Teatrikalisasi kehidupan: studi tentang pengalaman 7 aktor teater Yogyakarta dalam mencipta sinthome di dunia panggung dan keseharian.

(1)

ABSTRAK

Aktor merupakan jantung dari pertunjukan teater. Tak jarang para aktor teater melakukan serangkaian proses yang berat dan panjang hanya untuk mementaskan pertunjukan yang berdurasi kurang dari dua jam. Biasanya mereka juga mengorbankan banyak hal untuk proses yang sedang di tempuh. Jika dinilai dengan uang yang mereka dapatkan sebagai honor pentas, jelas penghasilan tersebut tidak setimpal. Bahkan, mereka kadang-kadang tidak mendapat uang atau justru malah nombok. Namun demikian, mereka tetap berteater.

Fenomena tersebut mendorong saya untuk melakukan penelitian ini. Seiring dengan proses penarasian data dan analisis, ditemukan bahwa ada tiga hal mendasar yang membuat para aktor tetap berteater, yakni kesenangan, pengetahuan, dan keyakinan. Tentunya ketiga hal ini merupakan modal bagi mereka untuk terus survive baik dalam berteater atau menjalani kehidupan sehari-hari.

Secara keseluruhan, fenomena tersebut dianalisa dengan menggunakan perspektif psikoanalisa Lacanian. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, ditemukan bahwa hasrat para aktor (selain bahwa pada dasarnya ingin hadir di depan penonton/liyan) muncul atas pengalaman mereka berhadapan dengan das Ding/kekosongan dibalik teks atau wacana-wacana yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari (kekosongan dibalik material penandaan di dunia simbolik). Hasrat ini sekaligus menjadi dorongan bagi mereka untuk menempuh proses penciptaan yang berawal dari identifikasi (memaknai symptom) hingga proses penciptaan penanda-penanda baru (sinthome). Pengalaman yang ditempuh aktor dalam proses penciptaan hingga pementasan merupakan pengalaman sublimasi.


(2)

ABSTRACT

Actors are the heart of the theatre performance. They do hard and long process and sometimes they sacrifice a lot of things to create less than two hours performance theatre in common. Comparing to the amount of money they got as fee, clearly that income is unequal and even they sometimes do not get any money. On the other hand, they used their own money quite often for the performance needs instead of obtaining money. However, they still again and again create theatre performance.

This phenomenon forces me to do this research. In accordance to the process of narating the data and analysis, I find out three fundamental things that keep actors continually in theatre process, those are pleasure, knowledge, and faith. Certainly, those things are their capital to survive in both theatre or everyday life.

Over all, those phenomenon are analyzed by using Lacanian psychoanalysis. Based

from the analysis, it is found that the actors’ desire (besides the fact that their basic

desire is to present in front of audiences/other) stemp from their experiences seeing das Ding/the void of texts or discourses they face in everyday life (the void behind the material signification of the simbolic world). This desire becomes drive for them to go through the process which is began from identification (understanding their symptom) to the creating process of new signifiers (sinthome). The actors’ process creating the

performance theatre is sublimation experience.


(3)

TEATRIKALISASI KEHIDUPAN:

STUDI TENTANG PENGALAMAN 7 AKTOR TEATER

YOGYAKARTA DALAM MENCIPTA SINTHOME

DI DUNIA PANGGUNG DAN KESEHARIAN

Tesis

Untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Magister Humaniora (M. Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma

Oleh:

Doni Agung Setiawan 116322010

Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

2015


(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

KATA PENGANTAR

Jalan keaktoran yang telah saya tekuni hingga saat ini pada akhirnya mengantarkan saya pada proses yang lain; yakni sebuah proses (yang tak kalah gawat dengan proses teater) untuk menuliskan kembali pengalaman-pengalaman para aktor teater dalam meyakini dan menjalani teater mereka masing-masing.

Proses penulisan ini tak sanggup saya lakukan seorang diri; ada banyak pihak yang baik secara langsung atau tidak langgung turut berkontribusi dalam proses penulisan tesis ini. Untuk itu dalam kata pengantar ini, pertama-tama saya mengucapkan banyak terimakasih kepada para aktor yang telah meluangkan waktunya untuk menceritakan pengalaman-pengalaman mereka; Gunawan Maryanto,Tony Broer, Untung Basuki, Sutohir, Andika Ananda, Nunung Deni Puspita, dan Tita Dian Wulan Sari.

Ucapan terimakasih sebesar-besarnya saya tujukan kepada Bapak St. Sunardi selaku guru sekaligus sutradara yang menyutradarai saya dalam penulisan tesis ini; terimakasih banyak atas petunjuk, pengetahuan dan kesabarannya dalam membimbing ketidaktahuan saya ini.

Juga kepada Romo Banar (yang telah membuat saya masuk IRB), Mbak Desi (yang ikut-ikutan mumet dengan nasib saya), Romo Beny, dan para dosen IRB lain yang tak tersebutkan namanya, saya mengucapkan banyak sekali terimakasih atas segala pengetahuan yang dibagikan kepada saya.

Terimakasih banyak kepada kawan-kawan tercinta, Tj, Gedheg, Agathon, Lamser, Muji, Arham, Frans, Vini, Ani, Zuhdi, Padmo, dan tentu saja banyak yang tak tersebut namanya atas kehidupan dan kebingungan yang warna-warni.

Terimakasih banyak kepada Teater Seriboe Djendela dan Teater Garasi yang menjadi pintu masuk bagi saya untuk memasuki dunia fantasi ini.

Terimakasih secara khusus saya persembahkan kepada Untuk Bapak-Ibuk (yang tak henti-henti berdo’a buat saya agar cepat lulus), Mbak Yu, Kang Mas, dan Lintang

Wahyu atas segala dukungan yang telah diberikan kepada saya dalam menjalani proses kehidupan ini. Juga, untuk belahan jiwaku, Novita Budi Lestari yang entah bagaimana caranya selalu membuatku hidup berkali-kali (aku yakin kita akan hidup berkali-kali).

Sykur kepada Tuhan atas segala misterinya yang tak pernah selesai ditafsirkan dengan seribu bahasa. Dan pada akhirnya terimakasih saya ucapkan kepada pembaca yang berkenan membaca tulisan ini. Selamat membaca.


(9)

ABSTRAK

Aktor merupakan jantung dari pertunjukan teater. Tak jarang para aktor teater melakukan serangkaian proses yang berat dan panjang hanya untuk mementaskan pertunjukan yang berdurasi kurang dari dua jam. Biasanya mereka juga mengorbankan banyak hal untuk proses yang sedang di tempuh. Jika dinilai dengan uang yang mereka dapatkan sebagai honor pentas, jelas penghasilan tersebut tidak setimpal. Bahkan, mereka kadang-kadang tidak mendapat uang atau justru malah nombok. Namun demikian, mereka tetap berteater.

Fenomena tersebut mendorong saya untuk melakukan penelitian ini. Seiring dengan proses penarasian data dan analisis, ditemukan bahwa ada tiga hal mendasar yang membuat para aktor tetap berteater, yakni kesenangan, pengetahuan, dan keyakinan. Tentunya ketiga hal ini merupakan modal bagi mereka untuk terus survive baik dalam berteater atau menjalani kehidupan sehari-hari.

Secara keseluruhan, fenomena tersebut dianalisa dengan menggunakan perspektif psikoanalisa Lacanian. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, ditemukan bahwa hasrat para aktor (selain bahwa pada dasarnya ingin hadir di depan penonton/liyan) muncul atas pengalaman mereka berhadapan dengan das Ding/kekosongan dibalik teks atau wacana-wacana yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari (kekosongan dibalik material penandaan di dunia simbolik). Hasrat ini sekaligus menjadi dorongan bagi mereka untuk menempuh proses penciptaan yang berawal dari identifikasi (memaknai symptom) hingga proses penciptaan penanda-penanda baru (sinthome). Pengalaman yang ditempuh aktor dalam proses penciptaan hingga pementasan merupakan pengalaman sublimasi.


(10)

ABSTRACT

Actors are the heart of the theatre performance. They do hard and long process and sometimes they sacrifice a lot of things to create less than two hours performance theatre in common. Comparing to the amount of money they got as fee, clearly that income is unequal and even they sometimes do not get any money. On the other hand, they used their own money quite often for the performance needs instead of obtaining money. However, they still again and again create theatre performance.

This phenomenon forces me to do this research. In accordance to the process of narating the data and analysis, I find out three fundamental things that keep actors continually in theatre process, those are pleasure, knowledge, and faith. Certainly, those things are their capital to survive in both theatre or everyday life.

Over all, those phenomenon are analyzed by using Lacanian psychoanalysis. Based from the analysis, it is found that the actors’ desire (besides the fact that their basic

desire is to present in front of audiences/other) stemp from their experiences seeing das Ding/the void of texts or discourses they face in everyday life (the void behind the material signification of the simbolic world). This desire becomes drive for them to go through the process which is began from identification (understanding their symptom) to the creating process of new signifiers (sinthome). The actors’ process creating the performance theatre is sublimation experience.


(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...i

HALAMAN PERSETUJUAN...ii

HALAMAN PENGESAHAN...iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v

KATA PENGANTAR ...vi

ABSTRAK ...vii

ABSTRACT...viii

DAFTAR ISI...ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 5

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian... 5

D. Tinjauan Pustaka ... 6

E. Kerangka Teori ... 13

1. Teori Sublimasi ... 17

2. Pengalaman Keaktoran Sebagai Pengalaman Sublim... 19

F. Metode Penelitian ... 23

G. Skema Penulisan ... 27

BAB II MELEWATI BATAS-BATAS KEHIDUPAN MELALUI TEATER ... 28

A. Perjalanan Menjadi Aktor: Perjalanan Melampaui Batasan ... 28

B. Menghayati Peran: Menjadi Orang Lain ... 41

C. Menjalani Keseharian ... 59

D. Memaknai Akting: Akting di Panggung Teater dan Panggung Keseharian ... 67

E. Teater: Antara Kesenangan, Kegelisahan, dan Kegilaan Dalam Kehidupan ... 71

BAB III RE-KREASI KEHIDUPAN MELALUI TEATER ... 82

A. Membaca Penghayatan Aktor Melalui Perspektif Teori Subjek Lacanian ... 83


(12)

2. Berpijak Pada Tubuh: Dari Subjek Hasrat Sampai Subjek Dorongan ... 95

3. Berpijak Pada Sinthome: Panggung Sublimasi ... 112

B. Menjalani Kehidupan Dua Dunia ... 124

1. Dunia Keseharian (Simbolik): Batasan Yang Menjadi Dorongan ... 125

2. Melampaui Keseharian Melalui Teater ... 135

BAB IV PENUTUP ... 148


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penelitian ini berangkat dari satu kegelisahan yang saya simpan sejak beberapa tahun yang lalu; kenapa ada yang mau bertahan menjadi aktor teater di tengah-tengah situasi perteateran yang kurang menjanjikan dalam hal ekonomi? Kegelisahan tersebut bermula dari fenomena-fenomena yang saya lihat (sekaligus saya alami sendiri sebagai aktor teater) melalui perjumpaan saya dengan orang-orang teater di Yogyakarta1, baik yang tinggal menetap atau sementara. Kegelisahan itulah yang menuntun saya untuk mencari tahu lebih jauh dengan melakukan penelitian ini.

Ketika melakukan observasi (pengamatan hingga terlibat dalam proses penciptaan) dan wawancara untuk mencari data yang diperlukan dalam penelitian ini, saya mendapatkan kenyataan-kenyataan bahwa ada juga aktor teater yang survive secara ekonomi dengan modal keaktoran yang mereka kuasai, ada juga yang harus hidup dengan cara selain berteater. Namun saya menemukan satu hal yang dekat sekali dengan asumsi awal atas kegelisahan saya, yakni bahwa tujuan mereka (para aktor yang menjadi narasumber) berteater atau menjadi aktor teater lebih dari sekedar untuk mencari nafkah (bahkan pada awalnya bukan soal uang, melainkan karena senang).

