Berpijak Pada Tubuh: Dari Subjek Hasrat Sampai Subjek Dorongan

99 proses penciptaan seperti ini salah satu tujuan pentingnya adalah aktor berhasil memerankan tokoh yang dituliskan dalam naskah. Karakter aktor berbeda dengan karakter tokoh yang dimainkan, dengan demikian aktor harus melahirkan tubuhnya kembali dengan serangkaian proses yang panjang. Aktor biasanya mencari model dalam dunia sehari-hari untuk ditirukan. Hal ini karena aktor tak lagi menjadi subjek bahasa, dan bukan pula subjek atas bentuk-bentuk artistik akting yang telah mapan, melainkan sebagai subjek yang terdorong untuk mencari bentuk-bentuk baru. Sebagai contoh, setelah Pak Untung melewati proses bedah naskah, menganalisa karakter, menghafalkan naskah, maka langkah selanjutnya adalah mencari model yang mirip seperti yang ia bayangkan atas sosok tokoh di dalam naskah: “Caranya ya macem-macem, kita bisa pergi ke pasar, melihat-lihat orang. Kalau bisa mendekatinya, mendengarkan caranya bicara, melihat gayanya.” 100 Dalam hal ini, Pak Untung adalah subjek yang berkeliaran untuk mencari bentuk. Setelah mencari model, lantas tahap selanjutnya adalah menirukan model tersebut. Benarkah dalam hal ini aktor benar-benar melakukan peniruan? Peniruan yang bagaimana? Tubuh aktor, dalam banyak hal misalnya; ukuran, berat badan, tinggi, usia, warna kulit, kapasitas, fleksibilitas, dsb. jelas berbeda dengan tubuh model yang dirujuk sebagai tokoh. Peniruan dalam keaktoran, atau isilah umumnya adalah imitasi, pada praktiknya tidak sepenuhnya imitasi. Selalu ada penyesuaian sehingga hal ini lebih mirip dengan proses negosiasi yang memungkinkan untuk memunculkan bahasa baru. Negosiasi dengan siapa? Dengan bahasa naskah, dengan tubuh model, dan dengan tubuh aktor sendiri. 100 Wawancara dengan Untung Basuki pada tanggal 8 Maret 2015. 100 Dalam berhubungan dengan naskah, proses negosiasi ini justru merupakan jalan agar aktor tidak menjadi subjek naskah subjek bahasa namun menjadi subjek hasrat yang bergerak mencari objeknya. Negosiasi ini juga merupakan jalan bagi aktor untuk menembus ketidakmungkinan yang dihadirkan oleh naskah. Ketidakmungkinan dalam hal apa? Salah satunya adalah relasi. Memakai pengalaman Pak Untung sebagai contoh, ketika ia mementaskan naskah Oedipus Sang Raja versi terjemahan Rendra atas versi klasik yang berjudul Oedipus Rex maka tidak mungkin jika ia mencari realitas rujukan berdasarkan peristiwa fiksi yang dirujuk oleh naskah itu barangkali dekat dengan kehidupan Yunani kuno pada waktu lebih dari 2000 tahun yang lalu: ketika Sophocles menghadapi dunianya. Kemungkinan terdekat yang bisa ditempuh oleh Pak Untung adalah dengan membawa naskah tersebut ke dunianya; mencari padanan konteks yang tepat tentang apa, kepada siapa, dan bagaimana naskah tersebut diartikulasikan. Ketika Pak Untung menuliskan ulang naskah tersebut melalui tubuh, bentuk- bentuk eksplorasi yang ditempuh misalnya adalah melisankan teks, menghafalkan teks, menggerakkan tubuh dan perangkat wicara seiring dengan kata-kata yang dilisankan, menghadirkan ekspresi seiring dengan emosi yang menyertainya, berteriak-teriak menghafalkan dialog sambil berjalan di tengah alun-alun, menulis dialog di lembaran- lembaran kertas, dan lain sebagainya. Jikalau perlu, dia mencari model sebagai refrensi di dunia simbolik; notabene WS. Rendra adalah Oedipus Sang Raja pertama versi Jawa. Proses yang telah dipaparkan tersebut bisa dinamai sebagai proses aktor mencari dan menyusun bahasa. Namun dalam hal ini, bukankah aktor justru tampak terepresi oleh proses yang ia tempuh ketika memasuki bahasa Liyan? Proses yang ditempuh aktor merupakan proses negosiasi; ia menjadi subjek yang bermain-main dengan penanda- penanda yang telah tersedia di tatanan simbolik untuk mengelevasi objek hasrat pada 101 ruang sublimasi panggung teater. Dengan demikian, aktor tidak mengalami represi, sebaliknya dia mengalami pengalaman sublim. Setidaknya hal tersebut bisa dilihat dengan cara demikian: mengambil contoh pengalaman Pak Untung, ketika ia menempuh proses dalam menciptakan peran Oedipus bisa dibilang bahwa ia sama sekali tidak memiliki rujukan tokoh dalam realitas sosial saat itu. Oedipus merupakan tokoh fiktif sehingga gambaran yang muncul dalam benak Pak Untung terkait tokoh ini merupakan gambaran imajiner imajinasi