Menjalani Keseharian MELEWATI BATAS-BATAS KEHIDUPAN DENGAN

63 kalau punya apa itu malah diberikan kepada orang lain, padahal keluarganya juga butuh. Untungnya selalu ada rejeki yang entah bagaimana jalannya, sehingga Pak Untung masih bisa membiayai kuliah anak-anaknya hingga selesai. “Selalu ada jalan mas, kadang saya diminta main film jadi figuran, kadang diminta perform, nyanyi, baca puisi, melukis, ngajar kesenian.” 56 Dengan cara itulah Pak Untung menyambung hidupnya dan menghidupi keluarganya. Sementara itu, Tony Broer dalam dunia kesehariannya tetap memandang bahwa pekerjaannya adalah dosen, bukan aktor atau pencipta teater meskipun senyatanya ia mengajarkan teater, baik melalui jalur formal seperti di kelas perkuliahan ataupun jalur non-formal seperti yang dilakukannya setiap sore untuk latihan bersama murid- muridnya. Tony Broer manganggap bahwa berteater di Indonesia itu justru malah mencari kesulitan. Artinya berteater itu merupakan sebuah tantangan; untuk berbuat lebih daripada sekedar hidup ‘normal’. Tony Broer bercerita demikian: “Ini teater itu memang apa? Pekerjaan atau bukan? Kan gitu Jadi kalau di Barat itu sendiri kan memang udah jadi profesi kan? Jadi otomatis pekerjaan kan? Profesional Jadi mereka berlatih itu pasti menghasilkan. Nah sekarang kalau elo berlatih itu belum tentu menghasilkan, udah susah sponsor, jadi ngerti nggak loe, ada kesan gini; justru berteater itu mencari kesulitan sebenernya. Makanya, pokok persoalan di kita itu ada teater tapi nggak ada infrastrukturnya. Jadi aneh itu sebenernya di kita itu Jadi kalo loe nanya itu, itu benar. Tapi kalo loe tanya ke yang profesi itu nggak mungkin: Loe ngapain teater? Pasti jawabanya: Itu profesi gue. Nah di kita, itu sebenarnya profesi juga nggak, jadi seperti yang elo bilang, sebenarnya dia itu masih bingung. Jadi pertanyaanya ngapain loe teater? Padahal ente malah susah-susah nyari duit justru untuk bikin teater. Nah itu yang membedakan bahwa teater itu bukan pekerjaan. Gue, justru posisi gue karena gue pegawai negri. Apakah pekerjaan gue aktor? Nggak, gue pegawai negri, gue mengajar, gitu. Kalo gue ngandalin aktor gue, gue mati Jadi gue itu pegawai negri, yang ngajar. Ya pegawai negri yang sebulanan gaji, gitu” 57 56 Wawancara dengan Untung Basuki pada tanggal 8 Maret 2015. 57 Wawancara dengan Tony Broer pada tanggal 3 Agustus 2014 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta. 64 Hal ini merupakan salah satu hal yang membuat Tony Broer bersikeras untuk menghindari pola berfikir teater yang ada di Barat: di sana, menurut Tony Broer, seorang aktor digaji dengan hitungan jam latihan. Sehingga menjadi aktor bisa dikatakan sebagai profesi yang harus dilakukan secara profesional. Dalam praktik perteateran di Indonesia, kenyataannya sangat berbeda jauh. Hal inilah yang membuat Tony Broer meyakini bahwa sebaiknya paradigma berteater harus berbeda. Menjadi aktor itu tidak lantas hanya dijalani ketika proses penciptaan dengan laku yang seolah- olah profesional. Menjadi aktor harus lebih dari itu, dengan cara memakai pengetahuan- pengetahuan yang didapat dari latihan sebagai cara hidup dalam keseharian, sebagai sudut pandang sekaligus pendekatan dalam menempuh kehidupan. Salah satu bentuk praktik yang ditawarkan Tony Broer kemudian adalah dengan menjalani hidup dan menempatkan segala aktivitas kehidupan bersama orang lain sebagai bentuk latihan keaktoran. Hal yang menarik dari kayakinan Tony Broer dalam