BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.
1 Regionalisme
Globalisasi membuat kebudayaan setiap bangsa berada dalam proses transformasi terus menerus sehingga masyarakat menjadi semakin heterogen. Simbol,
makna dan bahasa arsitektur yang dulunya disepakati bersama dalam suatu komunitas tradisional, saat ini secara tidak tersepakati secara homogen. Pluralisme budaya
memang akan menjadi ciri setiap bangsa industrial modern yang sedang bergerak maju dan menuntut setiap profesi agar semakin kreatif dengan penemuan dan ragam
alternatif inovasi baru. Siswanto 1997 mengatakan, Arsitektur yang berwawasan Identitas memiliki
kesamaan visi dengan gerakan arsitektur terutama di dunia ketiga yang sering dilabel Regionalisme. Dalam pandangan ini gerakan arsitektur tradisional, baik yang high
style maupun merakyat dipercaya mampu merepresentasikan sosok arsitektur yang
sudah terbukti ideal, sebuah harmoni yang lengkap dari built-form, culture,place and climate.
Oleh karena itu missi gerakan ini adalah untuk mengembalikan kontinuitas rangkaian arsitektur masa kini dengan kekhasan arsitektur masa lampau pada suatu
wilayah tertentu yang dominan Regional Cultur.
Siswanto 1997 mengatakan, seni, ornamentasi dan simbolisme merupakan tiga unsur yang esensial dalam membangun identitas dan makna budaya arsitektur
Universitas Sumatera Utara
menjadi laku kembali sehingga system produksi arsitektur pun semakin terbuka peluangnya bagi tukang, pengrajin, produsen bahan bangunan, yang bersifat lebih
komunal. Dengan demikian strategi kebudayaan semacam ini selain mendorong sector ekonomi kerakyatan menjadi semakin produktif, juga meninggalkan nilai
apresiatif dan kebanggaan pada budaya lokal. Regionalisme bertujuan untuk mengungkap kemungkinan-kemungkinan baru dimana mereka berakar. Regionalisme
tergantung pada kesadaran politis bersama antara masyarakat dan kaum professional. Peryaratan-persyaratan lahirnya ekspresi ini,selain kemakmuran yang memadai juga
diperlukan keinginan yang tegar untuk melahirkan identitas. Beberapa pemikiran para ahli tentang definisi Regionalisme dalam Arsitektur
antara lain:
Peter Buchanan 1983 mendefinisikan Regionalisme adalah kesadaran diri
yang terus menerus, atau pencapaian kembali,dari identitas formal atau simbolik. Berdasar atas situasi khusus dan mistik budaya lokal, Regionalisme merupakan gaya
bahasa menuju kekuatan rasional dan umum arsitektur modern. Seperti budaya lokal itu sendiri, Regionalisme lebih sedikit diperhatikan dengan hasil secara abstrak dan
rasional, lebih kepada penambahan fisik yang lebih dalam dan nuansa pengalaman hidup.
Tan Hock Beng 1994 menyatakan bahwa: Regionalisme didefinisikan
sebagai suatu kesadaran untuk membuka kekhasan tradisi dalam merespon terhadap tempat dan iklim,kemudian melahirkan identitas formal dan simbolik ke dalam
Universitas Sumatera Utara
bentuk kreatif yang baru menurut cara pandang tertentu dari pada lebih berhubungan dengan kenyataan pada masa itu dan berakhir pada penilaian manusia.
Amos Rapoport menyatakan bahwa Regionalisme meliputi berbagai
kekhasan tingkat daerah dan dia menyatakan bahwa secara tidak langsung identitas yang diakui dalam hal kualitas dan keunikan membuatnya berbeda dari daerah lain.
Hal ini memungkinkan mengapa arsitektur Regional sering diidentifikasikan dengan Vernakuler, yang berarti sebuah kombinasi antara arsitektur lokal dan tradisional
asli.
2.1.1 Karakteristikciri-ciri Arsitektur Regional
Prestylarasati 2009
1. menyampaikan bahwa ciri–ciri daripada arsitektur
Regional adalah sebagai berikut:
2. Menggunakan bahan bangunan lokal dengan teknologi modern
3. Tanggap dalam mengatasi pada kondisi iklim setempat
4. Mengacu pada tradisi, warisan sejarah serta makna ruang dan tempat
Mencari makna dan substansi kultural, bukan gayastyle sebagai produk akhir.