yang hadir melalui fantasi tentunya gambaran dalam dunia fantasi ini selalu didukung oleh penanda-penanda dari masa lalu yang telah menubuh dan meninggalkan jejak ketaksadaran dalam tubuh. Sehingga, pola-pola gerakan tubuh dan pola-pola pengucapan yang digunakan untuk mengartikulasikan bahasa dalam naskah lokus enunciation merupakan symptom yang dihadirkan kembali; penanda-penanda yang dihadirkan dari dunia simbolik melalui fantasi. Dalam hal ini, Pak Untung berhasil memaknai teks dan berhasil melakukan transversing of fantasy. Hal ini menjadi tantangan yang sulit ketika jarak karakter tokoh yang dimainkan sangat berbeda jauh dengan karakter aktor. Sebagai contoh, peran yang dimainkan Nunung dalam Tempat Istirahat adalah tokoh nenek-nenek yang telah di ambang usia, nenek-nenek yang berbicara dengan suara berat, serak, lambat, dengan postur tubuh yang agak membungkuk dan serba lambat dalam melakukan sesuatu. Sementara, Nunung sendiri adalah perempuan yang berumur jauh lebih muda, berbadan sehat, kuat, lincah, dan cenderung melakukan sesuatu atau berbicara dengan tempo cepat. Mau tidak mau Nunung harus mengkonstruksi ulang tubuhnya; gestur, tempo, cara bicara, dsb. Hal yang ditempuh Nunung ini berkebalikan dengan yang dialami Mbah Tohir, sebagai contoh, dalam bab II Mbah Tohir bercerita bahwa di panggung, ia tidak boleh sakit 102 seperti diluar panggung. Meskipun ia tidak bisa berjalan kaki karena baru saja mengalami kecelakaan, namun tokoh yang ia pentaskan adalah tokoh yang sehat, tokoh yang tidak pincang, sehingga ia harus berlaku layaknya orang sehat dengan meniadakan rasa sakitnya. Melihat sekilas proses yang ditempuh oleh Nunung dalam menciptakan karakter seorang nenek, sumber yang dijadikan acuan oleh Nunung adalah dokumentasi pertunjukan Teater Garasi sekaligus proses tersebut merupakan proses re-enactment; aktor meniru semirip mungkin dokumentasi vidio pertunjukan Teater Garasi untuk dipentaskan dalam acara ulang tahun Teater Garasi yang ke 20. Dalam hal ini, vidio pertunjukan setara fungsinya dengan naskah. Melihat vidio dan memperagakan perilaku tokoh dalam vidio tersebut sekaligus membuat Nunung membaca vidio tersebut dengan menggunakan tubuhnya; Nunung berdialog dengan tubuhnya yang bergerak, berbicara, sekaligus merasakan efeknya. Apakah proses tersebut selesai dengan hanya melihat dan menirukan vidio? Ternyata tidak; Nunung mencoba menempuh proses yang mendekati proses yang pernah dilakukan oleh pemain sebelumnya, yakni berkunjung ke kuburan, latihan. Lantas bagaimana hasil pementasannya? Tidak mirip seperti yang dihadirkan di vidio. Nunung menciptakan bahasanya sendiri setelah membaca menulis ulang vidio yang ia saksikan. Pengalaman tubuh aktor seperti yang telah diuraikan tersebut merupakan pangalaman histerisasi tubuh yang positif sejauh tubuh tersebut menjadi objek pengganti objek yang dielevasi atas objek hasrat tubuh model mula-mula. Sehingga, dalam hal ini tubuh yang awalnya adalah kendaraan hasrat drive 101 mengalami 101 Kesel, 2009: 169. Kesel menjelaskan bahwa kata drive merujuk pada sirkulasi energi yang tidak pernah berhenti. Pengertian ini sekaligus saya tafsirkan sebagai energi yang berada dalam tubuh. Sehingga, tubuh dalam konteks tulisan ini selalu berkenaan dengan drive. 103 perubahan menjadi objek hasrat yang diperlakukan sedemikian rupa melalui proses latihan dan diperlakukan sebagai objek yang dielevasi ke atas panggung. Tubuh adalah subjek sekaligus objek dalam momen yang sama. Demikianlah aktor harus rela mengorbankan tubuhnya demi tokoh yang ia mainkan. Pada latihan-latihan tubuh, subjek bisa saja latihan silat, menari, berlari, dan lain sebagainya; seolah-olah subjek adalah penari, seolah-olah subjek adalah atlet. Akan tetapi poinnya, latihan-latihan tubuh yang dilakukan subjek bukan bertujuan untuk menciptakan tubuh yang sexy, tubuh yang cantik, tubuh yang kekar, bukan pula untuk menjadi juara beladiri, akan tetapi untuk memperlebar jangkauan tubuh; mengkonstruksi ulang tubuhnya. Mengaitkan bentuk-bentuk latihan seperti yang telah dipaparkan tersebut dengan proses awal aktor berinteraksi dengan teks; diandaikan teks mempengaruhi ego aktor dan hasrat aktor dibangkitkan. Peristiwa tersebut menggerakkan aktor untuk menempuh latihan. Namun kemudian, efek latihan pada tubuh