1
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini memaparkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah dan fokus penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian,
dan manfaat penelitian. Masing-masing sub dijabarkan secara padat dan jelas. Berikut merupakan penjabaran dari masing-masing sub bagian.
A. Latar Belakang Masalah
Pepatah kuno mengatakan, mata merupakan jendela hati, melalui mata kita mengintip isi hati seseorang. Lewat mata kita melihat dunia, lewat mata
kita membedakan hitam dan putih. Lalu bagaimana bila mata hanya bisa melihat warna hitam saja. Pada dasarnya Tuhan mengaruniakan indra
penglihatan kepada manusia sebagai wujud cinta Tuhan kepada manusia. Melalui mata yang dapat melihat seorang manusia dapat melihat,
membedakan, memahami bahkan menghayati sesuatu hal. Itulah yang membuat mata manusia sebagai indra penglihatan berbeda dengan mata pada
hewan meskipun mereka sama-sama memiliki mata untuk melihat. Di Indonesia, seseorang dengan keterbatasan penglihatan disebut
sebagai “tunanetra”. Secara etimologi, kata tunanetra berasal dari kata tuna yang berarti rusak, dan netra yang berarti mata atau penglihatan. Jadi secara
umum tunanetra berarti rusak penglihatan. Tunanetra berarti buta, tetapi buta belum tentu sama sekali gelap atau sama sekali tidak dapat melihat. Ada
orang buta yang sama sekali tidak dapat melihat, orang semacam ini biasanya disebut buta total. Disamping buta total, masih ada juga orang yang
mempunyai sisa penglihatan tetapi tidak dapat dipergunakan untuk membaca dan menulis huruf biasa. Tunanetra adalah seseorang yang memiliki
hambatan dalam penglihatan atau tidak berfungsinya indera penglihatan. Sikap masyarakat luas terhadap penyandang tunanetra jauh lebih baik
dibandingkan dengan sikap terhadap tunarungu. Kebutaan adalah cacat yang dapat dilihat dengan jelas oleh semua orang yang dapat melihat. Negara
mungkin memberikan kemudahan-kemudahan tertentu pada mereka . Misalnya, diberi potongan khusus terhadap pajak pendapatan dan kekayaan
mereka. Orang tunanetra pada umumnya menimbulkan simpati pada orang lain tetapi mungkin simpati tersebut disesalkan oleh tunanetra itu sendiri dan
tak jarang berimbas pada keluarga atau orang terdekatnya. Menurut data dari Kementerian Sosial RI, pada tahun 2011, jumlah
penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 3,11, atau sebesar 6,7 juta jiwa. Sedangkan menurut Kementerian Kesehatan RI, jumlah penyandang
disabilitas lebih besar, yaitu: 6 dari total populasi penduduk Indonesia. Akan tetapi, bila mengacu pada standar Organisasi Kesehatan Dunia PBB
WHO yang lebih ketat, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 10 juta jiwa, sementara rata-rata jumlah penyandang disabilitas di
negara berkembang sebesar 10 dari total populasi penduduk. Berdasarkan survei dari PT Surveyor Indonesia Persero, jumlah populasi penyandang
disabilitas tertinggi berada di Provinsi Jawa Barat, sekitar 50, 90, sedangkan populasi terendah berada di Provinsi Gorontalo, sekitar 1,65.
Menurut data terbaru Juli 2012, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tercatat sebagai berikut; Tunanetra 1.749.981 jiwa, Tunarunguwicara 602.784 jiwa, Tunadaksa 1.652.741 jiwa, Tunagrahita 777.761 jiwa.
Dengan melihat kenyataan seperti di atas maka dapat dikatakan penyandang tunanetra di Indonesia cukup banyak, bahkan bila dikaji kembali
penyandang tunanetra adalah yang terbanyak apabila dibandingkan dengan penyandang disabilitas lain. Melihat fakta ini bisa saja dimungkinkan
segelintir kecil keluarga memiliki sanak saudara yang menyandang tunanetra, bahkan tidak menutup kemungkinan seorang penyandang tunanetrapun
membangun kehidupan berumah tangga dan memiliki seorang anak. Tidak menutup kemungkinan juga anak yang lahir dari pasangan tunanetra itu tidak
mengalami kebutaan dalam artian normal namun, tidak menutup kemungkinan juga anak yang dilahirkan tersebut juga lahir sebagai
penyandang tunanetra. Anak-anak dan remaja tentunya masih dalam pengawasan dan asuhan
orangtuanya, namun tidak seperti pada umumnya orangtua yang menyandang tunanetra memiliki anak, baik yang berpenglihatan normal maupun juga
penyandang tunanetra pasti akan memiliki atau memunculkan perilaku, cara pikir, pola asuh dan perasaan yang jauh berbeda apabila dibandingkan dengan
orangtua bukan penyandang tunanetra atau bisa disebut normal yang memiliki anak bukan tunanetra. Padahal, anak merupakan individu yang membutuhkan
pemeliharaan, kasih sayang, dan tempat bagi perkembangannya. Anak juga mempunyai perasaan, pikiran, kehendak tersendiri yang kesemuanya itu
merupakan totalitas psikis pada masa anak-anak dan remaja tahap perkembangan.
Keluarga merupakan tempat pertama dimana seorang anak tumbuh dan berkembang, dalam masa pertumbuhan dan tahap perkembangannya itu anak
haruslah didamping secara maksimal oleh kedua orangtuanya supaya tumbuh menjadi pribadi yang memiliki hakekat pribadi, dengan kata lain memiliki
konsep diri yang utuh. Carl Roger, 1945 Anak mempunyai arti penting bagi orangtua, dapat dikatakan anak adalah aset bagi keluarga. Anak
berkepribadian tangguh, mandiri, bertanggung jawab dan berbudi pekerti luhur merupakan dambaan setiap orangtua. Sikap-sikap tersebut dapat
terbentuk melalui bagaimana orangtua mendidik anak. Pola asuh yang tepat akan menumbuhkan anak yang berkepribadian baik.
