Nyatanya, beberapa penelitian yang bertujuan meningkatkan self-esteem dengan cara memberikan pujian sehingga individu merasa berharga tidak
memberikan konsekuensi perilaku yang diharapkan Mruk, 2006. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
memandang self-esteem sebagai harga diri memiliki masalah teoretis dan praktis sehingga kurang akurat dalam memprediksi suatu perilaku. Ferris, Lian,
Brown, dan Keeping 2009 menyimpulkan bahwa bukti-bukti empiris yang membingungkan terkait self-esteem dan perilaku tertentu mengindikasikan
kebutuhan untuk memahami self-esteem dengan lebih luas, salah satunya adalah dengan melihat sifat kontingensi dari self-esteem.
C. CONTINGENT SELF-ESTEEM 1. Pemahaman tentang Self
Deci dan Ryan 1995 memandang self dengan menekankan pada aspek proses. Self dipandang sebagai suatu proses integrasi identitas yang dilakukan
individu secara terus menerus. Selain itu, proses terbentuknya self didorong oleh kebutuhan akan otonomi, kompetensi, dan keterikatan.
Kebutuhan akan otonomi adalah kebutuhan untuk memiliki kehendak bebas untuk mengikuti
nilai dan ketertarikannya dalam berperilaku. Otonomi membuat seseorang memiliki kontrol terhadap dirinya. Kebutuhan akan kompetensi berkaitan
dengan kemampuan untuk menghadapi lingkungan secara efektif. Kebutuhan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
akan keterikatan berkaitan dengan keinginan seseorang untuk berinteraksi, memiliki hubungan, dan memberikan perhatian pada orang lain.
Proses integrasi ini juga dipengaruhi oleh interaksi individu dengan lingkungannya. Lingkungan sosial yang mendukung akan memfasilitasi
perkembangan self seseorang. Sebaliknya, lingkungan sosial yang tidak mendukung akan mengganggu proses terbentuknya self sehingga menghambat
seseorang dalam memenuhi kebutuhan otonomi, kompetensi, dan keterikatan. Dengan kata lain, true self akan terbentuk apabila individu berhasil
mengintegrasikan perilakunya dengan kebutuhan otonomi, kompetensi, dan keterikatannya.
2. Definisi Contingent Self-Esteem
Deci dan Ryan 1995 menegaskan bahwa memiliki tingkat self-esteem sebagai worthiness yang tinggi tidak selalu menunjukkan kesehatan
psikologis yang baik. Motivasi seseorang melakukan perilaku yang beresiko dan tidak sehat dapat dipahami dengan lebih baik dengan memandang self-
esteem sebagai atribut psikologis yang stabil atau tidak stabil. Self-esteem yang bersifat stabil disebut dengan istilah true self-esteem, dan self-esteem yang
kurang stabil disebut dengan istilah contingent self-esteem. Konsep contingent self-esteem berakar dari konsep self, terutama self-
determination atau determinasi diri. Determinasi diri terkait dengan motivasi seseorang dalam melakukan suatu perilaku. Seseorang dengan determinasi diri
cenderung digerakkan oleh motivasi intrinsik, seperti ketertarikan, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
keingintahuan, aspirasi, dan passion. Seseorang yang memiliki determinasi diri juga merasa bahwa dirinya berharga. Self-esteem sudah melekat padanya tanpa
harus memenuhi harapan-harapan yang berasal dari luar dirinya. Oleh karena itu, individu dengan true self-esteem tidak mendasarkan self-esteem-nya pada
faktor-faktor eksternal, kesuksesan material, dan penerimaan orang lain. Tidak semua perilaku yang didasarkan pada keinginan seseorang
intensi merupakan cerminan dari determinasi diri. Banyak pula intensi yang muncul karena adanya tekanan, paksaan, atau kontrol yang bersumber dari
faktor-faktor di luar diri individu. Individu yang perilakunya cenderung digerakkan oleh faktor-faktor eksternal inilah yang disebut memiliki contingent
self-esteem. Contingent self-esteem merujuk pada self-esteem yang bergantung pada sejauh mana seseorang dapat memenuhi standar atau harapan-harapan
yang diberikan padanya. Dengan demikian, self-esteem merupakan fungsi dari pencapaian faktor-faktor ekstrinsik, misalnya penerimaan dari orang lain,
popularitas, tampilan diri yang menarik, atau uang. 3. Perkembangan Contingent Self-Esteem
Munculnya self-esteem yang cenderung bersifat kontingen dapat bermula sejak masa kanak-kanak Deci Ryan, 1995. Jika sejak kecil
orangtua, guru, dan significant others lainnya sudah menitikberatkan pada pencapaian hasil-hasil tertentu pada anak, maka ia akan menangkap bahwa
kasih sayang, perhatian, dan dukungan akan didapatkan jika berhasil mencapai hasil-hasil tertentu yang diinginkan orang lain terhadapnya. Misalnya, anak