“ Sudah waktunya bangsa Indonesia mencanangkan bahaya korupsi sebagai keadaan darurat. Karena
keadaan darurat, maka juga mesti ditangani dengan cara berpikir darurat, cara bertindak darurat, dan
dengan petinggi hukum yang mampu melakukan terobosan yang bersifat darurat ”.
Semakin rendahnya tingkat kepercayaan warga masyarakat terhadap hukum dan penegakan hukum, disebabkan warga secara kasat mata menyaksikan
dan mengetahui sendiri betapa “sandiwara hukum” dan lebih khusus lagi “sandiwara peradilan” masih terus berlangsung. Sosok-sosok penegakan hukum
yang kini masih bergentayangan masihlah sosok lama dengan paradigma lama, tetapi dengan “kemasan baru”. Konkretnya, “sosok-sosok sapu kotor” di
lingkungan penegakan hukum masih eksis dan semakin hari semakin memperkokoh posisinya. Achmad Ali, 2005:36
2.1.2. Gayus Lumpuhkan Naluri Kepolisian
Gayus Halomoan Tambunan luar biasa saktinya. Pegawai golongan III Direktorat Jenderal Pajak yang memiliki kekayaan lebih dari Rp100 miliar itu
adalah jawara suap-menyuap. Dia menyuap hampir semua otoritas penegak keadilan untuk
membebaskannya dari jerat hukum. Di tahanan, dia melumpuhkan polisi dengan kelihaian suapnya. Dia mengerti betul watak polisi yang mudah teler karena uang.
Gayus kembali menampar wajah penegakan hukum, terutama kepolisian, dengan ulah terbarunya. Dengan kemampuan uangnya, Gayus mampu membeli
kebebasannya dengan uang mendekati Rp1 miliar. Tetapi akibatnya, dia menyeret
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
sembilan anggota polisi yang menjaganya menjadi tersangka, termasuk Kepala Rumah Tahanan Mako Brimob Kelapa Dua Depok Komisaris Iwan Siswanto.
Gayus bahkan memperlihatkan kelasnya sebagai raja suap dengan menonton pertandingan tenis internasional di Bali, dengan penyamaran seadanya.
Polisi seperti gagap untuk menjelaskan apakah Gayus benar berada di Bali sesuai dengan foto yang direkam wartawan. Ketika polisi masih gelagapan, Gayus
mengaku bahwa dia memang berada di Bali. Publik semakin jengkel terhadap kinerja kepolisian. Jengkel karena tidak
mau bergerak cepat menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental. Ketika foto Gayus terungkap, polisi lebih sibuk menginterogasi penjaga
rutan Brimob mengapa Gayus diizinkan keluar. Padahal yang menjadi pertanyaan publik adalah mengapa Gayus bisa ke Bali, bagaimana bisa, dan untuk apa?
Apakah benar dia sekadar menonton pertandingan tenis, olahraga yang bukan kesukaannya?
Publik juga ingin tahu, dari mana Gayus memperoleh uang begitu banyak untuk menyuap petugas rutan sehingga sebagian besar hidupnya berada di luar
tahanan? Kalau uang Gayus semuanya sudah disita, siapa yang membiayai Gayus selama ini?
Juga, apakah seorang Komisaris Iwan yang memiliki pengalaman reserse begitu mudah melepas Gayus tanpa mengetahui ke mana sang tahanan pergi?
Apakah Komisaris Iwan menjadi satu-satunya pejabat tertinggi di kepolisian yang bisa memutuskan seenaknya tentang Gayus yang sedang menjadi sorotan publik?
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
Kepolisian Republik Indonesia harus dibedah total. Argumen bahwa lembaga itu sedang berbenah dan meminta publik untuk bersabar dimentahkan
kasus Gayus. Polisi, dalam kasus Gayus, ternyata mampu memisahkan siapa yang boleh dihukum dan siapa yang tidak boleh. Buktinya, pemberi suap kepada Gayus
tidak pernah diperiksa atau didengar kesaksiannya. Kalau kepolisian terus-menerus menampar wajah Indonesia dengan
perilaku manipulatif, ini bencana besar. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus mengambil langkah berani membenahi institusi kepolisian.
Kasus Gayus mempertegas bahwa naluri kepolisian telah lumpuh. Ibarat macan yang terlalu lama dipiara di kandang emas, dia kehilangan naluri
kebinatangannya. Perlu latihan serius agar harimau memperoleh kembali naluri membunuh.file:localhostG:BOBROKNYA20HUKUM20DI20INDONE
SIA18.htm
2.1.3. Lemahnya Penegakan Hukum Di Indonesia