Komunikasi Antarbudaya Masyarakat Sunda Dalam Asimilasi dengan Masyarakat Setempat di Desa Babussalam Kecamatan Marbau Kabupaten Labuhanbatu Utara

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Berger, Charles R. Dkk., 2014. Handbook Ilmu Komunikasi. terjemahan Derta Sri. Bandung: Nusa Media.

Effendy, Onong Uchjana. 2011. Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Moleong, L. J. 2014. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Mulyana, Deddy. 2010. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Pujileksono, Sugeng. 2015. Metode Penelitian Komunikasi Kualitatif. Malang: Intrans Publishing.

Mukarom,Zainal. Dkk., 2015. Manajemen Public Relation. Bandung:Pustaka Setia

Greaff,Judith A.Dkk 1996.Komunikasi untuk Kesehatan dan Perubahan Peilaku. Yogyakarta:Gadjah Mada University Press

Widjaja,H.A.W. 2008. Komunikasi:Komunikasi dan Hubungan Masyarakat.Jakarta: Sinar Grafika Offset.

Chandra, Budiman. 2006. Ilmu Kedokteran Pencegahan Komunitas. Jakarta: EGC.

Ruslan,Rosady.2007.Kampanye Public Relations.Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada.

Liliweri, Alo.2013.Dasar-dasar komunikasi kesehatan.Yogyakarta:Pustaka Pelajar

Purwosastuti,Endang.2015.Komunikasi dan konseling.Yogyakarta:PustakaBaru Press

Morrison, 2009. Manajemen Media Penyiaran,Strategi Mengelola radio dan televisi. Jakarta: Kencana Prenanda Media Group

Bungin, Burhan.2006. Sosiologi Komunikasi. Surabaya: Kencana

Moleon, Lexy J.2005. Metode Penelitian kualitatif:edisi revisi. Bandung:PT.REMAJA ROSDAKARYA


(2)

Ihromi. 1999.Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Murtopo,Ali.1978, Startegi Kebudayaan, Jakarta: Centre for Strategic and International Studies-CSIS

David,Fred. 2002, Manajemen Strategi konsep.Jakarta: Prehalindo

Littlejohn, Stephen W dan Karen A,Foss. 2009, Teori komunikasi. Jakarta: Salemba humanika

Jalaludin, Rakhmat. 1999, Metode Penelitian Komunikasi, Bandung: Remaja Rosda Karya


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Lain:

httapi://www.thalassaemia-yti.net/news.php0[\ (diakses pada 8/12/2015 21:00)

httapi://thalasemia.org/ (diakses pada 8/12/2015 21.30)

httapi://www.tobasatu.com/2015/01/21/6-dari-100-orang-indonesia-membawa-gen-thalasemia/ (diakses pada 3/1/2016 15:00)

httapi://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/38405/3/Chapter%20II.pdf (diakses pada 29/1/2016 20:50)

httapi://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_1992_23.pdf (diakses pada 10/02/2016 10:30)

httapi://ariqa-ayni-fpsi13.web.unair.ac.id/artikel_detail-112374-Perilaku%20Sehat-HEALTH%20BELIEF%20MODEL%20SEBAGAI%20PEMBENTUK%20 PERILAKU%20SEHAT.html ( diakses pada 13/02/2016 22:57)


(4)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian Kualitatif

Metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang diamati. Penelitian kualitatif ini juga merupakan jenis penelitian yang menghasilkan penemuan yang tidak dapat di capai dengan menggunakan prosedur statistik atau cara kuantifikasi lainnya. Pendekatan kualitatif di gunakan untuk menggunakan data yang mendalam, suatu data yang mengandung makna. Makna adalah data sebenarnya, data yang pasti merupakan suatu nilai di balik data tampak.

Metode penelitian deskriptif adalah metode yang meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran atau suatu kelas peristiwa pada saat sekarang. Penelitian ini berusaha menemukan berbagai faktor yang mempengaruhi suatu kejadian atau objek yang didalamnya terdapat upaya deksripsi, pencatatan, dan analisis (Moleong, lexy J. 2005. Metode Penelitian Kualitatif 2005: 3)

Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah yang terjadi dalam kelompok tertentu, aktifitas kegiatan sikap, pandangan serta proses yang berlangsung dan pengaruh dari suatu fenomena yang terjadi. Penelitian ini berusaha menemukan berbagai faktor yang mempengaruhi suatu kejadian atau objek yang di dalamnya terdapat upaya deskripsi, pencatatan dan analisis.

Dalam penelitian deskriptif diperlukan peneliti yang bertindak sebagai pengamat yang hanya membuat kategori, perilaku, mengamati gejala, dan mencatatnya dalam buku observasi. Peneliti akan bertindak sebagai pengamat yang terjun langsung ke lapangan untuk memperoleh data yang di perlukan dengan mewawancarai pihak yang terkait ( Jalaludin, Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi, Bandung, Remaja Rosada Karya. 1999. Hal 24)


(5)

Penelitian kualitatif di anggap lebih cocok digunakan untuk penelitian yang mempertimbangkan kehidupan manusia yang selalu berubah. Pendekatan kualitatif juga menggunakan kerangka piker yang berisikan teori teori yang berkaitan dengan penelitian, untuk lebih memperkuat dan mengarahkan proses penelitian.

Mulyana menyebutkan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bersifat interpektif yang melibatkan banyak metode dalam menalaah masalah penelitian. Secara konvensional metode ini cenderung di asosiasikan dengan keinginan peneliti untuk menelaah makna, kontek dan suatu pendekatan holistik terhadap fenomena (Moh Nazir phd, Metode Penelitian, 2005. Hal: 63)

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan desain penelitian kualitatif deskriptif. Model desain penelitian deskriptif untuk menjelaskan makna-makna dalam gejala sosial. Pendekatan kualitatif memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan sebuah makna dari gejala-gejala sosial di masyarakat. Objek analisis dalam pendekatan kualitatif adalah makna dari gejala-gejala sosial dan budaya dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat bersangkutan. Pendekatan kualitatif dalam komunikasi menekankan pada bagaimana sebuah pendekatan dapat mengungkapkan makna-makna dari konten komunikasi yang ada sehingga hasil-hasil penelitian yang diperoleh berhubungan pemaknaan dari sebuah proses komunikasi yang terjadi (Bungin, 2004: 302).

Laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Data tersebut berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto, videotape, dokumen pribadi, catatan atau memo dan dokumen resmi lainnya (Moleong, 2014: 11).

3.2 Subjek Penelitian

Pada penelitian kualitatif kali ini, peneliti menggunakan lebih dari satu subjek penelitian. Hal ini dikarenakan peneliti menggunakan metode triangulasi dalam metode penelitian. Subjek pertama dalam penelitian ini adalah Subjek pertama dalam penelitian ini ada organisasi terkait penyakit thalasemia, yaitu


(6)

Yayasan Thalasemia Indonesia (YTI) cabang kota Medan berlokasi di RSU H. Adam Malik Medan, Jl. Bungalow 17, Medan Sumatera Utara. YTI merupakan Organisasi yang bergerak di bidang kesehatan khususnya penanggulangan penyakit thalasemia. Untuk itulah YTI memiliki peran penting dalam menyebar luaskan informasi bahaya thalasemia. Sehingga peneliti memutuskan untuk meliti strategi komunikasi yang dipakai oleh YTI.

Subjek yang kedua adalah POPTI cabang kota Medan berlokasi di jalan Pintu Air IV Komp. Politeknik No.27 Medan 20142. POPTI merupakan suaut organisasi yang bergerak dbidang penanggulangan penderita thalasemia serta orang tua penderita. Di dalam organisasi ini mereka akan membagikan informasi–informasi bagaimana cara merawat anak yang terkena thalasemia serta membantu mereka dalam merawatnya. YTI dan POPTI meruapakan dua organisasi yang saling berkaitan sehingga membuat peneliti ingin meliti kedua organisasi tersebut. Sebab itu lah peniliti menjadikan POPTI sebagai subjek kedua dan menjadikan sebagai data pelengkap dalam penelitian.

3.3 Objek Penelitian

Objek penelitian yang akan diteliti adalah strategi komunikasi yang digunakan dalam menyebarluaskan informasi mengenai penyakit thalasemia berserta skrining test di kota Medan.

3.4 Unit Analisis

Unit analisis pada umumnya dilakukan untuk memperoleh gambaran yang umum dan menyeluruh tentang situasi yang diteliti objek penelitian. Unit analisis dalam penelitian ini meliputi 3 komponen menurut Speadly (dalan Sugiono, 2007: 68) yaitu:

1. Tempat, tempat dimana dalam penelitian ini berlangsung. Tempat berlangsungnya adalah di kota Medan, Sumatera Utara.

2. Pelaku, pelaku dalam penelitian ini adalah subjek penelitian sebagai informan yang sesuai dengan penelitian ini. Dalam hal ini adalah YTI dan POPTI di kota Medan.


(7)

3. Kegiatan, kegiatan yang dilakukan oleh pelaku dalam situasi yang sedang berlangsung dalam hal ini adalah penyebarluasan informasi penyakit thalasemia

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, data yang akan dikumpulkan dari informan akan dilakukan dengan proses pengumpulan data secara terus-menerus hingga data jenuh. Teknik analisi data yang digunakan selama dilapangan berdasarkan model Miles dan Huberman.