Dari pemaparan tersebut, terlihat adanya pemenuhan lain yang didapat melalui teater dan inilah kiranya yang membuat para aktor masih bertahan menjalani dunia

1

Di kota inilah saya mengenal teater, belajar teater, dan berteater baik sebagai aktor, sutradara, fasilitator, dan penata artistik (setting dan lighting), sekaligus sesekali menulis artikel seputar pertunjukan yang sebagian besar dari tulisan itu tidak pernah saya publikasikan.


(14)

teater meski harus mengorbankan banyak hal demi teater yang dilakukannya. Pemenuhan apakah yang bisa diperoleh dari teater (dalam hal ini melalui bidang keaktoran)? Setidaknya ada tiga hal yang membuat para aktor bertahan untuk menjalani dunia teater, yakni kesenangan, pengetahuan, dan keyakinan.

Penelitian ini, di sisi lain, merupakan suatu upaya untuk membaca salah satu bidang yang paling sentral dalam dunia teater, yakni keaktoran. Barangkali wacana seputar keaktoran telah banyak di bahas dan telah banyak melahirkan teori dan buku-buku yang secara garis besar ditujukan sebagai metode penciptaan akting baik di luar negri ataupun di Indonesia. Namun dalam lingkup akademis, terutama di Indonesia, sejujurnya saya kesulitan untuk menemukan kajian yang secara khusus membahas bidang keaktoran. Adapun tulisan terkait, dalam ranah akademis yang saya maksudkan tersebut, keaktoran masih disikapi sebagai objek penciptaan (mislanya, karya tugas akhir kuliah), yang tentu saja lain dengan mewacanakan keaktoran sebagai fenomena budaya.

Sementara, penelitian terkait dengan teater bisa lebih banyak kita temukan. Dalam hal ini teater dipandang sebagai teks yang bisa dianalisa dengan berbagai macam cara. Beberapa buku teori juga telah menyediakan perangkat perspektif untuk menganalisa teater, diantaranya adalah Theory/Theatre An Introduction (Mark Fortier, 2007), Performance Theory (Richard Schehner, 2004), Theory for Performance Studies (Philip Auslander, 2008). Dari beberapa buku tersebut bisa dilihat bahwa untuk membaca teater masih diperlukan perspektif lain karena teater sendiri tidak memiliki teori khusus kecuali adalah teori/metode penciptaan. Atau sebaliknya, teater (sejalan dengan sastra) menjadi bidang yang kaya wacana untuk penciptaan teori sosial, sebagaimana teks teater (atau sastra) senantiasa berbicara tentang kehidupan manusia.


(15)

Sehingga, ketika banyak kajian telah membahas fenomena teater dan keterkaitannya dengan wacana sosial, penelitian ini sekaligus ingin saya tempatkan sebagai kajian yang membahas fenomena pengalaman hidup aktor (jantung dari pertunjukan teater) sebagai fenomena budaya. Merujuk pada buku yang telah ditulis oleh Paula Saukko yang berjudul Doing Research in Cultural Studies: An Introduction to Classical and New Methodological Approaches, mengkaji pengalaman personal adalah sesuatu yang memungkinkan untuk menguak wacana sosial yang sedang terjadi karena bagaimanapun juga pengalaman personal merupakan konstruksi dari kehidupan sosial2. Aktor teater adalah manusia biasa yang tak lepas dari realitas kehidupan sosialnya sekaligus sebagai elemen terpenting teater yang ironisnya jarang sekali diteliti.

Penelitian ini sekaligus membuat saya (belajar) melihat fenomena keaktoran dalam teater dengan cara lain; cara yang belum pernah saya pergunakan ketika saya berbincang-bincang dengan para pelaku teater dalam membicarakan teater terkait dengan proses penciptaan dan pementasannya. Tentunya cara ini merupakan perspektif teoritis yang harus saya gunakan sebagai pisau analisis, yakni perspektif psikoanalisa Lacanian khususnya terkait dengan teori subjek dan sublimasi.

Sebagai hasil dari cara melihat fenomena keaktoran dengan perspektif psikoanalisa, saya melihat bahwa pengalaman aktor dalam menjalani dunia teater merupakan pengalaman sublim3. Dalam hal ini, saya ingin berpendapat bahwa bukan hanya teks pertunjukan yang sekiranya bisa ditempatkan sebagai hal yang patut

2

Paulo Saukko dalam bukunya yang berjudul Doing Research in Cultural Studies: An Introduction to Classical and New Methodological Approaches, Sage 2003. Lihat bab 4 halaman 74-75.

3

Mengenai konsep teori dan pengalaman sublim para aktor yang saya maksudkan tersebut bisa dilihat pada bagian kerangka teori.


(16)

diapresiasi, namun pengalaman individu-individu yang terlibat di dalamnya merupakan fenomena yang tak kalah penting untuk disikapi sebagai pengetahuan.

Untuk itu dan atas pengetahuan yang saya peroleh dari cerita-cerita para aktor yang menjadi narasumber dalam penelitian ini, saya mengajukan satu judul sekaligus sesuatu yang menjadi tema dalam penelitian ini, yakni Teatrikalisasi Kehidupan: Studi Tentang Pengalaman 7 Aktor Teater Yogyakarta Dalam Mencipta Sinthome Di Dunia Panggung dan Keseharian. Alasan saya mengajukan judul tersebut sederhana; saya melihat jalan aktor adalah jalan untuk menghayati (baca: menyikapi) kehidupan. Berdasarkan cerita-cerita para aktor, cara yang ditempuh mereka untuk menghayati perannya di atas panggung pertunjukan berpijak dari proses mereka untuk mempelajari kembali kehidupan sehari-hari. Namun kita bisa mempertanyakan demikian: apakah dalam dunia keseharian para aktor juga menghayati kehidupan yang mereka jalani? Jika iya bagaimana caranya? Apa yang menjadi ciri khas seseorang yang hidup sebagai seniman teater sekaligus sebagai bagian dari masyarakat?

Beberapa pertanyaan tersebut sekaligus menjadi pijakan saya untuk menarasikan dan menganalisa pengalaman para aktor dalam menjalani dunia teater dan dunia keseharian. Namun untuk merangkumnya, saya menggunakan dua rumusan masalah sebagai jalan untuk menelusuri fenomena kehidupan aktor teater yang akan saya paparkan pada bagian selanjutnya.


(17)

B. Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang yang telah saya tuliskan tersebut, dua rumusan masalah di bawah ini merupakan acuan saya dalam menyusun penelitian ini:

1. Bagaimana para aktor menghayati peran yang mereka mainkan di panggung pertunjukan?

2. Bagaimana mereka menyikapi kehidupan dalam dunia sehari-hari dan dunia teater?

C. Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah yang dipaparkan di bagian sebelumnya, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Meneliti perkembangan pembentukan subjek seorang aktor, yaitu aktor sebagai subjek bahasa (subject of language) dan subjek hasrat (subject of desire), sebagai subjek dorongan (subject of drive), dan pengalaman akan sinthome dalam panggung sublimasi. Masing-masing tahap ini bisa dikaitkan dengan pengalaman aktor saat mendalami makna naskah sampai mencapai kenikmatan atau kesenangan (pleasure) teks, saat seorang aktor melampaui makna dan kenikmatan teks menuju das Ding dalam teks, dan saat seorang aktor berhasil melahirkan penandanya sendiri (sinthome) dalam panggung sublimasi.

2. Meneliti pengalaman hidup aktor teater dalam menjalani dunia keseharian dan dunia teater dengan menempatkan dunia keseharian sebagai dunia simbolik yang bersifat represif dan dunia teater sebagai intervensi atas represi dunia keseharian


(18)

untuk mengetahui dialektika (pemaknaan) yang dilakukan oleh aktor teater atas pengalaman hidup di dua dunia tersebut.

D. Tinjauan Pustaka

Penelitian pertama yang saya sebutkan dalam tinjauan pustakan ini adalah penelitian yang telah dilakukan oleh Airani Sasanti (satu-satunya senior saya di program studi Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma yang menuliskan tesis tentang teater). Judul tesis yang ia susun adalah Pementasan Bocah Bajang: Negosiasi Teater Terhadap Media Massa Atas Makna Fenomena Ponari (2013). Dalam penelitian tersebut, salah satu narasumber yang cukup penting sekaligus juga merupakan salah satu narasumber dalam penelitian yang saya lakukan adalah Gunawan Maryanto (penyusun naskah sekaligus sutradara dalam pementasan teater yang diteliti oleh Sasanti).

Dalam tesis Sasanti, poin utama yang ia teliti adalah praktik teater yang ditempatkan sebagai media komunikasi tandingan atas dominasi media massa. Atau hal ini juga bisa ditafsirkan sebagai respon teater terhadap fenomena sosial yang disebarluaskan secara masal oleh media massa. Dalam penelitian itu, yang ditonjolkan oleh Sasanti adalah wacana bahwa teater bukan hanya berfungsi sebagai tontonan, melainkan sebagai salah satu media komunikasi (wahana pengetahuan) yang diciptakan melalui serangkaian riset dan dibahasakan melalui estetika teater. Secara implisit, melalui tesisnya, Sasanti seolah ingin mengatakan bahwa teater merupakan media yang jauh lebih baik dari pada media massa untuk menyampaikan fenomena sosial (pengetahuan). Tentu ukuran baik ini merujuk pada mutu teks yang disusun sedemikian


(19)

rupa setelah menempuh proses observasi dan lamanya latihan sekaligus bahasa yang dipergunakan untuk menyampaikan teks tersebut. Namun, sebagai media komunikasi, teater jelas kalah telak dalam hal kecepatan dan jangkauan untuk menyampaikan berita dibandingkan media massa seperti koran atau televisi.

Sayangnya, tesis Sasanti lebih banyak membahas fenomena Ponari dari pada menganalisa proses penciptaan dan pertunjukan yang dilakukan oleh Teater Garasi. Tentu saja, beberapa hal terkait dengan keaktoran jarang dibicarakan dalam tesis tersebut. Sehingga, penelitian Sasanti merupakan penelitian yang sangat jauh berbeda dengan penelitian yang saya susun ini.

Penelitian kedua yang saya ajukan dan merupakan penelitian (yang dilakukan oleh senior saya) yang cukup membantu saya dalam mengkonsepsikan kerangka teori Lacan. Penelitian tersebut disusun oleh Irfan Palippui dengan judul Pengalaman Subjektifitas Religius Lewat Haji Bawa Karaeng (2013). Meskipun objek yang diteliti oleh Irfan merupakan objek penelitian yang sangat jauh berbeda dengan penelitian yang saya lakukan, namun demikian sebagian besar konsep teori yang digunakan kurang lebih sama terutama yang terkait dengan konsep sublimasi. Bedanya dengan penelitian ini, jika Irfan mengeksplorasi bentuk sublimasi religiusitas dalam dan lewat haji Bawa Karaeng, maka saya (berdasarkan objek penelitian yang berbeda) banyak membahas bentuk sublimasi estetis atas pengalaman aktor dalam menempuh proses latihan hingga bermain di atas panggung pertunjukan. Persamaannya, penelitian Irfan dan penelitian yang saya lakukan merupakan penelitian yang berbicara mengenai jalan hidup yang ditempuh manusia untuk menciptakan penanda baru.

Penelitian ketiga (lebih tepatnya adalah buku yang ditulis berdasarkan disertasi) yang saya sebutkan dalam tinjauan ini ditulis oleh Yudiaryani dengan judul WS Rendra


(20)

Dan Teater Mini Kata (2015) yang diterbitkan oleh Galang Pustaka atas kerjasama dengan Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Yang menarik perhatian saya, tulisan tersebut merupakan tulisan yang mengupas kehidupan Rendra yang hidup dalam dunia teater (sebagai seniman) dan dunia keseharian (sebagai bagian dari masyarakat). Meski fokus tulisan tersebut adalah proses kreatif Rendra, Yudiaryani sedikit banyak mengupas kehidupan Rendra dalam keseharian dengan pertimbangan bahwa ruang sosial Rendra merupakan sumber kreativitas Rendra dalam berkesenian.

