Penegakan Hukum di Indonesia

uang untuk menyuap. Hukum mereka gunakan untuk memeras terdakwa yang tidak bersalah guna memperkaya diri mereka. Berbagai lembaga pengawas aparat hukum seperti DPR, Ombudsman, Komisi Hukum, dan lain-lain, tidak mampu mengontrol dan membersihkan aparat hukum tersebut, karena tidak mempunyai kemampuanwewenang yang cukup untuk membersihkan aparat hukum. Sebagai contoh, Komisi Hukum, hanya terdiri dari 6 orang saja. Ada pun Ketuanya adalah JE Sahetapy yang sudah jompo berumur 70 tahun lebih serta merangkap berbagai jabatan, sehingga hampir tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya bisa melapor ke presiden. Itu saja. Sementara presiden yang menerima laporan, akan kembali menyerahkannya ke aparat hukum tersebut, yaitu Kapolri, Jaksa Agung, mau pun Ketua MA, yang notabene membela bawahannya. Oleh karena itu, tidak ada yang bisa membersihkan aparat hukum di Indonesia. Demikianlah. Para aparat hukum kita, meski gajinya kecil, dengan pangkat AKP saja, mereka sudah mampu punya mobil dan rumah sendiri. Semua itu mereka lakukan dengan memperjual-belikan hukum seperti barang dagangan.

4.4.2. Penegakan Hukum di Indonesia

Penegakan hukum yang terjadi di Indonesia saat ini sangat sulit untuk diperbaiki karena sudah mendarah daging dalam sejarah suram perpolitikan Indonesia. Pelanggaran hukum yang terjadi di Indonesia sudah menyeret berbagai kalangan masyarakat baik itu dari pejabat tinggi sampai staf terendah. Hukum sering ditampilkan sebagai sosok yang garang, tak kenal ampun. Apalagi kalau menempatkan hukum sebagai sebuah perintah law as command, ketidakpatuhan terhadap perintah melahirkan konsekuensi sanksi. Hukum yang Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. demikian tampil begitu garang, akan menghukum siapa saja yang melanggar hukum. Atas nama kepastian hukum, pihak yang memiliki otoritas menggunakan hukum untuk menciptakan ketertiban sosial. Namun yang terjadi di Indonesia adalah suatu hal yang sangat memalukan dimana, lembaga penegak hukum yang harusnya dipercaya oleh publik justru sebagai pelaku korup yang memperjualbelikan pasal-pasal hukum, dan mengkompromikan proses hukum bagi mereka yang mampu memuaskan keinginan dan kerakusan ekonomi penegak hukum. Sistem penegakan hukum sudah seperti pasar dimana terjadi tawar menawar antara pembeli dan penjual hukum. Pasar penegakan hukum menjadikan hukum menjadi komoditas atau sarana perdagangan. Bahkan di dalam pasar penegakan hukum juga terdapat para preman-preman hukum yang mengutip setiap hasil transaksi yang dilakukan. Preman hukum ini mungkin tidak terorganisasi, tetapi mereka berjejaring dengan aparat penegak hukum yang berprofesi ganda sebagai penjual hukum. Berbeda halnya apabila yang menjadi preman hukum sekaligus penjual hukum maka mereka terorganisir dan mempunyai kemampuan untuk membentuk kartel. Kartel inilah yang sering disebut atau dikenal dengan sebutan mafia hukum. Preman hukum yang tidak terorganisir bergerak secara independen mengikuti alur pihak- pihak berperkara yang membutuhkan ‘jasa hukum’nya. Sedangkan yang terorganisir, berjejaring untuk saling bisa mengkondisikan komoditas hukum yang bisa ditawarkan dengan mengacu prinsip penawaran dan permintaan. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. Tugas aparat penegak hukum adalah menegakkan hukum tetapi yang terjadi adalah komodifikasi hukum untuk memuaskan keinginan serta kerakusan ekonomi. Hukum baik dalam struktur, substansi dan budayanya menjadi hipokrit tidak lagi mengejar hakekat hukum, tetapi kepentingan pengemban hukum. Pengemban hukum membentuk hukum menjadi komoditas untuk diperjualbelikan. Hukum dengan pasal-pasalnya, hukum dengan aparat penegak hukumnya, hukum dengan kemuliaan tujuannya didistorsikan sekedar menjadi ‘barang dagangan’. Hukum yang hakekatnya harus adil menjadi hukum yang melayani kepentingan para pihak yang melakukan transaksi. Hukum tidak lagi tampil dengan watak yang supreme, melainkan mengalami kemerosotan derajat menjadi pelayan. Dengan situasi demikian maka masyarakat harus lebih bijak dan kritis dalam menyikapi kondisi yang terjadi di Indonesia khususnya menyangkut penegakan hukum. Untuk mencapai tujuan mulia “membersihkan” hukum di Indonesia dari pengaruh buruk para mafia peradilan maka, masyarakat diharapkan memberikan dukungan dan solidaritas atas kejujuran dari para aparat penegak hukum yang masih setia menjalankan tugasnya sesuai dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dengan jalan tidak ikut melakukan praktek suap jika sedang berurusan dengan hukum serta menginformasikan kepada aparat jika menemui dugaan adanya praktek mafia peradilan disekitarnya. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Hukum di Indonesia sudah tidak mampu lagi dipakai untuk menghukum para koruptor, serta penjahat kelas kakap lainnya karena aparat hukum di Indonesia sudah begitu kotor dan korup. Aparat hukum, baik polisi, jaksa, dan hakim, hanya berorientasi pada uang. Bukan menegakkan keadilan. Siapa yang kuat membayar, merekalah yang akan menang. Hukum sudah seperti barang dagangan yang diperjual-belikan oleh para polisi, jaksa, dan hakim. Biasanya, para pengacara yang akan jadi perantara antara terdakwa dengan para aparat hukum tersebut. Pengacara inilah yang akan membagi-bagikan uang dari terdakwa kepada para polisi, jaksa, dan hakim. Demikian pula di tingkat banding atau pun kasasi di MA. Hukum di Indonesia digambarkan seperti barang dagangan. Para aparat hukum memperjual-belikan hukum, karena memang sistem hukum di Indonesia sudah sedemikian korup. Hukum dapat dibeli dengan uang lalu masyarakat kecil yang tidak memiliki apapun harus menerima dengan pasrah situasi yang mendera mereka. Aparat hukum, baik polisi, jaksa, dan hakim, hanya berorientasi pada uang. Bukan menegakkan keadilan. Siapa yang kuat membayar, merekalah yang akan menang. Hukum sudah seperti barang dagangan yang diperjual-belikan oleh para polisi, jaksa, dan hakim. Biasanya, para pengacara yang akan jadi perantara antara terdakwa dengan para aparat hukum tersebut. 76 Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