1. Wawancara Mendalam (in-depth interview)

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan tanya jawab secara lisan, baik langsung atau tidak langsung dengan sumber data. Dalam penelitian ini wawancara dilakukan secara langsung (tatapi muka) dengan jumlah pertemuan yang tidak ditentukan bergantung pada informasi yang dibutuhkan. 2. Observasi (participat-observer)

Sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada obyek penelitian (Pujileksono,2015:123). Pada obeservasi ini mengharuskan peneliti langsung ikut kelapangan selama proses penelitian berlangsung.

3. Studi kepustakaan

Dalam melakukan penelitian, peneliti juga akan membaca literatur yang berkaitan dengan penelitian. Dalam penelitian ini peneliti membaca literatur yang berkaitan dengan komunikasi antarpribadi dan komunikasi antarbudaya.

3.5.1 Penentuan Informan

Menurut Sugiyono (2009:221), penentuan sampel atau informan dalam penelitian kualitatif berfungsi sebagai sumber untuk mendapatkan informasi yang maksimum. Seseorang atau sesuatu diambil atau ditentukan sebagai sampel karena peneliti menganggap bahwa seseorang atau sesuatu tersebut memiliki dan


(8)

dapat memberikan informasi yang diperlukan untuk kepentingan penelitiannya. Dalam penentuan informan, kriteria yang dibutuhkan adalah sebagai berikut:

1. Organisasi terkait dan bergerak di bidang kesehatan terutama thalasemia 2. Organisasi tersebut berada di kota Medan

3.5.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah di kota Medan, sebagaimana data yang dibutuhkan berasal dari YTI dan POPTI di kota Medan. Peneliti menyesuaikan tempat dengan informan untuk melakukan wawancara mendalam (in-depth interview).

3.5.3 Keabsahan Data

Untuk menetapkan keabsahan data diperlukan teknik pemeriksaan.

Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu. Ada empat kriteria yang digunakan, yaitu derajat kepercayaan, keteralihan, kebergantungan dan kepastian.

1. Penerapan kriterium derajat kepercayaan (credibility) pada dasarnya menggantikan konsep validitas internal dari non kualitatif.

2. Kriterium keteralihan (transferability) menyatakan bahwa generalisasi suatu penemuan dapat berlaku atau diterapkan pada semua konteks dalam populasi yang sama atas dasar penemuan yang diperoleh pada sampel yang secara representatif mewakili populasi itu.

3. Keteralihan (transferability) sebagai persoalan empiris bergantung pada kesamaan antara konteks pengirim dan penerima. Untuk melakukan pengalihan tersebut seseorang peneliti hendaknya mencari dan mengumpulkan kejadian tentang kesamaan konteks.

4. Kebergantungan (confirmability) jika dua atau beberapa kali diadakan pengulangan suatu studi dalam suatu kondisi yang sama dan hasilnya secara esensial sama, maka dikatakan realibilitasnya tercapai (Moloeng, 2014: 324).


(9)

3.6 Teknik Analisis Data

Menurut Seiddel (Moeleong, 2006: 248) analisis data kualitatif memiliki tahapan sebahai berikut:

1. Mencatat hasil temuan dilapangan, diberi kode agar sumber datanya dapat ditelusuri.

2. Mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasi, membuat ikhtisar dan membuat indeksnya.

3. Berpikir dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai makna, mencari dan menemukan pola hubungan-hubungan dan membuat temuan-temuan umum.

Kegiatan analisis data dalam penelitian ini dimulai dengan mengumpulkan semua data yang diperoleh dari lapangan, baik berupa data primer maupun sekunder. Data-data yang diperoleh kemudian disesuaikan dengan teori-teori yang berhubungan untuk mendapatakan suatu kesimpulan akhir. Selanjutnya, akan disusun membentuk laporan yang sistematis.

3.6.1 Triangulasi Data

Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembadnging terhadap data itu. Teknik tirangluasi yang paling banyak digunakan ialah meperiksaan melalui sumber lain. Denzin (1978) membedakan empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori.

Triangulasi yang akan dipakai peneliti dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber. Dimana triangulasi sumber merupakan suatu cara untuk membandingkan atau mengecek baik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif. Hal ini dapat dicapai dengan:

1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil data wawancara 2. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa


(10)

3. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, orang pemerintahan 4. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan

Jadi triangulasi berarti cara terbaik untuk menghilangkan perbedaan– perbedaan konstruksi kenyataan yang ada dalam konteks suatu studi sewaktu mengumpulkan data tentang berbagai kejadian dan hubungan dari berbagai pandangan. Dengan kata lain bahwa dengan triangulasi, peneliti dapat me rechecck temuanya dengan cara membandingkan dengan berbagai sumber, metode atau teori. Untuk itu maka peneliti dapat mengajukanya dengan jalan: (Moloeng, 2005:330 - 332)

1. Mengajukan berbagai macam variasi pertanyaan 2. Mengeceknya dengan berbagai sumber data

3. Memanfaatkan berbagai metode agar pengecekan kepercayaan data dilakukan

Triangulasi data dilakukan dengan menggunkan teknik yang berbeda (Nasution, 2003:115) yaitu wawancara, observasi dan dokumen. Triangulasi selain ini selain digunakan untuk mengecek kebenaran data juga dilakukan untuk memperkaya data. Menurut Nasution, selain itu triangulasi juga dapat digunakan untuk menyelidiki validitas tafsiran peneliti terhadap data, karena itu triangulasi bersifat reflektif.

Tujuan umum dilakukan triangulasi adalah untuk meningkatkan kekuatan teoritis, metodologis, maupun interpretatif dari sebuah riset atau penelitian. Dengan demikian triangulasi memiliki arti penting dalam menjembatani perbedaan riset kualitatif dan kuantitatif. Pengumupulan data triangluasi melibatkan observasi, wawancara, dan dokumentasi.

Triangulasi dalam penilitian ini terdiri dari data primer dan sekunder: 1. Data Primer : Data ini diperoleh dengan menggunakan wawancara

mendalam yang akan dilakukan kepada Yayasan Thalasemia Indonesia cabang kota Medan


(11)

2. Data Sekunder: Data ini diperoleh dengan menggunakan wawancara mendalam yang akan dilakukan kepada organisasi terkait yaitu POPTI cabang kota Medan.


(12)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Pada bab ini, peneliti akan memberikan paparan menyangkut hasil penelitian yang didapatkan selama proses penelitian di lapangan. Penelitian dilakukan pada empat orang informan dari anggota pengurus Yayasan Thalasemia Indonesia dan Perhimpunan Orang Tua Penderita Thalasemia cabang kota Medan. Hasil penelitian ini diperoleh peneliti dari bentuk wawancara dan observasi langsung. Penjabaran hasil penelitian tersebut akan turut disertakan dengan pembahasan berdasarkan tujuan penelitian yang telah ditentukan. Hasil dan pembahasan tersebut nantinya akan di deskripsikan dalam bentuk narasi atau tulisan panjang.

4.1.1 Deskripsi Proses Penelitian

Pada pelaksanaan penelitian strategi komunikasi kesehatan Yayasan Thalasemia Indonesia (YTI) studi deskriptif kualitatif strategi komunikasi kesehatan Yayasan Thalasemia Indonesia, proses pengumpulan data di lapangan diperoleh peneliti dengan melakukan dua tahap yaitu tahapa awal penelitian dan tahap pengumpulan data penelitian.

Pada tahap awal penelitian dimulai dengan melakukan observasi dengan menemui langsung ibu Sarmawati yang merupakan ketua POPTI dan wakil ketua YTI yang bertempat tinggal di jalan Pintu Air IV. Komplek Politeknik No.27 Medan. Peneliti mengunjungi rumah ibu Sarmawati untuk observasi dan dihari yang sama pula peneliti juga mengobservasi kegiatan yang tengah dilakukan oleh POPTI, yaitu sosialisasi dari salah seorang mahasiswa UMSU kepada anak-anak penderita thalasemia yang diadakan di aula Politeknik Medan.

Kedatangan peneliti disambut hangat oleh ibu Sarmawati. Peneliti pun memperkenalkan diri dan memberitahu maksud dan tujuan kedatangan. Kurang lebih 30 menit peneliti mendapatkan keterangan secara pendidikan mengenai


(13)

penyebaran dan tingkat penderita thalasemia yang di kota Medan saat ini. Keterangan singkat yang didapat tersebut akan berfungsi untuk membantu peneliti dalam meneliti dan menentukan topik penelitian yang sesuai sesuai sebagai masalah penelitian yang sebenarnya kepada Yayasan Thalasemia Indonesia di Medan, yakni strategi komunikasi kesehatan Yayasan Thalasemia Indonesia. Tiga minggu kemudian, peneliti kembali menemui ibu Sarmawati untuk melakukan wawancara kembali dan juga observasi demi melengkapi informasi untuk memperkuat konteks masalah dalam penelitian ini.

