kejahatan, dan apabila dilakukan berkali-kali maka pelaku dapat dikatakan resedivis.
Pengenaan sanksi perpajakan kepada wajib pajak seperti yang diatur dalam pasal 38 dan 39 Undang-undang KUP Nomor 6 Tahun 1983 yang telah diubah
atas perubahan ketiga menjadi Undang-undang KUP Nomor 28 Tahun 2007, ternyata mempunyai jangkauan disamping untuk mencegah terjadinya
pengulangan tindak pidana residive dibidang perpajakan, juga merupakan upaya pencegahan preventy bagi wajib pajak untuk tidak melakukan perbuatan yang
dilarang tersebut, demi menumbuhkan rasa disiplin dan kesadaran hukum untuk melaksanakan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban Negara.
49
B. Pertanggungjawaban Tindak Pidana Perpajakan dalam Hukum Pidana
Pertanggungjawaban pidana sudah muncul sejak zaman Revolusi Prancis, pada masa itu tidak saja manusia yang dapat pertanggungjawaban tindak pidana
bahkan hewan atau benda mati lainya pun dapat di pertanggungjwabkan tindak pidana. Seseorang tidak saja mempertanggungjawabkan tindak pidana yang di
lakukanya, akan tetapi perbuatan orang lain juga dapat di pertanggungjawabkan karena pada masa itu hukuman tidak hanya terbatas pada pelaku sendiri tetapi
juga di jatuhkan pula pada keluarga atau teman-teman pelaku meskipun mereka tidak melakukan tindak pidana. Hukuman yang dijatuhkannya atas atau jenis
perbuatan sangat berbeda-beda yang di sebabkan oleh wewenang yang mutlak dari seorang hakim untuk menentukan bentuk dan jumlah hukuman.
49
Ibid, hal. 99-100
Universitas Sumatera Utara
Namun setelah revolusi prancis pertanggungjawaban pidana didasarkan atas dasar falsafah kebebasan berkehendak yang disebut dengan teori
tradisionalisme mashab taqlidi, kebebasan berkehendak dimaksud bahwa seorang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas dasar pengetahuan dan
pilihan, menurut teori ini seseorang yang pada usia tertentu dapat memisahkan dan membedakan mana yang dikatakan perbuatan baik dan mana yang tidak baik.
Pertanggungjawaban atau yang di kenal dengan konsep “liability” dalam segi falsafah hukum, seorang filosof besar abad ke 20, Roscoe Pound menyatakan
bahwa : I…Use simple word “liability” for the situation whereby one may exact legally and other is legally subjeced to the exaction.”
50
Pertangungjawaban pidana di artikan Pound adalah sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan
yang akan di terima pelaku dari seseorang yang telah di rugikan, menurutnya juga bahwa pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut
masalah hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai moral ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat.
Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing disebut sebagai “toereken-baarheid,” “criminal reponsibilty,” “criminal liability,” pertanggung
jawaban pidana disini di maksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat di pertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak terhadap tindakan yang
di lakukannya itu.
51
50
Roscoe Pound. “ introduction to the phlisophy of law” dalam Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana.Cet.II, Bandung:Mandar Maju,2000,hlm.65
51
S.R Sianturi .Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapanya,Cet IV, Jakarta :Alumni Ahaem-Peteheam,1996,hlm .245
Universitas Sumatera Utara
Dalam konsep KUHP tahun 1982-1983, pada pasal 27 menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif ada pada
tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku, secara obyektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat undang-undang untuk dapat di kenai pidana karena
perbuatannya.
52
Menurut Roeslan Saleh, dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk pertanggungjawaban.Perbuatan pidana menurut Roeslan Saleh mengatakan, orang
yang melakukan perbuatan pidana dan memang mempunyai kesalahan merupakan dasar adanya pertanggungjawaban pidana. Asas yang tidak tertulis mengatakan,
“tidak di ada pidana jika tidak ada kesalahan,” merupakan dasar dari pada di pidananya si pembuat.
53
Seseorang melakukan kesalahan, menurut Prodjohamidjojo, jika pada waktu melakukan delict, dilihat dari segi masyarakat patut di cela.