berteater, adalah ketika ia berfikir bahwa berteater itu bukan untuk mencari penghasilan. Artinya hal ini persoalan mendapat uang atau tidak kemudian menjadi stimulus yang membedakan semangat untuk melakukan sesuatu. Maksudnya, yang dilakukan orang dengan yang bertujuan mencari uang atau tidak tentu akan berbeda mutunya dan berbeda pula cara melakukannya. Ketika melakukan sesuatu karena memang senang, misalnya dalam berteater, maka ia akan rela kalaupun pertunjukannya membutuhkan banyak biaya dan ia tidak mendapatkan untung apapun dari segi ekonomi. Sejauh ini yang saya lihat dari Tony Broer ketika ia melakukan proses latihan, saya menafsirkan bahwa yang ia lakukan merupakan usaha untuk menjawab kegelisahannya. 65 Sementara itu, berbeda dengan Tony Broer, pengalaman Tita kurang lebih mirip dengan Gunawan Maryanto. Dalam keseharian, Tita hanya menggantungkan hidupnya dari kerja seni yang ia lakukan. Modalnya adalah pengalamannya menjadi aktor dan pengalaman tersebut mengantarkan Tita pada kerja seni yang lain seperti misalnya menjadi fasilitator atau bahkan mengurus program yang dijalankan di Padepokan Seni Bagong Kussudihardja. Namun apakah yang dilakukan Tita hanya semata-mata untuk pekerjaan, Tita mengaku tidak demikian, dia bercerita: “Dulu sebenarnya, setelah lulus kuliah Tita merupakan alumni jurusan psikologi Universitas Sanata Dharma orang tuaku menginginkan aku bekerja di kantor atau di perusahaan apa gitu. Aku sempat melamar kerja di perusahaan farmasi, bahkan sudah wawancara kerja. Tapi waktu itu aku berfikir dan aku merasa tidak nyaman melakukannya. Aku ingin menjadi seniman. Meskipun orang tuaku marah besar aku tetap melakukannya. Konsekuensinya aku harus pergi dari rumah di Bogor, dan kembali lagi ke Jogja, lalu berkesenian. Sebelum kerja di padepokan sih memang secara ekonomi aku mengalami kesulitan. Tapi saat ini ternyata aku masih bisa hidup. Orang tuakupun akhirnya bisa menerima karena aku bisa memb uktikan bahwa berkesenian itu bisa hidup.” 58 Tita mengaku bahwa proses berkeseniannya yang pertama kali, yaitu ketika mengikuti program Aktor Studio Teater Garasi tahun 2007 banyak sekali mengubah hidupnya. Keputusan untuk berkesenian memang berangkat dari pengalamannya setelah ia mencicipi panggung teater. Sebelumnya, bahkan ia tidak sempat mempunyai pikiran untuk menjadi seniman. Sehingga dalam kehidupannya saat ini, yang dilakukan Tita merupakan pekerjaan sekaligus sesuatu yang ia senangi. Di antara para aktor tersebut, yang memiliki kehidupan paling dramatis adalah Mbah Tohir, ia adalah sosok seniman tua yang selama hidupnya mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya. Kampung halamannya adalah kota Surabaya, kota yang 58 Wawancara dengan Tita pada tanggal 24 Juni 2014 di Padepokan Seni Bagong Kussudihardja 66 membuatnya kenal dengan kesenian dan kota yang memperkenalkan dia dengan kelompok Srimulat. Ia sempat bergabung dengan Srimulat dalam kurun waktu yang cukup lama, lantas ia memilih untuk sendirian dalam berkesenian; mementaskan pentas monolog dari satu kota ke kota lainnya. Ketika Mbah Tohir di Jogja, cara ia menyambung hidup adalah dengan melukis wajah dan menjual batu akik yang ia koleksi sejak tahun 70an. Mbah Tohir bercerita: “Ya kalau nggak pentas biasanya kalau pagi saya ngamen nglukis wajah mas. Kalau ada pentas itu lumayan, meskipun sedikit kan masih ada saweran. Kadang-kadang saya juga masih nimbrung dengan anak-anak teater di ISI sewon, meski sudah tua