Peneliti memilih sumber informasi dari beliau karena beberapa alasan; ibu Sarmawati merupakan wakil ketua YTI dari tahun 2014 hingga sekarang; beliau juga merupakan Ketua POPTI dari tahun 2008 hingga sekarang; ibu Sarmawati sangat mengetahui secara mendetail bagaimana penyebaran informasi thalasemia di kota Medan. Beliau juga mengakui bagaimana pekembangan dan peningkatan pasien thalasemia setiap tahunnya. Ketidaktahuan para orangtua penderita thalasemia ketika mendapati anaknya didiagnosis menderita thalasemia. Menjadi salah satu alasan meningkatnya penderita thalasemia. Alasan lainnya kenapa peneliti memilih ibu Sarmawati adalah beliau juga merupakan salah satu orang tua penderita thalasemia, anak bungsu ibu Sarmwati yang bernama Chairunnisa didiagnosis menderita thalasemia ketika ia berumur satu tahun delapan bulan dan kemudian meninggal dunia ketika berumur tiga belas tahun. Sehingga tidak diragukan lagi kalau beliau mengetahui segala bentuk informasi mengenai thalasemia.

Pada tahap pengumpulan data, informan yang merupakan subjek dalam penelitian ini dipilih berdasarkan kombinasi teknik purposive sampling. Metode ini merupakan suatu metode yang mengharuskan peneliti memilih informan yang dianggap tahu tentang apa yang kita harapkan atau mungkin informan tersebut merupakan penguasa sehingga memudahkan peneliti meneliti objek atau situasi yang diteliti (Sugiono, 2008; 301). Dengan kata lain sebagai data yang sesuai atau berdasarakan kebutuhan peneliti. Oleh sebab itu peneliti diharuskan untuk terlebih dahulu menunjuk seorang key-person yang akan menentukan informan yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti, dalam hal ini


(14)

peneliti menunjuk ibu Sarmawati yang merupakan wakil ketua YTI dan ketua POPTI sebagi key-person penentu informan penelitian yang sesuai dengan kriteria. Proses wawancara ini dilakukan mulai bulan Maret hingga Mei 2016 dengan kelima informan yang terdiri dari anggota YTI dan POPTI dengan menggunakan metode wawancara mendalam (in-depth interview).

Sebelum melakukan wawancara dengan informan dimulai, peneliti terlebih dahulu mendatangi kediaman ibu Sarmawati yang merupakan key-person secara langsung untuk menentukan informan pertama. Kedatangan peneliti disambut hangat oleh beliau. Kemudian beliau menjelaskan ada beberapa orang anggota di YTI dan POPTI yang akan cocok menjadi informan peneliti. Ibu Sarmawati menjelaskan bahwa tim medis dari YTI adalah informan paling cocok untuk dijadika informan dan juga beberapa anggota inti dari POPTI seperti sekretaris dan bendahara yang juga pas untuk dijadikan informan. Ibu Sarmawati menunjuk dr. Nelly Rosdiana spesialis Anak untuk menjadi informan primer peneliti, alasan beliau memilih dr. Nelly adalah karena beliau merupakan tim medis yang sering diutus untuk melakukan sosialisasi kebeberapa tempat di kota Medan. Nama kedua yang ditunjuk sebagai informan adalah Prof. dr. Bida Sari, beliau juga merupakan dokter spesialis anak yang sudah sangat lama bergelut dengan thalasemia. Prof, Bida juga merupakan tim medis YTI yang juga sering menjadi narasumber di berbagai sosialisasi baik dari YTI maupun diluar YTI. Kemudian Prof. Bida juga sudah sangat berpengalaman dalam menangangi thalasemia. Yang ketiga ibu Sarmawati mengajukan dirinya sebagai informan, Ibu Sarmawati mengaku bahwa ia sudah lama bergelut dengan kedua organisasi ini sehingga memungkinkan bagi beliau untuk memberikan data data yang diperlukan oleh informan. Selain itu, peneliti juga dibawa langsung ke kediaman informan sekunder yaitu ibu Mursida selaku sekretaris POPTI dan juga ibu Sutina selaku bendahara POPTI. Untuk memudahkan peneliti, Ibu Sarwamati juga membantu peneliti untuk bertemu langsung dengan informan primer yang berada di Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Medan. Informan yang ditentukan dalam penelitian ini dibatasi hanya sebanyak kelima orang karena jawaban dari kelima, informan


(15)

sudah mencapai titik jenuh, di mana artinya informan hampir rata-rata memiliki kesamaan dan tidak memberikan informasi baru.

Pada tanggal 1 Maret 2016, peneliti ditemani dengan ibu Sarmawati mengunjungi dr.Nelly yang pada saat itu sedang berada di ruang prakteknya di Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik. Kedatangan peneliti dan ibu Sarmawati disambut hangat oleh beliau. Peneliti kemudian menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan peneliti dan juga menanyakan kesediaan beliau untuk mau menjadi informan dalam penelitian ini. dr.Nelly pun bersedia untuk menjadi informan primer peneliltian ini. Dalam kesempatan ini juga peneliti membuat janji untuk bertemu dengan beliau guna melakukan wawancara secara mendalam. dr. Nelly yang merupakan seorang dokter spesialis anak mengaku bahwa dalam menangani penyakit ini butuh sedikit kejelian dan ketelian hal ini disebabkan oleh thalasemia tidak mudah terdeteksi. Beliau juga mengutarakan bahwa banyak dari pasien yang datang tidak mengetahui adanya penyakit ini. Kerentanan terjangkit penyakit ini sangat besar bagi banyak orang. Hampir semua orang disini bisa terjangkit thalasemia tapi hanya sedikit yang peduli dengan penyakit ini.

Beberapa hari kemudian peneliti kembali mengunjungi Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Adam Malik untuk menemui Prof. dr. Bida Sari Lubis. Peneliti kembali ditemani oleh ibu Sarmawati. Tepatnya tanggal 4 maret 2016 peneliti mendatangi ruang praktek Prof.Bida yang berada di bagian spesialis anak. Ketika ditemui Prof Bida Sari sedang melakukan visite keruangan pasien rawat inap. Tepat pada pukul 11 Prof Bida sudah berada di ruang prakteknya. Peneliti memperkenalkan diri dan menceritakan maksud dan tujuan kedatangannya. Setelah mendengarkan tujuan kedangan peneliti, beliau bersedia untuk menjadi informan primer kedua dalam penelitian. Pada kesempatan yang sama peneliti juga membuat janji agar bisa melakukan wawancara mendalam. Akhirnya pada kesempatan yang sama peneliti dan informan menyetujui untuk datang kembali beberapa hari kedepan untuk melakukan wawancara.

Tepat pada tanggal 10 Maret 2016 peneliti melakukan proses wawancara mendalam dengan informan primer yang pertama yaitu Ibu Sarmawati. Wawancara ini dimulai pukul 10:00 hingga pukul 12:00 siang. Wawancara


(16)

dilakukan dikediaman beliau di Komplek. Politeknik Medan. Peneliti disambut dengan baik oleh beliau. Rumah beliau terletak tidak jauh dari pintu gerbang perumahan tersebut. Wawancara berjalan dengan baik. Ibu Sarmawati menjawab semua pertanyaan peneliti dengan baik dan jelas. Walaupun terkadang peneliti harus mencatat beberapa pernyataan yang kurang jelas. Beliau mengakui bahwa menjadi ketua POPTI merupakan tanggung jawab yang akan dipikulnya dengan baik. Sama seperti orang tua yang tergabung dengan POPTI, Ibu Sarmawati juga memiliki anak yang juga penderita thalasemia. Ketika anaknya meninggal, beliau memutuskan untuk tidak bergabung dengan POPTI. Tetapi hatinya terpanggil untuk terus mengikuti dan bertanggung jawab atas anak-anak penderita thalasemia yang ada di Medan khususnya.

Wawancara berikutnya dilakukan pada tanggal 18 Maret 2016 di Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam tepat di ruang praktek dr. Nelly. Ruang praketnya tapat dilantai dua RSUP.HAM. Ketika peneliti datang menemui beliau, saat itu beliau sedang menangai seorang pasien sehingga peneliti harus menunggu beberapa saat untuk bisa bertemu dengan dr.Nelly. Peneliti tiba di RSUPHAM pada pukul 09:15 Wib, wawancara dimulai tepat pada pukul 10:00 hingga pukul 12:30 Wib. Wawancara tidak berjalan lancar dikarenakan informan beberapa kali dipanggil oleh dokter lain untuk melihat kondisi pasien yang saat itu sedang gawat. Beberapa kali wawancara sempat terhenti namun dr.Nelly menjawab semua pertanyaan peneliti dengan baik. Walaupun sering sekali beliau menjawab dengan menggunakan istilah-istilah medis dalam menjawab beberapa pertanyaan peneliti. Karenakan pada saat itu dr.Nelly tidak memiliki cukup banyak waktu dalam melakukan wawancara, peneliti membuat janji untuk bisa melakukan wawancara kedua dengan beliau. Wawancara kedua dilakukan pada tanggal 21 Maret 2016. Wawancara masih dilakukan ditempat yang sama. Pada kesempatan kali ini wawancara pada siang hari ketika dr.Nelly sedang beristirahat. Wawancara kedua berjalan baik sama seperti wawancara pertama. dr.Nelly seorang dokter yang sangat ramah sehingga peneliti dapat menanyakan pertanyaan-pertanyaan penelitian dengan santai.