tentunya memberikan pengaruh lain pada aktor dan hal ini juga mempengaruhi cara aktor mengidentifikasikan diri dengan naskah. Sehingga, proses interaksi dengan naskah dalam hal ini merupakan proses yang dinamis; selalu ada perubahan sebagaimana aktor seperti halnya sifat penanda tidak pernah menemukan makna tunggal; selalu tergelincirmenggelincirkan diri dalam proses signifikasi melalui proses identifikasi. Hal ini tampak jelas pada jenis latihan ensamble; ketika aktor melisankan dialognya dengan lawan main. Permainan aktor, misalnya dalam tataran pengucapan dialog, sangat ditentukan oleh aksi reaksi lawan main dan sebaliknya bukan lagi naskah. Bagi Lacan, tubuh merupakan bahasa efek bahasa atau “speech arising as 104 such 102 ”. Dengan kata lain, tubuh bereaksi atas bahasa liyan tubuh Liyan ketika berada dalam sirkuit bahasa peristiwa naratif. Sehingga dalam pertunjukan, atau dalam proses latihan, makna teks tidak lagi ditentukan oleh naskah, melainkan oleh tubuh; aktor menjadi subjek atas tubuhnya, bibirnya, lidahnya, dan emosinya yang bergerak dengan dinamika-dinamika tertentu. Kiranya proses-proses semacam inilah yang menjadi estetika kenikmatan tekstual; pengalaman tubuh yang menghasilkan kenikmatan teks 103 . Terkait dengan identifikasi aktor terhadap peran yang sedang ia ciptakan; dialog aktor dengan tubuhnya dan tubuh tokoh yang ia jadikan model, juga dialami oleh Tita. Dalam proses Sangkar Madu Tita memerankan dua karakter, yakni dirinya dan tokoh yang dimainkan. Dalam proses identifikasi tersebut, Tita bermain-main dengan teknik untuk menciptakan penanda-penanda tubuh; “Jadi di pentas itu aku mainin dua karakter, sebagai aku yang menceritakan dia, juga sebagai dia yang bercerita sendiri. Nah asiknya itu, ketika bermain dua karakter, itu aku bener-bener memakai teknik, jadi nggak semata-mata merasa berubah gitu nggak, tapi itu teknik keaktoran. Jadi untuk membedakannya, itu Mbak Yanti kan biasanya rambutnya terurai, kemudian kalau jadi aku ya rambutku tak iket, biar jadi penanda yang beda. Terus juga gaya bicara itu bisa membedakan. Jadi itu secara sadar sampai nggak sadar, aku malah ngamatin diriku sendiri dan juga dia untuk urusan produksi aktingnya. Aku pun ketika memerankan diriku sendiri di panggung harus akting kan, nggak bisa juga aku menjadi aku yang seperti biasanya. Nah di proses itu kadang-kadang sampai sempat terbawa, misalnya ada teman yang bilang, “Kok kamu seperti Mbak Yanti sih”. Bahkan kadang juga terbawa perasaan. Itu muncul di ending, ada adegan yang sebenarnya aku nggak nyaman ketika harus menjadi aku yang mengungkapkan bahwa TKI itu kena HIV aids. Aku nggak tega mengatakannya, ya seperti kayak 102 Meminjam kutipan Felman dalam The Scandal of Speaking Body, Tr by Chaterine Porter , by the Board of Trustees of the Leland Stanford Junior University, 2002. Lihat halaman 65. 103 Sunardi, 2012: 103. 105 mengungkapkan aib sendiri. Tapi sebagai aktor aku mau nggak mau harus melakukannya, karena pertunjukan ini berbasi s data.” 104 Sebagaimana telah diceritakan di bagian sebelumnya, proses yang ditempuh Tita pertama-tama adalah dengan melakukan observasi, mengumpulkan data, lalu menciptakan teksnaskah. Proses tersebut menciptakan relasi antara Tita dengan narasumbernya tokoh yang ia mainkan. Relasi ini sekaligus menempatkan Tita untuk mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh yang akan ia mainkan. Keberhasilan Tita dalam proses ini adalah ketika ia pada akhirnya memiliki dua bahasa, yakni bahasa yang telah ia miliki sebelumnya dan bahasa yang baru ia kuasai bahasa tokoh. Memainkan dua bahasa tersebut dalam sebuah pertunjukan, Tita harus kenal betul dengan konstruksi tubuhnya dan konstruksi tubuh tokoh yang ia mainkan. Meskipun dua tubuh tersebut sebenarnya berbeda, namun usaha yang paling mungkin untuk dilakukan Tita adalah dengan meniru pergerakan kecenderungan tubuh yang menjadi penanda karakter kecenderungan bahasa—baik lisan atau gerakan tubuh— Tita dan Tokoh yang ia mainkan sangat jauh berbeda. Sehingga permainan teknik yang dikatakan Tita ini mengacu pada cara mengidentifikasi sekaligus memainkan dua penanda karakter identitas yang berbeda. Namun apakah hal ini semata-mata teknik? Awalnya iya sebagai identifikasi, namun pada prosesnya hal ini merupakan proses sadar dan tidak sadar, menurut Tita. Hal tersebut setara dengan uraian Butler terkait tubuh; tubuh sebagai seksualitas dipahami tidak berdasarkan kesadaran melainkan terstruktur melalui fantasi ketaksadaran dalam hasrat tubuh 105 . Ketika Tita membiasakan bahasa tubuhnya yang baru bahasa tokoh yang ia mainkan, hal ini dalam rangka untuk 104 Wawancara dengan Tita pada tanggal 5 Juni 2015 di Padepokan Seni Bagong Kussudihardja 105 Butler afterword dalam Felman, 2002: 118-119. 