40
Universitas Sumatera Utara
berlangsung cukup lama dengan ibu Sutina. ini. Wawancara dilakukan tepat pada pukul 14:00 hingga 16:45 menit. IbuSutina dengan sangat baik dan detail dalam
menjawa semua pertanyaan yang diajukan oleh peneliti.
4.1 Tabel Karakeristik Informan
No Nama
PL Pendidikan
terakhir Jabatan
Agama Alamat
1 Sarmawati
P SMA
a. Ketua
POPTI b.
Wakil Ketua YTI
Islam Jl.Pintu Air
IV Komp.
Polmed No.27
Medan
2 dr.Nelly Rosdiana
M.kedPed,SpAK P
Dokter spesialis
Anak FK Tim Medis
dan Bendahara
YTI Islam
3 Prof. dr. Bida Sari
Lubis, SpAK P
Dokter spesialis
Anak FK Tim Medis
YTI Islam
Jl. Bunga
Asoka no.38 Medan
20133 4
Mursida P
D3 Ekonomi
USU Sekretasris
POPTI Islam
Jl. Karya
Darma, Johor
5 Sutina
P SMA
Bendahara POPTI
Islam Kampung
durian.
Sumber: Hasil Wawancara Penelitian, 7 Juli 2016 4.1.3 Hasil Wawancara dan Pengamatan
4.1.3.1 Informan Primer Pertama
Nama : Sarmawati
Tanggal wawancara : 10 Maret 2016 Waktu wawancara : 10:00
– 12:00 WIB Tempat wawancara : Rumah Ibu Sarmawati Jl.Pintu Air IV komp.Polmed No.27
Ibu Sarmawati, seorang ibu dari empat orang enak dan juga seorang istri yang sangat baik. Beliau merupakan seorang pribadi yang sangat ramah, baik hati,
sederhana dan juga memiliki rasa solidaritas yang tinggi. Hal ini terlihat dari bagaimana ia menjalankan tugasnya sebagai seorang pengurus organisasi YTI dan
POPTI. Awalnya setelah sang anak yang menderita thalasemia meninggal dunia, ia memutuskan untuk tidak lagi ikut bergabung ke dalam organisasi ini, tetapi
Universitas Sumatera Utara
41
Universitas Sumatera Utara
panggilan hati untuk terus membantu sesama dan juga membantu pasien thalasemia membuatnya kekeh untuk tetap mendedikasikan dirinya sebagai
pengurus YTI dan POPTI. Beliau mendapati anaknya yang paling bungsu, Chairunnisa terus menerus
sakit ketika Nisa berumur 1 tahun 8 bulan. Beliau segera membawa anaknya kerumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Awalnya beliau tidak percaya
dengan diagnosis dokter yang mengatakan bahwa anaknya menderita thalasemia. Beliau mengungkapkan bahwa betapa terkejutnya ia ketika mendapati Nisa
didiagnosis menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan. “Ibu kaget pas dokter bilang nisa kena thalasemia. Lebih terkejut lagi
pas dokter bilang thalasemia ini diturunkan dari orang tua yang punya gen pembawa sifat thalasemia.”
Setelah mendengarkan penjelasan dokter, ibu Sarmwati akhirnya mencoba menerima kondisi anaknya. Walaupun dia masih bingung. Ibu Sarmawati merasa
bahwa ia sangat sehat dan suaminya juga sama - sama sehat bisa menurunkan suatu penyakit yang hingga kini tidak ada obatnya. Hanya ada tranfusi darah dan
obat kelasi yang dapat membantu Nisa untuk bertahan hidup. Layaknya orang tua lain, ibu Sarmawati mencoba mencari pengobatan lain. Sanak saudara beliau
banyak yang mengatakan bahwa Nisa terkena penyakit palasik. Dalam bahasa kampung atau tradisional penyakit palasik adalah penyakit yang menyebabkan
darah dalam tubuh seseorang berkurang dengan skala banyak. Banyak saudara yang menyarankan kepada beliau untuk membawa Nisa berobat kampung atau
berobat kepada orang orang pintar. Hingga akhirnya ibu Sarmawati pergi keberbagai daerah seperti Surabaya, Jakarta dan Padang untuk mendapatkan
pengobatan tradisional. Namun tidak ada hasil yang terlihat. Hingga akhirnya beliau memutuskan untuk melakukan perobatan secara medis. Disitulah beliau
pertama kali mengenal Perhimpunan Orang Tua Penderita Thalasemia atau yang disingkat dengan POPTI.
“Setelah ibu kesana kemari berobat tradisional akhirnya yang namanya penyakit pasti yang ngobati dokter kan. Jadi akhirnya ibu
dan ayahnya Nisa mutusin berobat di Medan aja. Berobat sama dokter yang bilang kalau Nisa itu kena Thalasemia.
Universitas Sumatera Utara
42
Universitas Sumatera Utara
Awal sekali POPTI ini merupakan organisasi yang meanggulangi thalasemia. Awalnya. POPTI memiliki lingkup kerja daerah kota Medan dan Aceh
tapi beberapa tahun kemudian dibentuklah POPTI untuk masing masing kota dan ditunjuklah ibu Sarmawati sebagai ketua POPTI cabang kota Medan. POPTI
Medan diresmikan pada tahun 2008 dan masih aktif hingga sekarang. Sebagai ketua POPTI ibu Sarmwati memiliki banyak tanggung jawab. Mulai dari mencari
dana untuk para anak-anak penderita thalasemia hingga mendapatkan donor darah untuk para penderita thalasemia.
Chairunnisa akhirnya tutup usia pada saat ia berumur 13 tahun. Usia yang masih belia. Semasa hidupnya, ia selalu menjalani pengobatan secara terus
menerus tanpa henti. Sebagai seorang ibu, Ibu Sarmawati selalu mencari dana agar anaknya mendapatkan transfusi darah setiap bulan. Transfusi darah dan obat kelasi
besi membutuhkan dana yang cukup banyak. Yang mana saat itu ibu Sarmawati masih belum memiliki ekonomi yang stabil sehingga sulit baginya untuk bisa
mendapatkan uang untuk membeli sekantong darah untuk Nisa. Pada umumnya setiap penderita thalasemia rata-rata bertahan hingga umur 30 tahun. Tapi jika
pasien mendapatkan transfusi yang juga dibarengi dengan pengobatan kalasi yang tepat. Maka tidak menutup kemungkinan pasien bisa bertahan melampaui batas
umur 30 tahun. Sayangnya hal ini tidak berlaku kepada Nisa. Diusia yang masih muda akhirnya Nisa tutup usia. Ibu Sarmawati terpukul bukan main tapi dengan
berjalannya waktu beliau bisa menerima kepergian Nisa. Setelah kepergian Nisa, Ibu Sarmawati memutuskan untuk tidak lagi
menjabat sebagai ketua POPTI. Tapi kerja keras yang dibangunnya untuk membantu para penderita thalasemia membuatnya mengurungkan niat untuk
berhenti menjadi ketua POPTI. “Tadinya ibu sudah enggak mau lagi jadi ketua setelah anak ibu
meninggalkan. Tapi setelah ibu fikir siapa lagi yang bisa menggantikan ibu kalau ibu berhenti. Anak anak ini perlu seseorang
yang bisa membantu mereka. Kebanyakan dari mereka, anak-anak yang gak punya. Berasal dari keluarga yang masih bisa dibilang
miskin. Hati saya terpanggil untuk bisa membantu mereka. Itulah
kenapa saya sampai sekarang masih bertahan menjadi ketua POPTI”
Universitas Sumatera Utara
43
Universitas Sumatera Utara
Selaku ketua POPTI, Ibu Sarmawati melakukan banyak hal untuk membantu orang tua beserta penderita thalasemia di kota Medan. Ibu Sarmawati
memutuskan untuk mengusahakan beberapa fasilitas untuk penderita thalasemia. Seperti ruangan transfusi darah yang berada di Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam
Adam Malik Medan. Ruangan ini diberikan kepada YTI atas kerja sama beliau sebagai wakil ketua YTI dan direktur rumah sakit tersebut. Tidak hanya itu, beliau
juga rajin menyebar beberapa proposal guna menambah fasilitas yang ada diruangan tranfusi tersebut. Proposal ini ia sebar ke beberapa perusahaan dan juga
bank. Hasil kerja kerasnya itu telah membuahkan hasil salah satu bank swasta yang ada di kota Medan memberikan donasi berupa dua buat unit tv 36 Inci
berserta antena dan kursi untuk para orang tua yang sedang menunggui anaknya mendapatkan transfusi. Pihak rumah sakit sendiri selain menyediakan ruangan,
mereka juga menyediakan empat unit tempat tidur untuk para pasien thalasemia. “anak ibu yang paling kecil kan kena thalasemia. Jadi ibu tau betul
gimana rasanya nungguin anak ibu tranfusi. Kalau gak ada hiburan bosen juga. Tranfusi itu kan butuh waktu seharian. Bosen udah pasti
la ibu rasain tapi yang lebih kasian lagi sama anak-anak. Mereka kan butuh hiburan juga. Jadi sekarang ini ibu terus menambah
fasilitas yang bisa digunakan oleh anak-anak ini kalau mereka
tranfusi darah.” Sebagai seorang ketua dan juga pernah memiliki pengalaman dalam
merawat thalasemia. Ibu Sarmawati tahu betul bagaimana resahnya, bagaimana sulitnya untuk melakukan pengobatan yang baik dan sesuai prosedur. Kendala
biaya menjadi hambatan utama bagi kebanyakan orang tua penderita thalasemia yang ada di kota Medan. Sehingga ibu Sarmwati sebagai ketua POPTI juga
melakukan banyak hal untuk bisa membantu para orang tua di bidang ekonomi. “Di POPTI sendiri anggota kita banyak yang kurang mampu. Jadi
kadang ada juga yang ngasih donasi dalam bentuk beasiswa ke anak- anak ini. Ya tentu saja, membantu mereka yang membutuhkan. Jadi
saya merasa bahwa saya sebagai ketua harus tetap aktif untuk bisa membantu dan terus membantu mereka. Bagi ibu membantu mereka
ini merupakan hal yang seru. Tentunya ibu tidak kerja sendiri. Ibu
selalu dibantu sama anggota yang lain”
Universitas Sumatera Utara
44
Universitas Sumatera Utara
Tidak bisa dipungkiri bahwa masih banyak orang tua penderita thalasemia yang masih memiliki kesulitan ekonomi. Kondisi mereka semakin buruk ketika
harus menghadapi anak mereka yang merupakan pasien thalasemia. Butuh dana yang cukup banyak untuk setiap transfusi darah dan membeli obat kelasi besi.