54
Dengan demikan, menurutnya seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal,
yaitu 1 harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata lain, harus ada unsur melawan hukum. Jadi harus ada unsur Obejektif, dan 2
terhadap pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan, sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut dapat di
pertanggungjawabkan kepadanya.jadi ada unsur subjektif. Telah di maklumi bahwa perbuatan pidana memiliki konsekuensi
pertanggungjawaban serta penjatuhan pidana. Maka, setidaknya ada dua alasan
52
Djoko Prakoso .Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia . Edisi Pertama , Yogyakarta : Liberty Yogyakarta , 1987 ,hlm.75
53
Ibid.
54
Prodjohamidjojo, Martiman, Memahami dasar-dasar hukum Pidana Indoesia Jakarta :PT. Pradnya Paramita, 1997 hlm.31
Universitas Sumatera Utara
mengenai hakikat kejahatan,
55
yakni pertama pendekatan yang melihat kejahatan sebagai dosa atau perbuatan yang tidak senonoh yang dilakukan manusia lainnya.
Kedua pendekatan yang melihat kejahatan sebagai perwujudan dari sikap dan pribadi pelaku yang tidak normal sehingga ia berbuat jahat. Kedua pendekatan ini
berkembang sedemikian rupa bahkan di yakini mewakili pandangan-pandangan yang ada seputar pidana dan pemidanaan. Dari sinilah kemudian berbagai
perbuatan pidana dapat di lihat sebagai perbuatan yang tidak muncul begitu saja, melainkan adalah hasil dari refleksi dan kesadaran manusia. Hanya saja perbuatan
tersebut telah menimbulkan kegoncangan sosial di masyarakat. Kemampuan dalam hal bertanggungjawab bila di lihat dari keadaan batin
orang yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan bertanggungjawab dan menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya
kesalahan, yang mana keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan normal, sebab karena orang
yang normal, sehat inilah yang dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran – ukuran yang di anggap baik oleh masyarakat.
56
Sementara bagi orang yang jiwanya tidak sehat dan normal, maka ukuran- ukuran tersebut tidak berlaku baginya tidak ada gunanya untuk di adakan
pertanggungjawaban, sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Bab III Pasal 4 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
55
Andi Matalatta, “santunan bagi korban”dalam J.E. sahetapy ed.…Victimilogy sebuah Bunga rampai 9 Jakarta: Pustaka sinar Harapan,19870 ,hlm.41-42
56
Sutrisna, I Gusti Bagus, “Peranan Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana Tijauan terhadap pasal 44 KUHP,” dalam Andi Hamzahed., Bunga Rampai HUkum Pidana dan Acara
Pidana Jakarta :Ghalia Indonesia ,1986, hlm. 78
Universitas Sumatera Utara
1. Barang siapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat di
pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh di hukum
2. Jika nyata perbuatan itu tidak dapat di pertanggungjawabkan kepadanya
karena kurang sempurna akalnya karena sakit berubah akal maka hakim boleh memerintahkan menempatkan di di rumah sakit gila selama-lamanya satu
tahun untuk di periksa. 3.
Yang ditentukannya dalam ayat di atas ini, hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tingi dan pengadilan negeri.
Mengenai kemampuan bertanggungjawab sebenarnya tidak secara terperinci di tegaskan oleh pasal 44 KUHP. Hanya di temukan beberapa
pandangan para sarjana, misalnya Van Hammel yang mengatakan, orang yang mampu bertanggungjawab harus memenuhi setidaknya 3 tiga syarat, yaitu : 1
dapat menginsafi mengerti makna perbuatannya dalam alam kejahatan, 2 dapat menginsafi bahwa perbuatanya di pandang tidak patut dalam pergaulan
masyarakat, 3 mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya terhadap perbuatan tadi.
57
Unsur-unsur pertanggungjawaban Pidana dimana pertanggungjawaban pidana harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
1. Kemampuan bertanggung jawab.
Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada:
57
Ibid., hlm. 79.
Universitas Sumatera Utara
a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang
buruk; sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum; faktor akal b.
Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. faktor perasaankehendak
2. Kesengajaan dolus Dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana Criminal wetboek tahun
1809 di cantumkan : “sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang di larang atau di perintahkan oleh Undang-undang.”
Dalam memorie Van Toelichting Mvt Menteri Kehakiman sewaktu pengajuan criminal Wetboek tahun 1881 yang menjadi kitab Undang-undang Hukum
Pidana Indonesia 1915, di jelaskan : “sengaja “ diartikan : “ dengan sadar dari kehendak melakukan suatu kejahatan tertentu.”
