi dan kesadaran yang terus berlangsung.
Sementara jika aktor terpaku pada teknik sesuatu yang telah baku dibakukan dalam proses penciptaan, sebaliknya, improvisasi ini tidak pernah muncul. Jika dikaitkan
dengan penghayatan peran yang pengertiannya ditempatkan sebagai menghidupkan tokoh; tepat kiranya ketika aktor sedang bermain di atas panggung maka ia masih
melakukan proses identifikasi atau menyadari segala sesuatu disekelilingnya sebagaimana aktor telah menjadi subjek atas tubuhnya.
119 Hal ini juga tampak pada pengalaman Andika ketika bermain dalam Panji
Amabar Pasir. Improvisasi yang ia lakukan membuatnya seolah tidak peduli lagi dengan capek, atau malu, atau bahkan keindahan. Di salah satu adegan ketika ia
membabat hutan, ia tampak seperti orang kesurupan; mencabik rumput, mencakar tanah, berguling-guling, menggeram untuk meluapkan sekian perasaan-perasaan marah.
Hal ini tentunya tak mungkin dilakukan dalam situasi normal dan dipanggung pertunjukan perilaku Andika adalah sinthome atau semacam Nama-Sang-Ayah
darurat
120
yang menyelamatkan Andika dari ‘kegilaan’ atau memperbolehkan Andika berbuat gila.
Pengalaman berpijak pada sinthome seperti yang dialami oleh Mbah Tohir dan Andika sedikit berbeda dengan yang dialami oleh Tita. Jika Mbah Tohir tidak peduli
dengan sakit, sebaliknya Tita mengalami kesedihan ketika harus mengatakan bahwa tokoh yang sedang ia perankan mengidap HIV; mata Tita berkaca-kaca ketika
mengatakannya. Hal ini menimbulkan rasa haru tak hanya bagi penonton, tapi bagi Tita sendiri; seolah ia menghadirkan aibnya sendiri yang tersimpan sebagai symptom.
Namun melalui pertunjukan, Tita melihat symptom dengan cara lain, memaknainya, dan mengatakannya sebagai sinthome sehingga bukan represi yang dialami Tita melainkan
jouissance. Lantas bagaimana Gunawan Maryanto mengalami pengalaman berada di dalam
panggung pertunjukan sebagai Hamm? Berperan sebagai Hamm, dia berelasi dengan Clove dengan konteks Hamm sebagai penindas Clove; saat itulah dia hadir sebagai
120
Handout perkuliahan yang ditulis oleh St. Sunardi. Jika di dunia simbolik Nama-Sang-Ayah berfungsi sebagai represi bagi subjek dan
represi ini bersifat patologis atau hanya memberikan kenikmatan yang bersifat parsial, maka sinthome atau Nama-Sang-Ayah darurat di dunia panggung tidak bersifat represif sebagaimana
di dunia simbolik sehingga subjek mengalami kenikmatan yang lebih jouissance purna dari yang ia peroleh di dunia simbolik.
120 subjek yang memunculkan sesuatu yang tidak mungkin dimunculkan dalam keseharian,
yakni melakukan sesuatu sebagai pihak penindas yang barangkali ini merupakan hasrat semua orang untuk berposisi sebagai penguasa; posisi yang meminimalisir lack.
Tentunya ini menyenangkan; dia bisa hadir dengan membentak-bentak lawan main atau mengumpat dunia simbolik di hadapan orang banyak dan ini adalah game.