Kemiskinan yang mereka derita juga berujung kepada pendidikan yang tidak maksimal sehingga ibu Sarmawati sebagai ketua POPTI dan wakil ketua YTI selalu
berusaha sebisa mungkin mendapatkan dana untuk membantu pendidikan mereka. Menjadi seorang ibu rumah tangga dan juga menjadi seorang pengurus
sebuah organisasi merupakan hal yang tidak mudah. Beliau harus pandai mengatur waktu. Hingga kini ibu Sarmawati tidak kenal lelah untuk bisa mengembangkan
POPTI dan YTI. Terus membantu para penderita beserta para orang tua penderita untuk bisa hidup sejahtera walaupun harus menempuh jalan yang berbeda dari
orang lain. “Sampai saat ini dan detik ini pun saya tidak pernah lelah atau
mengeluh ngurusin POPTI dan juga YTI. Saya sekarang mikirnya, kalau bukan ibu yang peduli dan ngajak orang lain peduli, siapa lagi
yang akan peduli dengan organisasi ini.”
Menjadi wakil ketua YTI, Ibu Sarmawati paham benar bagaimana bahaya dari thalasemia selain daripada beliau memang memiliki pengalaman dengan
penyakit yang satu ini. Banyak kegiatan sosialisasi yang dilakukan oleh YTI dalam menyebarluaskan informasi tersebut. Tentunya dengan dukungan dan kerja
sama dari anggota organisasi dan juga donatur. “ Untuk saat ini saya dan anggota-anggota yang lain, kita lagi
genjar melakukan sosialisasi dengan berbagai macam kalangan masyarakat. Ibu fikir akan jauh lebih kalau masyarkat kita mau
peduli sebelum ada anak anak mereka atau saudra yang kena thalasemia.Kami berusaha sebaik mungkin untuk mencapai misi
kami dalam memutuskan tali rantai dengan thalasemia” YTI memiliki misi utama dalam bergerak dibidangnya. Misi tersebut ialah
memutuskan tali rantai darah dengan thalasemia. Hal in digunakan untuk mengecah bertambahnya peningkatan pasien thalasemia yang ada di kota Medan.
“Kegiatan yang YTI lakukan banyak sekali dan beragam. Diantaranya kami melakukan berbagai macam sosialisasi ke
berbagai SMA, SMK, univerisitas yang berada di kota Medan,
Universitas Sumatera Utara
45
Universitas Sumatera Utara
termasuk ke ibu ibu darmawanita dan juga arisan. Hal ini kami lakuka adalah karena pertama siswa SMA merupakan target paling
penting dalam melanksanakan misi kami, anak SMA kan sudah mulai ngerti sama pacar-pacaran trus udah mulai paham sama yang
namanya berhubungan dengan orang lain dan lawan jenis. Alasan yang sama juga kami lakukan kepada anak SMK dan mahasiswa.
Berbeda dengan ibu ibu darmwanita, kami memilih mereka karena ibu ibu itu kan paling tidak punya anak, ntah mereka masih kecil
atau bahkan sudah dewasa, kami mendidikan mereka sehingga mereka bisa memberitahu anak mereka untuk lebih berhati hati
dalam bergaul. Kalau sudah mengenal cinta biasanya kebanyakan orang akan tidak peduli dengan apapun disekeliling mereka. Tapi
mau tidak mereka harus peduli dengan thalasemia, karean
dampaknya berkepanjangan.” Dengan berbagai macam sosialisasi yang dilakukan oleh organisasi YTI
diharapkan agar masyarakat mau peduli dengan thalasemia. YTI menargetkan audiensnya dari umur 16 hingga para ibu-ibu atau orang tua. Untuk pelajar
diharapkan agar mereka tidak sembarangan dalam memilih pasangan, walaupun yang lebih dianjurkan adalah sebaiknya mereka berteman dan kemudian jika
memang usianya sudah mencukupi untuk menikah, baru mereka bisa mengenal seseorang lebih intim. Jika sudah mahasiswa maka diharapkan agar waspada
dalam memilih pasangan hidup. Hidup bersama sama dengan orang yang kita sayangi adalah mimpi semua orang. Tapi mimpi itu tidak akan semanis yang kita
bayangkan jika kedepannya kita memiliki anak anak yang tidak sehat. Semua orang berharap agar keturunan mereka sehat dan sejahtera, inilah yang menjadi
alasan bagi YTI untuk terus bergerak dan menyebarluaskan informasi thalasemia kepada siapapun.
“Tapi thalasemia itu bisa dihindari. Ada dua caranya, yang pertama adalah menghindari pernikahan saudara dan melakukan skrining.
Untuk skrining, semua orang perlu melakukannya, bahkan sebenarnya nih ya lebih bagus lagi kalau skrinig itu dilakukan waktu
masih bayi. Tapi... ada tapi nya nih, karena thalasemia tidak terkenal dan orang tidak peduli pada akhirnya skrining itu juga tidak
dianggap serius. Padahal skrining itu perlu dilakukan” Skrining merupakan suatu pemeriksaan darah yang dilakukan untuk
mendeteksi adanya gen pembawa sifat thalasemia di diri seseorang. Skrining dianjurkan oleh semua orang termasuk anak bayi. Skrining merupakan satu satu
Universitas Sumatera Utara
46
Universitas Sumatera Utara
nya cara untuk mengetahui dan mendeteksi thalasemia. Skrining ini sangat dianjurkan untuk pasangan pasangan yang akan menikah. YTI ini selalu
menganjurkan masyarakat untuk melakukan skrining. “Skrining sendiri, merupakan pemeriksaan darah. Jadi darah kita
diambil trus di cek, apakah kita punya gen pembawa sifat thalasemia apa tidak. Skrining bisa dilakukan sejak kita kecil dan sampai kita
udah besar. Skrining ini pemeriksaan yang tergolong mahal. Tapi menurut saya kalau untuk kesehatan walaupunn mahal ya gapapa.”