Beberapa sarjana merumuskan de will sebagai keinginan, kemauan, kehendak, dan perbuatan merupakan pelaksanaan dari kehendak. De will
kehendak dapat tujukan terhadap perbuatan yang dilarang dan akibat yang di larang. Ada dua teori yang berkaitan dengan pengertian “sengaja” yaitu teori
kehendak dan teori pengetahuan atau membayangkan. Menurut teori pengetahuan atau teori membayangkan, manusia tidak
mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia tidak mungkin dapat menghendakai suatu akibat karena manusia hanya dapat menginginkan,
mengharapakan atau membayangkan adanya suatu akibat. Adalah “sengaja” apabila suatu akibat yang di timbulkan karena suatu tindakan di bayangkan
sebagai maksud tindakan itu dan karena itu tindakan yang bersangkutan di
Universitas Sumatera Utara
lakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah di buat. Teori ini menitik beratkan pada apa yang diketahui atau dibayangkan si pembuat, ialah apa
yang akan terjadi pada waktu ia berbuat. Menurut teori kehendak, sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan
unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang. Sebagai contoh, A mengarahkan pistol kepada B dan A menembak mati B; A adalah “sengaja”
apabila benar-benar menghendaki kematian B. Menurut Van Hattum opzet sengaja secara ilmu bahasa berarti oogemark
maksud, dalam arti tujuan dan kehendak menurut istilah undang-undang, opzetelijk dengan sengaja diganti dengan willens en watens menghendaki dan
mengetahui. Pompe mengatakan, bahwa apabila orang mengartikan maksud
oogemark sebagai tujuan bedoeling seperti rencana keinginan pembuat, berarti ada perbedaan antara maksud oogemark dan sengaja opzet. Apabila maksud
oogemark di batasi sampai tujuan terdekat naaste doel dari pembuat, berarti pengertian maksud oogemark selalu juga berarti sengaja opzet. Lebih lanjut ia
memberi contoh: seseorang bermaksud membunuh menteri dan melempar bom ke mobil yang di tumpangi oleh menteri itu. Di samping itu duduk pula raja. Jadi,
pembuat bermaksud membunuh menteri itu yang berarti sengaja. Jika ia mengetahui bahwa menteri tidak akan mati dengan perbuatannya itu, maka ia
tidak akan melempar bom. Sedangkan kematian raja sama sekali tidak di perdulikan. Ia tidak bermaksud membunuh raja tetapi dalam hal ini perbuatan
Universitas Sumatera Utara
melempar bom ke mobil yang di tumpangi juga oleh raja merupakan perbuatan sengaja karena ia tahu perbuatanya itu dapat mendatangkan akibat kematian raja.
Ada dua istilah lagi yang berkaitan dengan sengaja, yaitu “niat”voorhomen dan dengan rencana lebih dahulu met voorberachterade.
Dalam pasal 35 KUHP tentang percobaan di katakan. “percobaan melakukan kejahatan di pidana jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan
pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan iu bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri” ayat 1. Maka dipersoalkanlah apakah ada
perbedaan anatra niat dan kesengajaan.Van Bemmellen tidak melihat adanya perbedaan antara keduanya. Misalnya pada percobaan pembunuhan, apabila
pembunuh menembak korbannya tetapi meleset , maka niat dan kesengajaan jatuh bersamaan. Karena niat katanya harus dinyatakan dengan tindak pelaksanaan,
maka tidak ada alasan untuk membuat perbedaan antara niat dan kesengajaan. Adapun pembagian jenis sengaja yang secara tradisional dibagi tiga jenis, yaitu:
1. Sengaja sebagai maksud Opzet als oogemark,
Yang dimaksud dengan sengaja sebagai maksud adalah, apabila pembuat menghendaki akibat perbuatannya. Dengan kata lain, jika pembuat
sebelumnya sudah mengetahui bahwa akibat perbuatannya tidak akan terjadi maka sudah tentu ia tidak pernah mengetahui perbuatannya.