106 menancapkan bahasa baru tersebut dalam ruang ketaksadaran; menjadi kebiasaan yang menandakan kewajaran luwes ketika nanti bermain di panggung. Dari uraian tersebut, jika penghayatan tokoh dapat dikenali dari keluwesan subjek dalam memainkannya, dan keluwesan tersebut berasal dari ketidaksadaran, hal ini setara dengan konsepsi Lacan yang mengatakan bahwa bahasa subjek merupakan bahasa ketidaksadaran. Ketika subjek memasuki dunia bahasa, awalnya subjek terbata-bata untuk belajar. Namun, setelah subjek menguasai bahasa yang ia pelajari, sekalinya ia menggunakan bahasa tersebut ia tidak perlu memikirkan bagaimana caranya menggunakan bahasa tersebut. Namun bukankah jika demikian maka subjek mengalami represi? Bahasa yang dimainkan Tita di atas panggung tentunya berbeda dengan bahasa di dunia keseharian, sebagaimana telah dibahas dibagian sebelumnya, bahasa Tita merupakan bahasa histeris yang berasal dari penanda yang telah tersedia sebagai objek hasrat yang dielevasi sebagai bahasa baru. Ketika Tita berelasi dengan Objek penciptaannya narasumber yang dijadikan tokoh sekaligus dari relasi tersebut menimbulkan proses identifikasi, maka identifikasi tersebut tidak hanya terjadi pada tingkat penandaan enunciation. Identifikasi tersebut bahkan sampai ke level Tita memiliki symptom yang dimiliki oleh tokoh yang ia mainkan. Kedekatan Tita dengan tokoh yang ia mainkan memunculkan sebuah empati dari yang diketahui oleh Tita terhadap kehidupan tokoh yang ia identifikasi. Empati ini hadir, salah satunya, dalam bentuk rasa tidak nyaman ketika Tita harus mengatakan bahwa tokoh yang ia mainkan mengidap HIV aids; seolah ia tidak rela jika aibnya aib liyan yang ia identifikasi diketahui orang lain. Tetapi justru inilah yang harus dikatakan; sebagai ‘gong’ dari wacana yang dihadirkan di atas panggung. Melalui 107 pertunjukan tersebut, HIV aids tidak dijadikan sebagai aib, melainkan diangkat ke level dialektika melalui sinthome. Sinthome aktor yang terlihat ketika latihan dan di panggung nantinya merujuk tak hanya pada symptom hasil identifikasi dengan tokoh yang ia mainkan namun juga berkenaan dengan symptom aktor sebelum proses identifikasi dengan tokohteks. Hal ini bisa dilihat dari tujuan aktor mementaskan naskah. Aktor tahu bahwa dengan melakukan pentas, dia berkomunikasi dengan penonton; ketika aktor merepresentasikan dirinya di panggung, representasi tersebut mengarah kepada penonton. Dalam situasi ini, yang dilakukan aktor tak lepas da ri rasa ingin diakui; “Siapa aku di dapan penonton? Bagaimana seharusnya aku di dapan penonton? Apa yang diharapkan penonton padaku?” dsb. Sehingga untuk mencapai hal itu, subjek harus tahu kepada siapa ia berbicara; naskah apa yang tepat untuk dikatakan kepada siapa? Naskah sebenarnya sudah menyediakan respon menjadi sumber hasrat atas pertanyaan-pertanyaan tersebut sehingga aktor akan memposisikan dirinya sedemikian rupa melalui proses latihan hingga menuju pentas diatas panggung. Kita akan melihat ini dari pemaparan Gunawan Maryanto ketika ia mementaskan End Game yang notabene adalah naskah absurd yang hanya bisa dinikmati oleh beberapa kalangan saja. “Ketika memainkan End Game, saat itu kami berbicara lagi sebenarnya soal relevansi mementaskan naskah ini. Dulu yang pas pentas ini dipentaskan pertama kalinya juga kami memikirkan relevansinya. Tapi menurutku naskah ini tetap ada relevansinya dengan kehidupan sekarang. Ya kan naskah End Game itu, peristiwanya di dalam bunker atau ruang entahlah kerena tidak terlalu dijelaskan. Sementara di luar bunker itu adalah ruang yang sudah menjadi seperti neraka. Hamm itu orang yang merindukan dunia luar sebelum menjadi neraka, merindukan tatanan yang baik kan. Sementara mereka bertahan dalam bunker entah sampai kapan. Hubungan tentang luar- dan dalam ini tak pikir selalu ada relevansinya hingga