4.1.3.2 Informan Primer kedua
4.1.3.1 Informan Primer Kedua Nama
: dr. Nelly Rosdiana M.ked Ped, SpAK Tanggal wawancara : 18 Maret 2016 dan 21 Maret 2016
Waktu wawancara :10:00
– 12:30 dan 12:30 – 14:00 Wib Tempat wawancara
: Lantai dua rindu B RSUP H.Adam Malik
dr. Nelly Rosdiana M.ked Ped, SpAK atau sering disapa dengan dr. Nelly, seorang dokter spesialis anak. Seorang mulimah yang sangat baik, ramah,
rendah hati dan murah senyum. Seorang pribadi yang tegas tapi juga seorang yang menyenangkan. Memiliki tiga orang anak yang terdiri dari satu orang putri dan
dua orang putra. Dan juga seorang istri yang sangat baik. Saat ini beliau merupakan seorang dokter dan praket di beberapa rumah sakit di Medan, seperti
rumah sakit Malahayati dan juga memiliki tempat praktek yang berada di jalan binjai. Beliau menjabat sebagai tenaga tim medis di organisasi YTI. Selain
menjadi tenaga tim medis beliau juga menjabat sebagai bendahara YTI. Beliau bergabung dengan YTI pada saat YTI pertama kali dibentuk 2008 silam. Baginya
menjadi dokter bukan hanya sekedar profesi tetapi profesi yang sangat mulia. Membantu orang untuk sembuh dari sakitnya adalah pekerjaan yang sangat mulia.
Untuk menyandang gelar dokter tentu saja tidak sebentar. Membutuhkan waktu yang tidak sebentar dan baginya ia dapat melalui masa msa belajar dengan baik
karena ia menikmatinya. Sekedar menjadi dokter merupakan suatu pencapaian yang sangat menakjubkan tapi ia berhenti sampai disitu saja, ia melanjutkan
Universitas Sumatera Utara
47
Universitas Sumatera Utara
sekolah kedokteran hingga jenjang spesialis. Kini nama beliau tidak asing lagi di dunia medis di Medan terkhusus dalam bidang spesialis anak.
Dengan bergabung dengan YTI, beliau paham benar bagaimana kondisi penyebaran penyakit thalasemia di kota Medan. Thalasemia baginya penyakit
yang tidak mudah dideteksi. Tidak memiliki ciri-ciri khusus yang mendetail. Dan sangat disayangkan masih banyak masyarakat yang tidak tahu kehadiran penyakit
ini. “Tahun 2008 saya gabung di YTI. Waktu pertama kali YTI dibentuk.
Kalau di medan sendiri saat ini kita punya 120 an pasien thalasemia, tapi ini belum termasuk pasien pasien yang sudah
meninggal atau pasien yang baru lagi. Disinilah saya bisa melihat situasi dan kondisi thalasemia di Medan. Berapa jumlah pasien
setiap tahunnya dan bagaimana masyarakat masih buta dengan
thalasemia” Di Medan sendiri umumnya masih banyak masyarakat yang tidak tahu.
Masih banyak yang tidak waspada dengan penyakit ini. Thalasemia tidak seterkenal penyakit yang pada umumnya sering dijumpai di masyarakat. Setiap
tahun nya jumlah penderita thalasemia kian meningkat. Hal ini merupakan menjadi salah satu kondisi dimana YTI perlu melakukan penyebaran informasi
lebih banyak lagi. “Thalasemia ini masih sangat awam di masyarakat kita. Banyak
yang gak tahu penyakit ini. Mungkin orang – orang masih lebih
waspada sama kanker atau jantung atau penyakit yang sering kita temui di masyarakat. Berbeda sama thalasemia. Orang gak tahu.
Jangan masyarakat umum, dokter juga masih banyak yang gak tau” Informasi thalasemia masih sangat sedikit tersebar di Medan. Masih
banyak masyarakat yang tidak menerima informasi thalasemia. Bahkan dokter atau pekerja medis juga masih banyak tidak tahu dengan penyakit thalasemia. Hal
ini juga menjadi penyebab peningkatan pasien thalasemia. Kebutuhan informasi thalasemia yang dibutuhkan oleh masyarakat masih belum dapat terpenuhi. Hidup
dengan jasmani yang sehat adalah hak semua orang. Banyak sekali dampak negatif dari terkena suatu penyakit. Oleh karena itu perlu tindakan pencegahan
sebelum hal tersebut terjadi.
Universitas Sumatera Utara
48
Universitas Sumatera Utara
“Sepertinya informasi thalasemia ini masih sedikit tersebar di masyarakat kita. Dikalagan dokter pun masih banyak yang tidak
mengusai penyakit ini. Karena di bangku kuliahan pun waktu belajar tentang thalasemia sedikit. Mungkin karena masyarakat gak tau jadi
ada peningkatan pasien thalasemia setiap tahunnya. Semua orang pasti kepingin jauh jauh dari kena penyakit. Pingin hidup sehat itu
hak semua orang tapi kalau udah sakit pasti mengurangi kualitas hidup kita kan. Kalau kena thalasemia, hidup pasien atau orang yang
kena itu hanya tergantung transfusi darah yang dilakukan secara berkala dan obat kelasi besi yang juga harus dikonsumsi bersamaan
dengan transfusi tadi.” Thalasemia adalah penyakit yang menganggu sistem peredaran darah
manusia. Thalasemia diturunkan secara genetik oleh kedua orang tua atau pasangan pria dan wanita yang memiliki gen pembawa sifat thalasemia di
tubuhnya. Kemudian diturunkan melalui janin yang berada di tubuh sang ibu ketika mengandung. Seseorang dapat dikatakan thalasemia setelah melalui rangkai
pemeriksaan kesehatan. Setelah dikatakan positif thalasemia maka pasien tersebut seumur hidupnya harus melakukan transfusi darah. Skrining adalah salah satu cara
untuk mendeteksi penyakit ini. Skrining dapat dilakukan mulai dari bayi hingga dewasa. Namun informasi mengenai penyakit thalasemia dan pencegahannya ini
masih sangat minim beredar di masyarakat di kota Medan. Hanya kalangan tertentu yang mengetahui dan melakukan tindakan pencegahan ini.
“Thalasemia itu genetik. Diturunkan dari kedua orang tua yang memiliki sifat carrier thalasemia di tubuhnya. Misalnya si bapak
punya gem pembawa sifat thalasemia menikah dengan si ibu yang tidak memiliki gen pembawa sifat, anak mereka nantinya tidak ada
yang kena thalasemia, tapi kalau kedua orang tua punya gen thalasemia, pasti anaknya memiliki kemungkinan besar kena
thalasemia. Pencegahan penyakit ini ada yaitu dengan melakukan skrining sebelum seseorang menikah. Skrining pemeriksaan medis
yang bisa mendeteksi gen pembawa thalasemia di tubuh seseorang. Tapi skrining masih banyak ya
ng gak tau.” Oleh sebab itu dibutuhkan komunikasi kesehatan yang dilakukan oleh YTI
dalam rangka penyebarluasan informasi thalasemia kepada masyarakat. Kegiatan komunikasi kesehatan seperti sosialisasi, penyuluhan, dan workshop merupakan
suatu cara yang dapat menyebarluaskan informasi thalasemia kepada khalayak ramai. Tentu saja dengan memilih atau membidik audiens yang berpotensi.
Universitas Sumatera Utara
49
Universitas Sumatera Utara
“Dari YTI sendiri kita udah sering buat sosialisasi. Kita udah pernah sosialisasi ke SMA, SMK, Univeristas, ke kampus
– kampus, trus ibu- ibu darmawanita, arisan dan pengajian. untuk saat ini kami membidik
dokter-dokter puskesmas sekota Medan yang merupakan ujung tombak dari penyebaran informasi thalasemia ini.”
YTI dalam menyebarkan informasi thalasemia telah banyak melakukan
berbagai macam kegiatan sosialisasi yang melibatkan banyak komunikator yang handal dan memilih audiens atau membidik audiens dengan baik. Hal ini
diungkapkan oleh dr.Nelly selaku tim medis YTI yang juga merupakan komunikator dalam kegiatan kegiatan penyebaran informasi thalasemia.