Contoh: A menghendaki kematian B, dan oleh sebab itu ia mengarahkan pistolnya kepada B. Selanjutnya, ia menembak mati B. Akibat
penembakan yaitu kematian B tersebut adalah benar dikehendaki A. Kesengajaan dengan maksud merupakan bentuk sengaja yang paling
Universitas Sumatera Utara
sederhana. Menurut teori kehendak, maka sengaja dengan maksud dapat didefinisikan sebagai berikut yakni sengaja dengan maksud adalah jika apa
yang dimaksud telah dikehendaki. Menurut teori membayangkan, sengaja dengan maksud adalah jika akibat yang dimaksudkan telah mendorong
pembuat melakukan perbuatannya yang bersangkutan. 2.
Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian Opzet met bewustheid van zekerheid of noodzakelijkheid,
Yang dimaksud sengaja dengan kesadaran tentang kepastian adalah, pembuat sebelumnya harus dilakukan suatu perbuatan lain yang berupa
pelanggaran juga. Maksudnya untuk mencapai tujuan pembuat maka si pembuat harus terlebih dahulu melakukan suatu pelanggaran sebelum
melakukan apa yang ia tujukan. Contoh: agar dapat mencapai tujuannya, yaitu membunuh B, maka A sebelumnya harus membunuh C, karena C
menjadi pengawal B. Antara A dan C sama sekali tidak ada permusuhan, hanya kebetulan C pengawak B. A terpaksa tetapi sengaja terlebih dahulu
membunuh C dan kemudian membunuh B. Pembunuhan B berarti maksud A tercapai, A yakin bahwa ia hanya dapat membunuh B setelah terlebih
dahulu membunuh C, walaupun pembunuhan C itu pada permulaannya tidak dimaksudkannya. A yakin bahwa jika ia tidak terlebih dahulu
membunuh C, maka tentu ia tak pernah akan dapat membunuh B. 3.
Sengaja dengan kesadaran kemungkinan sekali terjadi Opzet met waarschlijkheidbewustzijn,
Universitas Sumatera Utara
Yang dimaksud dengan sengaja dengan kesadaran kemungkinan sekali terjadi adalah, perbuatan si pembuat mengakibatkan timbulnya suatu
pelanggaran lain disamping pelanggaran pertama. Maksudnya dengan perbuatan si pembuat ada kemungkinan terjadi akibat dari perbuatannya
yang melanggar suatu perlanggaran lain disamping pelanggaran pertama. Sebagai contoh: keputusan Hoge Raad tanggal 19 Juni 1911, kasusnya A
hendak membalas dendam terhadap B. A mengirimkan sebuah kue tart kealamat B, dalam tart tersebut telah dimasukkan racun. A sadar akan
kemungkinan besar bahwa istri B turut serta makan kue tart tersebut. Walaupun ia tahu, tapi ia tidak menghiraukan . Oleh hakim ditentukan
bahwa perbuatan A terhadap istri B juga dilakukan dengan sengaja, yaitu sengaja dengan kemungkinan.
Perkembangan pemikiran dalam teori itu ternyata juga di ikuti dalam praktek peradilan di Indonesia. Di dalam beberapa putusanya, hakim menjatuhkan
putusan tidak semata-mata kesengajaan sebagai kepastian, tetapi juga mengikuti corak-corak yang lain. Jadi dalam praktek peradilan semacam itu sangat
mendekati nilai keadilan karena hakim menjatuhkan putusan sesuai dengan tingkat kesalahan terdakwa.
Dari uraian tersebut, pembuktian terhadap teori kehendak itu tidak mudah dan memakan banyak waktu dan tenaga. Lain halnya kalau kesengajaan di terima
sebagai pengetahuan. Dalam hal ini pembuktian lebih singkat karena hanya berhubungan dengan unsur-unsur dan perbuatan yang dilakukannya saja. Tidak
ada hubungan kausal antara motif dengan perbuatan. Hanya berhubungan dengan
Universitas Sumatera Utara
pertanyaan, apakah terdakwa mengetahui, menginsafi atau mengerti perbutannya, baik kelakuan yang dilakukan maupun akibat dan keadaan-keadaan yang
menyertainya.
3.Kealpaan culpa
Yang dimaksud dengan kealpaan adalah terdakwa tidak bermaksud melanggar larangan undang-undang, tetapi ia tidak mengindahkan larangan itu. Ia
alpa, lalai, teledor dalam melakukan perbuatan tersebut. jadi, dalam kealpaan terdakwa kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam
melakukan sesuatu perbuatan yang objektif kausal menimbulkan keadaan yang dilarang.