konteks sekarang. Apa lagi karakter itu, Hamm dan Clove, sebenarnya kan bisa ditafsirkan sebagai palu dan paku paku payung yang bentuknya menyerupai cengkeh kan. Hamm itu selalu menindas Clove, Clove itu juga menggemaskan; tau 108 kalau ditindas tapi juga tetap melakukan karena ia merasa membutuhkan Hamm, sehingga teks ini juga tentang relasi. Tak pikir sampai sekarangpun relasi seperti Hamm dan Clove masih relevan dengan situasi saat ini.” 106 Penafsiran yang dilakukan Gunawan Maryanto atas naskah tak lepas dari relasinya dalam kehidupan sosial yang ia jalani. Naskah menjadi media baginya untuk melihat kembali dunianya; symptom-nya. Jika Gunawan Maryanto mengatakan bahwa, meskipun absurd dan tidak berasal dari latar belakang budaya yang sama dengan latar belakang budayanya, naskah yang ia mainkan tetap memiliki relevansi dengan kejadian- kejadian dalam ruang sosialnya. Apakah hal ini ada hubungannya dengan penghayatan? Sebagaimana penghayatan merupakan dan berpijak pada identifikasi, penghayatan bisa dilakukan hanya jika aktor telah yakin dengan apa yang akan ia sampaikan berhasil mengidentifikasikan dirinya dengan naskah; berhasil menciptakan pemaknaannya sendiri atas naskah sehingga ia bisa meyakinkan penonton. Identifikasi yang dilakukan oleh Gunawan Maryanto tentu tidak semata-mata dalam rangka untuk menulis kembali bahasa naskah melalui akting, melainkan menyamakan dulu relevansi naskah dalam kehidupannya; sebagaimana subjek bercermin, maka gambaran yang ada di cermin setidaknya mirip dengan gambaran yang dibayangkan oleh subjek. Dengan demikian subjek tahu bahwa gambaran di cermin adalah gambaran dirinya, sebagaimana wacana dalam naskah End Game setara dengan wacana yang dirasakan oleh Gunawan Maryanto. Ketika aktor melatih tubuhnya, di sisi lain, proses tersebut terbaca sebagai usaha dalam rangka untuk melawan kecenderungan sosial yang secara politis, sengaja atau tidak, telah merepresi tubuh sedemikian rupa; tubuh dalam ruang sosial merupakan 106 Wawancara dengan Gunawan Maryanto pada tanggal 5 Juni 2015 di Garasi Institute of Performance, Nitiprayan, Yogyakarta. 109 target dari segala macam bentuk sistem nilai, ideologi, dan produksi 107 . Tubuh itu sendiri sebagaimana menurut Lacan adalah efek bahasa 108 tidak bisa dipahami begitu saja sebagai organ biologis, namun sebagai organ kultural. Drive subjek tidak lagi mengarah pada fungsi biologis, namun mengarah pada kenikmatan yang dialami oleh tubuh dan pengalaman kenikmatan ini selalu dimediasi oleh budaya Other sehingga karakter dasar subjek merupakan dalam hal ini adalah perversif 109 . Dalam situasi sosial seperti inilah, ketika tubuh sepenuhnya dilumpuhkan terepresi oleh sirkulasi budaya, aktor harus mengambil alih kembali tubuhnya meski tetap tidak bisa lepas dari konstruksi budaya. Sebagai contoh, pada bab II telah diceritakan pengalaman Tony Broer dalam bentuk-bentuk ekstrim berusaha melawan batasan-batasan tubuh yang terbentuk secara kultural; Tony Broer berdialog kembali dengan tubuhnya dengan cara mempertanyakan kembali tubuhnya, dan jika mungkin, membebaskan tubuh dari belenggu persepsi lama untuk menemukan persepsi baru. Hal ini merupakan kenikmatan proses di wilayah yang sedikit berbeda dengan proses penciptaan yang berbasis naskah. Dalam proses penciptaan teater tubuh seperti yang dialami oleh Tony Broer, bisa dibilang proses tersebut tidak membutuhkan naskah baku atau bahkan ideal artistik yang telah mapan. Namun tentunya proses ini tetap berpijak pada teks, gagasan, atau wacana-wacana tertentu dalam realitas sosial. Dalam bentuk-bentuk pertunjukan merespon ruang yang dilakukan oleh Tony Broer di luar panggung konvensional, sebagai contoh, pertunjukan tersebut bisa terbaca sebagai respon atas wacana ideal yang dia hadapi; pertunjukan idealnya dilakukan dalam panggung konvensional. Di sisi lain, ketika Tony Broer berpendapat bahwa tubuh itu 107 Lihat Synott 1993 pada bagian introduksi, halaman 1. 108 P. Verhaeghe dalam bukunya yang berjudul Beyond Gender. From Subject to Drive, New York: Other Press, 2001: halaman 79. 109 Kesel, 2009: 14. 