“Kita buat sosialisasi juga milih audien nya siapa. Kalau dalam menurunkan peningkatan pasien thalasemia, berarti kami harus bisa
membidik audien yang berpotensi artinya orang orang yang paling harus dikasih tau tentang bahaya ini. Dalam kasus ini yang jadi ujung
tombang itu dokter puskesmas, karena nanti dari mereka informasi ini akan terus berlanjut kemasyarakat, makanya kami buat acara
workshop yang bisa mendidik mereka. Setelah itu kami milih Siswai dan Mahasiswa, karena pada masa masa itu, mereka udah mulai
ngenal pacar-pacaran trus ngenal laki-laki, kalau mahasiswa ada kemungkinan lanjut ke jenjang pernikahan, jadi sebelum menikah
mereka harus tau dong bahaya thalasemia. Berikutnya kami menargetkan orang tua, orang tua harus bisa memberitahu anak-anak
nya untuk waspada dengan thalasemia” Kegiatan komunikasi kesehatan yang dilakukan selalu berisikan atau pesan
yang disampaikan mengenai penyakit thalasemia, bahaya thalasemia, dan bagaimana thalasemia bisa terjadi kepada seorang anak, dan bagaimana
pencegahan penyakit ini. Kemudian dijelaskan juga apa yang akan terjadi jika seorang dinyatakan mengidap thalasemia. Pengobatan apa dan bagaimana juga
dijelaskan dalam kegiatan tersebut. Pesan – pesan ini di desain sesuai dengan
siapa komunikator akan berinteraksi. Komunikator seperti dr. Nelly selalu mendesain pesan pesan sesuai kebutuhan komunikan.
“Biasanya yang sampaikan kepada audien kalau lagi ada sosialisasi, biasanya saya jelasin apa itu thalasemia, penyebabnya apa, kenapa
harus diwaspadai, gimana cara supaya terhindari dari thalasemia, dan apa itu skrining sebelum menikah atau skrining semenjak balita.
Yang jelas saya menjelaskan sedetail mungkin dan yang paling penting saya ulangi lagi informasi yang sangat penting, misalnya
seperti “Periksakan darah sebelum menikah” kalau yang udah punya
Universitas Sumatera Utara
50
Universitas Sumatera Utara
anak thalasemia saya ingetin mereka supaya rajin rajin bawa anak transfusi darah sebelum HB nya rendah”. Informasi seperti ini benar
benar saya tekankan kepada audiens.” Sebagi seorang komunikator dr.Nelly diharapkan dapat memberikan
informasi yang mampu membuat komunikan merubah sikap dan perilaku nya. Perubahan itu merupakan perubahan yang baik terhadap thalasemia. Untuk
mencapai tujuan menurunkan tingkat penderita thalasemia dan juga dalam mencapai tujuan memutuskan tali rantai darah dengan thalasemia. Komunikator
yang berasal dari YTI memiliki pernan sangat penting untuk bisa mencapai tujuan itu dengan baik.
“ Kami bergerak untuk bisa mencapai misi kami dalam memutuskan tali rantai darah dengan thalasemia. Tapi untuk mencapai itu butuh
kerja keras. Saya fikir kami tidak hanya bisa bergantung kepada pesan yang bisa mereka terima, tapi gimana supaya pesan itu bisa
lakukan. Misalnya kayak skrining, skrining itu masih tabu sampai sekarang di masyarakat kita. Apalagi kalau skrining itu dilakukan
sebelum menikah. Nilai nya masih sangat negatif sekali. Nah untuk merubah itu kami selaku fasilitator harus bisa dong, merubah pola
pikirnya, tapi gak mudah, karena sudah mendarah daging dengan
masyarakat kita. Itu juga hambatan nya yang saat ini saya lihat.” Sebagai seorang komunikator juga dr.Nelly juga diharapkan dapat
merubah pola pikir audien. Sehingga mereka dapat menerima nilai-nilai informasi kesehatan dan melakukannya. Perlu media sebagai perantara penyampaian pesan
sehingga kegiatan komunikasi kesehatan lebih efektif dan baik. “ Setiap sosialisasi yang kami lakukan itu didukung dengan media.
Kami biasanya make proyektor sama audio, dan alat alat lainnya, kami juga bagiin brosur sama buku saku thalasemia ke pada audiens.
Ya alat yang seadanya aja. Soalnya kami gak organisasi swasta biayanya dari kami sendiri heheheh....”
YTI merupakan organisasi swasta yang berdiri sendiri. Segala sesuatunya
didalangi oleh anggota organisasi ini. Sehingga timbul keterbatasan dalam melakukan kegiatan sosialisasi thalasemia. Setiap kegiatan yang dilakukan
memiliki kendalanya masing-masing. Mulai dari dana hingga masalah peralatan. Dana menjadi alasan utama mengapa setiap kegiatan tidak memakai media secara
Universitas Sumatera Utara
51
Universitas Sumatera Utara
maskimal. Media memiliki peran yang sama penting dengan komunikator. Namun dalam hal ini media yang digunakan adalah media yang seadanya saja.
YTI tidak dapat berkerja sendiri untuk bisa mewujudkan masyarakat yang peduli dengan thalasemia. Perlu pihak lain untuk bisa diajak kerjsama dengan YTI
maupun POPTI. Pihak yang paling dalam kasus ini adalah dinas kesehatan, komini E dan pemerintahan. Jika pihak pihak tersebut bisa berkerja sama dengan
baik bersama YTI dan POPTI maka program – program yang diluncurkan pun
dapat diikuti dengan baik oleh masyarakat. “Organisasi ini hanya digerakan oleh kami kami yang peduli dengan
thalasemia. Tetapi sebenanrnya akan lebih baik lagi jika kami bisa berkerjasama dengan pihak pihak lain, seperti dinas kesehatan. Jadi
penyebaran informasi kami tidak hanya tergantung dengan kegiatan yang kami buat tapi bisa disampaikan dari pihak lain juga.
Kerjasama yang seperti ini lah yang butuhkan.” Untuk saat ini YTI memfokuskan untuk bisa menyebarluaskan informasi
thalasemia kepada pekerja primer dibidang medis, seperti dokter yang ada dipuskesma, suster dan pihak pihak lain. Dokter puskesmas adalah sasaran tepat
bagi YTI untuk bisa menyebarluaskan informasi thalasemia didaerah daerah tertentu di kota Medan. Puskesmas hampir ada di semua daerah, YTI perlu
memberikan pelatihan kepada pada dokter tersebut sehingga mereka bisa waspada dan sering memperkenal thalasemia dan skrining kepada masyarakat. Sehingga
pada akhirnya tujuan YTI untuk menyebaluaskan informasi kepada seluruh masyarakat di Medan dapat terdapai dengan baik.
4.1.3.2 Informan Primer ketiga 4.1.3.2 Informan Primer ketiga
Nama : Prof. dr. Bida Sari Lubis, SpAK
Tanggal wawancara : 4 Maret 2016 Waktu wawancara
: 11:00 – 12:30 WIB
Universitas Sumatera Utara
52
Universitas Sumatera Utara
Tempat wawancara : Ruang praktek yang berada di Rindu B lantai satu Rumah Sakit Adam Malik Medan
dr. Bida begitu sapaan akrab dara wanita kelahiran bogor 15 maret ini, merupakan seorang ibu yang berprofesi sebagai seorang dokter. Memiliki dua
orang putri. Dimana anak beliau yang pertama merupakan seorang dokter di Medan dan anak beliau yang kedua merupakan seorang psikolog. Memiliki anak
yang mengambil jejak pesis seperti dirinya membuatnya senang. Tentu saja beliau sangat bangga kepada putri putri nya yang kini berkerja di bidang mereka masing
masing. Kesehariannya dr. Bida menghabiskan waktunya di beberapa rumah sakit di Medan. Menjadi seorang dokter dituntun untuk bisa membagi waktu sesuai
kebutuhan mereka. Tamat dengan titel spesialis anak pada tahun 1988 membuat beliau
semakin terpacu untuk belajar dan menimbah ilmu sebanyak mungkin. Pada tahun 1996 beliau mengikuti program fellowship ke Belanda. Satu tahun kemudian
beliau masih mengikuti kegiatan dan program yang sama namun kali ini diadakan di dalam negeri yaitu di fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Dengan ilmu
yang beliau miliki, beberapa tahun berikutnya, tepat pada tahun 1999 beliau menjadi seorang konsultan Hematologi-Onkologi Anak. Tidak hanya sampai
disitu, sepuluh tahun berikutnya beliau menjadi guru besar IKA-USU. Hingga sekarang beliau masih suka mengikuti berbagai macam acara workshop, training
atau pelatihan yang diadakan di dalam dan luar negri. Nama beliau tidak lagi asing di dalam organisasi YTI maupun POPTI.