gini saya masih semangat untuk cari ilmu, biar nggak ketinggalan dengan yang muda-muda. Melihat mereka latihan, ikut diskusi, datang seminar. Lha ini aja saya datang ke latihannya Mas Tony, nanti saya mau dimintai tolong untuk cerita metode. Belakangan ini kalau di Jogja tiap sore saya datang di latihannya Mas Tony untuk nambah-nambah ilmu. Kadang-kadang anak-anak muda itu bilang gini: Mbah, njenengan itu sudah sepuh, mbok santai saja menikmati masa tua. Kalau saya nggak mau mas.” 59 Dari beberapa kisah yang dituturkan oleh para aktor tersebut, kita bisa melihat bahwa kehidupan sehari-hari yang mereka jalani tak jauh dari keaktoran dan teater yang mereka tekuni. Artinya, fenomena ini sedikit banyak memberikan kesan bahwa berteater tidak membuat pelakunya atau aktor-aktornya hidup dalam kondisi yang mengenaskan. Dengan berproses di teater mereka mendapatkan pengetahuan, dan pengetahuan tersebut jika dilihat dari cerita para aktor justru merupakan hal yang lebih penting; mereka survive dengan modal pengetahuan yang mereka dapat dari proses teater. Dari segi pengalaman kebertubuhan, pastinya pengalaman aktor pentas dari panggung ke panggung, dari satu proses menuju ke proses lainnya akan meninggalkan ingatan. Yang menjadi pertanyaan kemudian apakah pengalaman menghayati peran di 59 Wawancara dengan Mbah Tohir pada tanggal 5 Maret 2015 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta. 67 panggung juga berdampak dalam perilaku sehari-hari? Bagaimana seorang aktor menanggulangi pengetahuan menghayati peran di panggung? Bagaimana aktor memaknai akting, baik di panggung pertunjukan ataupun di keseharian? Beberapa pertanyaan tersebut dinarasikan pada bagian selanjutnya.

D. Memaknai Akting: Akting di Panggung Teater dan Panggung Keseharian

Bagaimana para aktor menyikapi dunia panggung dan dunia keseharian dalam konteks berperilaku? Perspektif umum cenderung menilai bahwa akting di panggung merupakan pura-pura dan tidak mewakili esensi yang sebenarnya, sebaliknya, yang mewakili esensi yang sebenarnya adalah perilaku dalam keseharian. Namun bagaimana para aktor memaknai panggung teater dan panggung keseharian? Berpijak dari konsepsi tersebut, bagian ini dimaksudkan untuk melihat pemaknaan para aktor terhadap akting yang mereka jalani. Mbah Tohir bercerita bahwa ada dua panggung yang harus ia jalani, panggung pertama adalah kehidupan sehari-hari, dan panggung dua adalah panggung teater. Keduanya memiliki fungsi yang sama bagi Mbah Tohir, yakni sebagai ruang untuk menghadirkan diri di depan orang lain. Kehadiran inilah yang akan dinilai oleh orang lain dan hanya melaui kehadiran tersebut dengan segala bentuk perilakunya membuat seseorang memiliki makna dalam kehidupan. Sementara itu, pak Untung dalam bahasa yang berbeda mengungkapkan hal yang serupa: “Kalau di keaktoran ya ada waktunya, kalau pas akting ya akting, kalau nggak ya nggak. Jadi sebagai aktor, kalau pas waktunya akting itu ya dijaga aktingnya, jangan berperilaku yang di luar tugasnya. Misalnya pas main jadi Oedipus, ya jadilah Oedipus, tapi kalau pas jadi Untung ya jadi Untung. Ini aktor harus bisa membedakan dan memainkan, bahkan dengan seketika. Ini metode latihan juga. Namanya latihan seketika. Jadi misalnya bangun tidur 68 itu jika sudah ada rencana mau apa ya segera dilakukan. Jangan kalau di panggung ada adegan nangis, itu nangis bener dan begitu keluar dia masih nangis, ya jangan begitu.” 