Manfaat Perancangan Kebudayaan PENGALAMAN BEKERJA

1.3 Tujuan Perancangan

Tujuan perancangan adalah merancang fasilitas sarana pendidikan yang bercirikan identitas dan budaya Simalungun dengan berpedoman pada teori regional kultur. Tujuan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Membangkitkan dan berusaha mengembalikan kebanggaan sejarah dan budaya Simalungun melalui karya Arsitektur, 2. Menerapkan arsitektur regional cultur dalam perancangan sebuah Politeknik yaitu dengan mempertautkan antara budaya Simalungun yang tercermin dalam arsitektur tradisional Simalungun dengan desain, teknologi dan material modern sehingga dapat menjadi bagian intrinsik dari masyarakat budaya dan identitas kawasan. 3. Memperlihatkan identitas tradisi secara khusus berdasarkan tempatdaerah. 4. Memutuskan prinsip mana yang masih layakpatut untuk saat ini aktual. 5. Sebagai media penyampaian warisan budaya Simalungun pada generasi sekarang dan generasi berikutnya dengan memasukkan elemen-elemen arsitektur tradisional Simalungun pada bangunan Politeknik yang direncanakan.

1.4 Manfaat Perancangan

Sarana pendidikan adalah salah satu sarana yang diharapkan sebagai media untuk meningkatkan sumber daya manusia terutama dari kawasan Kabupaten Universitas Sumatera Utara Simalungun dalam berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan program pendidikan yang di tawarkan. Politeknik sebagai salah satu sarana pendidikan yang menciptakan tenaga-tenaga professional, berketerampilan, disiplin dan sekaligus sebagai media penyampaian warisan budaya dalam bentuk karya arsitektur pada generasi sekarang dan generasi berikutnya.