Selanjutnya, dengan mengutip Van Hamel, Moeljatno mengatakan kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu tidak mengadakan penduga-penduga
sebagaimana diharuskan oeh hokum dan tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.
Kealpaan ditinjau dari sudut kesadaran si pembuat maka kealpaan tersebut dapat dibedakan atas 2 dua yaitu:
1. Kealpaan yang disadari bewuste schuld Kealpaan yang disadari terjadi
apabila si pembuat dapat membayangkan atau memperkirakan kemungkinan timbulnya suatu akibat yang menyertai perbuatannya. Meskipun ia telah
berusaha untuk mengadakan pencegahan supaya tidak timbul akibat itu. 2.
Kealpaan yang tidak disadari onbewuste schuld Kealpaan yang tidak disadari terjadi apabila si pembuat tidak membayangkan atau
memperkirakan kemungkinan timbulnya suatu akibat yang menyertai
Universitas Sumatera Utara
perbuatannya, tetapi seharusnya ia dapat membayangkan atau memperkirakan kemungkinan suatu akibat tersebut. Sofyan Sastrawidjaja
Adapula bentuk-bentuk kealpaan yang ditinjau dari sudut berat ringannya, yang terdiri dari :
1. Kealpaan berat culpa lata Kealpaan berta dalam bahasa belanda disebut
dengan merlijke schuld atau grove schuld, para ahli menyatakan bahwa kealpaan berta ini tersimpul dalam ”kejahatan karena kealpaan”, seperti
dalam Pasal: 188, 359, 360 KUHP 2.
Kealpaan ringan dalam Bahasa Belanda disebut sebagai lichte schuld, para ahli tidak menyatakan tidak dijumpai dalam jenis kejahatan oleh karena
sifatnya yang ringan, melainkan dapat terlihat didalam hal pelanggaran Buku III KUHP
4. Tidak adanya Alasan Pemaaf. . Pembicaraan mengenai alasan penghapus pidana di dalam KUHP dimuat
dalam Buku I Bab III Tentang hal-hal yang menghapuskan, mengurangkan atau memberatkan pengenaan pidana. Pembahasan selanjutnya yaitu mengenai alasan
penghapus pidana, yaitu alasan-alasan yang memungkinkan orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan delik tidak dipidana
Memorie van Toelichting M.v.T mengemukakan apa yang disebut alasan-alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang atau alasan-alasan
tidak dapat dipidananya seseorang. M.v.T menyebut 2 dua alasan: a.
Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak pada diri orang itu, dan
Universitas Sumatera Utara
b. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak diluar
orang itu. Di samping perbedaan yang dikemukakan dalam M.v.T, ilmu pengetahuan
hukum pidana juga mengadakan pembedaan sendiri terhadap alasan penghapus pidana, yaitu:
a. Alasan penghapus pidana yang umum, yaitu yang berlaku umum untuk tiap-
tiap delik, hal ini diatur dalam Pasal 44, 48 sd 51 KUHP. b.
Alasan penghapus pidana yang khusus, yaitu yang hanya berlaku untuk delik- delik tertentu saja, missal Pasal 221 ayat 2 KUHP, menyimpan orang yang
melakukan kejahatan dan sebagainya. Di sini ia tidak dituntut jika ia hendak menghindarkan penuntutan dari istri, suami dan sebagainya orang-orang yang
masih ada hubungan darah. Ilmu pengetahuan hukum pidana juga mengadakan pembedaan lain
terhadap alas an penghapus pidana sejalan dengan pembedaan antara dapat dipidananya perbuatan dan dapat dipidananya pembuat. Penghapusan pidana
dapat menyangkut perbuatan atau pembuatnya, maka dibedakan 2 dua jenis alasan penghapus pidana, yaitu:
1. Alasan Pembenar,
Adapun yang dimaksud alasan pembenar yaitu, menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, meskipun perbuatan ini telah memenuhi rumusan delik
dalam undang-undang. Kalau perbuatannya tidak bersifat melawan hukum maka tidak mungkin ada pemidanaan.