Secara umum, tulisan tersebut membahas Rendra dan karyanya, teater Mini Kata, melalui beberapa hal; pertama Yudiaryani membaca Rendra dan Mini Kata melalui perspektif teoritis analisis tekstual (teks dan konteks), kedua, Rendra dan Mini Kata dibaca sebagai produksi seni pertunjukan, ketiga, Rendra dan Mini Kata dibaca sebagai relasi intertekstual (pertemuan antara teater yang bercita rasa Indonesia dan Amerika), keempat, Yudiaryani membaca proses kreatif Rendra, Mini Kata, dan Bengkel Teater, kelima dekat kaitannya dengan yang keempat, Yudiaryani membaca proses kreatif rendra, Mini Kata, dan nomor Bip Bop, dan yang terakhir Yudiaryani menarasikan pemaknaannya atas kehadiran Rendra dan Mini Kata dalam teater modern Indonesia.

Namun demikian, meskipun ada kemiripan dalam beberapa hal (Yudiaryani bagaimanapun juga telah meneliti kehidupan seniman teater dalam menjalani dunia teater dan dunia keseharian), penelitian yang saya lakukan merupakan penelitian yang bisa dibilang jauh berbeda. Pertama, dan tentu saja, objek material yang diteliti, kedua perspektif yang dipergunakan untuk meneliti, dan ketiga adalah fokus wacana yang dibicarakan. Dalam hal ini, yang menjadi poin pembahasan utama dalam penelitian saya adalah saya ingin menunjukkan bahwa pengalaman aktor teater dalam menempuh proses penciptaan teater merupakan pengalaman sublim.


(21)

Penelitian lain (disertasi) yang saya tinjau adalah penelitian yang dilakukan oleh Daniel Waycott Johnston. Penelitian tersebut berjudul Active Metaphysics: Acting as Manual Philosophy or Phenomenological Interpretations of Acting Theory (2007). Penelitian tersebut merupakan kajian filsafat dengan pendekatan fenomenologi Martin Heidegger. Sebagaimana tertera dalam judul tersebut, penelitian Johnston dimaksudkan untuk mewacanakan aktor sebagai wujud konkret filsuf manual atau yang ia istilahkan sebagai manual philosophy.

Johnston menyebut aktor sebagai filsuf manual berdasarkan pada penafsirannya yang menyatakan bahwa akting merupakan suatu cara yang bisa digunakan untuk mengungkapkan aspek eksistensi dan being. Fokus penelitian yang dilakukan oleh Johnston ini berangkat dari dasar pemikiran Heidegger yang tertuang dalam Being and Time. Beberapa konsep kunci dari pemikiran Heidegger yang dipakai Johnston dalam merumuskan pemikirannya adalah konsep tentang kebenaran (truth), Dasein (Being There), Being in the world dan Being in itself. Saya tidak menerjemahkan istilah-istilah tersebut ke dalam Bahasa Indonesia karena dalam beberapa hal, padanan kata dalam bahasa Indonesia menurut saya mengurangi kelenturan makna istilah-istilah tersebut.

Dalam tesisnya, Johnston menganalisa pemikiran tiga tokoh teater yang paling berpengaruh dunia, yakni Constantin Stanislavsky, Antonin Artaud, dan Bertolt Brecht dalam rangka untuk menguji aspek kebenaran eksistensial yang diusung oleh fenomenologi Heidegger melalui proses penciptaan akting. Johnston menegaskan bahwa ia tak bermaksud untuk menyandingkan gagasan Heidegger dengan pencapaian aktor, akan tetapi dengan meneliti aktor dalam menciptakan kediriannya melalui akting, hal tersebut menjadi dialektika baru dalam memahami fenomena kebenaran; Being there


(22)

dan Being in the world. Menurut Johnston, aktor teater merupakan perwujudan dari abstraksi pemikiran Heidegger terkait dengan kebenaran.

Dalam tesisnya Johnston menyebutkan bahwa aktor merupakan filsuf manual atau dengan kata lain aktor merupakan perwujudan dari filsafat manual. Akan tetapi, Johnston menyatakan bahwa tidak semua aktor adalah filsuf manual. Hanya aktor-aktor yang sesuai dengan kategori ideal tiga tokoh teater tersebutlah yang layak disebut sebagai filsuf manual. Dengan kata lain, Stanislavsky, Artaud, dan Brecht merupakan tokoh ideal yang layak disebut sebagai filsuf manual. Cara ketiga tokoh tersebut dalam mengkonsepsikan ideal teater, ideal aktor, dan ideal kehidupan sudah dengan sendirinya mengantar ketiga tokoh tersebut sebagai tokoh kunci yang namanya layak disandingkan dengan pemikir-pemikir lain di bidang ilmu sosial. Sehingga, analisis Johnston dengan pendekatan fenomenologi Heidegger terkesan sekedar mencocokkan atau menyetarakan; ibarat Heidegger membuat sebuah teori, sebuah abstraksi tentang kebenaran eksistensial kemanusiaan, Stanislavsky, Artaud, dan Brecht merupakan model yang tepat karena bidang mereka adalah bidang penciptaan akting yang kaitan mendasarnya adalah memperlihatkan perilaku manusia dalam dunianya sendiri.

Namun demikian, saya menemukan hal yang menarik dari penafsiran Johnston yang menyatakan bahwa fenomena teater, atau yang tampak di panggung merupakan fenomena sebagaimana adanya. Peristiwa di panggung bukanlah sebuah kepalsuan atau sekedar representasi atas kenyataan, akan tetapi adalah kenyataan itu sendiri dengan kewajaran yang tak bisa disamakan dengan kewajaran sehari-hari.

Penelitian berikutnya yang saya jadikan tinjauan adalah penelitian yang dilakukan oleh Marian McCurdy yang berjudul Acting and Its refusal in Theatre and Film (2014). Dalam thesis tersebut McCurdy meneliti perilaku aktor yang menolak untuk akting


(23)

(dalam film dan teater) atas pemahaman-pemahaman tertentu terkait dengan akting tersebut. Temuan sekaligus gagasan menarik yang ditegaskan (kembali) oleh McCurdy adalah fenomena peleburan makna antara akting dengan tidak akting. Pada pemahaman umum yang akarnya berangkat dari pemahaman tradisional terkait dengan akting adalah pemahaman yang menyatakan bahwa akting merupakan kepalsuan; suatu tindakan yang tidak sungguh-sungguh, tidak mewakili kenyataan, atau dengan kata lain akting adalah kepura-puraan yang lain dengan di keseharian yang mana perilaku manusia dimaknai sebagai yang nyata. Pemahaman tersebut berdampak pada penilaian terhadap aktor yang pada waktu itu dianggap sebagai manusia yang berbahaya, penghasut, pendusta.

Penelitian McCurdy menggunakan data-data yang bisa dibilang baru, yakni produksi film dan teater di era kekinian (postmodern) yang mana muncul sebuah paradox yang menyatakan bahwa dunia keseharian, dunia yang dianggap nyata ini merupakan dunia yang penuh kepura-puraan dan kepalsuan; simulasi. Sementara, dunia film dan teater merupakan dunia yang dijadikan sebagai ruang untuk menemukan kenyataan yang bahkan di dunia ini akting (tindakan yang merepresentasikan kebohongan) merupakan hal yang dihindari.

Jika di masa lalu akting merupakan hal yang ditolak karena akting yang dilakukan aktor merupakan profesi yang dianggap berbahaya, McCurdy melalui investigasinya justru menemukan bahwa di era saat ini para aktor justru menolak untuk akting. Beberapa aktor yang diteliti oleh McCurdy menyatakan bahwa ketika mereka menolak untuk melakukan adegan-adegan tertentu, mereka memang merasa bahwa tindakan diadegan tersebut tidak membuat mereka nyaman; membuat mereka seperti sedang melakukan kebohongan besar yang tidak sesuai kata hati (ideologi) mereka. Penelitian yang dilakukan oleh McCurdy ini secara tidak langsung mewacanakan kembali tentang


(24)

gagasan bahwa seni akting yang dipahami sebagai kepalsuan justru bermakna sebaliknya ketika dunia sehari-hari yang pada mulanya merupakan dunia nyata kini menjadi dunia simulasi dimana kenyataan dan representasi kenyataan merupakan hal yang lebur dan sulit untuk dikenali lagi.

Menurut saya penelitian McCurdy merupakan penelitian yang menarik meski masih menyisakan beberapa hal yang saya anggap sebagai celah yang belum dianalisa secara mendalam. McCurdy tidak secara mendalam meneliti mekanisme akting yang dilakukan oleh aktor. McCurdy cenderung lebih mengeksplorasi sejarah yang menyatakan bahwa akting merupakan hal yang ditolak oleh banyak pihak. Dengan demikian, McCurdy terlalu cepat untuk menyatakan bahwa akting dalam film dan teater merupakan akting yang justru lebih nyata dibanding dengan yang ada di keseharian.

Tinjauan pustaka berikutnya adalah penelitian literatur yang dilakukan oleh Shosana Felman dalam rangka untuk mengeksplorasi wacana kegilaan. Lantas apa kaitan wacana kegilaan dan literatur dengan penelitian ini (yang bertujuan untuk menggali pengetahuan dari pengalaman hidup aktor teater)? Berangkat dari pembacaan atas penelitian Felman dalam Writing and Madness, saya menemukan kesetaraan antara teater dengan literatur; pemain teater dengan penulis. Kesetaraan tersebut merujuk pada retorika; cara mengatakan sesuatu; cara mengartikulasikan dunianya. Dunia teater dan literatur adalah dunia yang kurang lebih sama, yakni dunia fiksi. Namun relevansi yang lebih penting atas penelitian Felman dengan penelitian yang saya lakukan adalah Felman membaca sastra dengan perspektif Lacan dan sedikit banyak saya merasa terbantu dengan cara yang ditunjukkan Felman melalui salah satu eksplorasinya dalam satu buah esai yang berjudul Honore de Balzac: Madness, Ideology, and the Economy of Discourse. Dalam esai tersebut, Felman menelisik hubungan antara kegilaan dengan


(25)

Novel. Melalui tokoh Don Quixote, Felman menemukan hubungan antara kegilaan dengan desire dengan bahasa; kegilaan Don Quixote adalah jalan untuk mengembalikan desire (hasrat) pada bahasa (membahasakan desire). Kegilaan Don Quixote bermula dari penghayatannya atas fiksi yang ia baca.

Membaca fiksi, membaca naskah teater, atau menonton film, jika meminjam pemikiran Felman dalam study kasusnya terkait dengan Don Quixote, merupakan bentuk kegilaan. Fiksi merupakan hasrat, dan fiksi adalah sumber hasrat. Jika penulis novel menggunakan novel sebagai petualangan atas hasratnya, atau cara dia membahasakan hasrat, bagi Don Quixote, dirinya sendirilah kendaraan hasrat. Dalam keaktoran, melalui aktor hasrat dalam naskah diartikulasikan dalam bentuk laku: akting. Perbedaan antara aktor dan Don Quixote, aktor memiliki terminal untuk pemberhentian, yakni panggung. Sementara, Don Quixote membawa kegilaannya hingga akhir hayatnya.

E. Kerangka Teori

Thus Truth draws its guarantee from somewhere other than the Reality it concerns: it draws it from Speech. Just as it is from Speech that Truth receives the mark that instates it in a fictional structure.4

Untuk menjawab rumusan masalah yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya, penelitian ini menggunakan teori sublimasi Lacanian yang dikonseptualisasikan ulang oleh Marc De Kesel dalam bukunya yang berjudul Eros and Ethic: Reading Jaques

Lacan’s Seminar VII yang diterjemahkan oleh Sigi Jottkandt. Melalui konsep teori ini,

4

Lacan, Jacques. ECRITS: The First Complete Edition In English, Tr. By Bruce Fink in collaboration with Heloise Fink and Russell Grigg, W. W. Norton & Company, Inc. 2006. Lihat halaman 684.