Kemunculannya juga bukan merupakan ledakan daripada sikap emosional sebagai respon dari ketidak berhasilan dari arsitektur modern dalam memenuhi
keinginan masing-masing individu di dunia, akan tetapi lebih pada proses pencerahan dan evaluasi terhadap kesalahan-kesalahan pada masa arsitektur modern.
Universitas Sumatera Utara
2.1.2 Jati diri arsitektur Romi Khosla 1985 seorang arsitek India yang rnenyalahkan
universalisme dan gaya internasional sebagai penyebab lenyap, pudar atau lunturnya jati diri arsitektur, kesinambungan budaya lokal, regional dan nasional. Karya-karya
arsitektur dalam kawasan budaya yang spesifik, tetapi dirancang dengan metodologi dan substansi Barat yang universal. Potensi untuk pemenuhan kepuasan dan ekspresi
jati diri tersedia, tetapi sengaja tidak diolah untuk bisa sampai ke puncaknya. Budiharjo 1997 mengatakan, Gerakan Regionalisme tidak semata-mata
menentang Internasionalisme atau westernisasi dalam bidang arsitektur, tetapi lebih menunjukkan sikap mengamati kembali dan menghargai sejarah mereka sendiri dan
berupaya menemukan aspek-aspek kultural yang semula cenderung dilecehkan. Budiharjo 1997 juga mengatakan, pencarian jati diri atau identitas arsitektur
dalam gerakan Regionalisme yaitu berusaha menggali makna, simbol dan aspek- aspek yang tangible teraga maupun intangible tidak teraga dan tidak sekedar
fungsional, untuk di ungkap dan diolah kembali dalam perwujudan baru. Dalam era pluralisme seperti sekarang ini, kita butuh teori-teori arsitektur baru
yang memungkinkan pengejawantahan ekspressi yang jamak dari berbagai subkultur dalam setiap kebudayaan dan sekaligus juga ekpresi identitas yang unik dan khas
diantara aneka ragam budaya.
2.1.3 Kultur dan regionalisme adalah sebuah strategi Huffer 2004, menyatakan ada tiga tingkatanyang saling berhubungan dimana
Universitas Sumatera Utara
Kultur dapat dibuat sebagai pusat sebuah rencana. Tingkatan yang pertama adalah sebagai prinsip dasarnya,yang kedua adalah sebagai suatu kerangka
penguasaan untuk daerah dan rencana,dan tingkatan yang ketiga adalah sebagai sasaran hasil yang strategis.
Tak dapat dipungkiri bahwa ada keaneka ragaman budaya riil, tetapi ada juga banyak nilai-nilai yang umum dan praktek-praktek yang serupa. Para pemimpin dan
orang-orang daerah bermufakat terhadap nilai-nilai utama yang ada kebersamaanya. Konsep-konsep dari kesetiakawanan dalam hal timbal balik untuk mengembangkan
dan pemeliharaan dari jaringan kekerabatan dan hubungan-hubungan untuk menitikberatkan pada rasa hormat dan mempedulikan yang lain serta menegakkan
martabat manusia. Bennett Peji 2004 menyatakan bahwa, harus berfokus pada penerapan
praktek-praktek yang teliti untuk benar-benar memahami, menghormati masyarakat sehingga mencerminkan pemahaman dalam lingkup yang direncanakan. Kita
mengungkap kualitas warisan dan keunikan dari komunitas untuk membuat identitas sentral bagi sebuah rencana. Bennett Peji menyoroti bahan-bahan kunci untuk
membantu dalam perencanaan yang berfokus pada pendekatan kultur adalah sebagai berikut:
1. Menciptakan rasa yang berbeda dan keotentikan suatu tempat.
2. Menjalin bersama tempat, bisnis, orang dan kisah-kisah mereka.
3. Membantu mengembalikan kebanggaan budaya lokal dan sejarah.
Universitas Sumatera Utara
4. Meningkatkan kemampuan kota untuk menarik bisnis dan investasi
residensial. Keseluruhannya adalah tentang menghormati warisan budaya sambil
merangkul masa depan. Karena identitas yang dihasilkan akan bertahan lama,itu harus relevan dengan generasi muda dan generasi berikutnya. Pada akhirnya, mereka
adalah orang-orang yang akan menemukan makna nyata dalam identitas. Sehingga yang dihasilkan adalah untuk mencerminkan kekayaan dan keanekaragaman
masyarakat sekaligus menciptakan sebuah identitas yang mencakup sebuah kebenaran yang menarik tentang mengapa harus berinvestasi sekarang untuk
merangkul masa depan.
2.2 Kebudayaan