60 Dari uraian tersebut, Pak Untung menekankan pentingnya menempatkan diri sebagai manusia. Di panggung, dalam konteks pertunjukan yang menempatkan aktor sebagai tokoh, maka ia harus menjalankan tugasnya sebagai tokoh tersebut, sebaliknya, di luar panggung, ia harus kembali menjadi seseorang yang telah dikenali oleh orang lain di sekelilingnya. Di sanalah kiranya makna bisa hadir, yakni dengan cara menghadirkan diri sebagaimana mestinya. Mendalami keaktoran cenderung membuat para aktor memandang kehidupan sehari-hari layaknya situasi yang harus disikapi dengan cara aktor menyikapi panggung pertunjukan. Pemahaman ini merupakan efek dari memahami diri melalui latihan akting; jika sumber dari akting merupakan peristiwa keseharian, dengan kesadaran tertentu memilah dan menata ulang lagi sebagai bahasa di panggung, maka pengalaman tersebut senantiasa melekat dalam keseharian, yakni dengan menyadari dan merespon setiap peristiwa dalam keseharian layaknya latihan akting. Akan tetapi yang khas dari keaktoran, merujuk pada cerita para aktor dalam penelitian ini, adalah pentingnya kesadaran untuk menempatkan diri dalam segala situasi. Tony Broer dalam wawancara mengatakan bahwa dalam keseharianpun sebenarnya yang dilakukan orang adalah akting, yang sama saja dengan di panggung. Tony Broer menceritakan pengalamannya ketika ia sedang ujian, “Ya ujian buat gue itu pentas juga. Gue akting. Nah gue kan dari rumah udah nyiapin naskahnya nih, udah gue hapalin gue nanti ngomong apa aja di depan pembimbing gue. Sebelum berangkat 60 Wawancara dengan Untung Basuki pada tanggal 8 Maret 2015. 69 gue juga udah nyiapin kostum, dandan, terus nanti di ruang sidang, gue pentas, gue juga ngrespon ruang, ngrespon penonton.” 61 Yang dilakukan oleh Tony Broer, dengan memandang bahwa dalam keseharianpun ia akting, adalah dalam rangka untuk mengaplikasikan pengetahuan aktor dalam keseharian. Setara dengan yang dikatakan Tony Broer, Andika juga mengatakan bahwa yang bernilai dari seorang aktor dalam keseharian justru adalah penghayatannya. Dalam proses keaktoran, seorang aktor latihan untuk menghayati perannya. Berangkat dari hal tersebut, bagi Andika, semestinya aktor juga bisa menghayati keseharianya, melakukan segala aktivitasnya bersama orang lain dengan cara yang sama, dengan kesenangan yang sama sebagaimana aktor menyenangi latihannya. Sehingga, latihan teater bagi Andika bisa di mana saja: di sawah, di kantor, di pasar, di rumah, dan bahkan di kamar mandi. Masing-masing ruang memberikan kesempatan bagi aktor untuk menghayatinya. Konsepsi tersebut, sebagaimana telah dikatakan oleh Tony Broer dan Andika, menjadi laku bagi Tita untuk menjalani keseharian. “Hal ini adalah soal kebiasaan” 62 , kata Tita, bahwa untuk menjalani keseharian, rasanya akan hambar jika tidak didasari dengan perasaan-perasaan tertentu. “Terutama adalah rasa senang,” 63 kata Tita, “Ketika aku harus menjalani sesuatu yang aku senangi terlebih dahulu, ya aku akan mengupayakannya dengan maksimal.” 