1.5 Kerangka Berpikir Konseptual

Proses perancangan akan diawali dengan kajian literatur yang berhubungan dengan teori regionalisme Kultur dan kajian terhadap arsitektur karya arsitek Anthony Gall yang dianggap menerapkan teori regionalism. Teori ini menjadi dasar bagi perancangan fasilitas politeknik di Pematang Raya, Kabupaten Simalungun- Sumatera Utara. Teori regionalism yang berkaitan dengan pelestarian budaya, sebagai metode pendekatan untuk mencari, mengamati, dan mengolah elemen-elemen yang merupakan Proses perancangan melalui metode ini akan menghasilkan rancangan politeknik yang mencerminkan bagian intrinsik dari masyarakat budaya untuk memperkokoh jati diri dan identitas. jati diri dan identitas sehingga menjadi identitas kawasan sekaligus sebagai media penyampaian warisan budaya dalam bentuk karya arsitektur pada generasi sekarang dan generasi berikutnya. Kerangka berpikir konseptual gambar 1.3 sebagai pedoman dalam proses perancangan politeknik yang direncanakan. Universitas Sumatera Utara Gambar 1.3 Kerangka berpikir konseptual Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2. 1 Regionalisme Globalisasi membuat kebudayaan setiap bangsa berada dalam proses transformasi terus menerus sehingga masyarakat menjadi semakin heterogen. Simbol, makna dan bahasa arsitektur yang dulunya disepakati bersama dalam suatu komunitas tradisional, saat ini secara tidak tersepakati secara homogen. Pluralisme budaya memang akan menjadi ciri setiap bangsa industrial modern yang sedang bergerak maju dan menuntut setiap profesi agar semakin kreatif dengan penemuan dan ragam alternatif inovasi baru. Siswanto 1997 mengatakan, Arsitektur yang berwawasan Identitas memiliki kesamaan visi dengan gerakan arsitektur terutama di dunia ketiga yang sering dilabel Regionalisme. Dalam pandangan ini gerakan arsitektur tradisional, baik yang high style maupun merakyat dipercaya mampu merepresentasikan sosok arsitektur yang sudah terbukti ideal, sebuah harmoni yang lengkap dari built-form, culture,place and climate. Oleh karena itu missi gerakan ini adalah untuk mengembalikan kontinuitas rangkaian arsitektur masa kini dengan kekhasan arsitektur masa lampau pada suatu wilayah tertentu yang dominan Regional Cultur. Siswanto 1997 mengatakan, seni, ornamentasi dan simbolisme merupakan tiga unsur yang esensial dalam membangun identitas dan makna budaya arsitektur Universitas Sumatera Utara menjadi laku kembali sehingga system produksi arsitektur pun semakin terbuka peluangnya bagi tukang, pengrajin, produsen bahan bangunan, yang bersifat lebih komunal. Dengan demikian strategi kebudayaan semacam ini selain mendorong sector ekonomi kerakyatan menjadi semakin produktif, juga meninggalkan nilai apresiatif dan kebanggaan pada budaya lokal. Regionalisme bertujuan untuk mengungkap kemungkinan-kemungkinan baru dimana mereka berakar. Regionalisme tergantung pada kesadaran politis bersama antara masyarakat dan kaum professional. Peryaratan-persyaratan lahirnya ekspresi ini,selain kemakmuran yang memadai juga diperlukan keinginan yang tegar untuk melahirkan identitas. Beberapa pemikiran para ahli tentang definisi Regionalisme dalam Arsitektur antara lain: Peter Buchanan 1983 mendefinisikan Regionalisme adalah kesadaran diri yang terus menerus, atau pencapaian kembali,dari identitas formal atau simbolik. Berdasar atas situasi khusus dan mistik budaya lokal, Regionalisme merupakan gaya bahasa menuju kekuatan rasional dan umum arsitektur modern. Seperti budaya lokal itu sendiri, Regionalisme lebih sedikit diperhatikan dengan hasil secara abstrak dan rasional, lebih kepada penambahan fisik yang lebih dalam dan nuansa pengalaman hidup. Tan Hock Beng 1994 menyatakan bahwa: Regionalisme didefinisikan sebagai suatu kesadaran untuk membuka kekhasan tradisi dalam merespon terhadap tempat dan iklim,kemudian melahirkan identitas formal dan simbolik ke dalam Universitas Sumatera Utara bentuk kreatif yang baru menurut cara pandang tertentu dari pada lebih berhubungan dengan kenyataan pada masa itu dan berakhir pada penilaian manusia. Amos Rapoport menyatakan bahwa Regionalisme meliputi berbagai kekhasan tingkat daerah dan dia menyatakan bahwa secara tidak langsung identitas yang diakui dalam hal kualitas dan keunikan membuatnya berbeda dari daerah lain. Hal ini memungkinkan mengapa arsitektur Regional sering diidentifikasikan dengan