Beliau sering muncul jika kita berbicara mengenai thalasemia. Beliau sangat paham situasi thalasemia di Medan mulai dari YTI dan POPTI terbentuk hingga
sekarang. Beliau seorang pribadi yang asik diajak untuk berdiskusi dan sangat open minded. Ia terlihat tegas ketika ia sedang berada di lingkup kerja, tetapi
beliau orang yang sangat rama ketika pekerjaannya selesai. Beliau memiliki hubungan yang sangat erat dengan YTI, POPTI, dan juga thalasemia seperti yang
dialami ibu Sarmawati. Bedanya beliau tidak memiliki anak yang menderita thalasemia. Kedua anaknya juga cucunya lahir dengan sehat tanpa memiliki atau
Universitas Sumatera Utara
53
Universitas Sumatera Utara
membawa gen thalasemia ditubuhnya. Bersama dengan para anggota atau pengurus YTI dan POPTI ia terus bediri dan menggerakkan organisasi ini. Terus
membangun hal hal positif bagi organisasi dan anggotanya. Sebagai seorang dokter, ia sudah melihat banyak sekali kasus yang
berkaitan dengan thalasemia. Saat peneliti jumpai wawancara. Disaat yang sama beliau sedang menerima pasien yang anaknya baru saja didiagnosis thalasemia.
Saat itu kedua orang tua tersebut sedang berdiskusi dengan prof. Bida mengenai kondisi anaknya. Kemudian beberapa saat kemudian setelah ia selesai berbicara
dengan orang tua pasien tersebut, peneliti dipersilahkan masuk keruangan beliau dan diizinkan untuk memulai wawancara. Tetapi sebelumnya ia menjelaskan
kejadian yang baru saya liat. Ia menjelaskan bahwa pasangan suami istri itu baru saja menerima kenyataan pahit bahwa anaknya menderita thalasemia. Sang ibu
sedikit tidak terima karena sebagai seorang suster ia merasa tidak ada yang salah dengannya. Ia tidak memiliki riwayat sakit parah atau menular. Begitu juga
dengan pasangannya. Tetapi kini semua sudah terjadi. Ketika itu, peneliti duduk dengan didampingi oleh Sarmawati untuk
melakukan wawancara. Peneliti memperkenalkan diri kembali supaya wawancara dapat berjalan dengan baik. Beliau gabung dengan YTI dan POPTI ketika kedua
orgnisasi ini sama sama sedang dibangun. Yaitu tahun 2008 dan tahun 2014. “Saya kenal YTI dan POPTIudah lama. Waktu dibuat saya ikutan
disitu. Kira kira 2008 dan 2014. Waktu itu POPTI duluan diciptkan baru YTI. dulu hingga sekarang masih banyak orang yang gak tau.
Dan saya berusaha untuk bisa membagi informasi itu kepada siapa saja yang saya jumpai.
Beliau menjelaskan bahwa dari terbentuk YTI dan POPTI hingga saat ini masih banyak orang-orang diluar sana yang acuh tak acuh dengan penyakit ini.
Yang mana seperti yang kita ketahui banyak sekali dampak negatif dari penyakit ini, secara financial maupun tidak. Kedua organisasi ini sama sama begerak di
bidang thalasemia tapi memiliki lapangan yang berbeda. “POPTI sama YTI itu sebenarnya sama. Bedanya cuma pembagian
kerja aja. kalau YTI itu memiliki lahan kerja ke masyarakat. Lebih mengutamakan publikasi kepada masyarakat. Tapi kalau POPTI
bergerak didalam organisasi saja, artinya sesama pasien thalasemia
Universitas Sumatera Utara
54
Universitas Sumatera Utara
dan orang tua mereka. Tapi dengan tujuan yang sama yaitu memutuskan tali rantai darah dengan thalasemia.”
Thalasemia, YTI dan POPTI masih tidak dikenal masyarakat dengan baik hal ini dikarenakan minim atau masih sedikit informasi yang bisa diterima
masyarakat mengenai ketiga tiganya. Hal ini juga menjadi penghambat bagi pengetahuan masyarkat mengenai thalasemia.
“Ya masyarakat terkhususnya masyarakat kota Medan masih banyak yang gak tau apa itu thalasemia, bahayanya apa, mereka juga gak
tau apa apa megenai YTI maupun POPTI, organisasi kami ini tidak seterkenal organisasi lain. Kami bergerak seadanya saja. Hehehe...
” Dalam bergerak dibidang thalasemia ini, beliau megatakan bahwa YTI
maupun POPTI tidak dapat berdiri sendiri. Harus ada political will dari pemerintah untuk membantu mereka. Sebagai seorang dokter, beliau hanya bisa
memberikan sosialisasi saja. Tapi untuk bisa mencapai tujuan jangka panjang seperti pembuatan program skrining bagi semua anak bayi yang lahir
membutuhkan bantuan dari pemerintah. Thalasemia menyerang anak-anak, umumnya mereka dapat diketahui menderita thalasemia ketika mereka masih bayi
atau batita. Tentu saja inni menggangu pertumbuhan penurus bangsa yang seharus cerdas dan kreatif yang bisa menerus dan membangun bangsa ini.
“Kami tidak bisa berkerja sendiri. Sulit untuk kami agar bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Kami perlu political will
dari pemerintahan. Dinas kesehatan harus genjar dalam menciptakan program
– program bagi masyarakat untuk bisa menciptakan penerus bangsa yang sehat. Saya ini hanya dokter yang
Cuma bisa memberikan sosialisasi. Tapi untuk bisa menyebarluas keseluruh lapisan masyarakat rasa mustahil dilakukan tanpa ada
gerakan gerakan dari dinkes. Ibaratnya kami ini pekerja grassroot akar rumput. Artinya kami masih bergerak di lapisan yang paling
dasar, untuk keatas jalan kami masih panjang. Kalau pemerintah bisa membantu kami dan berkerjasama dengan kami. Akan lebih
mudah lagi penyebaran informasi ini”. Penggunaan media yang masih sangat sedikit dalam memperomosikan
thalasemia juga masih sangat sedikit. Para anggota YTI maupun POPTI tidak menggunakan media website yang sudah ada secara maksimal.
Universitas Sumatera Utara
55
Universitas Sumatera Utara
Beliau merupakan tim medis dikedua organisasi tersebut. Merupakan komunikator yang selalu siap memberikan sosialisasi kepada masyarakat. Hal ini
kerap ia lakukan. Hingga saat ini masih kerap mendapati pasien thalasemia yang datang kepada untuk berobat.
“Saya di YTI sama POPTI sebagai tim medis. Tapi juga kadang kadang bantuin tugas tugas anggota lain. Merangkap lah hehehe...
saya gabung dengan organisasi ini karena saya peduli dengan anak anak thalasemia yang sering sekali melakukan transfusi darah di
rumah sakit ini. Panggilan hati juga alasan saya gabung disini. Saya juga sering menjadi narasumber di acara-acara yang kami buat.
Baru baru ini saya jadi pemateri dalam acara workshop yang kami selenggarakan untuk mem
peringati hari thalasemia sedunia.” Tepat dua bulan yang lalu YTI dan POPTI menyelenggarakan acara atau
event dalam rangka memperingati hari thalasemia sedunia. Acar tersebut diadakan selama dua hari. Pada hari kamis tanggal 12 dan minggu tanggal 15 2016. Di hari
pertama, acara dibuat khsus workshop yang diikuti oleh seluruh dokter-dokter puskesmas yang ada di Medan termasuk kepada klinik atau rumah sakit swasta
yang ada di Medan. Acara pelatihan tersebut diadakan di aula rumah sakit usu. Prof. Bida bersama dengan dokter lain menjadi narasumber atau komunikator
diacara tersebut. Peneliti pun mendapatkan kesempatan untuk menghadiri acara tersebut. Peniliti datang untuk mengobservasi bagaimana kegiatan tersebut
diadakan. Acara yang didesain degan sangat baik tersebut berjalan dengan sukeses. Mereka memilih para dokter tersebut sebagai audiens primer yang perlu
mendapatkan pelatihan secara khusus dan yang di harapkan bisa informasi tersebut disampaikan kepada pasien mereka di puskesmas daerah. Dokter-dokter
tersebut seperti perpanjangan tangan dari YTI kepada masyarakat. Peneliti melihat bahwa memang masing banyak para dokter yang belum sepenuhnya paham
dengan thalasemia. Hal ini dapat dilihat dengan bagaimana mereka berinteraksi langsung dengan para komunikator. Sebagai seorang komunikator kesehatan yang
baik, Prof. Bida kerap menyambungkan beberapa materi pelatihan kebeberapa kasus yang dapat terjadi di lapangan. Juga memberikan beberapa contoh yang
sering ia hadapi. Kemudia pada sesi berikutnya ada acara diskusi yang dibuat oleh para komunikator kesehatan untuk bisa lebih mendalami lagi pesan yang mereka
Universitas Sumatera Utara
56
Universitas Sumatera Utara
sampaikan. Dua hingga tiga kasus diberikan kepada audien untuk dibicarakan bersama sama dengan narasumber.