(26)

pengalaman hidup aktor teater ditempatkan sebagai pengalaman sublim; pengalaman subjek berhadapan dengan das Ding sebagai cara untuk melihat symptom dari sudut pandang yang lain. Pengalaman tersebut membuat subjek bisa menghadirkan diri kepada liyan dalam situasi yang lain melalui sinthome. Dengan kata lain, sublimasi membuat aktor bisa melampaui represi (memaknai symptom) yang berasal dari konstruksi dunia simbolik (dunia keseharian).

Seseorang, dalam situasi normal (jika dilihat dari perspektif psikoanalisa Lacanian) selalu ingin hadir bersama orang lain. Kehadiran seorang dalam masyarakat; relasi seseorang dengan orang lain dalam sebuah kehidupan bermasyarakat, selalu dimediasi oleh bahasa, konvensi-konvensi, dan aturan main yang berlaku untuk mewujudkan kehidupan bersama. Artinya, untuk hadir bersama dengan yang lain, seseorang tidak bisa semena-mena dalam berperilaku; seseorang harus rela merepresi dirinya melalui Aturan/Hukum simbolik (Hukum-Sang-Ayah) dengan segala nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku; tentang baik dan buruk; tentang apa yang boleh dilakukan dan apa yang dilarang.

Terkait dengan relasi seseorang (subjek) dengan hal-hal diluar dirinya, Lacan secara rinci menjelaskannya dalam tiga fase, yakni: fase cermin, simbolik, dan real. Tiga fase inilah tahapan yang harus dialami seseorang untuk menjadi subjek dalam suatu kebudayaan tertentu. Melalui tiga fase ini, subjek kehilangan otentisitasnya sebagai binatang. Sebagai gantinya, ia menjadi subjek kebudayaan; subjek yang harus mengartikulasikan desirehasratnya (hasrat yang berasal dari liyan; hasrat atas lack


(27)

yang ia alami) melalui sistem budaya yang telah tersedia karena ia diinginkan demikian sejak jauh-jauh hari sebelum ia dilahirkan5.

Dunia imajiner dalam teori Lacan juga disebut sebagai dunia cermin (fase cermin); fase ini dimulai pertama-tama ketika sang anak memahami dirinya melalui gambaran yang dipantulkan oleh cermin (atau sesuatu yang bersifat merefleksikan, misalnya wajah ibunya). Fase cermin ini merupakan pengantar bagi anak untuk memasuki dunia penandaan karena pada fase ini setidaknya sang anak sudah bisa

‘melihat’ dan mengidentifikasi diri (mengenali diri dengan cara berelasi dengan sesuatu

di luar dirinya). Mengandaikan sang anak berhadapan dengan cermin sebenarnya, maka sang anak melihat bayangan dirinya melalui cermin; bayangan itu menimbulkan

pemaknaan atas dirinya (ego terbentuk, sang anak tahu siapa dirinya; “aku adalah

bayangan di cermin”). Mengandaikan bahwa cermin adalah orang lain, misalnya adalah

ibunya atau apa yang dikatakan ibunya, maka konsekuensinya adalah sang anak tahu

siapa dirinya: “aku adalah bagian dari ibuku, aku adalah kesenangan ibuku, aku adalah

anak ibuku, dsb.” Fase ini terus berlangsung dalam kehidupan subjek; subjek tidak

pernah selesai dalam mengidentifikasikan dirinya sebagaimana identifikasi tersebut merupakan kepalsuan; bayangan di cermin hanya merupakan bayangan, ilusi, atau sesuatu yang bukan benar-benar dirinya (sebatas sesuatu yang dikatakan liyan)6.

Dunia simbolik, di sisi lain, merupakan dunia yang terbentuk oleh sistem penandaan atau relasi penandaan. Dalam arti luas, dunia simbolik ini bisa dipahami sebagai kebudayaan, dunia material, dunia bahasa, dunia penandaan, atau dengan kata lain, dunia yang menghadirkan subjek dalam relasi penandaan beserta

hukum-5

Konsepsi tersebut berdasarkan pembacaan atas penafsiran Hommer dalam membaca Lacan. Sean Hommer dalam bukunya yang berjudul Jaques Lacan, Taylor & Francis e-Library, 2005.

6


(28)

hukumnya. Dalam arti lain, dunia simbolik merupakan dunia yang membuat subjek bisa mengartikulasikan hasratnya sekaligus dunia yang memberi batasan bagi subjek untuk memperoleh kenikmatan atas hasratnya; dunia simbolik inilah yang bisa memberikan pemenuhan dan kepuasan bagi subjek, namun di dunia ini subjek tidak mengalami kepuasan yang sepenuhnya (terbatas(i)/terepresi).

Sedangkan dunia Real (das Ding/the Thing) adalah dunia yang ada tapi tidak ada; kekosongan (hanya karena subjek belum tahu bagaimana mengatakannya dan tidak akan pernah sepenuhnya bisa mengatakannya). Dimaknai demikian karena dunia ini diandaikan berada dibalik bahasa atau dunia yang tertutupi oleh dunia simbolik (dunia simbolik selalu berusaha membahasakan dunia ini, namun bahasa ini menjadi penutup atau mengisyaratkan sesuatu dibalik tutup itu). Sekalinya subjek membuka tutup bahasa, yang ditemui subjek hanyalah kekosongan. Di dunia yang kosong inilah subjek kembali melihat dunia simboliknya (symptom-nya atau masa lalunya) dengan cara yang lain. Dengan demikian subjek mampu menciptakan pemaknaan baru atas masa lalunya; makna ini tak lain adalah sinthome (cara/bahasa yang dipinjam dari dunia simbolik untuk mengatakan pengalaman subjek ketika berhadapan dengan di dunia Real dan memandang kehidupannya dengan cara lain)7. Sehingga, dunia Real tetap kosong dan sinthome menjadi penutup baru (bahasa/penanda baru) atas kekosongan dunia Real.

Ketiga fase pembentukan subjek tersebut hadir sebagai/dalam kebudayaan. Sebagaimana subjek dan kebudayaan merupakan satu bagian yang utuh (tak ada subjek tanpa kebudayaan dan sebaliknya) maka tak hanya kebudayaan yang serta merta membentuk subjek; ada kalanya subjek bisa merubah kebudayaan (ketika subjek membuka kekosongan yang ditutupi oleh material kebudayaan dan mengisi kekosongan

7


(29)

itu dengan penanda baru). Dalam praktiknya, kebudayaan tidak pernah berhenti di satu titik. Kebudayaan senantiasa berkembang dengan segala perubahan aspeknya. Bagi Lacan, perubahan ini (dan mula-mulanya sebelum ada perubahan) hanya mungkin terjadi melalui sublimasi; peristiwa subjek membuka tabir bahasa (melewati batasan bahasa), melihat kekosongan (berhadapan dengan das Ding), dan mengisi kekosongan itu dengan penanda baru (sinthome)8. Lebih jauh terkait teori sublimasi dalam kaitannya dengan penelitian ini akan saya uraikan pada bagian selanjutnya.

1. Sublimasi

Sejalan dengan Freud, Lacan mengatakan bahwa kebudayaan terbentuk dan berkembang dari proses sublimasi dengan tiga karakter; histeris (seni), obsesif (agama), dan paranoia (pengetahuan). Namun apa pengertian dari sublimasi itu sendiri? Lacan mengatakan (dengan cara yang sukar dipahami) bahwa sublimasi (berpijak dari relasi objek) adalah to elevate the object to the dignity of Thing9. Salah satu kata kunci dari definisi tersebut adalah Thing yang merujuk pada das Ding atau the Real (kekosongan).

Sublimasi bisa dilihat dari konsepsi Lacan terkait relasi objek; definisi to elevate the object to the dignity of Thing (untuk mengelevasi objek pada kehormatan Thing) menandai adanya subjek, objek (dalam dunia simbolik) dan Thing/das Ding yang saling berelasi. Hal ini bisa dipahami lebih jelas dengan melihat teori subjek Lacan; dinamika subjek ketika berada dalam dunia imajiner (dunia identifikasi), dunia simbolik (dunia bahasa), dan dunia Real (dunia di luar bahasa).

8

Marc De Kesel dalam bukunya yang berjudulEros and Ethic: Reading Jaques Lacan’s

Seminar VII Tr. by Sigi Jottkandt, State University Of New York: Sunny Press, 2009. Lihat halaman 166.

9


(30)

Dunia simbolik menjamin pemenuhan bagi subjek dalam bentuk kenikmatan yang bersifat represi; subjek memperoleh kenikmatan jika mau mengikuti Hukum-Sang-Ayah. Atau, subjek memperoleh kenikmatan tetapi terbatas karena di dunia ini subjek menemukan bahwa Liyan (yang diharapkan mampu memberikan kepuasan penuh) ternyata juga memiliki lack. Dunia simbolik ini merupakan sebuah dilema; di satu sisi hanya dunia ini yang mampu menjamin pemenuhan atau menyediakan objek hasrat bagi subjek, namun pemenuhan yang didapat tidak benar-benar memuaskan sehingga subjek tetap menjadi subjek hasrat. Terlebih lagi, dunia simbolik ini selalu dikuasai oleh Hukum-Sang-Ayah yang merepresi subjek. Represi ini melahirkan symptom; penanda yang sulit ditafsirkan sekaligus penanda yang menandai jouissance yang terepresi. Represi ini membuat subjek mengalami neurosis patologis hanya jika subjek tak bisa menafsirkan dan membahasakan symptomnya sendiri.10

Dunia Real hadir sebagai ‘intervensi’ atas dunia simbolik; karena dunia Real ini

merupakan kekosongan yang telah diisi/ditutupi oleh dunia simbolik, maka dunia Real seolah-olah selalu memberontak pada keterbatasan bahasa dalam membahasakan dunia Real ini. Dunia simbolik, alih-alih ingin membahasakan dunia Real, justru malah menutupi dunia Real karena keterbatasan yang dimiliki oleh dunia simbolik itu sendiri. Satu-satunya jalan untuk menuju dunia Real adalah symptom. Dengan kata lain, symptom yang terbentuk oleh represi dunia simbolik merupakan pintu bagi subjek untuk memasuki dunia Real; untuk mencari kenikmatan (atau sesuatu yang diduga dapat memberikan kenikmatan penuh) dibalik tutup dunia simbolik. Namun begitu subjek berhadapan dengan das Ding, yang ditemui subjek hanyalah kekosongan. Dalam situasi

10

Merujuk pada handout perkuliahan yang ditulis oleh St.Sunardi. Lihat juga tulisan

Kesel, 2009: 166; “Sublimation enables us to relate consciously and “rationally” to the


(31)

inilah subjek mampu melihat symptom dengan cara lain dan situasi ini menyediakan dua kemungkinan; subjek mengalami pengalaman traumatis, atau subjek mengalami pemenuhan tanpa pengalaman traumatis. Pemenuhan non-patologis ini terjadi jika subjek mampu memaknai symptom dan melakukan transversing of fantasy11(mengatasi trauma atas kekosongan dunia Real) dengan hasil sinthome atau penanda baru untuk menutup kekosongan dunia Real.

Dengan demikian, untuk mengelevasi objek pada tingkatan das Ding bisa dipahami sebagai proses yang ditempuh subjek untuk memaknai symptom menjadi sinthome dan menggunakan sinthome untuk menutup kekosongan pada das Ding. Dengan demikian, subjek mendapatkan kenikmatan tanpa represi, sekaligus tetap berjarak pada dunia Real. Justru dengan adanya jarak tersebut maka hasrat subjek tidak padam sehingga subjek tetap memiliki dorongan untuk menempuh kehidupannya (dengan cara yang lebih segar setelah melalui pengalaman sublim).

