Fenomena-fenomena hukum yang terjadi di Indonesia memang sangat memprihatinkan dan terkesan memandang status. Hal inilah yang menjadi faktor
utama banyaknya korupsi dan tindak kriminal di negeri ini. Di satu sisi, hukum dapat dibeli dengan uang lalu masyarakat kecil yang tidak memiliki apapun harus
menerima dengan pasrah situasi yang mendera mereka. Seperti halnya yang disampaikan oleh Bona Paputungan sebagai pencipta lagu “Andai Aku Gayus
Tambunan”.
4.4.1. Hukum Digambarkan Sebagai ”Barang Dagangan”
Pelanggaran hukum yang terjadi di Indonesia pada masa sekarang ini sudah melampaui batas. Bobroknya penegakan hukum di negeri ini
dilatarbelakangi oleh banyaknya aparat penegak hukum yang harusnya menegakkan hukum justru melakukan pelanggaran. KPK dan polisi yang
merupakan aparat negara harusnya menjadi penegak hukum di negeri ini justru banyak membuat ulah. Banyak contoh kasus yang menguatkan hal ini, misalnya
saja kasus Antasari Azhar yang dulu menjabat ketua KPK, lalu kasus Gayus Tambunan yang sampai saat ini menyita perhatian publik ternyata banyak
menyeret petinggi polri di negeri ini. Kasus Gayus adalah contoh kecil korupsi yang dilakukan secara sistemik.
Pelaku korupsi dalam kasus Gayus berjumlah banyak, dilakukan secara bersama oleh orang-orang yang punya pengaruh besar di negeri tercinta ini. Maka tidak
mengherankan jika penanganannya terkesan tidak sungguh-sungguh, bahkan terbukti Gayus mendapat keleluasaan berpelesir ke Bali dan mancanegara.
Bahkan, vonis Gayus pun dinilai sangat ringan. Hukum, kebijakan, dan peraturan
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
seperti barang dagangan yang dapat dibeli dan diutak-atik. Ini sangat berbahaya karena hal ini menunjukkan bahwa negara pun akhirnya turut terlibat dalam
tindak korupsi dengan peraturan dan kebijakan yang dapat dimanipulasi. Hukum di Indonesia sudah tidak mampu lagi dipakai untuk menghukum
para koruptor, serta penjahat kelas kakap lainnya karena aparat hukum di Indonesia sudah begitu kotor dan korup. Aparat hukum, baik polisi, jaksa, dan
hakim, hanya berorientasi pada uang. Bukan menegakkan keadilan. Siapa yang kuat membayar, merekalah yang akan menang. Hukum sudah seperti barang
dagangan yang diperjual-belikan oleh para polisi, jaksa, dan hakim. Biasanya, para pengacara yang akan jadi perantara antara terdakwa dengan para aparat
hukum tersebut. Pengacara inilah yang akan membagi-bagikan uang dari terdakwa kepada para polisi, jaksa, dan hakim. Demikian pula di tingkat banding atau pun
kasasi di MA. Pada beberapa kondisi, ada pengacara yang bilang bahwa tarifnya adalah
Rp 20 juta untuk sidang di PN. Adapun untuk membayar hakim, perlu uang Rp 30 juta agar bebas. Ini adalah praktek yang sudah jadi rahasia umum. Oleh karena itu,
media massa dan juga para praktisi hukum di LBH menyebutnya sebagai mafia peradilan. Sementara di masyarakat umum dikenal istilah “KUHP” yang
dianekdotkan dengan “KASIH UANG HABIS PERKARA,” serta “UUD” yang dianekdotkan jadi “UJUNG-UJUNGNYA DUIT.”
Dengan membayar lebih banyak, seseorang bisa memenangkan perkara meskipun orang tersebut salah dan membuat lawannya dipenjara, meski lawannya
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
adalah orang yang benar. Para hakim, jaksa, dan polisi akan berpihak kepada orang tersebut. Sebagai contoh, ketika wartawan Tempo diserang dan dipukul
oleh preman Tommy Winata, justru wartawan Tempo lah yang dihukum. Kaburnya para pelaku korupsi trilyunan rupiah seperti Eddy Tansil, Hendra
Rahardja, serta direktur Bank Global merupakan bukti para aparat polisi telah disuap oleh para penjahat tersebut.