Hubungan yang baik antara orang tua dan anak akan membentuk hubungan simbiosis mutualisme antara keduanya. Anak, di samping
mempunyai arti penting bagi orangtua, orangtua juga mempunyai peran penting bagi anak, salah satu peran tersebut adalah sebagai pengasuh utama
bagi anak saat periode pertama kehidupannya. Orangtua sebagai pengasuh utama bagi seorang anak, karena itu anak sangat membutuhkan orangtua
sebagai pribadi yang utuh dan sempurna. Orangtua yang menyenangkan akan tercermin dalam sikapnya yang memberikan perhatian dan menghormati
kebutuhan anak, membuat anak lebih terbuka dalam menyatakan perasaan, lebih bertanggung jawab atas pekerjaan rumah, mandiri, percaya diri, dan
gembira. Sebagai pengasuh dan pembimbing dalam keluarga, orangtua sangat PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
berperan dalam meletakkan dasar-dasar perilaku anak. Sikap, perilaku, dan kebiasaan orangtua akan senantiasa dilihat, diamati, dan ditiru oleh anak yang
secara sadar atau tidak akan diresapi dan menjadi kebiasaan bagi anak. Pola perilaku tersebut terbentuk karena anak pertama kali mengidentifikasikan diri
pada orangtuanya sebelum mengadakan identifikasi dengan orang lain. Setiap orangtua menyayangi anaknya, akan tetapi manifestasi dari rasa
sayang itu berbeda-beda antara satu orangtua dengan orangtua lainnya. Perbedaan tersebut akan nampak dalam pola asuh yang diterapkan oleh
orangtua kepada anak. Faktor lain yang mempengaruhi gaya pengasuhan orangtua selain perbedaan manifestasi rasa sayang dapat dibagi menjadi dua
faktor yakni faktor dari dalam diri orangtua dan faktor dari luar diri orangtua. Faktor dari luar diri orangtua antara lain kesibukan orangtua, latar belakang
pendidikan orangtua, jenis kelamin anak, serta budaya dan tradisi keluarga. Faktor dari dalam orangtua antara lain kesehatan jasmani dan mental
orangtua, serta sifat dan pembawaan orang tua. Kesehatan jasmani dan rohani orangtua juga dapat menjadi faktor yang mempengaruhi pola asuh yang
diterapkan orangtua kepada anak. Orang tua yang sehat secara mental dan spiritual dapat mengasuh anak dengan penuh rasa cinta kasih dan rasa
“memiliki” terhadap anak, sehingga anak merasa nyaman berada di dekat orangtua. Orangtua yang sehat dan bugar secara jasmani dapat mendampingi,
mengawasi, dan membimbing dalam melakukan kegiatan seperti belajar dan atau bermain, juga dapat membantu mengatasi kesulitan yang dihadapi anak
dalam melakukan suatu kegiatan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Berbeda dengan orangtua yang memiliki kekurangan secara fisik atau jasmani, misalnya pada orangtua yang memiliki kelumpuhan pada bagian
tubuhnya, yakni pada bagian tangan tidak dapat dengan leluasa menggendong anaknya seperti anak-anak lain digendong oleh orangtuanya. Aktivitas
menggendong anak, meskipun terlihat remeh namun sangat berarti dalam menjalin kedekatan hubungan antara orangtua dan anak. Anak yang tidak
pernah digendong akan merasa kecewa bahwasanya dia tidak dapat seperti teman-temannya, walaupun lambat laun anak akan terbiasa dengan kondisi
tersebut. Sama halnya dengan orangtua yang mempunyai kekurangan fisik seperti tidak dapat melihat atau disebut dengan tunanetra. Orangtua dengan
kekurangan seperti ini mempunyai pola asuh yang berbeda dengan orangtua pada umumnya yang tidak memiliki kekurangan.
Keterbatasan orangtua dalam hal fisik terutama indera penglihatan tentu memberikan pekerjaan rumah tersendiri bagi para orangtua dengan
keterbatasan ini. Kondisi ini sering tidak disadari oleh lingkungan sekitar dan kurang mendapat perhatian bahwasanya orangtua dengan keterbatasan seperti
ini membutuhkan bimbingan dari lingkungannya untuk belajar menjadi orang tua bagi putra-putrinya. Orangtua penyandang cacat tunanetra mempunyai
sifat dan karakteristik yang berbeda dari orang normal pada umumnya. Berdasarkan alasan tersebut, maka dirasa perlu untuk melakukan penelitian
lebih lanjut tentang bagaimana orangtua dengan keterbatasan fisik sebagai penyandang cacat tunanetra dapat mengekspresikan kasih sayang mereka
kepada anak sekaligus menanamkan nilai-nilai kehidupan yang akan tercermin dalam pola asuh yang diterapkan orangtua kepada anak.
Fokus penelitian ini adalah strategi pengasuhan orangtua penyandang tunanetra terhadap anaknya yang sedang dalam masa pertumbuhan anak usia
Sekolah Dasar. Bagaimana seorang penyandang tunanetra memandang pentingnya pola asuh terhadap anak dan bagaimana seorang tunanetra
mengasuh anaknya dalam kehidupan nyata di masyarakat dengan kekurangannya tersebut di tengah-tengah jaman yang semakin berkembang
ini.
B. Identifikasi Masalah