Tentunya cara yang ditempuh oleh masing-masing subjek untuk menghadapi das Ding tidak bisa disamakan. Pengalaman yang berbeda ini menghasilkan kebaruan dalam kebudayaan yang bisa dilihat melalui tiga hal; seni (sublimasi estetis), agama (sublimasi religius), dan ilmu pengetahuan (sublimasi sains)12. Masing-masing karakter sublimasi ini menghasilkan berbagai macam penanda baru yang membuat kebudayaan tidak berhenti di satu titik.

2. Pengalaman Keaktoran Sebagai Pengalaman Sublim

Teater merupakan sebuah fenomena yang berubah dari masa ke masa melalui tiga bentuk sublimasi yang dikonsepsikan oleh Lacan (estetis, religius, sains). Teater pada

11

Merujuk pada handout perkuliahan yang ditulis oleh St.Sunardi.

12


(32)

mulanya merupakan sebuah ritual dalam prosesi keagamaan, lantas dalam perkembangannya, teater berdiri sebagai karya seni yang tidak semata-mata bertujuan untuk menciptakan estetika, namun juga melahirkan pengetahuan atas kehidupan (menciptakan perubahan sosial misalnya dalam bentuk teater yang lebih aplikatif13).

Keaktoran dalam hal ini dipandang sebagai jalan berkesenian dengan hasil akting sebagai karya seninya. Sejalan dengan teater (sebagai wacana estetis/ sublimasi estetis), pengalaman keaktoran ini lebih tepat ditempatkan sebagai sublimasi estetis. Akting merupakan sinthome yang ditulis aktor melalui tubuhnya (sebagai subjek dorongan) ketika aktor berhadapan dengan kekosongan. Proses ini bisa dilihat dari perkembangan aktor sebagai subjek bahasa menuju subjek hasrat hingga menjadi subjek dorongan. Untuk itu, pertama-tama perlu dilihat terlebih dahulu objek hasrat aktor yang membuat dirinya menjadi subjek hasrat dan subjek dorongan.

Hasrat aktor semestinya adalah pentas; berdiri di atas panggung dan mencari pengakuan (dilihat, diapresiasi, dimaknai oleh penonton) dengan melakukan akting. Pada umumnya proses yang ditempuh aktor untuk menciptakan karya berpijak pada teks atau naskah. Teks menjadi objek penciptaan (objek hasrat) bagi aktor. Dalam proses awal identifikasi ini (ketika aktor berelasi dengan teks), aktor menjadi subjek bahasa dengan menyenangi teks terlebih dahulu. Dengan demikian, teks bisa berfungsi sebagai medium bagi subjek untuk berfantasi dan melihat (menikmati) symptomnya sendiri; melihat masa lalu subjek yang berkenaan dengan (dan dibangkitkan oleh) teks.

Dalam pertunjukan yang berbasis naskah drama atau karya sastra misalnya, teks tersebut merupakan sinthome penulis (hasil memaknai symptom atau menafsirkan

13

Lihat tulisan Monica Prendergast & Juliana Saxton dalam buku yang berjudul Applied Theatre, Intellect Ltd, 2009.


(33)

kehidupannya ketika berhadapan dengan das Ding) yang bisa disejajarkan dalam puisi-puisi courtly lovers14 yang dirujuk Lacan sebagai model sublimasi estetis. Teks ini

merupakan ‘kecantikan’ yang dipergunakan untuk menutup das Ding. Ketika aktor

berhadapan dengan teks semacam ini, ada dua kemungkinan, pertama aktor puas sebagai subjek bahasa, kedua aktor mengalami pengalaman lack sehingga menjadi subjek hasrat (desiring subject). Teks bisa menjadi jalan bagi aktor untuk berhadapan dengan das Ding (sebagaimana dialami oleh penulis) sejauh membaca itu sendiri bisa disejajarkan dengan menulis; membaca merupakan proses menyusun kembali penanda-penanda yang ada dalam struktur ketaksadaran subjek. Sehingga, membaca teks bisa disejajarkan dengan melihat das Ding yang ditutupi oleh teks tersebut.

Posisi aktor sebagai subjek hasrat adalah ketika dalam proses membaca, aktor tidak puas hanya dengan membaca; ia tergerak (menjadi subjek dorongan) untuk mengatakan apa yang ia baca melalui bahasanya sendiri, yakni akting. Proses ini merupakan proses aktor mencarikan bahasa baru atau bahasa pengganti naskah. Jalan yang ditempuh aktor pada umumnya adalah melatih tubuh, emosi, dan pikiran (bisa dilihat dalam buku-buku yang menjelaskan metode-metode untuk menjadi aktor). Namun demikian, pada fase ini objek hasrat aktor telah bergeser; tubuh menjadi objek hasrat pengganti naskah karena dalam akting, tubuh merupakan bahasa utama.

Berangkat dari pemahaman bahwa latihan tubuh bisa dimaknai sebagai memperlebar jangkauan tubuh atau membongkar kembali kecenderungan tubuh atas konstruksi budaya, maka latihan ini bisa disejajarkan dengan pengalaman sublim; mengelevasi tubuh pada level das Ding. Pertama-tama, tubuh dilihat sebagai symptom. Latihan tubuh bisa dilihat sebagai jalan aktor memaknai kembali tubuhnya dan

14


(34)

menyikapinya dengan cara baru. Dengan demikian aktor mampu untuk menyituasikan tubuhnya dalam situasi yang lain, misalnya menyituasikan perilakunya menurut karakter-karakter tertentu (berdasarkan model-model yang ia temukan dalam kehidupannnya). Latihan-latihan dan eksplorasi yang dilakukan aktor nantinya akan menjadi sinthome sekaligus sebagai pijakan untuk dihadirkan di panggung pertunjukan.

Melihat teater sebagai karya seni, pertunjukan teater menempatkan aktor sebagai subjek sekaligus objek yang hadir di depan penonton. Jika pelukis mengisi kekosongan das Ding dengan lukisan, pemusik dengan tatanan bunyi, penyair dengan kata-kata, maka dalam teater kekosongan das Ding diisi dengan kehadiran aktor sebagai bahasa utama (atau keindahan sebagaimana semua jenis karya karya seni identik dengan istilah tersebut). Bagi aktor sendiri, panggung teater merupakan dunia untuk menghadirkan dirinya dengan cara lain. Kadangkala perilaku aktor di panggung lebih menarik daripada teks yang mereka sampaikan. Panggung teater mampu memberikan kenikmatan dengan cara melarang aktor terpaku pada teks; aktor justru dipersilahkan menjadi subjek atas tubuhnya (diberi kebebasan untuk melakukan improvisasi; merespon segala situasi yang barangkali belum pernah ada saat latihan). Dengan demikian, panggung teater ini mampu memberikan kenikmatan pada subjek tanpa melalui represi.

Secara keseluruhan, proses yang ditempuh para aktor sejak berhadapan dengan naskah hingga meninggalkan panggung pertunjukan merupakan pengalaman yang membekas dan memberikan kebaruan bagi mereka sendiri (khususnya) dan orang lain (umumnya) untuk menempuh kehidupan setelahnya. Setidaknya, bagi aktor, pengalaman menempuh proses penciptaan teater membuat hidup mereka berjarak dengan dunia keseharian (dalam artian mereka memiliki cara untuk tidak begitu saja hanyut dalam arus wacana yang disirkulasikan oleh dunia simbolik) dan tetap berjarak


(35)

dengan dunia Real (sehingga mereka tetap menjadi desiring subject tanpa harus mengalami trauma dan represi). Selama para aktor tetap berproses, teater menjadi medium bagi mereka untuk terus-menerus memaknai symptom mereka, terus menerus melampaui batas-batas yang mereka miliki sebagai manusia karena dengan cara itulah mereka berdialektika dengan kehidupan yang mereka hadapi; tidak sebatas sebagai subjek bahasa melainkan sebagai subjek atas tubuh mereka sendiri.

F. Metode Penelitian

Sebagaimana telah dijelaskan di bagian latar belakang, penelitian ini merupakan penelitian pengalaman hidup para aktor teater di Yogyakarta. Dua hal yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah, pertama meneliti pengalaman aktor teater dalam proses penciptaan pertunjukan, dan kedua meneliti pengalaman aktor teater dalam menyikapi kehidupan sehari-hari.

Penelitian ini secara formal saya mulai sejak tahun 2013, dan selesai pada tahun 2015. Pemilihan narasumber dan proses wawancara saya lakukan pada pertengahan tahun 2014 hingga bulan Juni 2015. Namun saya tidak merasa terlalu menyia-nyiakan waktu sejak 2013 hingga pertengahan tahun (Mei) 2014 karena pada waktu itu saya terlibat beberapa proses dengan beberapa narasumber penelitian ini dan saya memaknai keterlibatan saya dalam proses tersebut sebagai salah satu bentuk metode observasi.

Namun, secara non-formal, data yang saya peroleh dalam penelitian ini merupakan pengetahuan yang saya dapat sejak lama. Perkenalan saya dengan keaktoran dan teater dimulai sejak tahun 2005; pada waktu itu saya mulai tinggal di Yogyakarta dan bergaul dengan pelaku-pelaku teater di Yogyakarta. Pada tahun 2007 saya bertemu


(36)

dan berproses bersama Gunawan Maryanto dan Tita Dian Wulan Sari selama kurang lebih 7 bulan di program Actor Studio yang diselenggarakan oleh Teater Garasi. Tahun 2010 saya berkenalan dan berproses bersama Nunung Deni Puspita Sari di Padepokan Seni Bagong Kussudihardja yang berlanjut hingga tahun 2012. Pada awal tahun 2014, saya bertemu dengan Andika Ananda dan melakukan sebuah proses penciptaan bersama. Melalui proses tersebut saya juga sempat bertemu dan kenal secara lebih dekat dengan Tony Broer (sosok yang sebelum itu saya pandang sebagai sosok yang angker dan menyeramkan). Dan pertengahan tahun 2014 itu akhirnya saya ikut latihan bersama

Tony Broer sebagai ‘modus’ untuk mencari data sekaligus mengobati penasaran saya

atas apa kata orang:“Kalau mau dihajar fisiknya ya ikut latihan sama Bang Broer!”. Di

tahun ini pula saya berkenalan dengan Mbah Tohir, sosok tua yang tak pernah menyerah dalam berteater. Dan pada tahun 2015, akhirnya saya sowan pada salah satu legenda yang tersisa dari Bengkel Teater Rendra, yakni Bapak Untung Basuki.

Nama-nama yang telah saya sebutkan adalah nama-nama para aktor yang berbaik hati mau menjadi narasumber dalam penelitian ini. Kecuali Mbah Tohir dan Pak Untung Basuki, para aktor lain adalah para aktor yang (semoga) saya kenal dengan baik; saya kenal tidak sebatas melalui obrolan, melainkan bersama-sama dalam proses bersakit-sakit dahulu sebelum pentas kemudian.

Data primer yang menjadi objek penelitian ini adalah data-data yang saya peroleh melalui wawancara. Pada tahun 2014, saya melakukan wawancara kepada Tita Dian Wulan Sari, Nunung Deni Puspita Sari, Andika Ananda, dan Tony Broer dan pada tahun 2015 saya melakukan wawancara dengan Mbah Tohir (Sutohir), Pak Untung Basuki, dan (akhirnya) Gunawan Maryanto (seseorang yang berhasil dengan baik mendidik saya sebagai aktor waktu itu --tahun 2007-- dan membuat saya bertahan


(37)

hingga saat ini). Di samping itu, teks-teks lain yang menjadi pelengkap dan menjadi bekal untuk membuat narasi merupakan catatan-catatan observasi yang saya peroleh baik dengan cara mengikuti proses latihan ataupun berdasarkan pengamatan atas proses yang ditempuh oleh para narasumber.