Jika hal ini dikaitkan dengan konsep Lacan yang mengatakan bahwa karakter semua subjek pada dasarnya adalah perversif dengan drive selalu mengarah pada
kenikmatan, sementara, dunia keseharian merupakan sirkuit yang meregulasi kenikmatan subjek-subjek dalam bentuk hukum, norma, etika, aturan, atau dengan kata
lain: prinsip kenikmatan kebaikan hidupgood life
121
, maka keseharian atas nama kebaikan telah mengurung hasrat subjek hasrat libidinal yang pada dasarnya
berlawanan dengan moral. Sehingga, kenikmatan penuh diandaikan bisa diperoleh jika subjek melampaui etika moral, yakni dengan melakukan kejahatan. Karena pada
dasarnya kar akter semua subjek itu adalah ‘jahat’, dunia simbolik menjamin
keselamatan semua subjek dengan menghadirkan larangan. Sementara dunia
pertunjukan menjamin keselamatan subjek dengan ‘memperbolehkan’ subjek untuk
memperlihatkan ‘kejahatannya’ dengan selamat. Naskah yang mula-mula merupakan hasrat liyan di satu sisi menjadi sinthome atau medium bagi subjek untuk
mengungkapkan symptom-nya yang selama ini telah terepresi. Memainkan karakter Hamm di satu sisi memberikan kenikmatan bagi subjek dalam rangka menyuarakan
‘protes’ atas ‘kejahatan dunia simbolik’ dalam merepresi ‘kejahatan’ subjek. Seperti telah dibahas di awal, kerakter Hamm atau naskah merupakan medium
atau jalan yang bisa berfungsi untuk menghadirkan symptom dalam bentuk protes.
121
Kesel, 2009: 2.
121 Oedipus bisa disetarakan dengan Hamm dalam konteks kedua karakter ini merupakan
medium. Pak Untung menggunakan tokoh Oedipus untuk menyerukan protes kepada dunia simbolik. Dalam pertunjukan tersebut, apakah Oedipus yang melakukan protes?
Tentunya bukan; dalam hal ini Oedipus menemukan bentuknya ketika dihadirkan oleh Pak Untung sekaligus Pak Untung menampakkan dirinya yang lain ketika menjadi
Oedipus. Tak jauh berbeda dengan Mbah Tohir, tubuh Pak Untung berbicara seolah- olah melampaui usia tuanya.
Dorongan aktor ketika ia hadir di atas panggung justru merupakan dorongan kematian death drive sejauh dorongan tersebut selalu membuat aktor melakukan
tindakan-tindakan yang melampaui kewajaran. Dalam hal tubuh, pengalaman Tony Broer bisa menjadi ilustrasi atas dorongan kematian yang menginvasi tubuh untuk
melakukan tindakan kekerasan yang melahirkan jouissance. Dalam latihan-latihannya, Tony Broer mengupayakan untuk mengabaikan belenggu pikiran, yang kurang lebih
pengertiannya adalah menciptakan pengetahuan yang tidak diproduksi oleh pikiran melainkan pengetahuan yang merupakan produk tubuh; tubuh membuktikan terlebih
dahulu sebelum pikiran mulai menyimpulkan. Dalam kasus latihan atau bahkan pementasan Tony Broer, di satu sisi, tubuh Tony
Broer beridentifikasi dengan ruang tempat tubuh itu berada. Latihan tubuh yang demikian ini di kalangan orang-orang teater disebut sebagai latihan merespon ruang.
Lalu apa yang terjadi ketika tubuh berkenalan lagi dengan ruang? Tubuh berusaha menciptakan pengetahuan-pengetahuan dengan beridentifikasi dengan ruang; tubuh
membuktikan ruang atau sebaliknya. Contoh, dalam salah satu adegan dalam pertunjukannya, Tony Broer berada dalam sebuah drum, lalu ada dua aktor lain yang
memukul drum tersebut dengan besi batangan. Dalam situasi itulah Tony Broer
122 berusaha mengidentifikasi kembali tubuhnya; mengalami sensasi yang diterima tubuh
ketika berada dalam drum yang dipukul berkali-kali dengan besi batangan. Pengalaman tubuh inilah yang
‘menciptakan’ konsep dalam pikiran. Dalam pementasan-pementasan yang lakukan oleh Tony Broer, ia membawa
tubuhnya untuk berdialog dengan berbagai macam ruang, saat itulah identifikasi terjadi dan ego terbentuk; tidak hanya dengan melihat bayangan di cermin, tetapi dengan
menyentuh bayangan itu. Pengalaman tersebut sekaligus menempatkan Tony Broer sebagai subjek paranoia, yakni subjek yang tidak percaya dengan bayangan yang
dipantulkan liyan. Justru karena tidak percaya itulah subjek selalu berhasrat untuk mencari tahu. Dalam hal ini, pengetahuan harus diketahui dengan cara dialami.