110 sendiri merupakan gagasan dengan bentuk pertunjukan tertentu, hal tersebut terbaca sebagai bentuk ketidakpuasan atas ideal yang menempatkan tubuh sebagai media penyampai pesan. Bentuk-bentuk latihan yang dilakukan Tony Broer merupakan bentuk latihan yang sehubungan dengan bentuk pementasan bisa dikatakan tidak seperti umumnya latihan teater. Latihan tersebut mendahulukan proses tubuh untuk berinteraksi dengan ruang. Tujuannya, interaksi antara tubuh dengan ruang akan membentuk suatu konsepsi atau gagasan. Bentuk pertunjukan Tony Broer selalu menghadirkan bentuk-bentuk tubuh yang ganjil, bentuk-bentuk tubuh yang sudah tidak peduli lagi dengan kaidah estetika pertunjukan yang telah baku atau bahkan penonton. Hasilnya, penonton bisa jadi tidak paham atau malah tersiksa dengan melihat pertunjukan tersebut. Dalam hal ini tubuh Tony Broer tidak berposisi sebagai signifier atau penanda yang merujuk pada penanda lain, melainkan trace; penanda mandiri yang bukan merupakan penanda simbolik sehingga penanda ini tidak bisa dipahami sebelum penanda ini ditutupi dengan penanda- penanda dari dunia simbolik. Dengan demikian, jika Tony Broer mengatakan bahwa tubuh adalah gagasan yang pengertiannya berbeda dengan tubuh sebagai media penyampai pesan, maka tubuh adalah gagasan bisa dipahami sebagai trace dan tubuh sebagai media penyampai pesan bisa dipahami sebagai signifier. Sehingga, ketika ia menghadirkan penanda-penanda yang telah ditinggalkan oleh penanda trace tentunya penonton akan sulit untuk mengidentifikasi pertunjukan yang mereka saksikan. Penonton ‘hanya akan’ melihat tubuh yang bergerak tanpa kepastian makna; tubuh yang mengalami penderitaan. 111 Dalam psikoanalisa, baik trace atau sinthome merupakan dua terminologi yang merujuk pada symptom. 110 Yang membuat trace dan sinthome menjadi sedikit berbeda meskipun keduanya tidak merujuk langsung pada symptom, trace merupakan jejak yang berbeda dengan penanda signifier. 111 Bentuk pertunjukan Tony Broer merupakan trace sejauh bentuk-bentuk tubuh yang dihadirkan tidak bisa disetarakan dengan, misalnya untuk memudahkan, pantomim. Dalam tubuh pantomim, tubuh melakukan adegan-adegan seperti misalnya makan namun hanya melakukan gerakan-gerakan makan tanpa makanan sungguhan, atau peralatan makan atau bahkan ruang makan. Namun demikian, gerak tubuh dalam pantomim merupakan penanda yang mudah dibaca karena langsung merujuk pada aktivitas tubuh sehari-hari. Namun demikian, dalam penelitian ini baik trace atau sinthome saya tempatkan sebagai penanda baru yang menandai hadirnya yang terepresi. Melihat bahwa dalam proses yang ditempuh para aktor dalam menjalani latihan tubuh merupakan latihan yang berat dan tak jarang sering menimbulkan rasa sakit, hal ini seolah mustahil jika yang mereka lakukan semata-mata demi menyampaikan sesuatu teks melalui panggung pertunjukan. Mereka mengatakan bahwa proses teater itu berat, sulit, dan penuh tantangan. Akan tetapi, justru latihan-latihan tersebut juga membuat mereka rindu untuk melakukannya. Hal ini menandakan adanya kesenangan ketika mereka melakukan proses latihan. Dalam perspektif Lacan, subjek menyikapi hidupnya atas prisip kenikmatan. Tentu saja setiap subjek memiliki objek penyebab kenikmatan yang berbeda-beda. Ketika tubuh telah mengalami perubahan, misalnya melalui ketrampilan olah tubuh akrobatik seperti salto, kayang, meroda, melenting, dan lain sebagainya, perbahan ini secara otomatis akan mengubah konsepsi subjek atas 110 Evans, 2006: 191 111 Pluth, 2007: 24 112 kediriannya. Perubahan dalam hal ini merujuk pada batasan tubuh yang telah dilebarkan jangkauannya. Keberhasilan dalam melewati batasan tubuh merupakan kesenangan tersendiri; dalam terminologi Lacan, perubahan fisik yang melampaui rasa sakit dan takut pada akhirnya memberikan jouissance 112 pada subjek. Pada fase ini, subjek seolah-oleh terlepas dari belenggu represi konstruksi yang selama ini telah menguasai tubuhnya. Pada hakekatnya, setiap kali aktor berhasil melewati batasan dirinya, terutama yang terkait dengan batasan tubuh sejauh tubuh merupakan material yang sangat krusial bagi subjek sekaligus ego untuk memahami identitas dirinya keberhasilan ini secara langsung akan berdampak pada perubahan konsepsi atas kediriannya. Dengan kata lain, ketika aktor melatih tubuhnya, secara otomatis aktor telah merubah dirinya.

3. Berpijak Pada Sinthome: Panggung Sublimasi