Pemilihan nama-nama para aktor tersebut sebagai narasumber dalam penelitian ini berdasarkan ketertarikan saya atas gagasan, semangat, dan sepak terjang mereka di dunia teater. Tiga aktor seperti Mbah Tohir, Untung Basuki, dan Tony Broer merupakan aktor yang bisa dibilang telah banyak makan asam garam di dunia teater (saya kategorikan sebagai angkatan lama). Sementara tiga aktor lain seperti Tita Dian Wulan Sari, Nunung Deni Puspita Sari, dan Andika Ananda merupakan angkatan muda yang telah berteater cukup lama dan belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti berteater. Justru hingga saat ini, mereka masih bersemangat untuk melakukan berbagai macam penciptaan teater. Gunawan Maryanto, di sisi lain, jika dilihat dari segi umur merupakan tokoh yang berada di antara angkatan lama dan angkatan muda; ia kenal baik dengan pendahulunya sekaligus dekat dengan para pelaku muda. Dalam penelitian ini, sosok Gunawan Maryanto merupakan salah satu mata kunci yang memberikan banyak informasi mengenai teater khususnya dalam bidang keaktoran.

Kenapa saya tidak memilih tokoh-tokoh lain yang notabene memiliki nama besar

dan telah ‘sukses’ berteater untuk menjadi narasumber dalam penelitian ini? Tokoh

-tokoh besar dan bisa dibilang sukses dalam berteater barangkali tidak diragukan lagi telah mengunyah segudang pengalaman dan pengetahuan sehingga mereka berhasil dan bertahan atau malah ada yang menjadi penyokong perteateran di Yogyakarta. Namun demikian, saya lebih tertarik untuk meneliti orang-orang yang di mata saya mengagumkan namun nama mereka belum banyak di kenal oleh kalangan luas.


(38)

Tentunya saya juga mempertimbangkan hal lain, yakni di mata saya para aktor yang menjadi narasumber dalam penelitian ini merupakan orang-orang yang hidupnya sederhana (jika dilihat dari perspektif ekonomi). Justru karena itulah saya menangkap

gairah hidup yang luar biasa ketika mereka berteater: membuat karya yang ‘bukan

bertujuan sebagai mata pencaharian’ meskipun pada praktiknya kadang-kadang mereka

mendapatkan honor sekedarnya.

Tentunya banyak sekali aktor di Yogyakarta yang memiliki kategori seperti yang telah saya paparkan tersebut. Akan tetapi, sebagai batasan saya hanya memilih beberapa aktor (dari angkatan tua, angkatan muda, dan di antara kedua angkatan tersebut) yang saya kira cukup sebagai model dan informan untuk menunjukkan bahwa teater bukan semata-mata media hiburan, informasi, dan kritik, melainkan sebagai media yang penting untuk membentuk subjek sebagaimana fokus dalam penelitian ini adalah meneliti pengalaman aktor sebagai pengalaman sublimasi; pengalaman subjek yang tak mau begitu saja menjadi subjek bahasa, melainkan subjek yang terus menerus berdialektika dengan bahasa.

Adapun jenis data yang saya narasikan dalam bab dua adalah verbatim wawancara (yang saya rekam dengan media recorder), foto (yang saya dapatkan dari koleksi para aktor dan fotografer lain yang telah saya sebutkan namanya dalam narasi), dan refleksi atas segala pengetahuan yang saya peroleh selama kurang lebih 9 tahun sebagai pelaku teater (aktor, sutradara, pendamping sekaligus pelatih di UKM Teater Seriboe Djendela Universitas Sanata Dharma, dan penata artistik).

Dari seluruh data yang berhasil dikumpulkan saya narasikan dalam bab II. Data-data tersebut saya pilah dan pilih berdasarkan rumusan masalah yang saya jadikan acuan dalam penelitian ini. Selanjutnya, dalam bab III, narasi yang tersusun dalam bab II saya


(39)

analisis dengan menggunakan perspektif psikoanalisa Lacanian terkait dengan teori subjek dan sublimasi dengan tahap-tahap analisa seperti yang telah saya paparkan pada bagian kerangka teori.

G. Skema Penelitian

Penelitian ini dibagi menjadi empat bab. Bab I dalam penelitian ini berisikan pendahuluan yang melingkupi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritis, metode penelitian dan skema penelitian.

Bab II menarasikan pengalaman berteater para aktor dalam menyikapi dan menghayati teater mereka masing-masing. Bab II ini dinarasikan menjadi lima sub-bab; yakni 1. Perjalanan Menjadi Aktor: Perjalanan Melampaui Batasan, 2. Menghayati Peran: Menjadi Orang Lain, 3. Menjalani Keseharian, 4. Memaknai Akting: Akting di Panggung Teater dan Panggung Keseharian dan 5. Teater: Antara Kesenangan, Kegelisahan, dan Kegilaan Dalam Kehidupan.

Bab III merupakan analisis dari data yang telah dinarasikan dalam bab II. Analisis yang dilakukan dalam bab III ini secara garis besar menempatkan pengalaman aktor sebagai pengalaman sublim menurut perspektif Lacan. Bab III ini dibagi menjadi dua sub-bab, yaitu 1. Membaca Penghayatan Aktor Melalui Perspektif Teori Subjek Lacanian, 2. Menjalani Kehidupan Dua Dunia. Bab IV merupakan penutup dari penelitian ini.


(40)

BAB II

MELEWATI BATAS-BATAS KEHIDUPAN DENGAN

TEATER

Bab II ini menarasikan pengalaman-pengalaman hidup para aktor yang menjadi narasumber dalam penelitian ini. Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan dalam bab I, pengalaman-pengalaman yang dinarasikan dalam bab ini mencangkup pengalaman latihan, pengalaman pentas dan pengalaman hidup dalam bermasyarakat. Singkat kata, pengalaman-pengalaman yang dinarasikan dalam bab ini merupakan pengalaman sublim yang akan dianalisis lebih jauh dalam bab III.

Pengalaman-pengalaman para aktor di bab ini dinarasikan dalam beberapa bagian; bagian pertama menarasikan proses yang ditempuh para aktor dalam menjalani latihan, bagian kedua menarasikan pengalaman para aktor ketika berada di atas panggung, bagian ketiga menarasikan cerita para aktor ketika mereka menjalani dunia keseharian, bagian keempat menarasikan konsepsi para aktor terhadap keaktoran yang mereka jalani, dan bagian kelima menarasikan pemaknaan para aktor terhadap teater yang mereka jalani.

A. Perjalanan Menjadi Aktor: Perjalanan Melampaui Batasan

Apa yang harus dilampaui oleh seorang aktor? Para aktor dalam penelitian ini memiliki penekanan yang kurang lebih berbeda. Perbedaan ini terletak pada jenis teater yang sedang mereka tekuni. Secara garis besar, ada tiga hal mendasar yang selalu dilatih terus menerus oleh para aktor, yakni tubuh, pikiran, dan perasaan (emosi).


(41)

Tony Broer15bersikeras untuk melatih tubuhnya setiap hari tanpa peduli apakah ia akan pentas atau tidak; latihan lebih penting dibandingkan dengan pentas. Lebih jauh dari itu, dia ingin membebaskan tubuh dari belenggu pikiran. Pada wawancara yang saya lakukan bersama Tony Broer, dia mengatakan: “Tubuh kita tidak pernah capek,

pikiran kitalah yang sebenarnya capek dan memberikan imaji atas rasa capek. Pikiran

kita adalah musuh besar saat kita sedang berlatih tubuh!”16Namun dari pernyataan itu,

bukannya kemudian Tony Broer tidak pernah merasa capek. Maksud dari yang ia katakan adalah, dengan menciptakan konsepsi yang demikian, tubuh akan terpancing untuk terus-menerus melawan capek, misalnya dengan latihan lari menempuh jarak yang bisa dibilang sangat jauh untuk ukuran latihan teater. Tony Broer melanjutkan:

“Nah maksudnya lari jauh itu gimana itu? Itu maksdunya mau memancing

membunuh pikiran kita. Jadi hasilnya itu capeknya capek tubuh, bukan capek pikiran. Kalau capek pikiran kan: waduh, sampai malioboro jauh gini nih... nah latihan-latihan mengabaikan pikiran itu ada di latihan-latihan gue.

Ya itu dengan tujuan untuk mencapai tubuh sebagai gagasan.”17

Dari serangkaian latihan yang sering dia lakukan bersama dengan murid-muridnya, sebagai sebuah metode, Tony Broer membagi latihannya menjadi tiga sesi, yakni tubuh fisik, tubuh tema, dan tubuh teks. Ketiganya merupakan satu rangkaian yang sedang digeluti oleh Tony Broer untuk mewujudkan konsepsinya bahwa tubuh

15

Tony Broer adalah seorang seniman teater tubuh yang pernah belajar seni pertunjukan Butoh setelah ia keluar dari Teater Payung Hitam. Saat ini, ayah beranak satu yang beristrikan orang Jepang ini sedang menempuh disertasinya di kampus pasca sarjana ISI Yogyakarta. Gagasan teater yang saat ini sedang ia tekuni adalah teater TubuhKataTubuh, yakni pertunjukan teater tubuh yang mendapat pengaruh dari Butoh yang pernah ia pelajari. Karakter pertunjukan ini kurang lebih tak lagi mementingkan panggung konvensional sebagai tempat pentas, juga tak lagi mementingkan estetika cantik. Tony Broer tidak sepakat jika tubuh dalam pertunjukan teater digunakan sebagai media penyampai pesan karena ia meyakini bahwa tubuh itu sendiri sudah merupakan pesan.

16

Wawancara dengan Tony Broer pada tanggal 3 Agustus 2014 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta.

17


(42)

adalah gagasan; sebagai pertunjukan, tubuh bukan lagi media penyampai pesan, melainkan tubuh adalah pesan itu sendiri.

Dalam latihan tubuh fisik, Tony Broer berusaha untuk membongkar batasan-batasan fisik yang ia miliki, yakni batasan-batasan-batasan-batasan capek, batasan-batasan-batasan-batasan takut, dan batasan-batasan malu. Untuk menguji tubuhnya seringkali dia melakukan latihan di jalanan, di got, di sawah, di sungai, dan berbagai tempat lain yang jauh dari rasa nyaman bagi tubuh dalam rangka untuk melebarkan dimensi yang dimiliki oleh tubuh. Sementara tubuh tema adalah eksplorasi tubuh dengan bantuan imajinasi, misalnya tubuh kematian, tubuh hewan, tubuh perang, dsb. Selanjutnya, tubuh teks merupakan presentasi dari tubuh yang telah dilatih sedemikian rupa. Bentuk-bentuk latihan yang membekas di tubuh inilah yang dinamai Tony Broer sebagai tubuh adalah gagasan.

Gambar 1:

Dok. Pribadi milik Tony Broer

Yang menarik dari pernyataan Tony Broer (bahwa tubuh adalah gagasan) adalah konsepsinya yang ingin melawan wacana-wacana yang sebelumnya menjadi kecenderungan dalam penciptaan teater; tubuh merupakan media penyampai pesan:


(43)

“Tubuh itu sudah gagasan. Jadi ini bukan lagi pantomim, bukan lagi tari.