(17)

Wawancara pada informan ketiga juga dilakukan di RSUHAM dibagian spesialis anak yang berada di lantai dasar RSUHAM. Wawancara dilakukan pada tanggal 23 Maret 2016, pukul 09:00 hingga pukul 10:00. Wawancara berjalan dengan baik. Walaupun kendala yang dihadapi peneliti masih sama yaitu kendala dalam bahasa yang digunakan oleh informan yang menggunakan istilah istilah medis. Namun informan ketiga ini akan mengulang kembali jawabannya ketika peneliti menanyakan kembali jawaban beliau untuk yang kedua kali. Proses wawancara ini peneliti memiliki waktu yang sangat sedikit. Hal ini dikarenakan informan ketiga ini selain menjadi dokter di rumah sakit tersebut, beliau juga merupakan dosen yang bertanggung atas mahasiswa kedokteran yang sedang melakukan koas di rumah sakit itu. Dengan jam kerja yang begitu padat, beliau memberikan kesempatan bagi peneliti untuk bisa melakukan wawancara walaupun waktu yang diberikan tidak banyak.

Tahap berikutnya peneliti melakukan pemilihan informan sekunder yang dibutuhkan dalam pemenuhan metode tirangulasi data yang digunakan dalam penlitian ini. Informan sekunder berasal dari organisasi yang sama seperti YTI yaitu POPTI (Oerhimpunan Organisasi Thalasemia Indonesia) yang bergerak dalam menangani pasien dan juga orang tua penderita thalasemia.. Hidup dengan memiliki penyakit thalasemia mengaharuskan seseorang untuk bisa mendapatkan bantuan dari orang lain. Dalam hal ini POPTI merupakan organsasi yang membantu mereka mereka yang terkena penyakit thalasemia.

Pada tahap ini peneliti melakukan diskusi terlebih dahulu dengan ibu Sarmawati untuk menjelaskan informan sekunder seperti apa yang bisa dijadikan informan penelitian ini. Sebagai ketua POPTI kota Medan beliau tahu benar anggota-anggota yang bisa dijadian informan sekunder dalam penelitian ini. Sebelum memilih informan sekunder, Diskusi ringan pun berlangsung sebelum melakukan wawancara mendalam. Di dalam diskusi tersebut peneliti setuju untuk mewawancarai sekretaris dan humas dari POPTI.

Tahap awal proses wawancara dengan informan sekunder berjalan dengan baik. Tahap awal yang peneliti lakukan adalah melakukan observasi singkat dan berkunjung kerumah ibu Mursida selaku informan sekunder kedua di penelitian


(18)

ini. Rumah ibu murisda beralamat di jl. Karya Darma, Medan Johor. Kedatangan peneliti kembali disambut dengan sangat baik oleh beliau. Pada kunjungan yang dilakukan pada tanggal 15 april 2016 ini peneliti menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan peneliti. Yang mana peneliti kembali mendapat respon yang sangat baik dari ibu Mursida. Ibu dari 3 orang anak ini merupakan seorang ibu rumah tangga dan juga sebagai sekretaris POPTI. Memiliki pengalaman yang sama dengan ibu Sarmawati dalam menangani thalasemia. Anak kedua beliau ada seorang pasien thalasemia, yang kini telah meninggal. Kepergian anak nya tersebut tidak lantas membuat ibu Mursida berhenti untuk membantu para orang tua penderita lain yang ada di kota Medan. Observasi tersebut berjalan dengan baik dan menghabiskan sekitar satu hingga satu jam setengah, dimulai pada jam 14:00 hingga 15:00 wib. Masih dihari yang sama peneliti membuat janji untuk bertemu kembali dengan beliau untuk melakukan wawancara mendalam. Proses wawancara berikutnya jatuh di hari senin tanggal 5 April 2016. Wawancara dilakukan pada jam 10:00 hingga pukul 13:25 wib. Wawancara dilakukan di kediaman ibu Murisda. Proses wawancara berjalan dengan baik.

Proses wawancara dengan informan sekunder kedua juga sama dengan informan pertama. Peneliti dengan ditemani oleh ibu Sarmawati mengunjungi rumah ibuSutina selaku bendahara dan juga humas dari POPTI. Ibu empat orang ini selalu giat dalam menyebarluaskan informasi thalasemia kepada siapapun dan dimanapun. Kunjungan pertama dilakukan pada tanggal 6 april 2015. Rumah ibu Sutina. terletak di daerah kampung durian Medan. Sama seperti ibu Sarmawati dan ibu Mursida, beliau juga sudah cukup lama bergabung dengan POPTI. Pada kesempatan tersebut peneliti memperkenalkan diri dan menjelaskan masksud dan tujuan kedatangan peneliti. Antusianme yang ditunjukkan oleh ibu ... membuat peneliti merasa senang. Beliau mengaku tidak keberatan untuk melakukan wawancara. Beliau juga mengaku siap kapan saja untuk diwawancara. Dua hari kemudian tepat tanggal 8 April 2016 peneliti datang untuk melakukan wawancara mendalam dengan informan sekunder kedua ini. Peneliti datang pada pukul 13:15 wib, yang mana disaat itu ibu Sutina. masih belum pulang berjualan. Akhirnya peneliti menunggu hingga pukul 13:30 untuk melakukan wawancara. Wawancara


(19)

berlangsung cukup lama dengan ibu Sutina. ini. Wawancara dilakukan tepat pada pukul 14:00 hingga 16:45 menit. IbuSutina dengan sangat baik dan detail dalam menjawa semua pertanyaan yang diajukan oleh peneliti.

4.1 Tabel Karakeristik Informan

No Nama P/L Pendidikan

terakhir Jabatan Agama Alamat

1 Sarmawati P SMA a. Ketua

POPTI b. Wakil

Ketua YTI

Islam Jl.Pintu Air IV

Komp. Polmed No.27 Medan 2 dr.Nelly Rosdiana

M.ked(Ped,SpA(K)

P Dokter spesialis Anak FK Tim Medis dan Bendahara YTI Islam

3 Prof. dr. Bida Sari Lubis, SpA(K)

P Dokter spesialis Anak FK

Tim Medis YTI

Islam Jl. Bunga Asoka no.38 Medan 20133

4 Mursida P D3

Ekonomi USU

Sekretasris POPTI

Islam Jl. Karya Darma, Johor

5 Sutina P SMA Bendahara

POPTI

Islam Kampung durian.

Sumber: Hasil Wawancara Penelitian, 7 Juli 2016

4.1.3 Hasil Wawancara dan Pengamatan 4.1.3.1 Informan Primer Pertama

Nama : Sarmawati

Tanggal wawancara : 10 Maret 2016 Waktu wawancara : 10:00 – 12:00 WIB

Tempat wawancara : Rumah Ibu Sarmawati Jl.Pintu Air IV komp.Polmed No.27

Ibu Sarmawati, seorang ibu dari empat orang enak dan juga seorang istri yang sangat baik. Beliau merupakan seorang pribadi yang sangat ramah, baik hati, sederhana dan juga memiliki rasa solidaritas yang tinggi. Hal ini terlihat dari bagaimana ia menjalankan tugasnya sebagai seorang pengurus organisasi YTI dan POPTI. Awalnya setelah sang anak yang menderita thalasemia meninggal dunia, ia memutuskan untuk tidak lagi ikut bergabung ke dalam organisasi ini, tetapi


(20)

panggilan hati untuk terus membantu sesama dan juga membantu pasien thalasemia membuatnya kekeh untuk tetap mendedikasikan dirinya sebagai pengurus YTI dan POPTI.

Beliau mendapati anaknya yang paling bungsu, Chairunnisa terus menerus sakit ketika Nisa berumur 1 tahun 8 bulan. Beliau segera membawa anaknya kerumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Awalnya beliau tidak percaya dengan diagnosis dokter yang mengatakan bahwa anaknya menderita thalasemia. Beliau mengungkapkan bahwa betapa terkejutnya ia ketika mendapati Nisa didiagnosis menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

Ibu kaget pas dokter bilang nisa kena thalasemia. Lebih terkejut lagi pas dokter bilang thalasemia ini diturunkan dari orang tua yang punya gen pembawa sifat thalasemia.”

Setelah mendengarkan penjelasan dokter, ibu Sarmwati akhirnya mencoba menerima kondisi anaknya. Walaupun dia masih bingung. Ibu Sarmawati merasa bahwa ia sangat sehat dan suaminya juga sama - sama sehat bisa menurunkan suatu penyakit yang hingga kini tidak ada obatnya. Hanya ada tranfusi darah dan obat kelasi yang dapat membantu Nisa untuk bertahan hidup. Layaknya orang tua lain, ibu Sarmawati mencoba mencari pengobatan lain. Sanak saudara beliau banyak yang mengatakan bahwa Nisa terkena penyakit palasik. Dalam bahasa kampung atau tradisional penyakit palasik adalah penyakit yang menyebabkan darah dalam tubuh seseorang berkurang dengan skala banyak. Banyak saudara yang menyarankan kepada beliau untuk membawa Nisa berobat kampung atau berobat kepada orang orang pintar. Hingga akhirnya ibu Sarmawati pergi keberbagai daerah seperti Surabaya, Jakarta dan Padang untuk mendapatkan pengobatan tradisional. Namun tidak ada hasil yang terlihat. Hingga akhirnya beliau memutuskan untuk melakukan perobatan secara medis. Disitulah beliau pertama kali mengenal Perhimpunan Orang Tua Penderita Thalasemia atau yang disingkat dengan POPTI.