Jalan yang ditempuh aktor dalam proses latihan belum sepenuhnya memberikan kepuasan selama aktor belum menghadirkan dirinya melalui panggung pertunjukan. Di pangggung itulah aktor hadir untuk bermain diantara kenyataan dan ilusi, imajiner- simbolik-Real; identitasnya lebur antara dirinya dengan tokoh yang ia mainkan. Di panggung para aktor bisa berbuat sesuatu segila mungkin tanpa harus menjadi orang gila. 112 Lihat Fink 1997 halaman 8. Fink menerjemahkan Jouissance sebagai pleasure in pain, atau dengan kata lain, nikmat tapi sakit atau sebaliknya. Jouissance ini saya artikan sebagai sesuatu yang dirasakan subjek ketika ia rela melakukan sesuatu demi kenikmatan meskipun harus bersakit-sakit terlebih dahulu sebelum mendapat nikmat kemudian. 113 Pada bagian sebelumnya telah dibahas proses yang ditempuh aktor dalam menciptakan penanda-penanda baru sinthome dengan tubuhnya atas identifikasi yang mereka lakukan melalui naskah menafsirkan symptom. Bagian ini membahas pengalaman aktor ketika mereka menjadi subjek atas tubuhnya melalui peran yang mereka mainkan di atas panggung pertunjukan dengan membaca relasi aktor melalui tubuh, pikiran, dan perasaannya dengan naskah, dengan lawan main, dengan panggung, dan dengan penonton. Menempatkan panggung sebagai ruang sublimasi, aktor menjadi penanda baru yang mengisi kekosongan yang dihadirkan lewat teksnaskah; aktor berhasil menjadi subjek yang tak lagi dikuasai naskah dan ia telah selesai menciptakan maknanya sendiri dan melakukan transversing of fantasy. Dengan kata lain, melalui panggung sublimasi aktor melihat symptom dengan cara lain dengan menghasilkan sinthome. Sehingga di panggung ini aktor mendapatkan kenikmatan yang sifatnya tak lagi parsial, melainkan penuh 113 . Di atas panggung, aktor merupakan subjek sekaligus objek; ia menjadi subjek atas tubuhnya yang bereaksi atas berbagai stimulus yang ada di sana ruang, properti, kostum, cahaya, lawan main, dan penonton dan ia menjadi objek yang dilihat penonton; objek yang dielevasi ke level das Ding. Panggung teater merupakan ruang yang ‘misterius’ sebagaimana ruang itu berbeda dengan ruang lain, bahkan ruang itu semakin menjadi dunia yang lain ketika penonton telah datang. Keberlainan ini setidaknya selalu dirasakan oleh para aktor. Bisa saja mereka berlatih setiap hari di ruang yang kelak akan dijadikan ruang pertunjukan, namun ketika tiba saatnya pentas, 113 Sebagaimana pemahaman ini telah dipergunakan pada bagian sebelumnya, pemahaman ini berpijak pada pada handout perkuliahan yang ditulis oleh St. Sunardi dalam menafsirkan syarat sublimasi yang dikonsepsikan oleh Lacan. 114 dalam ruang yang sama dan berhadapan dengan penonton, ruang tersebut memunculkan ‘keajaibannya’ yang barangkali belum pernah muncul sebelumnya. Dikalangan para aktor, ketika mereka sedang menjalani proses penciptaan biasanya muncul ungkapan, sebagai lelucon yang bisa jadi merupakan harapan, demikian: “Semoga nanti ada keajaiban panggung”. Maksudnya, mereka berharap bahwa nanti mereka bisa pentas dengan maksimal meski latihannya belum maksimal. Maksimal dalam hal ini merujuk pada ‘kegilaan’ atau perilakuekspresi, atau bahkan perasaan-perasaan yang selama ini belum pernah muncul meski telah melewati proses latihan yang panjang. Diam-diam dunia panggung ruang peristiwa teater yang mempertemukan aktor dan penonton menjadi harapan terakhir untuk mengekspresikan lebih tepatnya; memberikan ‘keajaiban’ untuk bisa mengekspresikan hal-hal yang belum pernah dimunculkan dalam latihan. Hal-hal yang belum pernah dimunculkan tersebut setara dengan konsep Lacan mengenai symptom; the return of the repressed 114 kembalinya yang terepresi; meskipun hal ini telah banyak muncul ketika aktor menempuh proses latihan, akan tetapi panggung teater merupakan tumpuan final untuk memunculkan hal-hal yang selama ini telah terepresi. Zizek menafsirkan bahwa ketika symptom adalah sesuatu yang dulu pernah terepresi, hal ini merujuk pada dua hal, yakni masa lalu dan sesuatu yang terepresi 115 . Yang terepresi ini tak lain adalah jouissance. Dalam dunia simbolik, subjek harus ikut aturan main yang berlaku; ada Hukum-Sang-Ayah yang memotong jalur 114 Lihat Slavoj Zizek dalam bukunya yang berjudul The Sublime Object of Ideology, Verso, 2008. Halaman 57. 115 Ibid, hal 58. 