Beberapa kasus penting lainnya yang juga menggambarkan bahwa hukum di Indonesia sudah seperti barang dagangan yang bisa diperjual belikan dengan
uang adalah kasus korupsi atau pun pencemaran lingkungan seperti kasus Buyat oleh PT NMR, ketika polisijaksa memeriksa, itu bukan karena mereka ingin
menegakkan hukum. Tapi karena mereka melihat itu adalah peluang untuk mendapatkan uang. Jika tidak diberi uang, mereka akan memproses secara
hukum. Tapi jika diberi, maka kasus tersebut akan mereka hentikan begitu saja. Tak heran banyak kasus korupsi BLBI yang merugikan negara puluhan trilyun
.rupiah di-SP3-kan dihentikan oleh Jaksa Agung. Sebagai contoh, Adrian Waworuntu diberitakan memberi suap Rp 10 milyar kepada Kapolri, sehingga
akhirnya para polisi dan jaksa berpura-pura bodoh dengan tidak menemukan bukti, sehingga dalam 4 bulan, akhirnya Adrian bebas dan kabur ke luar negeri.
Diberitakan juga Adrian ketika menginap di Mabes Polri mendapat fasilitas kamar AC dan TV serta makanan yang mewah yang juga dinikmati para polisi di situ.
Demikian juga dengan kasus korupsi puluhan milyar rupiah oleh anggota DPRD mau pun bupati banten. Polisi dan Jaksa hanya ingin mendapat bagian dari hasil
korupsi tersebut.
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
Istilah Mafia Peradilan sudah berkembang lama sejak tahun 1970 tanpa ada satu pun orang yang mampu membersihkannya. Isu adanya aparat hukum
yang bersih, seperti Jaksa Agung Baharuddin Lopa, belum tentu benar, sebab ternyata dia tidak mampu membersihkan Kejaksaan menjadi lembaga yang bersih.
Entah karena dia sendiri, atau memang juga tidak punya kemauankemampuan untuk membersihkannya.
Hukum di Indonesia digambarkan seperti barang dagangan. Para aparat hukum memperjual-belikan hukum, karena memang sistem hukum di Indonesia
sudah sedemikian korup. Sebagai contoh, untuk masuk Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian PTIK, para polisi harus membayar antara Rp 35 juta hingga Rp 40
juta. Karena gaji mereka kecil, tentu mereka harus menerima suapmemeras agar bisa membayar biaya kuliahnya yang mungkin berasal dari hutang. Ada juga bos
judi yang membiayai polisi tersebut hingga jadi perwira dan jadi beking bos judi tersebut. Para aparat hukum juga harus menyetor sejumlah uang ke atasannya.
Anggota polsek ditargetkan untuk menyetor ke Kapolsek. Para Kapolsek pun ditargetkan untuk menyetor uang ke Kapolres, hingga akhirnya sampai ke
Kapolri. Pernah diberitakan bahwa jabatan Polri diperjual-belikan. Namun begitu dibantah oleh Kapolri Da’i Bakhtiar, isyu tersebut lenyap. Begitu pula isyu yang
menyebutkan bahwa ada perwira Polri yang menawar jabatan polri sebesar Rp 10 milyar.
Dengan dalih supremasi hukum, seperti halnya barang dagangan, para aparat hukum dengan sewenang-wenang memperjual-belikan hukum tanpa ada
yang bisa mengontrol. Hukum hanya mereka tegakkan jika terdakwa tidak punya
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
uang untuk menyuap. Hukum mereka gunakan untuk memeras terdakwa yang tidak bersalah guna memperkaya diri mereka. Berbagai lembaga pengawas aparat
hukum seperti DPR, Ombudsman, Komisi Hukum, dan lain-lain, tidak mampu mengontrol dan membersihkan aparat hukum tersebut, karena tidak mempunyai
kemampuanwewenang yang cukup untuk membersihkan aparat hukum. Sebagai contoh, Komisi Hukum, hanya terdiri dari 6 orang saja. Ada pun Ketuanya adalah
JE Sahetapy yang sudah jompo berumur 70 tahun lebih serta merangkap berbagai jabatan, sehingga hampir tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya bisa
melapor ke presiden. Itu saja. Sementara presiden yang menerima laporan, akan kembali menyerahkannya ke aparat hukum tersebut, yaitu Kapolri, Jaksa Agung,
mau pun Ketua MA, yang notabene membela bawahannya. Oleh karena itu, tidak ada yang bisa membersihkan aparat hukum di Indonesia. Demikianlah. Para
aparat hukum kita, meski gajinya kecil, dengan pangkat AKP saja, mereka sudah mampu punya mobil dan rumah sendiri. Semua itu mereka lakukan dengan
memperjual-belikan hukum seperti barang dagangan.
4.4.2. Penegakan Hukum di Indonesia