Universitas Sumatera Utara
2. Alasan pemaaf atau alasan penghapus kesalahan,
Adapun yang dimaksud alas an pemaaf ialah, menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang tidak dapat dicela atau ia tidak bersalah atau tidak
dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum. Disini ada alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat, sehingga
tidak dipidana. Menurut penjelasan Undang-undang Perpajakan juga dimuat ketentuan
pidana yang mengatur bahwa setiap pelaku atau pejabat yang tidak menyampaikan SPT yang isinya tidak benar diancam pidana dengan ketentuan
berdasarkan kesalahannya. Adapun jenis dari kesalahan yang diperbuat yakni : a.
Kesalahan berdasarkan kealpaan dalam ketentuan pasal 38 Undang-undang perpajakan ;
1. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau 2. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak
lengkap atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, Sehingga dapat menimbulkan kerugian Negara, dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 satu tahun atau denda paling tinggi 2 dua kali jumlah pajak terhutang.
58
Pengertian kealpaan dalam ketentuan Undang-undang ini, adalah perbuatan yang tidak sengaaja, lalai, tidak hati-hati dan tidak memperdulikan
kewajibannya, atau kurang memperhatikan keadaan atas perbuatannya mengakibatkan kerugian bagi Negara. Jadi dapat disimpulkan bahwa setiap orang
58
Pasal 38 Undang-undang Perpajakan, Opcit, hal. 52
Universitas Sumatera Utara
atau pejabat wajib pajak yang melakukan perbuatan atas kealpaannya dapat diancam pidana dengan hukuman pidana kurungan paling lama 1 satu tahun atau
denda yang dibebankan paling tinggi 2 dua kali jumlah pajak. b.
Kesalahan berdasarkan kesengajaan dalam ketentuan pasal 39 Undang- undang Perpajakan :
1. setiap orang yang dengan sengaja; a. tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau menggunakan atau
menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 2; atau
b. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan ; atau c. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya
tidak benar atau tidak lengkap; atau d. menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 29; atau e. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu
atau dipalsukan seolah-olah benar; atau f. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan , tidak
memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya; atau
g. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut,
Universitas Sumatera Utara
Sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 enam tahun dan denda paling tinggi 4
empat kali jumlah pajak terhutang.
59
Pengertian kesengajaan dalam ketentuan Undang-undang ini, adalah suatu perbuatan yang dengan sengaja dan dilakukan oleh seseorang atau wajib pajak
dengan kesadarannya dan dengan maksud tertentu untuk menguntungkan diri sendiri atau oranglain yang merugikan oranglain atau masyarakat maupun Negara.
Hal ini jelas bahwa setiap orang atau wajib pajak atas perbuataanya dengan sengaja atau dengan sadar perbuatan yang dilakukannya bertujuan untuk
maksud tertentu dengan menguntungkan diri sendiri atau oranglain yang mengakibatkan kerugian bagi oranglain atau masyarakat, maupun Negara diancam
dengan pidana penjara paling lama 6 enam tahun dan denda paling tinggi 4 empat kali dari jumlah pajak terhutang.
Bahwa dapat disimpulkan setiap orang atau pejabat atas perbuatannya melakukan pelanggaran maupun kejahatan dalam perpajakan di Indonesia dapat
dikenakan sanksi pidana, bukan hanya karena perbuatan kealpaannya saja melainkan juga karena kesalahannya.
Dari unsur-unsur tersebut dapat juga dikatakan bahwa tindak pidana dibidang perpajakan dapat dikategorikan sebagai suatu kejahatan dalam bidang
adminsitrasi yang mana tidak hanya merugikan bagi oranglain atau masyarakat luas melainkan juga Negara dikarenakan merugikan pendapatan kas Negara yang
59
Ibid, hal. 53
Universitas Sumatera Utara
mana pajak merupakan sumber pendapatan bagi Negara yang bertujuan untuk pembiayaan pembangunan serta kesejahteraan bagi masyarakat luas.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan
Umum Dan Tata Cara Perpajakan menyebutkan, pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasarkan subjek atau pelaku tindak pidana. Adapun 3 kategori
pertanggungjawaban pidana tersebut yakni: 1.
