SELF Hubungan antara presentasi diri seksual online dan contingent self-esteem pada remaja.

3. Keterbatasan Self-Esteem

Temuan dua kutub yang dipaparkan sebelumnya disebut sifat heterogenitas dalam self-esteem yang juga dipercaya menimbulkan banyak kebingungan dalam mempelajari self-esteem dan kaitannya dengan perilaku tertentu. Sifat heterogenitas tersebut juga ditemukan pada subjek remaja Kwan, Kuang, Hui, 2009 telah membuktikan bahwa self-esteem yang bersifat heterogen juga terjadi pada remaja. Penelitian lain yang membuktikan adanya sifat heterogenitas dari self-esteem pernah dilakukan oleh Schneider dan Turkat 1975, dalam Baumeister et al., 2003 yang menemukan bahwa individu dengan self-esteem tinggi disertai skor yang tinggi pada skala self-deception cenderung bersifat defensif. Hal ini disebabkan karena individu tersebut berusaha menyesuaikan dirinya dengan social desireability masyarakat. Penelitian Kernis dan Waschull 1995, dalam Baumeister et al., 2003 menemukan bahwa individu dengan tingkat self-esteem yang tinggi namun tidak stabil juga memperoleh skor hostility yang cenderung tinggi. Sebaliknya, individu yang memiliki self-esteem yang tinggi dan stabil memperoleh skor hostility yang cenderung rendah. Selanjutnya, sebagian individu yang memiliki self-esteem tinggi juga memiliki tingkat narsisistik yang tinggi, sedangkan sebagian lainnya tidak. Hal ini disebabkan karena mereka memiliki kecenderungan self-positivity bias. Artinya, individu tersebut memiliki penilaian yang cenderung sangat positif terhadap dirinya. Hal ini berdampak pada self-esteem yang cendung tinggi, sekaligus kecenderungan narisisistik. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Berdasarkan temuan-temuan tersebut, Baumeister dan kawan-kawan 2003 menyimpulkan bahwa di satu sisi, memiliki self-esteem yang tinggi terkait dengan atribut yang positif, seperti martabat, kehormatan, dan conscientiousness, namun di sisi lain juga terkait dengan atribut yang negatif, seperti permusuhan, narsisisme, dan agresi. Dengan demikian, pandangan self- esteem sebagai harga diri kurang dapat membedakan individu dengan atribut psikologis seperti permusuhan, narsisisme, dan agresi, dengan individu yang tidak atau kurang memiliki atribut psikologis tersebut Mruk, 2006; Campbell Foddis, 2003. Akibatnya, penelitian yang bertujuan untuk mempelajari arah dan hubungan antara self-esteem dengan perilaku tertentu yang tidak konklusif masih didapati hingga kini. Hal ini diperkuat oleh temuan Niel Smelser 1989, dalam Mruk, 2006 yang melakukan review literatur dan mendapati bahwa keterkaitan antara self-esteem dengan konsekuensi yang diharapkan dalam suatu penelitian bersifat tidak signifikan, membingungkan, atau bahkan tidak ada keterkaitan sama sekali. Nicholas Emler juga melakukan hal yang sama pada tahun 2001 di Inggris dan mendapati hal yang serupa tentang self-esteem dan kaitannya dengan perilaku tertentu. Selain itu, konsep self-esteem sebagai harga diri juga bermasalah pada tataran praktis. Baumeister, Smart, dan Boden 1996, dalam Mruk, 2006 mengungkapkan bahwa implikasi praktis dari konsep self-esteem sebagai harga diri adalah individu dapat mencapai self-esteem yang tinggi dengan cara yang sederhana, yaitu dengan membuat dirinya merasa berharga atau bermakna.