“Setelah ibu kesana kemari berobat tradisional akhirnya yang namanya penyakit pasti yang ngobati dokter kan. Jadi akhirnya ibu dan ayahnya Nisa mutusin berobat di Medan aja. Berobat sama dokter yang bilang kalau Nisa itu kena Thalasemia.


(21)

Awal sekali POPTI ini merupakan organisasi yang meanggulangi thalasemia. Awalnya. POPTI memiliki lingkup kerja daerah kota Medan dan Aceh tapi beberapa tahun kemudian dibentuklah POPTI untuk masing masing kota dan ditunjuklah ibu Sarmawati sebagai ketua POPTI cabang kota Medan. POPTI Medan diresmikan pada tahun 2008 dan masih aktif hingga sekarang. Sebagai ketua POPTI ibu Sarmwati memiliki banyak tanggung jawab. Mulai dari mencari dana untuk para anak-anak penderita thalasemia hingga mendapatkan donor darah untuk para penderita thalasemia.

Chairunnisa akhirnya tutup usia pada saat ia berumur 13 tahun. Usia yang masih belia. Semasa hidupnya, ia selalu menjalani pengobatan secara terus menerus tanpa henti. Sebagai seorang ibu, Ibu Sarmawati selalu mencari dana agar anaknya mendapatkan transfusi darah setiap bulan. Transfusi darah dan obat kelasi besi membutuhkan dana yang cukup banyak. Yang mana saat itu ibu Sarmawati masih belum memiliki ekonomi yang stabil sehingga sulit baginya untuk bisa mendapatkan uang untuk membeli sekantong darah untuk Nisa. Pada umumnya setiap penderita thalasemia rata-rata bertahan hingga umur 30 tahun. Tapi jika pasien mendapatkan transfusi yang juga dibarengi dengan pengobatan kalasi yang tepat. Maka tidak menutup kemungkinan pasien bisa bertahan melampaui batas umur 30 tahun. Sayangnya hal ini tidak berlaku kepada Nisa. Diusia yang masih muda akhirnya Nisa tutup usia. Ibu Sarmawati terpukul bukan main tapi dengan berjalannya waktu beliau bisa menerima kepergian Nisa.

Setelah kepergian Nisa, Ibu Sarmawati memutuskan untuk tidak lagi menjabat sebagai ketua POPTI. Tapi kerja keras yang dibangunnya untuk membantu para penderita thalasemia membuatnya mengurungkan niat untuk berhenti menjadi ketua POPTI.

“Tadinya ibu sudah enggak mau lagi jadi ketua setelah anak ibu meninggalkan. Tapi setelah ibu fikir siapa lagi yang bisa menggantikan ibu kalau ibu berhenti. Anak anak ini perlu seseorang yang bisa membantu mereka. Kebanyakan dari mereka, anak-anak yang gak punya. Berasal dari keluarga yang masih bisa dibilang miskin. Hati saya terpanggil untuk bisa membantu mereka. Itulah kenapa saya sampai sekarang masih bertahan menjadi ketua POPTI”


(22)

Selaku ketua POPTI, Ibu Sarmawati melakukan banyak hal untuk membantu orang tua beserta penderita thalasemia di kota Medan. Ibu Sarmawati memutuskan untuk mengusahakan beberapa fasilitas untuk penderita thalasemia. Seperti ruangan transfusi darah yang berada di Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Adam Malik Medan. Ruangan ini diberikan kepada YTI atas kerja sama beliau sebagai wakil ketua YTI dan direktur rumah sakit tersebut. Tidak hanya itu, beliau juga rajin menyebar beberapa proposal guna menambah fasilitas yang ada diruangan tranfusi tersebut. Proposal ini ia sebar ke beberapa perusahaan dan juga bank. Hasil kerja kerasnya itu telah membuahkan hasil salah satu bank swasta yang ada di kota Medan memberikan donasi berupa dua buat unit tv 36 Inci berserta antena dan kursi untuk para orang tua yang sedang menunggui anaknya mendapatkan transfusi. Pihak rumah sakit sendiri selain menyediakan ruangan, mereka juga menyediakan empat unit tempat tidur untuk para pasien thalasemia.

“anak ibu yang paling kecil kan kena thalasemia. Jadi ibu tau betul gimana rasanya nungguin anak ibu tranfusi. Kalau gak ada hiburan bosen juga. Tranfusi itu kan butuh waktu seharian. Bosen udah pasti la ibu rasain tapi yang lebih kasian lagi sama anak-anak. Mereka kan butuh hiburan juga. Jadi sekarang ini ibu terus menambah fasilitas yang bisa digunakan oleh anak-anak ini kalau mereka tranfusi darah.”

Sebagai seorang ketua dan juga pernah memiliki pengalaman dalam merawat thalasemia. Ibu Sarmawati tahu betul bagaimana resahnya, bagaimana sulitnya untuk melakukan pengobatan yang baik dan sesuai prosedur. Kendala biaya menjadi hambatan utama bagi kebanyakan orang tua penderita thalasemia yang ada di kota Medan. Sehingga ibu Sarmwati sebagai ketua POPTI juga melakukan banyak hal untuk bisa membantu para orang tua di bidang ekonomi.

“Di POPTI sendiri anggota kita banyak yang kurang mampu. Jadi kadang ada juga yang ngasih donasi dalam bentuk beasiswa ke anak-anak ini. Ya tentu saja, membantu mereka yang membutuhkan. Jadi saya merasa bahwa saya sebagai ketua harus tetap aktif untuk bisa membantu dan terus membantu mereka. Bagi ibu membantu mereka ini merupakan hal yang seru. Tentunya ibu tidak kerja sendiri. Ibu selalu dibantu sama anggota yang lain”


(23)

Tidak bisa dipungkiri bahwa masih banyak orang tua penderita thalasemia yang masih memiliki kesulitan ekonomi. Kondisi mereka semakin buruk ketika harus menghadapi anak mereka yang merupakan pasien thalasemia. Butuh dana yang cukup banyak untuk setiap transfusi darah dan membeli obat kelasi besi. Kemiskinan yang mereka derita juga berujung kepada pendidikan yang tidak maksimal sehingga ibu Sarmawati sebagai ketua POPTI dan wakil ketua YTI selalu berusaha sebisa mungkin mendapatkan dana untuk membantu pendidikan mereka.

Menjadi seorang ibu rumah tangga dan juga menjadi seorang pengurus sebuah organisasi merupakan hal yang tidak mudah. Beliau harus pandai mengatur waktu. Hingga kini ibu Sarmawati tidak kenal lelah untuk bisa mengembangkan POPTI dan YTI. Terus membantu para penderita beserta para orang tua penderita untuk bisa hidup sejahtera walaupun harus menempuh jalan yang berbeda dari orang lain.

“Sampai saat ini dan detik ini pun saya tidak pernah lelah atau mengeluh ngurusin POPTI dan juga YTI. Saya sekarang mikirnya, kalau bukan ibu yang peduli dan ngajak orang lain peduli, siapa lagi yang akan peduli dengan organisasi ini.”

Menjadi wakil ketua YTI, Ibu Sarmawati paham benar bagaimana bahaya dari thalasemia selain daripada beliau memang memiliki pengalaman dengan penyakit yang satu ini. Banyak kegiatan sosialisasi yang dilakukan oleh YTI dalam menyebarluaskan informasi tersebut. Tentunya dengan dukungan dan kerja sama dari anggota organisasi dan juga donatur.

“ Untuk saat ini saya dan anggota-anggota yang lain, kita lagi genjar melakukan sosialisasi dengan berbagai macam kalangan masyarakat. Ibu fikir akan jauh lebih kalau masyarkat kita mau peduli sebelum ada anak anak mereka atau saudra yang kena thalasemia.Kami berusaha sebaik mungkin untuk mencapai misi kami dalam memutuskan tali rantai dengan thalasemia”

YTI memiliki misi utama dalam bergerak dibidangnya. Misi tersebut ialah memutuskan tali rantai darah dengan thalasemia. Hal in digunakan untuk mengecah bertambahnya peningkatan pasien thalasemia yang ada di kota Medan.