Vernakuler, yang berarti sebuah kombinasi antara arsitektur lokal dan tradisional asli. 2.1.1 Karakteristikciri-ciri Arsitektur Regional Prestylarasati 2009 1. menyampaikan bahwa ciri–ciri daripada arsitektur Regional adalah sebagai berikut: 2. Menggunakan bahan bangunan lokal dengan teknologi modern 3. Tanggap dalam mengatasi pada kondisi iklim setempat 4. Mengacu pada tradisi, warisan sejarah serta makna ruang dan tempat Mencari makna dan substansi kultural, bukan gayastyle sebagai produk akhir. Kemunculannya juga bukan merupakan ledakan daripada sikap emosional sebagai respon dari ketidak berhasilan dari arsitektur modern dalam memenuhi keinginan masing-masing individu di dunia, akan tetapi lebih pada proses pencerahan dan evaluasi terhadap kesalahan-kesalahan pada masa arsitektur modern. Universitas Sumatera Utara 2.1.2 Jati diri arsitektur Romi Khosla 1985 seorang arsitek India yang rnenyalahkan universalisme dan gaya internasional sebagai penyebab lenyap, pudar atau lunturnya jati diri arsitektur, kesinambungan budaya lokal, regional dan nasional. Karya-karya arsitektur dalam kawasan budaya yang spesifik, tetapi dirancang dengan metodologi dan substansi Barat yang universal. Potensi untuk pemenuhan kepuasan dan ekspresi jati diri tersedia, tetapi sengaja tidak diolah untuk bisa sampai ke puncaknya. Budiharjo 1997 mengatakan, Gerakan Regionalisme tidak semata-mata menentang Internasionalisme atau westernisasi dalam bidang arsitektur, tetapi lebih menunjukkan sikap mengamati kembali dan menghargai sejarah mereka sendiri dan berupaya menemukan aspek-aspek kultural yang semula cenderung dilecehkan. Budiharjo 1997 juga mengatakan, pencarian jati diri atau identitas arsitektur dalam gerakan Regionalisme yaitu berusaha menggali makna, simbol dan aspek- aspek yang tangible teraga maupun intangible tidak teraga dan tidak sekedar fungsional, untuk di ungkap dan diolah kembali dalam perwujudan baru. Dalam era pluralisme seperti sekarang ini, kita butuh teori-teori arsitektur baru yang memungkinkan pengejawantahan ekspressi yang jamak dari berbagai subkultur dalam setiap kebudayaan dan sekaligus juga ekpresi identitas yang unik dan khas diantara aneka ragam budaya. 2.1.3 Kultur dan regionalisme adalah sebuah strategi Huffer 2004, menyatakan ada tiga tingkatanyang saling berhubungan dimana Universitas Sumatera Utara Kultur dapat dibuat sebagai pusat sebuah rencana. Tingkatan yang pertama adalah sebagai prinsip dasarnya,yang kedua adalah sebagai suatu kerangka penguasaan untuk daerah dan rencana,dan tingkatan yang ketiga adalah sebagai sasaran hasil yang strategis. Tak dapat dipungkiri bahwa ada keaneka ragaman budaya riil, tetapi ada juga banyak nilai-nilai yang umum dan praktek-praktek yang serupa. Para pemimpin dan orang-orang daerah bermufakat terhadap nilai-nilai utama yang ada kebersamaanya. Konsep-konsep dari kesetiakawanan dalam hal timbal balik untuk mengembangkan dan pemeliharaan dari jaringan kekerabatan dan hubungan-hubungan untuk menitikberatkan pada rasa hormat dan mempedulikan yang lain serta menegakkan martabat manusia. Bennett Peji 2004 menyatakan bahwa, harus berfokus pada penerapan praktek-praktek yang teliti untuk benar-benar memahami, menghormati masyarakat sehingga mencerminkan pemahaman dalam lingkup yang direncanakan. Kita mengungkap kualitas warisan dan keunikan dari komunitas untuk membuat identitas sentral bagi sebuah rencana. Bennett Peji menyoroti bahan-bahan kunci untuk membantu dalam perencanaan yang berfokus pada pendekatan kultur adalah sebagai berikut: 1. Menciptakan rasa yang berbeda dan keotentikan suatu tempat. 2. Menjalin bersama tempat, bisnis, orang dan kisah-kisah mereka. 3. Membantu mengembalikan kebanggaan budaya lokal dan sejarah. Universitas Sumatera Utara 4. Meningkatkan kemampuan kota untuk menarik bisnis dan investasi residensial. Keseluruhannya adalah tentang menghormati warisan budaya sambil merangkul masa depan. Karena identitas yang dihasilkan akan bertahan lama,itu harus relevan dengan generasi muda dan generasi berikutnya. Pada akhirnya, mereka adalah orang-orang yang akan menemukan makna nyata dalam identitas. Sehingga yang dihasilkan adalah untuk mencerminkan kekayaan dan keanekaragaman masyarakat sekaligus menciptakan sebuah identitas yang mencakup sebuah kebenaran yang menarik tentang mengapa harus berinvestasi sekarang untuk merangkul masa depan.