115 kenikmatan subjek 116 . Kenikmatan yang belum terpenuhi oleh dunia simbolik inilah yang menjadi symptom. Sayangnya symptom selalu merupakan sesuatu yang telah lampau, sehingga ketikapun ia hadir pada saat ini, maka ia selalu hadir dengan cara yang berbeda dan bisa dikenali melalui sinthome . Mengaitkan hal ini dengan ‘keajaiban panggung’, ketika peristiwa teater menjadi tumpuan terakhir untuk menghadirkan yang terepresi, hal ini mungkin terjadi karena panggung merupakan ruang sublimasi; dalam pertunjukan aktor dielevasi sebagai subjekobjek di atas panggung. Panggung memberikan stimulus dan mempersilahkan subjek untuk mengeluarkan sesuatu yang tidak mungkin dikeluarkan di ruang lain. Di panggung pertunjukan, subjek menghadirkan dirinya sebagai diri yang lain; sinthome. Lalu apakah dengan memunculkan sinthome di atas panggung maka aktor menemukan kenikmatan? Tentunya demikian dan hal ini bisa dilihat dari cerita Nunung yang mengatakan bahwa di panggung pertunjukan, ketika ia pentas, ia menemukan apa yang ia sebut sebagai rasa hidup yang membuatnya selalu ingin berteater lagi. Nunung sempat kebingungan untuk mengatakan apa yang ia maksud sebagai rasa hidup, sebagaimana rasa itu sendiri, menurut Gunawan Maryanto adalah sesuatu yang abstrak; “ada tapi nggak kelihatan,” 117 dan hanya bisa dikenali melalui ekspresi tubuh. Namun sekali lagi, apa itu rasa hidup? Sementara, yang senantiasa terjadi ketika para aktor 116 Lihat konsep The Oedipus Complex and the Meaning of The Phallus, Hommer, 2005: 51. Sederhananya, seseorang tidak bisa terus menerus menjadi anak kecil yang selalu meminta sesuatu pada orang tuanya dan mendapatkan pemenuhan. Ia harus belajar menjadi orang ‘dewasa’ dan mencari pemenuhan atas kebutuhannya sendiri dengan cara menempuh jalur yang telah ada sebagaimana jalur ini juga ditempuh oleh orang- orang yang ‘telah dewasa’. Maka, dengan memasuki dunia simbolik subjek mendapatkan pemenuhan kenikmatan atas kebutuhannya meski tidak sepenuhnya memuaskan. 117 Wawancara dengan Gunawan Maryanto pada tanggal 7 Maret 2015 di Garasi Institute of Performance, Nitiprayan, Yogyakarta. 116 bermain di panggung, mereka mengalami berbagai perasaan yang muncul bersamaan: tegang, senang, cemas, takut, percaya diri, dan lain sebagainya. Perasaan-perasaan tersebut barangkali bisa diwakili dengan istilah jouissance; sakit tapi nikmat. Sebagai salah satu bentuk atau efek yang dialami tubuh ketika berdiri diatas panggung boleh disebut sebagai efek ‘keajaiban panggung’ adalah hadirnya ketidakmungkinan; tubuh hadir melampaui batas-batasnya. Sebagai contoh, Mbah Tohir bercerita demikian: “Malam itu saya jalan kaki dan jatuh diselokan. Nggak kelihatan waktu itu. Kaki saya kena cor-coran got. Bengkak. Saya nggak bisa jalan. Itu pas di semarang, habis baca geguritan, saya dipanggil panitia, terus jatuh. Yang paling berkesan bagi saya karena waktu itu bisa menjadi salah satu pembuktian pengalaman. Kalau sekedar masuk angin, asam urat, itu sudah biasa saya atasi. Tapi kalau jatuh saya nggak bisa gerak. Waktu itu yang saya pikirkan adalah pentas saya: bagaimana pentas saya nanti? Akhirnya saya ditolong oleh kawan-kawan teater di semarang, pijet refleksi, bisa jalan tapi harus pake krek. Nah pentas di Tegal Pekalongan itu saya pake krek. Nah itu yang paling menarik bagi saya. Ujian keaktoran saya ya di situ. Pas pentas, awalnya saya masih pake krek, untuk baca puisi, kidung jula-juli. Lalu pas saya main, akhirnya krek saya taruh, dan saya bisa jalan. Nah kan si peran yang saya mainkan tidak sakit. Saya jadi itu dengan kesadaran tokoh, saya bisa jalan dan tidak merasa sakit. Tapi ada juga kekawatiran, makanya saya jaga-jaga, krek saya bawa masuk buat jadi properti sekalian. Nah itu siasat aktor. Sekalian saya menjadikan peristiwa jatuh itu bagian dari cerita.” 118 Istilah yang diberikan Mbah Tohir adalah ketika ia berada di panggung, dia menjadi dirinya dengan kesadaran tokoh objek penciptaan. Tentu kesadaran ini merujuk pada konsep tokoh yang diciptakan oleh Mbah Tohir, yakni Mat Kasir yang masih muda dan tidak sakit. Dan yang terjadi kemudian ketika dia menjadi subjek atas tubuhnya di atas pentas, dia tidak mengalami tidak peduli dengan rasa sakit seperti yang dia derita ketika tidak sedang pentas. Pegalaman tubuh yang dialami semacam ini 118 Wawancara dengan Mbah Tohir pada tanggal 5 Maret 2015 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta.