Berpijak Pada Tubuh: Dari Subjek Hasrat Sampai Subjek Dorongan
99 proses penciptaan seperti ini salah satu tujuan pentingnya adalah aktor berhasil
memerankan tokoh yang dituliskan dalam naskah. Karakter aktor berbeda dengan karakter tokoh yang dimainkan, dengan demikian
aktor harus melahirkan tubuhnya kembali dengan serangkaian proses yang panjang. Aktor biasanya mencari model dalam dunia sehari-hari untuk ditirukan. Hal ini karena
aktor tak lagi menjadi subjek bahasa, dan bukan pula subjek atas bentuk-bentuk artistik akting yang telah mapan, melainkan sebagai subjek yang terdorong untuk mencari
bentuk-bentuk baru. Sebagai contoh, setelah Pak Untung melewati proses bedah naskah, menganalisa karakter, menghafalkan naskah, maka langkah selanjutnya adalah mencari
model yang mirip seperti yang ia bayangkan atas sosok tokoh di dalam naskah: “Caranya ya macem-macem, kita bisa pergi ke pasar, melihat-lihat orang. Kalau bisa
mendekatinya, mendengarkan caranya bicara, melihat gayanya.”
100
Dalam hal ini, Pak Untung adalah subjek yang berkeliaran untuk mencari bentuk. Setelah mencari model,
lantas tahap selanjutnya adalah menirukan model tersebut. Benarkah dalam hal ini aktor benar-benar melakukan peniruan? Peniruan yang bagaimana? Tubuh aktor, dalam
banyak hal misalnya; ukuran, berat badan, tinggi, usia, warna kulit, kapasitas, fleksibilitas, dsb. jelas berbeda dengan tubuh model yang dirujuk sebagai tokoh.
Peniruan dalam keaktoran, atau isilah umumnya adalah imitasi, pada praktiknya tidak sepenuhnya imitasi. Selalu ada penyesuaian sehingga hal ini lebih mirip dengan proses
negosiasi yang memungkinkan untuk memunculkan bahasa baru. Negosiasi dengan siapa? Dengan bahasa naskah, dengan tubuh model, dan dengan tubuh aktor sendiri.
100
Wawancara dengan Untung Basuki pada tanggal 8 Maret 2015.
100 Dalam berhubungan dengan naskah, proses negosiasi ini justru merupakan jalan
agar aktor tidak menjadi subjek naskah subjek bahasa namun menjadi subjek hasrat yang bergerak mencari objeknya. Negosiasi ini juga merupakan jalan bagi aktor untuk
menembus ketidakmungkinan yang dihadirkan oleh naskah. Ketidakmungkinan dalam hal apa? Salah satunya adalah relasi. Memakai pengalaman Pak Untung sebagai contoh,
ketika ia mementaskan naskah Oedipus Sang Raja versi terjemahan Rendra atas versi klasik yang berjudul Oedipus Rex maka tidak mungkin jika ia mencari realitas rujukan
berdasarkan peristiwa fiksi yang dirujuk oleh naskah itu barangkali dekat dengan kehidupan Yunani kuno pada waktu lebih dari 2000 tahun yang lalu: ketika Sophocles
menghadapi dunianya. Kemungkinan terdekat yang bisa ditempuh oleh Pak Untung adalah dengan membawa naskah tersebut ke dunianya; mencari padanan konteks yang
tepat tentang apa, kepada siapa, dan bagaimana naskah tersebut diartikulasikan. Ketika Pak Untung menuliskan ulang naskah tersebut melalui tubuh, bentuk-
bentuk eksplorasi yang ditempuh misalnya adalah melisankan teks, menghafalkan teks, menggerakkan tubuh dan perangkat wicara seiring dengan kata-kata yang dilisankan,
menghadirkan ekspresi seiring dengan emosi yang menyertainya, berteriak-teriak menghafalkan dialog sambil berjalan di tengah alun-alun, menulis dialog di lembaran-
lembaran kertas, dan lain sebagainya. Jikalau perlu, dia mencari model sebagai refrensi di dunia simbolik; notabene WS. Rendra adalah Oedipus Sang Raja pertama versi Jawa.
Proses yang telah dipaparkan tersebut bisa dinamai sebagai proses aktor mencari dan menyusun bahasa. Namun dalam hal ini, bukankah aktor justru tampak terepresi
oleh proses yang ia tempuh ketika memasuki bahasa Liyan? Proses yang ditempuh aktor merupakan proses negosiasi; ia menjadi subjek yang bermain-main dengan penanda-
penanda yang telah tersedia di tatanan simbolik untuk mengelevasi objek hasrat pada
101 ruang sublimasi panggung teater. Dengan demikian, aktor tidak mengalami represi,
sebaliknya dia mengalami pengalaman sublim. Setidaknya hal tersebut bisa dilihat dengan cara demikian: mengambil contoh
pengalaman Pak Untung, ketika ia menempuh proses dalam menciptakan peran Oedipus bisa dibilang bahwa ia sama sekali tidak memiliki rujukan tokoh dalam realitas sosial
saat itu. Oedipus merupakan tokoh fiktif sehingga gambaran yang muncul dalam benak Pak Untung terkait tokoh ini merupakan gambaran imajiner imajinasi yang hadir
melalui fantasi tentunya gambaran dalam dunia fantasi ini selalu didukung oleh penanda-penanda dari masa lalu yang telah menubuh dan meninggalkan jejak
ketaksadaran dalam tubuh. Sehingga, pola-pola gerakan tubuh dan pola-pola pengucapan yang digunakan untuk mengartikulasikan bahasa dalam naskah lokus
enunciation merupakan symptom yang dihadirkan kembali; penanda-penanda yang dihadirkan dari dunia simbolik melalui fantasi. Dalam hal ini, Pak Untung berhasil
memaknai teks dan berhasil melakukan transversing of fantasy. Hal ini menjadi tantangan yang sulit ketika jarak karakter tokoh yang dimainkan
sangat berbeda jauh dengan karakter aktor. Sebagai contoh, peran yang dimainkan Nunung dalam Tempat Istirahat adalah tokoh nenek-nenek yang telah di ambang usia,
nenek-nenek yang berbicara dengan suara berat, serak, lambat, dengan postur tubuh yang agak membungkuk dan serba lambat dalam melakukan sesuatu. Sementara,
Nunung sendiri adalah perempuan yang berumur jauh lebih muda, berbadan sehat, kuat, lincah, dan cenderung melakukan sesuatu atau berbicara dengan tempo cepat. Mau tidak
mau Nunung harus mengkonstruksi ulang tubuhnya; gestur, tempo, cara bicara, dsb. Hal yang ditempuh Nunung ini berkebalikan dengan yang dialami Mbah Tohir, sebagai
contoh, dalam bab II Mbah Tohir bercerita bahwa di panggung, ia tidak boleh sakit
102 seperti diluar panggung. Meskipun ia tidak bisa berjalan kaki karena baru saja
mengalami kecelakaan, namun tokoh yang ia pentaskan adalah tokoh yang sehat, tokoh yang tidak pincang, sehingga ia harus berlaku layaknya orang sehat dengan meniadakan
rasa sakitnya. Melihat sekilas proses yang ditempuh oleh Nunung dalam menciptakan karakter
seorang nenek, sumber yang dijadikan acuan oleh Nunung adalah dokumentasi pertunjukan Teater Garasi sekaligus proses tersebut merupakan proses re-enactment;
aktor meniru semirip mungkin dokumentasi vidio pertunjukan Teater Garasi untuk dipentaskan dalam acara ulang tahun Teater Garasi yang ke 20. Dalam hal ini, vidio
pertunjukan setara fungsinya dengan naskah. Melihat vidio dan memperagakan perilaku tokoh dalam vidio tersebut sekaligus membuat Nunung membaca vidio tersebut dengan
menggunakan tubuhnya; Nunung berdialog dengan tubuhnya yang bergerak, berbicara, sekaligus merasakan efeknya. Apakah proses tersebut selesai dengan hanya melihat dan
menirukan vidio? Ternyata tidak; Nunung mencoba menempuh proses yang mendekati proses yang pernah dilakukan oleh pemain sebelumnya, yakni berkunjung ke kuburan,
latihan. Lantas bagaimana hasil pementasannya? Tidak mirip seperti yang dihadirkan di vidio. Nunung menciptakan bahasanya sendiri setelah membaca menulis ulang vidio
yang ia saksikan. Pengalaman tubuh aktor seperti yang telah diuraikan tersebut merupakan
pangalaman histerisasi tubuh yang positif sejauh tubuh tersebut menjadi objek pengganti objek yang dielevasi atas objek hasrat tubuh model mula-mula. Sehingga,
dalam hal ini tubuh yang awalnya adalah kendaraan hasrat drive
101
mengalami
101
Kesel, 2009: 169. Kesel menjelaskan bahwa kata drive merujuk pada sirkulasi energi yang tidak pernah berhenti. Pengertian ini sekaligus saya tafsirkan sebagai energi yang berada
dalam tubuh. Sehingga, tubuh dalam konteks tulisan ini selalu berkenaan dengan drive.
103 perubahan menjadi objek hasrat yang diperlakukan sedemikian rupa melalui proses
latihan dan diperlakukan sebagai objek yang dielevasi ke atas panggung. Tubuh adalah subjek sekaligus objek dalam momen yang sama.
Demikianlah aktor harus rela mengorbankan tubuhnya demi tokoh yang ia mainkan. Pada latihan-latihan tubuh, subjek bisa saja latihan silat, menari, berlari, dan
lain sebagainya; seolah-olah subjek adalah penari, seolah-olah subjek adalah atlet. Akan tetapi poinnya, latihan-latihan tubuh yang dilakukan subjek bukan bertujuan untuk
menciptakan tubuh yang sexy, tubuh yang cantik, tubuh yang kekar, bukan pula untuk menjadi juara beladiri, akan tetapi untuk memperlebar jangkauan tubuh;
mengkonstruksi ulang tubuhnya. Mengaitkan bentuk-bentuk latihan seperti yang telah dipaparkan tersebut dengan
proses awal aktor berinteraksi dengan teks; diandaikan teks mempengaruhi ego aktor dan hasrat aktor dibangkitkan. Peristiwa tersebut menggerakkan aktor untuk menempuh
latihan. Namun kemudian, efek latihan pada tubuh tentunya memberikan pengaruh lain pada aktor dan hal ini juga mempengaruhi cara aktor mengidentifikasikan diri dengan
naskah. Sehingga, proses interaksi dengan naskah dalam hal ini merupakan proses yang dinamis; selalu ada perubahan sebagaimana aktor seperti halnya sifat penanda tidak
pernah menemukan makna tunggal; selalu tergelincirmenggelincirkan diri dalam proses signifikasi melalui proses identifikasi.
Hal ini tampak jelas pada jenis latihan ensamble; ketika aktor melisankan dialognya dengan lawan main. Permainan aktor, misalnya dalam tataran pengucapan
dialog, sangat ditentukan oleh aksi reaksi lawan main dan sebaliknya bukan lagi naskah. Bagi Lacan, tubuh merupakan bahasa efek bahasa atau “speech arising as
104 such
102
”. Dengan kata lain, tubuh bereaksi atas bahasa liyan tubuh Liyan ketika berada dalam sirkuit bahasa peristiwa naratif. Sehingga dalam pertunjukan, atau dalam proses
latihan, makna teks tidak lagi ditentukan oleh naskah, melainkan oleh tubuh; aktor menjadi subjek atas tubuhnya, bibirnya, lidahnya, dan emosinya yang bergerak dengan
dinamika-dinamika tertentu. Kiranya proses-proses semacam inilah yang menjadi estetika kenikmatan tekstual; pengalaman tubuh yang menghasilkan kenikmatan
teks
103
. Terkait dengan identifikasi aktor terhadap peran yang sedang ia ciptakan; dialog
aktor dengan tubuhnya dan tubuh tokoh yang ia jadikan model, juga dialami oleh Tita. Dalam proses Sangkar Madu Tita memerankan dua karakter, yakni dirinya dan tokoh
yang dimainkan. Dalam proses identifikasi tersebut, Tita bermain-main dengan teknik untuk menciptakan penanda-penanda tubuh;
“Jadi di pentas itu aku mainin dua karakter, sebagai aku yang menceritakan dia, juga sebagai dia yang bercerita sendiri. Nah asiknya itu, ketika bermain
dua karakter, itu aku bener-bener memakai teknik, jadi nggak semata-mata merasa berubah gitu nggak, tapi itu teknik keaktoran. Jadi untuk
membedakannya, itu Mbak Yanti kan biasanya rambutnya terurai, kemudian kalau jadi aku ya rambutku tak iket, biar jadi penanda yang beda. Terus juga
gaya bicara itu bisa membedakan. Jadi itu secara sadar sampai nggak sadar, aku malah ngamatin diriku sendiri dan juga dia untuk urusan produksi
aktingnya. Aku pun ketika memerankan diriku sendiri di panggung harus akting kan, nggak bisa juga aku menjadi aku yang seperti biasanya. Nah di
proses itu kadang-kadang sampai sempat terbawa, misalnya ada teman yang bilang, “Kok kamu seperti Mbak Yanti sih”. Bahkan kadang juga terbawa
perasaan. Itu muncul di ending, ada adegan yang sebenarnya aku nggak nyaman ketika harus menjadi aku yang mengungkapkan bahwa TKI itu
kena HIV aids. Aku nggak tega mengatakannya, ya seperti kayak
102
Meminjam kutipan Felman dalam The Scandal of Speaking Body, Tr by Chaterine Porter , by the Board of Trustees of the Leland Stanford Junior University, 2002. Lihat halaman
65.
103
Sunardi, 2012: 103.
105 mengungkapkan aib sendiri. Tapi sebagai aktor aku mau nggak mau harus
melakukannya, karena pertunjukan ini berbasi s data.”
104
Sebagaimana telah diceritakan di bagian sebelumnya, proses yang ditempuh Tita pertama-tama adalah dengan melakukan observasi, mengumpulkan data, lalu
menciptakan teksnaskah. Proses tersebut menciptakan relasi antara Tita dengan narasumbernya tokoh yang ia mainkan. Relasi ini sekaligus menempatkan Tita untuk
mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh yang akan ia mainkan. Keberhasilan Tita dalam proses ini adalah ketika ia pada akhirnya memiliki dua bahasa, yakni bahasa yang
telah ia miliki sebelumnya dan bahasa yang baru ia kuasai bahasa tokoh. Memainkan dua bahasa tersebut dalam sebuah pertunjukan, Tita harus kenal betul
dengan konstruksi tubuhnya dan konstruksi tubuh tokoh yang ia mainkan. Meskipun dua tubuh tersebut sebenarnya berbeda, namun usaha yang paling mungkin untuk
dilakukan Tita adalah dengan meniru pergerakan kecenderungan tubuh yang menjadi penanda karakter kecenderungan bahasa—baik lisan atau gerakan tubuh— Tita dan
Tokoh yang ia mainkan sangat jauh berbeda. Sehingga permainan teknik yang dikatakan Tita ini mengacu pada cara mengidentifikasi sekaligus memainkan dua
penanda karakter identitas yang berbeda. Namun apakah hal ini semata-mata teknik? Awalnya iya sebagai identifikasi, namun pada prosesnya hal ini merupakan proses sadar
dan tidak sadar, menurut Tita. Hal tersebut setara dengan uraian Butler terkait tubuh; tubuh sebagai seksualitas dipahami tidak berdasarkan kesadaran melainkan terstruktur
melalui fantasi ketaksadaran dalam hasrat tubuh
105
. Ketika Tita membiasakan bahasa tubuhnya yang baru bahasa tokoh yang ia mainkan, hal ini dalam rangka untuk
104
Wawancara dengan Tita pada tanggal 5 Juni 2015 di Padepokan Seni Bagong Kussudihardja
105
Butler afterword dalam Felman, 2002: 118-119.
106 menancapkan bahasa baru tersebut dalam ruang ketaksadaran; menjadi kebiasaan yang
menandakan kewajaran luwes ketika nanti bermain di panggung. Dari uraian tersebut, jika penghayatan tokoh dapat dikenali dari keluwesan subjek
dalam memainkannya, dan keluwesan tersebut berasal dari ketidaksadaran, hal ini setara dengan konsepsi Lacan yang mengatakan bahwa bahasa subjek merupakan bahasa
ketidaksadaran. Ketika subjek memasuki dunia bahasa, awalnya subjek terbata-bata untuk belajar. Namun, setelah subjek menguasai bahasa yang ia pelajari, sekalinya ia
menggunakan bahasa tersebut ia tidak perlu memikirkan bagaimana caranya menggunakan bahasa tersebut. Namun bukankah jika demikian maka subjek mengalami
represi? Bahasa yang dimainkan Tita di atas panggung tentunya berbeda dengan bahasa di dunia keseharian, sebagaimana telah dibahas dibagian sebelumnya, bahasa Tita
merupakan bahasa histeris yang berasal dari penanda yang telah tersedia sebagai objek hasrat yang dielevasi sebagai bahasa baru.
Ketika Tita berelasi dengan Objek penciptaannya narasumber yang dijadikan tokoh sekaligus dari relasi tersebut menimbulkan proses identifikasi, maka identifikasi
tersebut tidak hanya terjadi pada tingkat penandaan enunciation. Identifikasi tersebut bahkan sampai ke level Tita memiliki symptom yang dimiliki oleh tokoh yang ia
mainkan. Kedekatan Tita dengan tokoh yang ia mainkan memunculkan sebuah empati dari yang diketahui oleh Tita terhadap kehidupan tokoh yang ia identifikasi. Empati ini
hadir, salah satunya, dalam bentuk rasa tidak nyaman ketika Tita harus mengatakan bahwa tokoh yang ia mainkan mengidap HIV aids; seolah ia tidak rela jika aibnya aib
liyan yang ia identifikasi diketahui orang lain. Tetapi justru inilah yang harus dikatakan; sebagai ‘gong’ dari wacana yang dihadirkan di atas panggung. Melalui
107 pertunjukan tersebut, HIV aids tidak dijadikan sebagai aib, melainkan diangkat ke level
dialektika melalui sinthome. Sinthome aktor yang terlihat ketika latihan dan di panggung nantinya merujuk
tak hanya pada symptom hasil identifikasi dengan tokoh yang ia mainkan namun juga berkenaan dengan symptom aktor sebelum proses identifikasi dengan tokohteks. Hal ini
bisa dilihat dari tujuan aktor mementaskan naskah. Aktor tahu bahwa dengan melakukan pentas, dia berkomunikasi dengan penonton; ketika aktor merepresentasikan
dirinya di panggung, representasi tersebut mengarah kepada penonton. Dalam situasi ini, yang dilakukan aktor tak lepas da
ri rasa ingin diakui; “Siapa aku di dapan penonton? Bagaimana seharusnya aku di dapan penonton? Apa yang diharapkan
penonton padaku?” dsb. Sehingga untuk mencapai hal itu, subjek harus tahu kepada siapa ia berbicara; naskah apa yang tepat untuk dikatakan kepada siapa?