Dokumen yang terkait

Struktur Dan Pemarkah Kalimat Imperatif Dalam Lirik Lagu Ebiet G Ade Tahun 1980-An (Kajian Sintaksis)

4 57 84

Indonesia Dalam Menghadapi Persaingan Internasional

0 49 56

Peranan Masyarakat Lokal dalam Pengembangan Pariwisata Alternatif Tangkahan

17 149 59

PENGGAMBARAN LAKILAKI DALAM LIRIK LAGU “SELIR HATI” ( Studi Semiotik Tentang Penggambaran Laki-laki Dalam Lirik Lagu “Selir Hati” yang dipopulerkan oleh grup band TRIAD Dalam Album TRIAD).

5 38 114

PENGGAMBARAN KEPASRAHAN DALAM LIRIK LAGU “Jangan Menyerah” (Studi Semiotik Tentang Penggambaran Kepasrahan Dalam Lirik Lagu “Jangan Menyerah” Karya Grup Band D’Masiv).

9 66 75

PENGGAMBARAN KESETARAAN GENDER PADA LIRIK LAGU “RAHASIAKU” (Studi Semiotik Dalam Lirik Lagu “Rahasiaku” yang Dibawakan oleh Grup Band Gigi).

0 0 87

PENGGAMBARAN KESETARAAN GENDER PADA LIRIK LAGU “RAHASIAKU” (Studi Semiotik Dalam Lirik Lagu “Rahasiaku” yang Dibawakan oleh Grup Band Gigi).

0 0 18

PENGGAMBARAN KEPASRAHAN DALAM LIRIK LAGU (Studi Semiotik Tentang Penggambaran Kepasrahan Dalam Lirik Lagu “Jangan Menyerah” Karya Grup Band D’Masiv) SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh Gelar Sarjana pada FISIP UPN : “Veteran” Ja

0 0 20

PENGGAMBARAN LAKILAKI DALAM LIRIK LAGU “SELIR HATI” ( Studi Semiotik Tentang Penggambaran Laki-laki Dalam Lirik Lagu “Selir Hati” yang dipopulerkan oleh grup band TRIAD Dalam Album TRIAD).

0 0 20

PENGGAMBARAN PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA DALAM LIRIK LAGU ”ANDAI AKU GAYUS TAMBUNAN” (Studi Semiotik Penggambaran Penegakan Hukum di Indonesia dalam Lirik Lagu ”Andai Aku Gayus Tambunan” Oleh Bona Paputungan)

0 0 23