Pertanggungjawaban pidana bagi wajib pajak yang melakukan tindak pidana perpajakan
Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar
atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana
apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak dan Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang
terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200 dua ratus persen dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
60
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 dijelaskan juga bahwa setiap orang yang dengan sengaja:
61
a. tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
60
Pasal 13A Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007
61
Pasal 39 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007
Universitas Sumatera Utara
b. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak
atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak c.
tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan d.
menyampaikan Surat Pemberitahuan danatau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap
e. menolak untuk dilakukan pemeriksaan
f. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau
dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya
g. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak
memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain h.
tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data
dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi online di Indonesia
i. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 enam bulan dan paling lama 6 enam tahun dan
denda paling sedikit 2 dua kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 empat kali jumlah pajak terutang yang tidak
atau kurang dibayar. Pidana sebagaimana dimaksud ditambahkan 1 kali menjadi 2 kali sanksi
pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana dibidang perpajakan
Universitas Sumatera Utara
sebelum lewat 1 satu tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan. Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak
pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak atau menyampaikan Surat
Pemberitahuan danatau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi
pajak atau pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 enam bulan dan paling lama 2 dua tahun dan denda paling sedikit 2 dua kali
jumlah restitusi yang dimohonkan danatau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 empat kali jumlah restitusi yang dimohonkan
danatau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan Ketentuan pertanggungjawaban pidana juga dikenakan bagi setiap orang
yang dengan sengaja:
62
a. menerbitkan danatau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak,
bukti pemotongan pajak, danatau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya
b. menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 dua tahun dan paling lama 6 enam tahun serta denda paling sedikit 2 dua kali jumlah pajak
dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, danatau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 enam kali jumlah pajak
62
Pasal 39A Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007
Universitas Sumatera Utara
dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, danatau bukti setoran pajak.
2. Pertanggungjawaban pidana bagi pegawai pajak yang melakukan tindak
pidana perpajakan Dalam ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun
2007, pertanggungjwaban kedua dibebankan kepada pegawai pajak yang dalam melaksanakan tugasnya melakukan:
63
a. Pegawai pajak yang karena kelalaiannya atau dengan sengaja menghitung
atau menetapkan pajak tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. b.
Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya dengan sengaja bertindak di luar kewenangannya yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan, dapat diadukan ke unit internal Departemen Keuangan yang berwenang melakukan pemeriksaan dan investigasi dan apabila terbukti
melakukannya dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
c. Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya terbukti melakukan
pemerasan dan pengancaman kepada Wajib Pajak untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum diancam dengan pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
63
Pasal 36A Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007
Universitas Sumatera Utara
d. Pegawai pajak yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara
melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran,
atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Undang- Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya. e.
Pegawai pajak tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, apabila dalam melaksanakan tugasnya didasarkan pada iktikad baik dan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 3.
Pertanggungjawaban pidana bagi pejabat pajak yang melakukan tindak pidana perpajakan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 juga membebankan pertanggungjwaban pidana kepada pejabat pajak yang dalam
melaksanakan tugasnya melakukan:
64
a. Pejabat yang karena kealpaanya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 satu tahun dan denda paling banyak Rp. 25.000.000,00 dua
puluh lima juta rupiah. b.
Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 dua tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 lima puluh juta rupiah.
64
Pasal 41Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007,
Universitas Sumatera Utara
c. Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan
ayat 2 hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.
Pertanggungjawaban pidana juga dapat dikenakan bagi setiap orang yang wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 satu tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,00 dua puluh lima juta rupiah. Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau
mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tiga tahun dan denda paling banyak
Rp75.000.000,00 tujuh puluh lima juta rupiah.
65
Selain itu pertangggungjawaban pidana yang terdapat dalam undang- undang perpajakan ini dibebankan bagi:
66
a. Setiap orang yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35A ayat 1 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 satu tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 satumiliar
rupiah. b.
Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban pejabat dan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A
ayat 1 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 sepuluh bulan atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 delapan ratus juta rupiah.
65
Pasal 41A Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007,
66
Pasal 41C Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007,
Universitas Sumatera Utara
c. Setiap orang yang dengan sengaja tidak memberikan data dan informasi yang
diminta oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat 2 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 sepuluh bulan
atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 delapan ratus juta rupiah. d.
Setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan data dan informasi perpajakan sehingga menimbulkan kerugian kepada negara dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 1 satu tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 lima ratus juta rupiah.
C. Sanksi Pidana Perpajakan dalam Hukum Pidana