Naskah sebenarnya sudah menyediakan respon menjadi sumber hasrat atas pertanyaan-pertanyaan tersebut sehingga aktor akan memposisikan dirinya sedemikian
rupa melalui proses latihan hingga menuju pentas diatas panggung. Kita akan melihat ini dari pemaparan Gunawan Maryanto ketika ia mementaskan End Game yang
notabene adalah naskah absurd yang hanya bisa dinikmati oleh beberapa kalangan saja. “Ketika memainkan End Game, saat itu kami berbicara lagi sebenarnya soal
relevansi mementaskan naskah ini. Dulu yang pas pentas ini dipentaskan pertama kalinya juga kami memikirkan relevansinya. Tapi menurutku
naskah ini tetap ada relevansinya dengan kehidupan sekarang. Ya kan naskah End Game itu, peristiwanya di dalam bunker atau ruang entahlah
kerena tidak terlalu dijelaskan. Sementara di luar bunker itu adalah ruang yang sudah menjadi seperti neraka. Hamm itu orang yang merindukan dunia
luar sebelum menjadi neraka, merindukan tatanan yang baik kan. Sementara mereka bertahan dalam bunker entah sampai kapan. Hubungan tentang luar-
dan dalam ini tak pikir selalu ada relevansinya hingga konteks sekarang. Apa lagi karakter itu, Hamm dan Clove, sebenarnya kan bisa ditafsirkan
sebagai palu dan paku paku payung yang bentuknya menyerupai cengkeh kan. Hamm itu selalu menindas Clove, Clove itu juga menggemaskan; tau
108 kalau ditindas tapi juga tetap melakukan karena ia merasa membutuhkan
Hamm, sehingga teks ini juga tentang relasi. Tak pikir sampai sekarangpun relasi seperti Hamm dan Clove masih relevan dengan situasi
saat ini.”
106
Penafsiran yang dilakukan Gunawan Maryanto atas naskah tak lepas dari relasinya dalam kehidupan sosial yang ia jalani. Naskah menjadi media baginya untuk
melihat kembali dunianya; symptom-nya. Jika Gunawan Maryanto mengatakan bahwa, meskipun absurd dan tidak berasal dari latar belakang budaya yang sama dengan latar
belakang budayanya, naskah yang ia mainkan tetap memiliki relevansi dengan kejadian- kejadian dalam ruang sosialnya.
Apakah hal ini ada hubungannya dengan penghayatan? Sebagaimana penghayatan merupakan dan berpijak pada identifikasi, penghayatan bisa dilakukan hanya jika aktor
telah yakin dengan apa yang akan ia sampaikan berhasil mengidentifikasikan dirinya dengan naskah; berhasil menciptakan pemaknaannya sendiri atas naskah sehingga ia
bisa meyakinkan penonton. Identifikasi yang dilakukan oleh Gunawan Maryanto tentu tidak semata-mata dalam rangka untuk menulis kembali bahasa naskah melalui akting,
melainkan menyamakan dulu relevansi naskah dalam kehidupannya; sebagaimana subjek bercermin, maka gambaran yang ada di cermin setidaknya mirip dengan
gambaran yang dibayangkan oleh subjek. Dengan demikian subjek tahu bahwa gambaran di cermin adalah gambaran dirinya, sebagaimana wacana dalam naskah End
Game setara dengan wacana yang dirasakan oleh Gunawan Maryanto. Ketika aktor melatih tubuhnya, di sisi lain, proses tersebut terbaca sebagai usaha
dalam rangka untuk melawan kecenderungan sosial yang secara politis, sengaja atau tidak, telah merepresi tubuh sedemikian rupa; tubuh dalam ruang sosial merupakan
106
Wawancara dengan Gunawan Maryanto pada tanggal 5 Juni 2015 di Garasi Institute of Performance, Nitiprayan, Yogyakarta.