64 Keseharian yang dijalani Tita merupakan pilihannya, sama halnya dengan misalnya ketika ia berproses teater, sehingga dirinya 61 Wawancara dengan Tony Broer pada tanggal 3 Agustus 2014 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta. 62 Wawancara dengan Tita pada tanggal 24 Juni 2014 di Padepokan Seni Bagong Kussudihardja 63 Ibid. 64 Wawancara dengan Tita pada tanggal 24 Juni 2014 di Padepokan Seni Bagong Kussudihardja 70 yang telah berlatih keaktoran bisa diaplikasikan tidak hanya di panggung, melainkan di aktivitas lainnya. “Proses teater dan keseharian itu berhubungan kok.” 65 Namun demikian, tentunya ada hal yang berbeda antara panggung teater dengan keseharian. Perbedaan antara panggung teater dengan panggung keseharian, menurut Gunawan Maryanto, adalah tujuan dan tensinya. Ia berpendapat bahwa mode latihan keaktoran adalah mengaktifkan diri dengan cara mengaktifkan segala inderanya. Di panggung, aktor tidak boleh hanyut dalam suasana. Aktor harus bisa berenang dan justru menciptakan suasana. Hal inilah yang membedakan kehidupan panggung dengan kehidupan keseharian. Di panggung, ibaratnya, aktor tidak boleh mengalir begitu saja lantas tenggelam. Sementara, dalam keseharian, situasinya seringkali menempatakan kehidupan seolah mengalir begitu saja. Demikian pun setelah peristiwa teater dihadirkan; selalu ada yang membekas baik pada pelakunya maupun penontonnya. Pengalaman inilah, seperti yang diutarakan Gunawan Maryanto, yang sedikit banyak mempengaruhi cara hidup baik pelaku ataupun penonton untuk memandang kehidupan setelahnya. Tensi dalam melakukan suatu aksi terletak pada kesadaran. Para aktor mengatakan bahwa kesadaran yang digunakan dalam melakukan aksi di panggung teater merupakan kesadaran untuk melakukan sesuatu dengan dilandasi perasaan-perasaan yang jujur. Berpura-pura justru akan mengurangi mutu pertunjukan, sebagaimana hal ini juga dinyatakan oleh Gunawan Maryanto. Berpura-pura atau melakukan sesuatu dengan setengah hati justru akan menjadi soal di panggung pertunjukan, namun barangkali tidak di keseharian. Aksi kecil yang dilakukan dipanggung bukan berarti aksi yang bisa disepelekan. Setidaknya, penonton akan memperhatikan aksi tersebut. Sementara, dalam 65 Ibid. 71 keseharian hal ini bukanlah sesuatu yang perlu diberi perhatian lebih. Persoalan aksi inilah yang biasanya dibongkar oleh para aktor dalam proses penciptaan akting mereka. Hal ini menjadi wajar jika aktor, sebagaimana Tony Broer terus menerus melakukannya, sering mempertanyakan kembali tentang bagaimana berjalan kaki? Apa motivasi berjalan kaki? Mau kemana? Bagaimana caranya? Bagaimaa temponya? Bagaimana duduk? Bagaimana berbicara? Dsb. Para aktor harus melatih kembali hal- hal yang dalam keseharian menjadi hal yang sepele dengan asumsi bahwa apa yang mereka lakukan akan terbaca sebagai tanda. Dalam hal ini, bagi para aktor, teater dan keseharian merupakan dua hal yang berbeda akan tetapi saling berhubungan satu sama lain. Proses penciptaan teater selalu berpijak pada pengalaman hidup senimannya menafsirkan kehidupan. Dalam ruang yang sempit, keseharian merupakan sumber gagasan yang utama. Dan setelahnya, proses berteater menjadi bekal untuk memandang dan menjalani kehidupan keseharian.

E. Teater: Antara Kesenangan, Kegelisahan, dan Kegilaan Dalam Kehidupan

Proses perjalanan menempuh keaktoran dan penciptaan teater pada akhirnya membuahkan pemaknaan-pemaknaan tertentu bagi para aktor. Bagian ini merupakan bagian yang menarasikan makna teater dan kehidupan yang dialami oleh para aktor. Pemaknaan-pemaknaan ini lebih bersifat personal, tergantung dari pengalaman yang mereka dapatkan melalui proses latihan dan proses penciptaan yang mereka jalani. Secara umum, pengalaman berteater yang lakukan oleh para aktor ini bermula dari rasa senang, akan tetapi kedepannya, rasa senang ini berubah bentuk menjadi kegelisahan- kegelisahan tertentu untuk menyampaikan sesuatu melalui teater. Hasilnya kurang lebih