“waktu acara workshop kemaren, kita mendesain sebagus mungkin.sedemikian rupa supaya acara itu gak bosen. Acaranya gak
monoton. Untungnya fasalitator kita semua bagus bagus bawain setiap materi. Kita juga diskusi. Diskusinya bahas kasus kasus yang
kita kasih. Juga kita memberikan ilmu yang lebih mendalami lagi ilmu tentang thalasemia kepada mereka. Karena kan kebanyakan
masyarakat kita yang kena thalasemia kan orang yang gak punya, orang orang yang mengharapkan fasilitas pemerintahan. Kalau lah
mereka ke puskesmas terus dokter puskesmas nya gak ngerti atau gak yakin 100 kan kasian. Makanya dokter puskesmas itu bener bener
ujung tombang kita. Target utama kita.” Acara berikutnya yang diselenggarakan oleh YTI dan POPTI adalah acara
gerak jalan serta acara donor darah da n pemeriksaan skrining gratis bagi masyarakat yang datang dan ikut di acara tersebut. Acara tersebut diselenggarakan
di car free day didepan rumah walikota Medan. Acara meriah sekali. Acara tersebut selain menjadi tempat promosi YTI dan POPTI juga sebagai tempat
untuk menggalang donor darah bagi para pasien thalasemia. Diacara tersebut peneliti mendapatkan kesempatan untuk bisa melihat anak
– anak yang tergabung dengan POPTI bersama orang tua mereka. Juga antusiasme masyarakat untuk
melakukan skrining gratis yang diadakan oleh Prodia. “ Selain ada workshop, kita juga ada acara gerak jalan sekalian
donor darah sama skrining gratis. Di hari minggu di car free day depan rumah walikota. Nanti kita para anggota sama sama
mengajak masyarakat untuk melakukan skrining dan sekalian kami juga mencari pendonor tetap untuk anak
– anak kami penderita thalasemia. Terkadang mereka harus menunggu stok darah mereka
ada baru bisa transfusi. Didalam ketentuannya sendiri kalau hb sudah dibawah 9 atau 8 harus segera transfusi. Jadi guna kami
mencari donor tetap supaya sewaktu waktu dibutuhkan bisa
digunakan.”
4.1.3.4 Informan Sekunder Pertama
Nama : Mursida
Tanggal wawancara : 15 April 2016
Universitas Sumatera Utara
57
Universitas Sumatera Utara
Waktu wawancara : 11:00
– 12:30 WIB Tempat wawancara
: Di rumah ibu Mursida di jalan karya darma johor. Wanita kelahiran 13 september 1967 ini merupakan seorang ibu rumah
tangga dan juga seorang istri yang sangat soleha. Kesehariannya beliau berjualan di rumahnya, ini dilakukan guna membantu suami. Walaupun saat ini ekonomi
keluarganya terbilang stabil, ia tetap berjualan untuk menambah keuangan keluarganya. Bertempat tinggal di jalan Karya Darma No.7 gg, Sehati IV Medan
Johor, beliau tinggal bersama ketiga anaknya dan juga sang suami tercinta. Anak beliau yang pertama bernama Iyan Kusmiati. Anak yang kedua bernama alm.
Endah Hariutami dan anak yang ketiga bernama Alya Muhjanuh Selain menjadi seorang ibu rumah tangga beliau juga menjabat sebagai
bendahara di POPTI. Ini ia lakukan sejak POPTI pertama kali dibentuk pada tahun 2007. Ia bergabung dengan POPTI dengan memiliki latar belakang salah satu anak
beliau merupakan seorang pasien thalasemia. Anak kedua beliau yang bernama alm. Endah Hariutami didiagnosis thalasemia pada umur satu tahun. yang kemudian
Endah tutup usia di usia yang masih sangat muda yaitu diumur sembilan tahun. “Saya tadinya gak ngerti thalasemia atau penyakit darah apapun.
Saya kan bukan orang medis jadi gak ngerti hal hal yang kayak gini. Anak pertama ibu lahir dan sehat sehat aja. pas anak kedua ibu
lahir, pas dia umur satu tahun, muka dia pucet aja. ibu curiga trus ibu bawa ke rumah sakit adam malik waktu itu. Dan mereka bilang
kena thalasemia. Di tahun itu POPTI juga dibentuk. Dibentuk oleh
POPTI pusat dari jakarta. Kalo gak salah tahun 2007.” Ibu Mursida tidak menyangka bahwa dirinya merupakan seorang pembawa
gen thalasemia. Ia merasa selama ini sehat wal afiat. Tidak ada yang penyakit apapun yang diderita beliau. Kemudian belai menikah dengan sang suami tercinta, suami
beliau pun tidak memiliki riwayat penyakit yang serius. Akhirnya tanpa menyadari bahwa beliau memiliki gen pembawa thalasemia, mereka pun menikah. Dia karuniai
seorang anak perempuan yang sangat cantik membuat pernikahan mereka menjadi lebih bahagia lagi. Seiring berjalannya waktu beberapa tahun berikutnya mereka
kembali dikarunia seorang anak perempuan. Tumbuh kembangnya sama seperti anak- anak lain. Namun sedikit berbeda, sang anak terlihat pucat dan lemas setiap saat.
Universitas Sumatera Utara
58
Universitas Sumatera Utara
Ketika di diagnosis dengan thalasemia dan tahu penyebabnya, saat itu beliau merasa mendapatkan cambukan yang sangat kuat di hatinya.
“Thalasemia ini benar benar gak ada tanda tandanya. Sebelum menikah ibu merasanya ya sehat aja gak ada penyakit serius. Bapak
pun gitu juga. Gak ada penyakit serius. Palingan kalo ibu sakit sakit biasa kaya flu, demam, sakit perut, ya gitu gitu lah. Gak nyangka aja
almarhum bisa sakit thalasemia. Anak ibu yang paling besar lahir sehat walafiat. Terus tumbuh kembangnya juga bagus. Sehat lagi.
Yang kedua lahir pun ibu gak ada curiga apa apa. Tapi pas ibu liat dia selalu pucat dan lemas, ibu curiga kan. Ibu bawa berobat, kata
dokter kena thalasemia. Karena ibu gak ngerti, ibu pun percaya gak percaya. Trus ada tetangga yang bilang berobat tradisional aja. pasti
cepat sembuhnya. Ibu pun ikut kata tetangga tante tapi gak ada hasilnya. Ya memang dasarnya penyakit itu berasal dari medis, ya
dokter juga lah pilihan yang terbaik untuk berobat. Enggak terima itulah kata yang pas menggambarkan apa yang ibu rasakan. Tapi
karena udah gabung di POPTI jadi ada kawan kan mau cerita cerita. Bagi bagi pengalaman. Bahkan ibu sempat kongsi alat pengobtan
anak kami. Dulu kan kami gak segini, dulu gak punya uang, jadi kami
belinya kongsi.” Thalasemia penyakit yang masih tidak diketahui oleh banya orang.
Membutuhkan dana yang cukup besar untuk bisa mendapatkan pengobatan yang paling baik. Tanpa pengobatan yang baik dan sesuai dengan prosedur maka tingkat
memiliki kehidupan yang sehat sangant tipis. Beliau mengatakan bahwa thalasemia itu adalah penyakit yang menyerang sistem darah ditubuh seseorang. Pucat dan lemas
adalah gejala yang pada pendidikannya merupakan gejala bagi penyakit lain. Sehingga ketika sang anak terlihat pucat, ia merasa bahwa anak nya sedang sakit.
“Thalasemia itu penyakit yang berbahaya dan gak ada obatnya. Cuma ada transfusi darah supaya sih anak bisa bertahan hidup. Tapi
transfusi itu pun ada efek samping nya. Kalo kebanyakan darah, zat kelasi besinya kan meningkat nah jadi warna kulit sih anak jd itam.