109 target dari segala macam bentuk sistem nilai, ideologi, dan produksi
107
. Tubuh itu sendiri sebagaimana menurut Lacan adalah efek bahasa
108
tidak bisa dipahami begitu saja sebagai organ biologis, namun sebagai organ kultural. Drive subjek tidak lagi
mengarah pada fungsi biologis, namun mengarah pada kenikmatan yang dialami oleh tubuh dan pengalaman kenikmatan ini selalu dimediasi oleh budaya Other sehingga
karakter dasar subjek merupakan dalam hal ini adalah perversif
109
. Dalam situasi sosial seperti inilah, ketika tubuh sepenuhnya dilumpuhkan terepresi oleh sirkulasi budaya,
aktor harus mengambil alih kembali tubuhnya meski tetap tidak bisa lepas dari konstruksi budaya. Sebagai contoh, pada bab II telah diceritakan pengalaman Tony
Broer dalam bentuk-bentuk ekstrim berusaha melawan batasan-batasan tubuh yang terbentuk secara kultural; Tony Broer berdialog kembali dengan tubuhnya dengan cara
mempertanyakan kembali tubuhnya, dan jika mungkin, membebaskan tubuh dari belenggu persepsi lama untuk menemukan persepsi baru.
Hal ini merupakan kenikmatan proses di wilayah yang sedikit berbeda dengan proses penciptaan yang berbasis naskah. Dalam proses penciptaan teater tubuh seperti
yang dialami oleh Tony Broer, bisa dibilang proses tersebut tidak membutuhkan naskah baku atau bahkan ideal artistik yang telah mapan. Namun tentunya proses ini tetap
berpijak pada teks, gagasan, atau wacana-wacana tertentu dalam realitas sosial. Dalam bentuk-bentuk pertunjukan merespon ruang yang dilakukan oleh Tony Broer di luar
panggung konvensional, sebagai contoh, pertunjukan tersebut bisa terbaca sebagai respon atas wacana ideal yang dia hadapi; pertunjukan idealnya dilakukan dalam
panggung konvensional. Di sisi lain, ketika Tony Broer berpendapat bahwa tubuh itu
107
Lihat Synott 1993 pada bagian introduksi, halaman 1.
108
P. Verhaeghe dalam bukunya yang berjudul Beyond Gender. From Subject to Drive, New York: Other Press, 2001: halaman 79.
109
Kesel, 2009: 14.
110 sendiri merupakan gagasan dengan bentuk pertunjukan tertentu, hal tersebut terbaca
sebagai bentuk ketidakpuasan atas ideal yang menempatkan tubuh sebagai media penyampai pesan.
Bentuk-bentuk latihan yang dilakukan Tony Broer merupakan bentuk latihan yang sehubungan dengan bentuk pementasan bisa dikatakan tidak seperti umumnya latihan
teater. Latihan tersebut mendahulukan proses tubuh untuk berinteraksi dengan ruang. Tujuannya, interaksi antara tubuh dengan ruang akan membentuk suatu konsepsi atau
gagasan. Bentuk pertunjukan Tony Broer selalu menghadirkan bentuk-bentuk tubuh yang ganjil, bentuk-bentuk tubuh yang sudah tidak peduli lagi dengan kaidah estetika
pertunjukan yang telah baku atau bahkan penonton. Hasilnya, penonton bisa jadi tidak paham atau malah tersiksa dengan melihat pertunjukan tersebut. Dalam hal ini tubuh
Tony Broer tidak berposisi sebagai signifier atau penanda yang merujuk pada penanda lain, melainkan trace; penanda mandiri yang bukan merupakan penanda simbolik
sehingga penanda ini tidak bisa dipahami sebelum penanda ini ditutupi dengan penanda- penanda dari dunia simbolik. Dengan demikian, jika Tony Broer mengatakan bahwa
tubuh adalah gagasan yang pengertiannya berbeda dengan tubuh sebagai media penyampai pesan, maka tubuh adalah gagasan bisa dipahami sebagai trace dan tubuh
sebagai media penyampai pesan bisa dipahami sebagai signifier. Sehingga, ketika ia menghadirkan penanda-penanda yang telah ditinggalkan oleh penanda trace tentunya
penonton akan sulit untuk mengidentifikasi pertunjukan yang mereka saksikan. Penonton ‘hanya akan’ melihat tubuh yang bergerak tanpa kepastian makna; tubuh yang
mengalami penderitaan.