Ini adalah tafsir kembali tubuh. Kenapa kok kayak gini, ya ini adalah misteri tubuh yang sebenarnya masih menyimpan persoalan, masih harus di kupas. Jadi kalau loe tadi tanya bagaimana menghadapinya ya pasti ada benturan. Ya yang gue tawarkan ini kan bertolak belakang; di sekolah, tubuh itu alat untuk menyampaikan gagasan. Tubuh selalu digunakan untuk menyampaikan gagasan. Sehingga dalam kesenian itu ada wacana bahwa

kesenian itu harus menyampaikan pesan.”18

Dalam hal tubuh, Gunawan Maryanto19 juga menekankan hal yang serupa. Dalam proses penciptaan pentas yang berjudul Waktu Batu, latihan tubuh yang ikut dijalani oleh Gunawan Maryanto merupakan latihan yang bisa dibilang ekstrim dan beresiko. Proses penciptaannya memakan waktu yang cukup pajang yakni 4 tahun yang meliputi serangkaian penelitian untuk penyusunan teks, pengujian teks, hingga proses esekusi dalam bentuk latihan. Dia bercerita:

“Sejauh ini yang paling gila-gilaan itu pas Waktu Batu; itu sampai ke gunung, sampai tinggal di Banyuwangi, sampai punya pengalaman-pengalaman yang dekat dengan kematian. Waktu itu kan di tebing, sementara kita harus memejamkan mata dan lain sebagainya, jadi memang itu resikonya cukup tinggi. Pendakiannya malam, kita sama sekali nggak tahu jalan, sejauh ini itu sih. Kalau di tingkatan tubuh ya, yang paling gila ya hampir semuanya sih, terutama yang berbasis tubuh, karena kita harus melebarkan rentang tubuh; menjelajahi dari yang daily, extra-daily, itu semua harus dijelajahi. Nah yang paling gila ya di Waktu Batu itu. Itu lama

banget latihannya. Prosesnya sendiri hampir 4 tahun kan.”20

Dalam konteks penciptaan peran yang demikian, latihan fisik yang dilakukan sedemikian rupa berbeda konteks dengan latihan-latihan untuk mempercantik bentuk tubuh, atau menciptakan gestur tubuh ‘ideal’, namun latihan-latihan tersebut mengarah

pada peningkatan kapasitas tubuh; kekuatan, kelincahan, kelenturan, keluwesan,

18

Wawancara dengan Tony Broer pada tanggal 3 Agustus 2014 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta.

19

Gunawan Maryanto adalah seorang aktor, sutradara, dan penulis yang masih aktif berkesenian di Garasi Instute of Performance (dulunya adalah Teater Garasi).

20

Wawancara dengan Gunawan Maryanto pada tanggal 7 Maret 2015 di Garasi Institute of Performance, Nitiprayan, Yogyakarta.


(44)

ketrampilan, dan lain sebagainya. Jikalau kemudian aktor memiliki tubuh yang sexy setelah mengalami latihan yang sedemikian rupa, hal itu hanyalah efek samping. Poin utamanya dalam latihan tersebut adalah untuk memperlebar dimensi jangkauan tubuh; fleksibilitas tubuh aktor memang harus dilatih dalam rangka sebagai wadah, sebagai medium, karena latar belakang sejarah kebertubuhan aktor bisa jadi sangat jauh dengan latar belakang sosial karakter yang akan dimainkan. Oleh sebab itulah, dalam rangka menciptakan kewajaran peran, tubuh aktor haruslah siap terlebih dahulu.

Menurut Gunawan Maryanto, meski aktor memainkan pementasan realis dengan ukuran kewajaran sehari-hari, aktor masih akan tetap dituntut untuk melebarkan rentang tubuhnya. Kesiapan tubuh tidak hanya sebagai wadah untuk karakter yang akan dimainkan, akan tetapi di panggung teater bagaimanapun juga seorang aktor harus melakukan segala aktivitas dengan tensi yang lebih dibandingkan dengan aktivitas di keseharian, misalnya, proyeksi suara aktor yang sedang melisankan dialognya minimal harus sampai pada penonton yang duduk di barisan paling belakang. Dengan demikian, tak heran jika latihan keaktoran membutuhkan waktu yang sangat lama.

Selain harus melampaui batasan tubuh, dalam bentuk yang berbeda, bagi Pak Untung Basuki21, seorang aktor harus mengalahkan rasa malu. Pada usianya yang tak lagi muda, Pak Untung Basuki kadang berangkat latihan sambil berteriak-teriak di jalan dalam rangka menghafalkan dialog. Beliau tak peduli jikalau ada orang lain yang terheran-heran melihat beliau bertingkah seperti itu di jalan. “Latihan teater ya siap

-siap menjadi gila,”22 kata beliau dalam wawancara yang saya lakukan. Gila dalam

21

Untung Basuki merupakan salah satu tokoh senior dalam teater Indonesia saat ini. Ia pernah berproses bersama Rendra dengan Bengkel Teaternya dan saat ini ia masih aktif menjadi pengurus Sanggar Bambu. Selain berteater, ia juga dikenal sebagai musisi, penulis puisi, dan pelukis.

22


(45)

konteks ini memang sebuah konsekuensi dari latihan teater. Bahkan bagi Pak Untung, ketika sedang dalam proses latihan penciptaan peran (sebagai Oedipus), ia menganggap bahwa latihan yang ia lakukan merupakan aktivitas yang aneh:

“Itu saya di sembarang tempat teriak-teriak. Jalan di tengah alun-alun itu saya teriak-teriak: Anak-anakku, anak-anak Katmus pendiri kota Thebes ini....kenapa kalian datang berbondong-bondong bagai demonstran? Itu sambil jalan di sana. Yang paling asyik itu kalau hujan. Pas hujan, naik motor, kan helm sudah rapet kan, nggak pake mantel itu tahan aja sih, teriak-teriak nggak ada yang tahu! Hahahaha!!! Ya itu mencari karakter ya begitu itu. Nah kalau menghapal naskah, karena memori saya cukup lemah, ini saya bawa kertas atau apalah, itu saya corat-coret dengan dialog saya, lha ini! Sampai banyak kayak gini!. Ini misalnya pas saya ke dokter tadi, ada kertas resep di lantai tak ambil aja, tak tulisi bagian belakangnya, hahahaha! Ya karena saya dengan menulis ini jadi lebih ngrasa memiliki kata-kata itu. Meresapkan ke dalam. Bahkan kalau bisa itu meniti kata demi kata. Karena

satu kata itu bisa diucapkan dengan banyak cara.”23

Gambar 2:

Pentas Dramatik Reading Oedipus Sang Raja; Pak Untung (kanan) Dok. Novita Budi Lestari24

Bagi Pak Untung, tidak mungkin seorang aktor menghayati peran tanpa merasa memiliki teks yang dimainkan. Sehingga, seorang aktor terkadang memiliki cara yang

23

Wawancara dengan Untung Basuki pada tanggal 8 Maret 2015.

24

Foto diambil pada saat pementasan dramatik reading di Beringin Soekarno Universitas Sanata Dharma pada tanggal 19 Mei 2015 pukul 15.00 WIB.


(46)

sangat personal untuk menciptakan tokoh. Jika perlu, rasa sakit ketika latihan itu harus dilawan. Untuk usianya yang tidak lagi muda, persoalan tubuh menjadi hal yang krusial. Namun semangat Pak Untung ketika berlatih kadang membuatnya lupa bahwa tubuhnya telah rentan penyakit. Mbah Tohir25 pun demikian, pada usianya yang tak kalah tua dengan Pak Untung, rasa sakit pada tubuh tak mengalahkan semangatnya untuk tetap berpsoses. Mbah tohir bercerita demikian:

“Malam itu saya jalan kaki dan jatuh diselokan. Nggak kelihatan waktu itu.

Kaki saya kena cor-coran got. Bengkak. Saya nggak bisa jalan. Itu pas di semarang, habis baca geguritan, saya dipanggil panitia, terus jatuh. Yang paling berkesan bagi saya karena waktu itu bisa menjadi salah satu pembuktian pengalaman. Kalau sekedar masuk angin, asam urat, itu sudah biasa saya atasi. Tapi kalau jatuh saya nggak bisa gerak. Waktu itu yang saya pikirkan adalah pentas saya: bagaimana pentas saya nanti? Akhirnya saya ditolong oleh kawan-kawan teater di Semarang, pijet refleksi, bisa jalan tapi harus pake krek. Nah pentas di Tegal, Pekalongan, itu saya pake krek. Nah itu yang paling menarik bagi saya. Ujian keaktoran saya ya di situ. Pas pentas, awalnya saya masih pake krek, untuk baca puisi, kidung jula-juli. Lalu pas saya main, akhirnya krek saya taruh, dan saya bisa jalan. Nah kan si peran yang saya mainkan tidak sakit. Saya jadi itu dengan kesadaran tokoh, saya bisa jalan dan tidak merasa sakit. Tapi ada juga kekawatiran, makanya saya jaga-jaga, krek saya bawa masuk buat jadi properti sekalian. Nah itu siasat aktor. Sekalian saya menjadikan peristiwa jatuh itu bagian

dari cerita.”26

Entah karena sugesti atau bukan, tapi pengalaman tersebut merupakan pengalaman yang mengherankan bagi Mbah Tohir sehingga ia mengatakan bahwa pengalaman tersebut merupakan ujian keaktoran baginya yang telah berteater selama puluhan tahun. Di luar panggung beliau sakit dan tidak bisa jalan, tapi begitu masuk ke dalam panggung, berdasarkan keyakinan bahwa ia adalah tokoh lain yang tidak sakit,

25

Nama aslinya adalah Sutohir. Ia berasal dari Surabaya dan di sanalah sebelum ia memutuskan untuk menjadi aktor monolog dan menghabiskan hidupnya untuk pentas dari satu kota ke kota lain, ia pernah bergabung dengan kelompok Srimulat dan dikenal sebagai Tohir Drakula (karena sering memerankan tokoh dracula).

26

Wawancara dengan Mbah Tohir pada tanggal 5 Maret 2015 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta.


(47)

maka ia berhasil melampaui rasa sakitnya dan bisa bermain sebagai sosok yang jauh dari kenyataan bahwa mbah Tohir malam itu sedang bengkak kakinya.

Usaha untuk melampaui batasan diri ini juga ditempuh oleh beberapa aktor muda seperti Andika Ananda27, Tita Dian Wulan Sari28 dan Nunung Deni Puspita Sari29. Mereka juga memiliki pengalaman yang hampir serupa dalam menjalani proses keaktoran mereka; rela membongkar batasan-batasan diri yang dimiliki sebagai manusia. Secara umur dan pengalaman, para aktor muda ini memang pernah belajar pada aktor-aktor senior yang telah terlebih dahulu menjalani kehidupan sebagai seniman. Dalam keaktoran yang mereka tempuh, usaha untuk melampaui batasan diri ini diistilahkan juga sebagai membongkar diri; membongkar tubuh, membongkar emosi, dan membongkar intelektualitas. Maksud dari istilah membongkar adalah menelusuri, memahami, dan menyadari kembali sejarah diri (segala aspek yang membentuk karakter diri) untuk kemudian merentangkan jangkauan karakter dirinya. Pada prakteknya, proses keaktoran selalu meninggalkan bekas pengalaman dan pengetahuan. Tak jarang pengetahuan yang telah didapat ini kedepannya menjadi hal yang dilampaui lagi.

Bagi Andika, proses penciptaan akting bersama Teater Kalanari (dulunya adalah teater Teku) dengan teks KINTIR merupakan proses yang sangat berpengaruh dalam konsepsi berteaternya kelak. Proses tersebut merupakan proses yang dimulai dari nol. Andika dan teman-temannya pergi ke suatu desa, hidup bersama dengan mereka, lantas

27

Andika Ananda adalah salah satu aktor teater muda yang masih aktif berteater sejak tahun 2005. Saat ini ia menjadi salah satu pengurus Teater Kalanari.

28

Ia akrab dipanggil dengan nama Tita. Pengalamannya berteater pertama kalinya adalah ketika ia tergabung sebagai perserta Actor Studio yang diselenggarakan oleh Teater garasi pada tahun 2007. Sejak saat itu ia jatuh cinta dengan seni pertunjukan dan aktif menjadi aktor dengan cara ikut bergabung pada proses-proses yang diciptakan oleh rekan-rekannya.

29

Ibu beranak satu ini masih rajin berteater meski sehari-hari ia harus membagi waktunya untuk mengajar sebagai guru Honorer di SD Tumbuh Jetis dan menjalankan beberapa program Padepokan Seni Bagong Kussudihardja.