Kalo obat untuk sembuh total gak ada. Tapi kalo transfusi darah sama obat kelasi besi nya bagus dan teratur memungkinkan pasiennya sehat
kayak orang normal. Ada anggota kita namanya gofar gofur, dia mahasiswa di fisip.baru aja tamat. Tahun ini wisudanya. Dia itu obat
kelasi nya bagus trus transfusi teratur. Kalo kamu jumpa dia sekarang gak keliatan kalo sia sakit. Kulitnya bagus. Wajahnya juga bagus,
mungkin orang orang gak akan nyangka dia itu thalasemia”
Universitas Sumatera Utara
59
Universitas Sumatera Utara
Sebagai anggota dari POPTI, beliau selalu senantiasa mengajak orang orang disekitar untuk lebih peduli dengan thalasemia. Beliau juga membantu para
pengurus lain dalam hal menyiapkan fasilitas yang diperlukan oleh pasien thalasemia. Membantu para orang tua dalam memberikan informasi terbaru dalam
pengobatan thalasemia. Karena kebanyakan dari para orang tua penderita thalasemia merupakan orang orang yang memililki keterbelakangan pendidikan
dan ekonomi sehingga diperlukan seseorang yang dapat membantu mereka, memberikan informasi terbaru dalam pengobatan thalasemia.
“saya sama buk sarma itu selalu berulang kali mengajak orang orang disekitar kita. Tapi itu tadi, masyarakat kita ini tidak peduli. Gak ada
pedulinya. Contohnya kayak anak ibu yang meninggal itu, kan banyak yang nanyak anak ibu kenapa bisa meninggal padahal kan umurnya
masih muda kali. Ibu jelasin ke tetangga atau saudara saudara ibu, tapi ya gitu gak peduli. Udah tau penyebabnya pun udah ibu kasih
tau. Skrining juga udah ibu bilang. Skrining itu wajib bagi yang belum menikah. Ibu jelasin juga skrinig itu apa. Kenapa harus
dilakukan. Tapi iya itu tadi yang ibu omongin Cuma dianggep angin
lalu aja”
4.1.3.5 Informan Sekunder Kedua
Nama : Ibu Sutina mama melisa
Tanggal wawancara : 21 April 2016
Waktu wawancara : 11:00
– 13:00 WIB Tempat wawancara
: Di rumah ibu Sutina di daereah kampung durian, jl. HM Said Gg, A. Kampung durian Medan.
Ibu Sutina atau dikenal dengan panggilan mama Melisa merupakan seorang ibu rumah tangga yang keseharian berProfesi sebagai pedagang kaki lima.
Ia berjualan tidak jauh dari rumahnya. Ibu Sutina seorang pribadi yang sangat baik dan ramah. Hal ini dapat dibuktikan dengan keramahan yang ditunjukkan
oleh beliau ketika menyambut kedatangan peneliti. Selain berdagang ibu Sutina juga sering mendapatkan pesanan katering untuk beberapa event bakti sosialisasi
dari beberapa organisasi swasta lain. “Ibu biasanya jualan dek, jualan sarapan di depan rumah. Didepan
jalan ini. Selain jualan biasanya ibu dapat orderan dari lion’s club
Universitas Sumatera Utara
60
Universitas Sumatera Utara
buat masakin makanan yang biasanya dibagiin gitu buat orang donor darah.”
Bertempat tinggal disebuah rumah sederhana yang tepat berada disamping rumah abang ipar nya, ibu Sutina tinggal disebuah rumah yang terbilang
sederhana. Rumah itu ditempat oleh ibu Sutina dengan sang suami berserta ketiga anaknya. Ibu Sutina sebenarnya memiliki empat orang anak, terdiri dari dua orang
perempuan dan dua orang laki-laki. Tepat tiga bulan yang lalu anak nya yang paling besar, Melisa. Melisa merupakan seorang penderita thalasemia. Tapi
dengan tranfusi darah yang dilakukan dengan teratur dan juga obat yang terus dikonsumsi, membuatnya bertahan hingga umur 31 tahun yang pada
pendidikannya umur seorang penderita thalasemia adalah 30 tahun. Melisa dinyatakan menderita thalasemia ketika dia masih berumur 12 tahun. Pada saat itu
Melisa selalu keliatan pucat dan lemas juga sesak nafas. Awalnya beliau membawa Melisa berobat ke puskesmas terdekat tetapi mereka juga masih
bingung menetapkan diagnosa penyakit Melisa. Kemudian beliau dirujuk ke Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Adam Malik, disinilah diketahui bahwa
Melisa terkena thalasemia. Hal yang serupa terjadi dengan anak ibu Sutina yang ketiga. Seorang anak
laki laki berusia 12 tahun itu, menderita thalasemia semenjak ia berumur 2,8 tahun. Saat itu ibu Sutina melihat gejala yang sama seperti yang terlihat saat
melisa sakit. Setelah dibawa berobat, memang dugaan ibu Sutina benar, satu lagi buah hatinya menderita thalasemia. Hingga saat ini beliau masih sering membawa
sang anak transfusi darah setiap dua bulan sekali kerumah sakit Sari Mutiara. “Anak ibu itu ada empat orang. Satu meninggal. Tiga bulan yang lalu
dia meninggal. Anak ibu yang paling besar namanya Melisa, Yang kedua namanya Qory, yang ketiga namanya Desi, trus yang keempat
namanya Bagus. Anak ibu yang kena thalasemi itu si Melisa sama Si Bagus. Kalo si melisa itu ibu taunya thalasemia pas di umurnya 12
tahun, tapi kalo si adek an itu taunya pas masih umurnya 2 tahun 8 bulan. Gejala mereka mirip, pucet, lemas, trus sering sakit-sakit an.
Alhamdulillahnya kalau mendiang itu obatnya sama tranfusinya itu teratur trus ibu kasih obat diluat obat-obatan yang harus dimakannya
setiap hari. Sebanarnya obat itu, obat untu segala penyakit tapi pas dikasih ke anak anak mereka bilangnya badannya enak, sehat gitu.
Universitas Sumatera Utara
61
Universitas Sumatera Utara
Yauda ibu kasih terus. Tapi karena harganya mahal ibu makenya irit irit hahahahah...”
Ibu Sutina tidak pernah tahu bahwa dirinya memiliki gen thalasemia. Hal serupa juga dialami oleh suaminya. Ibu Sutina bertemu dengan sang suami setelah
sang suami berpisah dengan istrinya. Setelah resmi bercerai ibu Sutina menikah dengan beliau. Pernikahan itu pun berjalan dengan sangat baik. Walaupun
diselimuti kekurangan ekonomi tapi mereka masih bisa hidup dengan layak. Ibu Sutina juga tidak pernah mencurigai sang suami memiliki gen thalasemia karena
sang suami sebelumnya sudah memiliki anak dan sang anak pun sehat wal afiat. “Ibu sama sekali gak tau kalo ibu itu ada gen talasemia. Bapak pun
gitu juga. Karena kan bapak itu udah pernikah dan punya anak. Anak nya sehat. Jadi ibu juga gak nyangka dia punya gen itu. Kalau
seandainya ibu tau, pasti ibu eceknya udah siap siap atau paling ngk, ibu jaga jaga kalu memang punya anak thalasemia. Tapi kan taunya
setelah melisa udah besar, kaget lah ibu. Gak terima juga. Yang
paling sedih kalau liat dia sakit. Kambuh. Sedih kali ibu liatnya.” Dengan tidak adanya sosialisasi yang dilakukan puskemas atau
pemerintahan setempat mengenai thalasemia ini, masih banyak masyarakat diluar sana yang mengalami nasib yang sama seperti ibu Sutina. Tidak memiliki
pengetahuan tentang penyakit ini. Hal ini juga menjadi salah satu penyebab bertambahnya penderita thalasemia yang sangat signifikan.
“ Ibu bener bener buta sama thalasemia. Gak tau. Dokter puskemas aja pun gak tau. Mereka juga gak ada tuh ngasih sosialisasi tentang
thalasemia atau penyakit lain. Tidak informasi yang kita terima. Ibu juga bukan orang kesehatan jadi kan gak tau. Ibu juga sekolah aja
tamat SMA. Ibu sama sekali gak ngerti.” Sebelum mengetahui dengan pasti bahwa anaknya melisa menderita
thalasemia. Banyak sekali sanak saudara yang berbagi informasi tentang pengobatan tradisional. Pengobatan yang diperncayai dapat menyembuhkan
segala jenis penyakit. Sebagai seorang ibu yang ingin anaknya sembuh, beliau juga mencoba beberapa jenis pengobatan. Tapi tidak ada hasil yang terlihat.