Mengambil contoh aktivitas tubuhnya seperti berada di dalam tong yang dipukul berkali-kali dengan besi batangan, atau berlari dengan jarak yang sangat jauh, pada
tataran pikiran atau pada umumnya hasilnya sudah bisa ‘diketahui’ yakni sakit atau capek. Namun pengetahuan tersebut merupakan pengetahuan simbolis jika diketahui
tanpa harus dialami. Bentuk positif dari paranoia ini adalah ketika subjek tidak percaya maka ia mencari tahu
122
, dengan demikian ia hidup berdasarkan pengetahuan yang ia ciptakan dan ia menjadi master dalam realitasnya sendiri
123
. Dalam konteks yang lain, Tony Broer tidak hanya berhasrat untuk menciptakan
pengetahuan tubuh ketika ia membawa tubuhnya ke tingkatan pertunjukan. Dalam sirkuit wacana estetika pertunjukan, tubuh subjek merupakan teks; wacana histeris
sebagai bentuk protes atas dominasi estetika cantik wacana histeris yang berubah menjadi wacana tuan. Secara visual, tubuh subjek yang dihadirkan di pangung dengan
122
Kesel, 2009: 184.
123
Ibid, halaman 185.
123 pola-pola gerak dan ekspresinya merujuk pada sesuatu yang menyimpang dari jenis
pertunjukan teater pada umumnya. Umpamanya secara umum seni pertunjukan menghadirkan estetika cantik, sebaliknya, pertunjukan Tony Broer menunjukkan
estetika keburukan Sejauh ini Tony Broer masih banyak mendapatkan pengaruh dari spirit seni pertunjukan Butoh yang memberontak pada estetika kecantikan dan
keteraturan. Butoh justru dikenal sebagai tarian kematian; the dance of the darkness
124
dan sekaligus pertunjukan Tony Broer seolah menjadi gema dari gagasan Artaud tentang teater kekejaman Theatre of the Cruelty yang ingin menghadirkan otentisitas
manusia; yakni tubuh-tubuh yang kejam
125
jika dilihat dari perspektif psikoanalisa merujuk pada tubuh polimorfus-perversif.
Menempatkan pertunjukan tubuh Tony Broer dalam posisi paranoia menandakan bahwa subjek tidak mengalami trauma karena subjek tidak percaya pada trauma,
sebaliknya jika dibaca sebagai histeria, maka tubuh subjek terbaca sebagai bentuk protes terhadap batasan estetika. Namun demikian, kehadiran gagasan pertunjukan Tony Broer
dalam sirkuit seni pertunjukan memposisikan karyanya sebagai sesuatu yang lebih tepat jika ditempatkan sebagai wacana histeris. Sehingga, fenomena yang dihadirkan oleh
Tony Broer bisa dibaca sebagai bentuk protes sekaligus gagasan baru dalam lingkungan teater yang dihadapinya.
Pertunjukan menjadi ruang sublimasi dalam hal ini pertunjukan menyediakan ruang yang sifatnya menyerupai dunia fantasi. Di dalam fantasi, aktor mengandaikan
dirinya sebagai tokoh utama yang bisa berbuat sesuka hati; tidak ada yang terepresi. Sehingga, ketika aktor menciptakan pertunjukan dan ia bermain di sana, hal itu setara
124
Lihat Fraleigh dan Nakamura dalam bukunya yang berjudul Hijikata Tatsumi And Ohno Kazuo, Routledge, 2006.
125
Lihat Artaud, Antonin, The Theatre And Its Double, by Grove Press, Inc. 1958.
124 dengan menghadirkan fantasinya; ia bisa hadir sesuka hatinya karena di atas panggung
aktor adalah penguasa atas kehidupan yang berlangsung di sana. Yang berharga dalam dunia panggung, symptom yang dihadirkan oleh aktor
merupakan symptom-symptom yang cenderung dimiliki oleh banyak orang; symptom dari represi sosial. Sehingga, symptom
yang dihadirkan bukan hanya sebagai ‘proses penyembuhan’ bagi aktor, melainkan sebagai ajakan kepada penonton untuk
merefleksikan symptom
‘kolektif’ mereka. Apapun hasilnya, meskipun tidak sepenuhnya mengalami kepenuhan dan memang seharusnya demikian, proses yang
ditempuh aktor dalam dunia teater tetap menjaga agar hasrat aktor tidak padam sekaligus menyelamatkan aktor dari kegilaan.