(48)

menciptakan sebuah teks pertunjukan tentang kehidupan (sekaligus bersama dengan) masyarakat yang mereka datangi. Pemahaman Andika sebagai pelaku teater muda merupakan pemahaman yang mencoba untuk melampaui konsepsi berkesenian yang cenderung menempatkan karya pertunjukan di panggung konvensional. Sementara yang dilakukan Andika dan teman-temannya merupakan hal yang bisa dibilang meninggalkan panggung konvensional. Andika bercerita bahwa konsepsi ini sedikit banyak terinspirasi dari kegilaan Tony Broer dalam melawan batasan estetika yang menurutnya merupakan kecenderungan pelaku teater modern Indonesia yang menempatkan estetika berteater Barat sebagai ukuran ideal. Bagi Tony Broer, juga Andika dan teman-temannya, kecenderungan ini harus diatasi dalam konteks kekinian sebagai strategi berteater di Indonesia kedepannya, salah satunya dengan membawa teater ke ruang-ruang yang lebih memiliki fleksibilitas. Andika bercerita demikian:

“Sederhananya kami melihat teater, saya terutama, akhirnya tidak terbatas

pada panggung. Kedua, proses pertunjukan itu bukan semata-mata kami ciptakan gitu, bukan semata-mata hasil eksplorasi kami sebagai awak pentas, tapi itu juga berkait dengan interaksi penonton. Jadi misalnya antara kami dengan anak-anak sana, kami membantu petani menyirami tanaman sawi, berinteraksi dengan tetangga sebelah dimana tempat kami nanti pentas, itu mewarnai teks-teks kami dan juga masuk ke dalam teks. Sadar atau tidak, teks Kintir itu merupakan hasil penciptaan kami dan orang-orang di sekitar area pentas dan latihan dan bagi saya hal itu merupakan hal yang sangat berharga. Sampai hari ini bahkan saya kenal baik dan masih berhubungan dengan orang-orang di sekitar situ. Bagi saya itu merupakan

sebuah bonus yang lebih dari sekedar pentas.”30

Proses yang demikian tersebut masih dilakukan dalam penciptaan teater Andika bersama Teater Kalanari seperti misalnya dalam proses Panji Amabar Pasir dan Kapai-Kapai Atawa Gayuh. Dalam proses penciptaan pertunjukan Panji Amabar Pasir, proses yang ditempuh Andika berjalan selama satu bulan, setiap hari, dari jam 3 sore hingga

30


(1)

para aktor merupakan pengalaman berhadapan dengan das Ding (kekosongan dibalik bahasa atau material penandaan di dunia simbolik).

Berdasarkan teori sublimasi, perjalanan aktor dalam menempuh proses penciptaan dapat dilihat melalui tiga tahapan, yaitu aktor sebagai subjek bahasa (subject of language) dan subjek hasrat (subject of desire), sebagai subjek dorongan (subject of drive), dan pengalaman akan sinthome dalam panggung sublimasi. Masing-masing tahap ini bisa dikaitkan dengan pengalaman aktor saat mendalami makna naskah sampai mencapai kenikmatan atau kesenangan (pleasure) teks, saat seorang aktor melampaui makna dan kenikmatan teks menuju das Ding dalam teks, dan saat seorang aktor berhasil melahirkan penandanya sendiri (sinthome) dalam panggung sublimasi.

Secara keseluruhan, proses yang ditempuh oleh para aktor baik yang berpijak pada naskah drama atau gagasan-gagasan tertentu merupakan proses untuk menafsirkan symptom mereka sendiri yang tampak pada kecenderungan-kecenderungan (pola-pola gestur tubuh, batasan-batasan tubuh, pola-pola wicara, pola pikir, dan lain sebagainya) yang mereka miliki sebagai bentukan atas konstruksi sosial. Dalam hal ini, naskah atau gagasan (teks) mampu menjadi medium bagi para aktor untuk memaknai symptom mereka sendiri sebagaimana naskah atau gagasan tersebut tercipta atas symptom yang dimaknai melalui das Ding sehingga menjadi sinthome yang berfungsi untuk menutup kekosongan pada das Ding.

Hasrat aktor yang muncul atas identifikasi yang ia lakukan melalui teks justru karena aktor berhadapan dengan das Ding; aktor tidak mendapatkan pemenuhan hanya dengan membaca teks. Dengan kata lain, keindahan yang dimunculkan melalui teks mengantar aktor pada kekosongan yang ditutupi oleh keindahan tersebut. Justru karena tidak sepenuhnya mendapatkan kepenuhan atas kenikmatan teks tersebut, aktor tetap


(2)

151

berhasrat dan terdorong untuk melakukan sesuatu yang lebih dengan cara menempuh proses penciptaan teater; penciptaan penanda-penanda baru atas teks yang mereka hadapi.

Tak jarang para aktor harus menempuh serangkaian latihan tubuh yang cukup berat untuk pertunjukan yang akan mereka mainkan. Proses tersebut bisa disebut sebagai proses untuk melampaui batasan tubuh yang mereka miliki; dengan kata lain, menafsirkan symptom untuk dikatakan kembali sebagai sinthome. Tentunya, sinthome ini merupakan bentukan-bentukan baru atas tubuh yang mereka peroleh selama menempuh proses latihan. Sebagai contoh, dalam memerankan tokoh tertentu dalam naskah, aktor harus menempatkan perilakunya sedemikian rupa agar ia dikenali sebagai tokoh yang ia mainkan. Dengan demikian, aktor harus memahami kecenderungan-kecenderungan yang mereka miliki terlebih dahulu sebelum membiasakan perilakunya sesuai dengan perilaku tokoh yang ia bayangkan.

Seorang aktor ibaratnya melahirkan dirinya kembali melalui proses yang mereka tempuh. Namun demikian, bukan berarti bahwa ketika aktor telah mengalami banyak perubahan melalui proses latihan maka ia kehilangan identitasnya; proses latihan menjadi wahana untuk memperlebar jangkauan diri atau membebaskan diri dari represi (batasan yang tercipta atas konstruksi dunia simbolik). Dengan kata lain, semakin banyak seorang aktor melakukan proses penciptaan, maka semakin banyak pula perspektif yang mereka miliki untuk menyikapi kehidupan mereka. Proses yang ditempuh oleh para aktor dalam penciptaan teater sekaligus membuat aktor berjarak dengan kehidupan yang mereka jalani dalam dunia sehari-hari dalam pengertian bahwa kehidupan bukan sekedar sesuatu yang harus dijalani begitu saja, melainkan harus ditafsirkan dan dilampaui terus menerus.


(3)

Menjadi aktor teater tidak memiliki tujuan akhir hanya untuk pentas di panggung. Para aktor menyadari bahwa keaktoran yang mereka jalani selama ini bukanlah pekerjaan, namun lebih pada bagian dari cara hidup, cara untuk mempelajari hidup, atau, cara untuk bercakap-cakap dengan orang lain. Teater lebih menjadi kebutuhan hidup untuk berbaur bersama orang lain. Dalam hal ini teater masih menempati fungsinya sebagai cara bagi aktor untuk meneguhkan kediriannya sebagai seseorang, sekaligus sebagai bagian dari masyarakat yang tak lepas dari ikatan-ikatan emosional tertentu.


(4)

153

DAFTAR PUSTAKA

Refrensi Buku:

Artaud, Antonin. Theatre And Its Double, Tr. by Mary Caroline Richards, Grove Press, Inc., 1958.

Auslander, Philip, Theory for Performace Studies, Routledge 2008.

Boal, Augusto. Theatre Of The Oppressed, Tr. by Charles A. and Maria-Odilia Leal McBride and Emily Fryer, Pluto Press, 2008.

Evans, Dylan. An Introductory Dictionary of Lacanian Psychoanalysis, Taylor & Francis e-Library, 2006.

Felman, Shoshana. The Scandal Of The Speaking Body: Don Juan with J.L. Austin, or Seduction in Two Languages, Tr. by Cornell University Press, Standford University Press, the Board of Trustees of the Leland Stanford Junior University, 2002.

Felman, Shoshana, Writing And Madness (Literature/Philosophy/Psychoanalysis), Tr. by Martha Noel Evans, Brian Massumi, and author, Standford University Press Palo Alto California, the Board of Trustees of the Leland Stanford Junior University, 2003.

Fortier, Marx, Theory/Theatre An Introduction, Taylor & Francis e-Library, 2007. Fraleigh, Sondra and Nakamura, Tamah. Hijikata Tatsumi And Ohno Kazuo. Routledge,

270 Madison Ave, New York, 2006. Harrop, John. Acting, Taylor & Francis e-Library, 2005.

Harrop, John dan Epstein, Sabin R. Acting With Style, Third Edition, Allyn&Bacon, 2000.

Haryono, Edi (penyusun). Menonton Bengkel Teater Rendra, Penerbit Kepel Press, 2005.

Hatley, Barbara, dkk. Seni Pertunjukan Indonesia Paska Orde Baru, Universitas Sanata Dharma Press, 2014.

Hommer, Sean, Jaques Lacan, Taylor & Francis e-Library, 2005.

Fink, Bruce. A Clinical Introduction To Lacanian Psychoanalysis (Theory and Technique), London, England: Harvard University Press, 1997. Kesel, Marc De. Eros and Ethic: Reading Jaques Lacan’s Seminar VIITr. by Sigi


(5)

Jottkandt, State University Of New York: Sunny Press, 2009.

Lacan, Jacques. ECRITS: The First Complete Edition In English, Tr. By Bruce Fink in collaboration with Heloise Fink and Russell Grigg, W. W. Norton & Company, Inc. 2006.

Oscar G. Brockett, The Theatre an introduction, Holt, Rinehart and Winston, Inc 1964 Pluth, Ed.Signifiers and Act: Freedom In Lacan’s Theory of TheSubject, State

University of New York Press, Albany, 2007.

Prendergast, Monica & Saxton, Juliana. Applied Theatre, Intellect Ltd, 2009. Cohen, Robert. Theatre; Brief Edition, Mayfield Publishing Company 1983.

Saukko, Paulo. Doing Research in Cultural Studies: An Introduction to Classical an New Methodological Approaches, Sage 2003.

Schechner, Richard. Performance Theory, Taylor & Francis e-Library, 2004.

Stanislavski, Constantin, Membangun Tokoh, Tr. B. Verry Handayani, Dina Octaviani, dan Tri Wahyuni. Kepustakaan Populer Gramedia 2008.

Sunardi, ST. Estetika Kenikmatan Tekstual, Emansipasi Teks Lewat Tubuh, dalam Vodka dan Birahi Seorang Nabi, Jalasutra 2012.

Synott, Anthony. The Body Social; Symbolism, Self, and Society, Routledge, 1993. Verhaeghe, P. Beyond Gender: From Subject to Drive, New York: Other Press, 2001. Yudiaryani. WS Rendra Dan Teater Mini Kata, Galang Pustaka 2015.

Zizek, Slavoj. The Sublime Object Of Ideology, London: Verso, 1989.

Tesis

Johnston, Daniel Waycott. Active Metaphysics: Acting as Manual Philosophy or

Phenomenological Interpretations of Acting Theory, Department of Performance Studies, University of Sydney, 2007.

McCurdy, Marian. Acting and Its refusal in Theatre and Film, Theatre & Film Studies, University of Canterbury 2014.

Palippui, Irfan. Pengalaman Subjektifitas Religius Lewat Haji Bawa Karaeng, Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, 2013. Sasanti, Airani, Pementasan Bocah Bajang: Negosiasi Teater Terhadap Media Massa


(6)

155

Atas Makna Fenomena Ponari, Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, 2013.

Windarto, Anicetus. Simulasi (Gosip) Infotainment Dalam Retorika Image (Keaiban) Selebritis, Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2013.

Catatan Perkuliahan

Handout kuliah psikoanalisa yang disusun oleh St. Sunardi dalam perkuliahan di program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma

Web/Blog Internet

http://endgame.teatergarasi.org/ http://sangkarmadu.tumblr.com/ http://teatergarasi.org/?p=366&lang=id