“Kegiatan yang YTI lakukan banyak sekali dan beragam. Diantaranya kami melakukan berbagai macam sosialisasi ke berbagai SMA, SMK, univerisitas yang berada di kota Medan,


(24)

termasuk ke ibu ibu darmawanita dan juga arisan. Hal ini kami lakuka adalah karena pertama siswa SMA merupakan target paling penting dalam melanksanakan misi kami, anak SMA kan sudah mulai ngerti sama pacar-pacaran trus udah mulai paham sama yang namanya berhubungan dengan orang lain dan lawan jenis. Alasan yang sama juga kami lakukan kepada anak SMK dan mahasiswa. Berbeda dengan ibu ibu darmwanita, kami memilih mereka karena ibu ibu itu kan paling tidak punya anak, ntah mereka masih kecil atau bahkan sudah dewasa, kami mendidikan mereka sehingga mereka bisa memberitahu anak mereka untuk lebih berhati hati dalam bergaul. Kalau sudah mengenal cinta biasanya kebanyakan orang akan tidak peduli dengan apapun disekeliling mereka. Tapi mau tidak mereka harus peduli dengan thalasemia, karean dampaknya berkepanjangan.”

Dengan berbagai macam sosialisasi yang dilakukan oleh organisasi YTI diharapkan agar masyarakat mau peduli dengan thalasemia. YTI menargetkan audiensnya dari umur 16 hingga para ibu-ibu atau orang tua. Untuk pelajar diharapkan agar mereka tidak sembarangan dalam memilih pasangan, walaupun yang lebih dianjurkan adalah sebaiknya mereka berteman dan kemudian jika memang usianya sudah mencukupi untuk menikah, baru mereka bisa mengenal seseorang lebih intim. Jika sudah mahasiswa maka diharapkan agar waspada dalam memilih pasangan hidup. Hidup bersama sama dengan orang yang kita sayangi adalah mimpi semua orang. Tapi mimpi itu tidak akan semanis yang kita bayangkan jika kedepannya kita memiliki anak anak yang tidak sehat. Semua orang berharap agar keturunan mereka sehat dan sejahtera, inilah yang menjadi alasan bagi YTI untuk terus bergerak dan menyebarluaskan informasi thalasemia kepada siapapun.

“Tapi thalasemia itu bisa dihindari. Ada dua caranya, yang pertama adalah menghindari pernikahan saudara dan melakukan skrining. Untuk skrining, semua orang perlu melakukannya, bahkan sebenarnya nih ya lebih bagus lagi kalau skrinig itu dilakukan waktu masih bayi. Tapi... ada tapi nya nih, karena thalasemia tidak terkenal dan orang tidak peduli pada akhirnya skrining itu juga tidak dianggap serius. Padahal skrining itu perlu dilakukan”

Skrining merupakan suatu pemeriksaan darah yang dilakukan untuk mendeteksi adanya gen pembawa sifat thalasemia di diri seseorang. Skrining dianjurkan oleh semua orang termasuk anak bayi. Skrining merupakan satu satu


(25)

nya cara untuk mengetahui dan mendeteksi thalasemia. Skrining ini sangat dianjurkan untuk pasangan pasangan yang akan menikah. YTI ini selalu menganjurkan masyarakat untuk melakukan skrining.

“Skrining sendiri, merupakan pemeriksaan darah. Jadi darah kita diambil trus di cek, apakah kita punya gen pembawa sifat thalasemia apa tidak. Skrining bisa dilakukan sejak kita kecil dan sampai kita udah besar. Skrining ini pemeriksaan yang tergolong mahal. Tapi menurut saya kalau untuk kesehatan walaupunn mahal ya gapapa.” 4.1.3.2 Informan Primer kedua

4.1.3.1 Informan Primer Kedua

Nama : dr. Nelly Rosdiana M.ked (Ped, SpA(K) Tanggal wawancara : 18 Maret 2016 dan 21 Maret 2016 Waktu wawancara :10:00 – 12:30 dan 12:30 – 14:00 Wib Tempat wawancara : Lantai dua rindu B RSUP H.Adam Malik

dr. Nelly Rosdiana M.ked (Ped, SpA(K) atau sering disapa dengan dr. Nelly, seorang dokter spesialis anak. Seorang mulimah yang sangat baik, ramah, rendah hati dan murah senyum. Seorang pribadi yang tegas tapi juga seorang yang menyenangkan. Memiliki tiga orang anak yang terdiri dari satu orang putri dan dua orang putra. Dan juga seorang istri yang sangat baik. Saat ini beliau merupakan seorang dokter dan praket di beberapa rumah sakit di Medan, seperti rumah sakit Malahayati dan juga memiliki tempat praktek yang berada di jalan binjai. Beliau menjabat sebagai tenaga tim medis di organisasi YTI. Selain menjadi tenaga tim medis beliau juga menjabat sebagai bendahara YTI. Beliau bergabung dengan YTI pada saat YTI pertama kali dibentuk 2008 silam. Baginya menjadi dokter bukan hanya sekedar profesi tetapi profesi yang sangat mulia. Membantu orang untuk sembuh dari sakitnya adalah pekerjaan yang sangat mulia. Untuk menyandang gelar dokter tentu saja tidak sebentar. Membutuhkan waktu yang tidak sebentar dan baginya ia dapat melalui masa msa belajar dengan baik karena ia menikmatinya. Sekedar menjadi dokter merupakan suatu pencapaian yang sangat menakjubkan tapi ia berhenti sampai disitu saja, ia melanjutkan


(26)

sekolah kedokteran hingga jenjang spesialis. Kini nama beliau tidak asing lagi di dunia medis di Medan terkhusus dalam bidang spesialis anak.

Dengan bergabung dengan YTI, beliau paham benar bagaimana kondisi penyebaran penyakit thalasemia di kota Medan. Thalasemia baginya penyakit yang tidak mudah dideteksi. Tidak memiliki ciri-ciri khusus yang mendetail. Dan sangat disayangkan masih banyak masyarakat yang tidak tahu kehadiran penyakit ini.

“Tahun 2008 saya gabung di YTI. Waktu pertama kali YTI dibentuk. Kalau di medan sendiri saat ini kita punya 120 an pasien thalasemia, tapi ini belum termasuk pasien pasien yang sudah meninggal atau pasien yang baru lagi. Disinilah saya bisa melihat situasi dan kondisi thalasemia di Medan. Berapa jumlah pasien setiap tahunnya dan bagaimana masyarakat masih buta dengan thalasemia”

Di Medan sendiri umumnya masih banyak masyarakat yang tidak tahu. Masih banyak yang tidak waspada dengan penyakit ini. Thalasemia tidak seterkenal penyakit yang pada umumnya sering dijumpai di masyarakat. Setiap tahun nya jumlah penderita thalasemia kian meningkat. Hal ini merupakan menjadi salah satu kondisi dimana YTI perlu melakukan penyebaran informasi lebih banyak lagi.

“Thalasemia ini masih sangat awam di masyarakat kita. Banyak yang gak tahu penyakit ini. Mungkin orang – orang masih lebih waspada sama kanker atau jantung atau penyakit yang sering kita temui di masyarakat. Berbeda sama thalasemia. Orang gak tahu. Jangan masyarakat umum, dokter juga masih banyak yang gak tau”

Informasi thalasemia masih sangat sedikit tersebar di Medan. Masih banyak masyarakat yang tidak menerima informasi thalasemia. Bahkan dokter atau pekerja medis juga masih banyak tidak tahu dengan penyakit thalasemia. Hal ini juga menjadi penyebab peningkatan pasien thalasemia. Kebutuhan informasi thalasemia yang dibutuhkan oleh masyarakat masih belum dapat terpenuhi. Hidup dengan jasmani yang sehat adalah hak semua orang. Banyak sekali dampak negatif dari terkena suatu penyakit. Oleh karena itu perlu tindakan pencegahan sebelum hal tersebut terjadi.


(27)

“Sepertinya informasi thalasemia ini masih sedikit tersebar di masyarakat kita. Dikalagan dokter pun masih banyak yang tidak mengusai penyakit ini. Karena di bangku kuliahan pun waktu belajar tentang thalasemia sedikit. Mungkin karena masyarakat gak tau jadi ada peningkatan pasien thalasemia setiap tahunnya. Semua orang pasti kepingin jauh jauh dari kena penyakit. Pingin hidup sehat itu hak semua orang tapi kalau udah sakit pasti mengurangi kualitas hidup kita kan. Kalau kena thalasemia, hidup pasien atau orang yang kena itu hanya tergantung transfusi darah yang dilakukan secara berkala dan obat kelasi besi yang juga harus dikonsumsi bersamaan dengan transfusi tadi.”

Thalasemia adalah penyakit yang menganggu sistem peredaran darah manusia. Thalasemia diturunkan secara genetik oleh kedua orang tua atau pasangan pria dan wanita yang memiliki gen pembawa sifat thalasemia di tubuhnya. Kemudian diturunkan melalui janin yang berada di tubuh sang ibu ketika mengandung. Seseorang dapat dikatakan thalasemia setelah melalui rangkai pemeriksaan kesehatan. Setelah dikatakan positif thalasemia maka pasien tersebut seumur hidupnya harus melakukan transfusi darah. Skrining adalah salah satu cara untuk mendeteksi penyakit ini. Skrining dapat dilakukan mulai dari bayi hingga dewasa. Namun informasi mengenai penyakit thalasemia dan pencegahannya ini masih sangat minim beredar di masyarakat di kota Medan. Hanya kalangan tertentu yang mengetahui dan melakukan tindakan pencegahan ini.