“ dulu ibu sempat juga berobat tradisional. Banyak saudara yang bilang kalau dia kenal palasik. Jadi bagusnya berobat tradisional aja.
trus ibu diyakinkan lagi sama mereka, kalau ada yang pernah berobat kesana. Dokter bilang udah gak tertolong tapi akhirnya sembuh juga
Universitas Sumatera Utara
62
Universitas Sumatera Utara
pake tradisional. Sebagai mama melisa ibu pingin lah dia sembuh. Ibu buat juga tapi gak ada efeknya ibu liat. Lama lama ibu berhenti juga
kan. Balik berobat dokter.”
Akhirnya setelah beberapa bulan menjalankan terapi transfusi darah dan mengumsi obat kelasi besi. Melisa perlahan mulai membaik. Melisa dinyatakan
mengidap thalasemia pada bulan Juli tahun 2004. Ditahun yang sama dokter yang menangani Melisa menyarankan ibu Sunita untuk bergabung dengan organisasi
yang khusus menangani thalasemia juga membantu para orang tua penderitanya yaitu POPTI. Pada tahun 2007 pertama kali ibu Sunita mengenal POPTI dan
bergabung dengan organisasi tersebut. “Ibu tau POPTI itu pas tahun 2007. Itu pun karena dikasih tau sama
dokter yang ngobatin melisa. Dia bilang ada orgnisasi yang memang dibentuk untuk kami para orang tua dan juga penderita thalasemia.
Gak pikir panjang langsung aja saya hubungi ketua. Ketuanya kan Ibu Sarma, disitulah saya pertama kali bertemu dengan ibu
Sarmawati. Sebelum saya telfon dia, sebenarnya saya sudah sempat ketemu. Cuma waktu itu kita gak kenal, ibu itu pun juga sibuk kesana
kemari waktu dirumah sakit. Saya kenalnya sama suaminya. Karena suaminya yang nungguin anaknya transfusi. Begitulah pertama kali
saya kenal POPTI” POPTI memang dibentuk atas dasar kemanusiaan. Membantu mereka
mereka atau para orang tua yang memang perlu dibentuk dalam banyak bidang menyangkut penyakit thalasemia ini. POPTI Medan dibentuk pada tahun 2007 dan
saat itu jumlah pasien atau anggota masih sedikit. Sampai saat ini terjadi peningkatan yang sangat signifikan dengan jumlah pasien yang berada di kota
Medan. Tercatat terdapat kurang lebih 125 orang penderita thalasemia yang berada di kota Medan. Perhitungan ini belum termasuk pasien yang meninggal dunia.
POPTI menyediakan tidak hanya informasi masih bagi para orang tua yang membutuhkan tapi juga membantu para orang tua mencari donasi darah
untuk anak –anak mereka.
“ Waktu pertama kali masuk dan gabung di POPTI rasanya lega kali. Masksudnya ibu, waktu ibu tau melisa sakit itu, ibu rasanya gak terima,
sedih gak ketulunga. Tapi begitu masuk ke POPTI, ibu itu gak Cuma dapat informasi aja tapi juga dapat kawan, sahabat berbagi. Banyak
kawan yang punya cerita yang sama tapi mereka bisa melalui itu. Dapat tips tips dari mereka, gimana cara supaya bisa menerima
Universitas Sumatera Utara
63
Universitas Sumatera Utara
keadaan itu. Gimana supaya pengobatan melisa bisa sesuai dengan yang dibilang dokter. Atau pemilihan obat obat yang bagus dan cocok
untuk melisa. Yang paling saya lega juga adalah masalah darah. Biasanya kan kalo kita mau donor, kita pergi kerumah sakit, kita harus
nunggu dulu baru dapat darah, itu pun kalau ada stok. Kalau gak ada stok ya harus nunggu dua hari sampai tiga hari, atau nyari pendonor
sendiri. Dengan ibu gabung di POPTI, ibu jadi dibantu sama mereka. Dibantuin dapat darah sampai beasiswa buat sekolah. Senang kali
gabung sama POPTI” Tidak hanya bergabung sebagai anggota biasa. Beliau juga bergabung
sebagai bendahara diorganisasi ini. Mengambil andil dalam menggerakan organisasi ini. Rasa terima kasih ia ungkapkan dengan selalu sedia setiap saat
ketika dibutuhkan oleh para pengurus yang lain. “Udah lama ibu gabung di POPTI. Ibu jadi bendahara. Trus juga
sering bantu bantuin pengurus yang lain kalau lagi ada cara. Jadi bendahara juga awalnya ibu gak ngerti ngerti kali. Cuma belajar dari
ibu sarma, diajari sama di gimana jadi bendahara.” Kemudian selain itu, POPTI juga memiliki tugas dalam menyebarluaskan
informasi thalasemia kepada setiap orang. Para anggotanya selalu diingatkan untuk selalu senantiasa menyebarluaskan informasi thalasemia kepada tetangga,
saudara atau bahkan orang lain. Hal ini tentu dilakukan oleh ibu Sunita. Dengan memiliki latar belakang anak yang menderita thalasemia, tidak membuat dirinya
menjadi minder. Beliau menjadi lebih aktif lagi dalam memberitahu orang-orang disekitarnya akan bahaya thalasemia.
“ Kita kan di POPTI selalu mengingatkan untuk tetap ngasih tau orang orang disekitar kita untuk waspada sama thalasemia ini. Kalau
ibu, biasanya ibu kalau lagi sore sore duduk sama tetangga sering juga bilangin anaknya harus periksa skrining supaya gak kayak
anakku. Trus ibu ceritailah apa itu thalasemia, apa bahayanya, gimana cara anak itu bisa kena thalasemia. Yang paling sering ibu
ingetin itu yang teman temannya mendiang. Waktu Melisa meninggalkan teman temannya banyak yang datang, ibu cerita melisa
sakit apa. Gimana kenanya. Trus ibu ingetin,mumpung belum nikah buruan skrining, ya walaupun mahal tapi kan tetap berguna bagi
kesehatan. Kalau misalnya saudara lagi datang kerumah, saya bagiin brosur brosur sama buku saku thalasemia yang dikasih ibu sarma
sama saya. Biar mereka juga baca
– baca. Jadi kalau penjelasan ibu kurang jelas mereka bisa baca dari situ”
Universitas Sumatera Utara
64
Universitas Sumatera Utara
Selain terus menyebarluaskan informasi thalasemia keberbagai kalangan. POPTI juga seringa mengadakan kegiatan untuk memperkuat tali silahturahmi
sesama orang tua dan penderita thalasemia yang ada dikota Medan. Kegiatan berupa arisan setiap beberapa kali dalam satu bulan merupakan tempat yang
paling efektif bagi para orang tua untuk saling berbagi cerita tentang isi hati dan keluh kesah mereka. Tapi arisan juga menjadi tempat para orang tua mendapatkan
informasi mengenai pengobatan thalasemia yang terus berkembang. “Kami ada arisan. Arisan ini kayak tempat kami ngumpul trus cerita
cerita. Nanti juga ada dokter dokter dari POPTI yang datang. Ngasih penyuluhan tentang pengobatan thalasemia yang baik dan benar. Ada
juga tempat bagi kami dapat informasi terbaru tentang obat obat. Secara kan pengobatan ini kian berkembang setiap tahunnya. Dari
yang dulu kelasi besi itu pake suntik. Jadi harus kerumah sakit hingga yang seka
rang berupa obat. Tinggal minum aja” Dulu sebelum ditemukan nya obat minum kelasi besi, para pasien harus
mengomsumsi obat kelasi besi melalui pump, pump adalah alat seperti suntik yang menyuntikkan langsung cairan kelasi besi ke dalam tubuh pasien thalasemia. Alat
ini pada saat itu sangatlah mahal. Berkisar 3 juta rupiah. Waktu itu harga 3 juta rupiah untuk keluarga ibu sutina dan murisda juga ibu samrma merupakan harga
yang sangat mahal. Yang pada akhirnya untuk memenuhi kebutuhan tersebut, ibu sutina membeli alat itu dengan cara berbagi dengan teman yang lain. Sehingga alat
itu bisa dipinjamkan. “Dulu ibu sebelum ada obat minum ini, ibu kongsi beli alat pumpnya
sama ibu ibu yang lain. Jadi obat itu bisa dipinjamkan kalau anak ibu udah selesai make. Harganya mahal jadi ibu gak mampu kalau beli
sendiri. Sedangkan kalau ngerepin dari rumah sakit lama prosesnya”
4.2 Pembahasan