2.2 Kebudayaan

Kebudayaan menurut Koentjaraningrat 1974 adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan hasil dan karyanya. Koentjaraningrat berpendapat bahwa kebudayaan itu mempunyai tiga wujud kebudayaan 1. Wujud ideal yaitu: wujud ideal, wujud kelakuan dan wujud fisik. Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide- ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya yang sifatnya abstrak , tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut Universitas Sumatera Utara menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut. 2. Wujud kelakuan Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan dapat diamati dan didokumentasikan. 3. Wujud fisik Wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan. Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada wujud kelakuan dan wujud fisik karya manusia. Koentjaraningrat 1967 menyatakan, ada tujuh unsur kebudayaan yang bisa didapatkan pada semua masyarakat didunia yaitu: Universitas Sumatera Utara 1. Sistiem peralatan dan perlengkapan hidup 2. Sistim mata pencaharian 3. Sistim kemasyarakatan 4. Bahasa 5. Kesenian 6. Sistim pengetahuan 7. Sistim religi Rafael Raga Maran 2000 mengatakan, kebudayaan terdiri dari dua komponen besar yang saling berhubungan yaitu kebudayaan material dan kebudayaan non-material. Penggolongan kebudayaan tersebut adalah sebagai berikut: a. Kebudayaan material Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata dan konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah alat-alat produktif, alat-alat distribusi dan transport, wadah-wadah dan tempat- tempat untuk menaruh makanan dan minuman, pakaian dan perhiasan, tempat berlindung perumahan dan senjata. b. Kebudayaan non material Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi,misalnya berupa dongeng,cerita rakyat, lagu dan tarian tradisional, ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak. Universitas Sumatera Utara 2.2.1 Pola kebudayaan Benedicts 1934 menjelaskan, Setiap kebudayaan,memilih dari busur besar potensi-potensi manusia hanya beberapa karakteristik yang menjadi ciri kepribadian terkemuka dari orang yang hidup dalam budaya itu. Ciri-ciri ini terdiri dari sebuah konstelasi yang saling tergantung pada estetika dan nilai-nilai dalam setiap budaya yang bersama-sama menambahkan hingga menjadi yang unik. Misalnya ia menggambarkan penekanan pada pengekangan budaya Pueblo dari barat daya Amerika, dan penekanan pada peninggalan dalam budaya penduduk asli Amerika dari Great Plains. Dia menjelaskan bagaimana di Yunani kuno, para penyembah Apollo menekankan ketertiban dan ketenangan dalam perayaan mereka. Sebaliknya, para penyembah Dionysus, dewa anggur, menekankan keliaran, meninggalkan, membiarkan pergi. Dan diantara penduduk asli Amerika, ia menggambarkan secara detail kontras antara ritual, keyakinan, preferensi pribadi antara orang dari budaya yang beragam untuk menunjukkan bagaimana kebudayaan masing-masing memiliki kepribadian yang didorong pada setiap individu. Benediktus, dalam Pola Kebudayaan1934 , mengungkapkan keyakinannya dalam relativisme budaya. Untuk menunjukkan bahwa budaya masing-masing memiliki keharusan moral sendiri hanya dapat dipahami jika dilakukan penelitian budaya secara keseluruhan. Kesalahan, bila meremehkan kebiasaan atau nilai-nilai budaya yang berbeda dari diri sendiri. Kebiasaan mereka memiliki arti bagi orang- orang yang tinggal dilingkungan mereka yang seharusnya tidak diberhentikan atau disepelekan. Kita tidak harus mencoba untuk mengevaluasi orang dengan standar kita Universitas Sumatera Utara sendiri. Ia berpendapat moralitas, adalah relatif terhadap nilai-nilai budaya di mana dijalankan. 2.2.2 Kebudayaan bersifat dinamis dan daptif Benedicts 1934 mengatakan, pada umumnya kebudayaan itu dikatakan bersifat adaptif, karena kebudayaan melengkapi manusia dengan cara-cara penyesuaian diri pada kebutuhan-kebutuhan fisiologis dari badan mereka dan penyesuaian pada lingkungan yang bersifat fisik-geografis maupun pada lingkungan sosialnya. Kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat tertentu merupakan cara penyesuaian masyarakat itu terhadap lingkungannya, akan tetapi cara penyesuaian tidak akan selalu sama. Kelompok masyarakat yang berlainan mungkin saja akan memilih cara-cara yang berbeda terhadap keadaan yang sama. Mereka memakai kebiasaan-kebiasaan baru sebagai bentuk penyesuaian terhadap keadaan-keadaan baru yang masuk kedalam atau yang dihadapi kebudayaannya tetapi mereka tidak sadar bahwa kebiasaan-kebiasaan yang baru yang dibuat sebagai penyesuaian terhadap unsur-unsur baru yang masuk dari luar kebudayaannya malah merugikan mereka sendiri. Disinilah pentingnya filter atau penyaring budaya dalam suatu kelompok masyarakat. Karena sekian banyak aturan, norma atau adat istiadat yang ada dan berlaku pada suatu kebudayaan bukanlah suatu hal yang baru saja dibuat atau dibuat dalam satu dua hari saja. Kebudayaan dengan sejumlah normanya itu merupakan suatu akumulasi dari hasil pengamatan,hasil Universitas Sumatera Utara belajar dari pendukung kebudayaan tersebut terhadap lingkungannya selama beratus- ratus tahun dan dijalankan hingga sekarang karena terbukti telah dapat mempertahankan eksisnya budaya masyarakat tersebut. Kingston 2009 mengatakan, tradisi tidak bisa lagi diartikan sebagai warisan yang statis suatu masa lampau untuk diteruskan dari generasinya ke generasi berikutnya. Sebagai gantinya adalah harus selalu dipahami sebagai sesuatu yang dinamis dengan penafsiran kembali yang dihasilkan dari masa lampau kedalam kebutuhan masa kini dan kebutuhan masa depan. Dari teori-teori regionalism dan teori-teori kebudayaan maka dapat disimpulkan definisi Regional Cultur adalah Kesadaran mengikuti kekhasan tradisi formal ataupun simbolik dari keseluruhan gagasan, tindakan dan karya yang dihasilkan manusia dalam pengalaman historisnya diolah kembali untuk memperkokoh jati diri dan identitas.

2.3 Kebudayaan Simalungun