“Thalasemia itu genetik. Diturunkan dari kedua orang tua yang memiliki sifat carrier thalasemia di tubuhnya. Misalnya si bapak punya gem pembawa sifat thalasemia menikah dengan si ibu yang tidak memiliki gen pembawa sifat, anak mereka nantinya tidak ada yang kena thalasemia, tapi kalau kedua orang tua punya gen thalasemia, pasti anaknya memiliki kemungkinan besar kena thalasemia. Pencegahan penyakit ini ada yaitu dengan melakukan skrining sebelum seseorang menikah. Skrining pemeriksaan medis yang bisa mendeteksi gen pembawa thalasemia di tubuh seseorang. Tapi skrining masih banyak yang gak tau.”

Oleh sebab itu dibutuhkan komunikasi kesehatan yang dilakukan oleh YTI dalam rangka penyebarluasan informasi thalasemia kepada masyarakat. Kegiatan komunikasi kesehatan seperti sosialisasi, penyuluhan, dan workshop merupakan suatu cara yang dapat menyebarluaskan informasi thalasemia kepada khalayak ramai. Tentu saja dengan memilih atau membidik audiens yang berpotensi.


(28)

“Dari YTI sendiri kita udah sering buat sosialisasi. Kita udah pernah sosialisasi ke SMA, SMK, Univeristas, ke kampus – kampus, trus ibu-ibu darmawanita, arisan dan pengajian. untuk saat ini kami membidik dokter-dokter puskesmas sekota Medan yang merupakan ujung tombak dari penyebaran informasi thalasemia ini.”

YTI dalam menyebarkan informasi thalasemia telah banyak melakukan berbagai macam kegiatan sosialisasi yang melibatkan banyak komunikator yang handal dan memilih audiens atau membidik audiens dengan baik. Hal ini diungkapkan oleh dr.Nelly selaku tim medis YTI yang juga merupakan komunikator dalam kegiatan kegiatan penyebaran informasi thalasemia.

“Kita buat sosialisasi juga milih audien nya siapa. Kalau dalam menurunkan peningkatan pasien thalasemia, berarti kami harus bisa membidik audien yang berpotensi artinya orang orang yang paling harus dikasih tau tentang bahaya ini. Dalam kasus ini yang jadi ujung tombang itu dokter puskesmas, karena nanti dari mereka informasi ini akan terus berlanjut kemasyarakat, makanya kami buat acara workshop yang bisa mendidik mereka. Setelah itu kami milih Siswa/i dan Mahasiswa, karena pada masa masa itu, mereka udah mulai ngenal pacar-pacaran trus ngenal laki-laki, kalau mahasiswa ada kemungkinan lanjut ke jenjang pernikahan, jadi sebelum menikah mereka harus tau dong bahaya thalasemia. Berikutnya kami menargetkan orang tua, orang tua harus bisa memberitahu anak-anak nya untuk waspada dengan thalasemia”

Kegiatan komunikasi kesehatan yang dilakukan selalu berisikan atau pesan yang disampaikan mengenai penyakit thalasemia, bahaya thalasemia, dan bagaimana thalasemia bisa terjadi kepada seorang anak, dan bagaimana pencegahan penyakit ini. Kemudian dijelaskan juga apa yang akan terjadi jika seorang dinyatakan mengidap thalasemia. Pengobatan apa dan bagaimana juga dijelaskan dalam kegiatan tersebut. Pesan – pesan ini di desain sesuai dengan siapa komunikator akan berinteraksi. Komunikator seperti dr. Nelly selalu mendesain pesan pesan sesuai kebutuhan komunikan.

“Biasanya yang sampaikan kepada audien kalau lagi ada sosialisasi, biasanya saya jelasin apa itu thalasemia, penyebabnya apa, kenapa harus diwaspadai, gimana cara supaya terhindari dari thalasemia, dan apa itu skrining sebelum menikah atau skrining semenjak balita. Yang jelas saya menjelaskan sedetail mungkin dan yang paling penting saya ulangi lagi informasi yang sangat penting, misalnya seperti “Periksakan darah sebelum menikah” kalau yang udah punya


(29)

anak thalasemia saya ingetin mereka supaya rajin rajin bawa anak transfusi darah sebelum HB nya rendah”. Informasi seperti ini benar benar saya tekankan kepada audiens.”

Sebagi seorang komunikator dr.Nelly diharapkan dapat memberikan informasi yang mampu membuat komunikan merubah sikap dan perilaku nya. Perubahan itu merupakan perubahan yang baik terhadap thalasemia. Untuk mencapai tujuan menurunkan tingkat penderita thalasemia dan juga dalam mencapai tujuan memutuskan tali rantai darah dengan thalasemia. Komunikator yang berasal dari YTI memiliki pernan sangat penting untuk bisa mencapai tujuan itu dengan baik.

“ Kami bergerak untuk bisa mencapai misi kami dalam memutuskan tali rantai darah dengan thalasemia. Tapi untuk mencapai itu butuh kerja keras. Saya fikir kami tidak hanya bisa bergantung kepada pesan yang bisa mereka terima, tapi gimana supaya pesan itu bisa lakukan. Misalnya kayak skrining, skrining itu masih tabu sampai sekarang di masyarakat kita. Apalagi kalau skrining itu dilakukan sebelum menikah. Nilai nya masih sangat negatif sekali. Nah untuk merubah itu kami selaku fasilitator harus bisa dong, merubah pola pikirnya, tapi gak mudah, karena sudah mendarah daging dengan masyarakat kita. Itu juga hambatan nya yang saat ini saya lihat.”

Sebagai seorang komunikator juga dr.Nelly juga diharapkan dapat merubah pola pikir audien. Sehingga mereka dapat menerima nilai-nilai informasi kesehatan dan melakukannya. Perlu media sebagai perantara penyampaian pesan sehingga kegiatan komunikasi kesehatan lebih efektif dan baik.

“ Setiap sosialisasi yang kami lakukan itu didukung dengan media. Kami biasanya make proyektor sama audio, dan alat alat lainnya, kami juga bagiin brosur sama buku saku thalasemia ke pada audiens. Ya alat yang seadanya aja. Soalnya kami gak organisasi swasta biayanya dari kami sendiri heheheh....”

YTI merupakan organisasi swasta yang berdiri sendiri. Segala sesuatunya didalangi oleh anggota organisasi ini. Sehingga timbul keterbatasan dalam melakukan kegiatan sosialisasi thalasemia. Setiap kegiatan yang dilakukan memiliki kendalanya masing-masing. Mulai dari dana hingga masalah peralatan. Dana menjadi alasan utama mengapa setiap kegiatan tidak memakai media secara


(30)

maskimal. Media memiliki peran yang sama penting dengan komunikator. Namun dalam hal ini media yang digunakan adalah media yang seadanya saja.

YTI tidak dapat berkerja sendiri untuk bisa mewujudkan masyarakat yang peduli dengan thalasemia. Perlu pihak lain untuk bisa diajak kerjsama dengan YTI maupun POPTI. Pihak yang paling dalam kasus ini adalah dinas kesehatan, komini E dan pemerintahan. Jika pihak pihak tersebut bisa berkerja sama dengan baik bersama YTI dan POPTI maka program – program yang diluncurkan pun dapat diikuti dengan baik oleh masyarakat.

“Organisasi ini hanya digerakan oleh kami kami yang peduli dengan thalasemia. Tetapi sebenanrnya akan lebih baik lagi jika kami bisa berkerjasama dengan pihak pihak lain, seperti dinas kesehatan. Jadi penyebaran informasi kami tidak hanya tergantung dengan kegiatan yang kami buat tapi bisa disampaikan dari pihak lain juga. Kerjasama yang seperti ini lah yang butuhkan.”

Untuk saat ini YTI memfokuskan untuk bisa menyebarluaskan informasi thalasemia kepada pekerja primer dibidang medis, seperti dokter yang ada dipuskesma, suster dan pihak pihak lain. Dokter puskesmas adalah sasaran tepat bagi YTI untuk bisa menyebarluaskan informasi thalasemia didaerah daerah tertentu di kota Medan. Puskesmas hampir ada di semua daerah, YTI perlu memberikan pelatihan kepada pada dokter tersebut sehingga mereka bisa waspada dan sering memperkenal thalasemia dan skrining kepada masyarakat. Sehingga pada akhirnya tujuan YTI untuk menyebaluaskan informasi kepada seluruh masyarakat di Medan dapat terdapai dengan baik.

4.1.3.2 Informan Primer ketiga 4.1.3.2 Informan Primer ketiga

Nama : Prof. dr. Bida Sari Lubis, SpA(K) Tanggal wawancara : 4 Maret 2016


(31)

Tempat wawancara : Ruang praktek yang berada di Rindu B lantai satu Rumah Sakit Adam Malik Medan

dr. Bida begitu sapaan akrab dara wanita kelahiran bogor 15 maret ini, merupakan seorang ibu yang berprofesi sebagai seorang dokter. Memiliki dua orang putri. Dimana anak beliau yang pertama merupakan seorang dokter di Medan dan anak beliau yang kedua merupakan seorang psikolog. Memiliki anak yang mengambil jejak pesis seperti dirinya membuatnya senang. Tentu saja beliau sangat bangga kepada putri putri nya yang kini berkerja di bidang mereka masing masing. Kesehariannya dr. Bida menghabiskan waktunya di beberapa rumah sakit di Medan. Menjadi seorang dokter dituntun untuk bisa membagi waktu sesuai kebutuhan mereka.