111 Dalam psikoanalisa, baik trace atau sinthome merupakan dua terminologi yang
merujuk pada symptom.
110
Yang membuat trace dan sinthome menjadi sedikit berbeda meskipun keduanya tidak merujuk langsung pada symptom, trace merupakan jejak
yang berbeda dengan penanda signifier.
111
Bentuk pertunjukan Tony Broer merupakan trace sejauh bentuk-bentuk tubuh yang dihadirkan tidak bisa disetarakan dengan,
misalnya untuk memudahkan, pantomim. Dalam tubuh pantomim, tubuh melakukan adegan-adegan seperti misalnya makan namun hanya melakukan gerakan-gerakan
makan tanpa makanan sungguhan, atau peralatan makan atau bahkan ruang makan. Namun demikian, gerak tubuh dalam pantomim merupakan penanda yang mudah
dibaca karena langsung merujuk pada aktivitas tubuh sehari-hari. Namun demikian, dalam penelitian ini baik trace atau sinthome saya tempatkan sebagai penanda baru
yang menandai hadirnya yang terepresi. Melihat bahwa dalam proses yang ditempuh para aktor dalam menjalani latihan
tubuh merupakan latihan yang berat dan tak jarang sering menimbulkan rasa sakit, hal ini seolah mustahil jika yang mereka lakukan semata-mata demi menyampaikan sesuatu
teks melalui panggung pertunjukan. Mereka mengatakan bahwa proses teater itu berat, sulit, dan penuh tantangan. Akan tetapi, justru latihan-latihan tersebut juga membuat
mereka rindu untuk melakukannya. Hal ini menandakan adanya kesenangan ketika mereka melakukan proses latihan. Dalam perspektif Lacan, subjek menyikapi hidupnya
atas prisip kenikmatan. Tentu saja setiap subjek memiliki objek penyebab kenikmatan yang berbeda-beda. Ketika tubuh telah mengalami perubahan, misalnya melalui
ketrampilan olah tubuh akrobatik seperti salto, kayang, meroda, melenting, dan lain sebagainya, perbahan ini secara otomatis akan mengubah konsepsi subjek atas
110
Evans, 2006: 191
111
Pluth, 2007: 24
112 kediriannya. Perubahan dalam hal ini merujuk pada batasan tubuh yang telah dilebarkan
jangkauannya. Keberhasilan dalam melewati batasan tubuh merupakan kesenangan tersendiri; dalam terminologi Lacan, perubahan fisik yang melampaui rasa sakit dan
takut pada akhirnya memberikan jouissance
112
pada subjek. Pada fase ini, subjek seolah-oleh terlepas dari belenggu represi konstruksi yang selama ini telah menguasai
tubuhnya. Pada hakekatnya, setiap kali aktor berhasil melewati batasan dirinya, terutama
yang terkait dengan batasan tubuh sejauh tubuh merupakan material yang sangat krusial bagi subjek sekaligus ego untuk memahami identitas dirinya keberhasilan ini
secara langsung akan berdampak pada perubahan konsepsi atas kediriannya. Dengan kata lain, ketika aktor melatih tubuhnya, secara otomatis aktor telah merubah dirinya.