Tamat dengan titel spesialis anak pada tahun 1988 membuat beliau semakin terpacu untuk belajar dan menimbah ilmu sebanyak mungkin. Pada tahun 1996 beliau mengikuti program fellowship ke Belanda. Satu tahun kemudian beliau masih mengikuti kegiatan dan program yang sama namun kali ini diadakan di dalam negeri yaitu di fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Dengan ilmu yang beliau miliki, beberapa tahun berikutnya, tepat pada tahun 1999 beliau menjadi seorang konsultan Hematologi-Onkologi Anak. Tidak hanya sampai disitu, sepuluh tahun berikutnya beliau menjadi guru besar IKA-USU. Hingga sekarang beliau masih suka mengikuti berbagai macam acara workshop, training atau pelatihan yang diadakan di dalam dan luar negri.

Nama beliau tidak lagi asing di dalam organisasi YTI maupun POPTI. Beliau sering muncul jika kita berbicara mengenai thalasemia. Beliau sangat paham situasi thalasemia di Medan mulai dari YTI dan POPTI terbentuk hingga sekarang. Beliau seorang pribadi yang asik diajak untuk berdiskusi dan sangat open minded. Ia terlihat tegas ketika ia sedang berada di lingkup kerja, tetapi beliau orang yang sangat rama ketika pekerjaannya selesai. Beliau memiliki hubungan yang sangat erat dengan YTI, POPTI, dan juga thalasemia seperti yang dialami ibu Sarmawati. Bedanya beliau tidak memiliki anak yang menderita thalasemia. Kedua anaknya juga cucunya lahir dengan sehat tanpa memiliki atau


(32)

membawa gen thalasemia ditubuhnya. Bersama dengan para anggota atau pengurus YTI dan POPTI ia terus bediri dan menggerakkan organisasi ini. Terus membangun hal hal positif bagi organisasi dan anggotanya.

Sebagai seorang dokter, ia sudah melihat banyak sekali kasus yang berkaitan dengan thalasemia. Saat peneliti jumpai wawancara. Disaat yang sama beliau sedang menerima pasien yang anaknya baru saja didiagnosis thalasemia. Saat itu kedua orang tua tersebut sedang berdiskusi dengan prof. Bida mengenai kondisi anaknya. Kemudian beberapa saat kemudian setelah ia selesai berbicara dengan orang tua pasien tersebut, peneliti dipersilahkan masuk keruangan beliau dan diizinkan untuk memulai wawancara. Tetapi sebelumnya ia menjelaskan kejadian yang baru saya liat. Ia menjelaskan bahwa pasangan suami istri itu baru saja menerima kenyataan pahit bahwa anaknya menderita thalasemia. Sang ibu sedikit tidak terima karena sebagai seorang suster ia merasa tidak ada yang salah dengannya. Ia tidak memiliki riwayat sakit parah atau menular. Begitu juga dengan pasangannya. Tetapi kini semua sudah terjadi.

Ketika itu, peneliti duduk dengan didampingi oleh Sarmawati untuk melakukan wawancara. Peneliti memperkenalkan diri kembali supaya wawancara dapat berjalan dengan baik. Beliau gabung dengan YTI dan POPTI ketika kedua orgnisasi ini sama sama sedang dibangun. Yaitu tahun 2008 dan tahun 2014.

“Saya kenal YTI dan POPTIudah lama. Waktu dibuat saya ikutan disitu. Kira kira 2008 dan 2014. Waktu itu POPTI duluan diciptkan baru YTI. dulu hingga sekarang masih banyak orang yang gak tau. Dan saya berusaha untuk bisa membagi informasi itu kepada siapa saja yang saya jumpai.

Beliau menjelaskan bahwa dari terbentuk YTI dan POPTI hingga saat ini masih banyak orang-orang diluar sana yang acuh tak acuh dengan penyakit ini. Yang mana seperti yang kita ketahui banyak sekali dampak negatif dari penyakit ini, secara financial maupun tidak. Kedua organisasi ini sama sama begerak di bidang thalasemia tapi memiliki lapangan yang berbeda.

“POPTI sama YTI itu sebenarnya sama. Bedanya cuma pembagian kerja aja. kalau YTI itu memiliki lahan kerja ke masyarakat. Lebih mengutamakan publikasi kepada masyarakat. Tapi kalau POPTI bergerak didalam organisasi saja, artinya sesama pasien thalasemia


(33)

dan orang tua mereka. Tapi dengan tujuan yang sama yaitu memutuskan tali rantai darah dengan thalasemia.”

Thalasemia, YTI dan POPTI masih tidak dikenal masyarakat dengan baik hal ini dikarenakan minim atau masih sedikit informasi yang bisa diterima masyarakat mengenai ketiga tiganya. Hal ini juga menjadi penghambat bagi pengetahuan masyarkat mengenai thalasemia.

Ya masyarakat terkhususnya masyarakat kota Medan masih banyak yang gak tau apa itu thalasemia, bahayanya apa, mereka juga gak tau apa apa megenai YTI maupun POPTI, organisasi kami ini tidak seterkenal organisasi lain. Kami bergerak seadanya saja. Hehehe...” Dalam bergerak dibidang thalasemia ini, beliau megatakan bahwa YTI maupun POPTI tidak dapat berdiri sendiri. Harus ada political will dari pemerintah untuk membantu mereka. Sebagai seorang dokter, beliau hanya bisa memberikan sosialisasi saja. Tapi untuk bisa mencapai tujuan jangka panjang seperti pembuatan program skrining bagi semua anak bayi yang lahir membutuhkan bantuan dari pemerintah. Thalasemia menyerang anak-anak, umumnya mereka dapat diketahui menderita thalasemia ketika mereka masih bayi atau batita. Tentu saja inni menggangu pertumbuhan penurus bangsa yang seharus cerdas dan kreatif yang bisa menerus dan membangun bangsa ini.

Kami tidak bisa berkerja sendiri. Sulit untuk kami agar bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Kami perlu political will dari pemerintahan. Dinas kesehatan harus genjar dalam menciptakan program – program bagi masyarakat untuk bisa menciptakan penerus bangsa yang sehat. Saya ini hanya dokter yang Cuma bisa memberikan sosialisasi. Tapi untuk bisa menyebarluas keseluruh lapisan masyarakat rasa mustahil dilakukan tanpa ada gerakan gerakan dari dinkes. Ibaratnya kami ini pekerja grassroot (akar rumput). Artinya kami masih bergerak di lapisan yang paling dasar, untuk keatas jalan kami masih panjang. Kalau pemerintah bisa membantu kami dan berkerjasama dengan kami. Akan lebih mudah lagi penyebaran informasi ini”.

Penggunaan media yang masih sangat sedikit dalam memperomosikan thalasemia juga masih sangat sedikit. Para anggota YTI maupun POPTI tidak menggunakan media website yang sudah ada secara maksimal.


(34)

Beliau merupakan tim medis dikedua organisasi tersebut. Merupakan komunikator yang selalu siap memberikan sosialisasi kepada masyarakat. Hal ini kerap ia lakukan. Hingga saat ini masih kerap mendapati pasien thalasemia yang datang kepada untuk berobat.

“Saya di YTI sama POPTI sebagai tim medis. Tapi juga kadang kadang bantuin tugas tugas anggota lain. Merangkap lah hehehe... saya gabung dengan organisasi ini karena saya peduli dengan anak anak thalasemia yang sering sekali melakukan transfusi darah di rumah sakit ini. Panggilan hati juga alasan saya gabung disini. Saya juga sering menjadi narasumber di acara-acara yang kami buat. Baru baru ini saya jadi pemateri dalam acara workshop yang kami selenggarakan untuk memperingati hari thalasemia sedunia.”

Tepat dua bulan yang lalu YTI dan POPTI menyelenggarakan acara atau event dalam rangka memperingati hari thalasemia sedunia. Acar tersebut diadakan selama dua hari. Pada hari kamis tanggal 12 dan minggu tanggal 15 2016. Di hari pertama, acara dibuat khsus workshop yang diikuti oleh seluruh dokter-dokter puskesmas yang ada di Medan termasuk kepada klinik atau rumah sakit swasta yang ada di Medan. Acara pelatihan tersebut diadakan di aula rumah sakit usu. Prof. Bida bersama dengan dokter lain menjadi narasumber atau komunikator diacara tersebut. Peneliti pun mendapatkan kesempatan untuk menghadiri acara tersebut. Peniliti datang untuk mengobservasi bagaimana kegiatan tersebut diadakan. Acara yang didesain degan sangat baik tersebut berjalan dengan sukeses. Mereka memilih para dokter tersebut sebagai audiens primer yang perlu mendapatkan pelatihan secara khusus dan yang di harapkan bisa informasi tersebut disampaikan kepada pasien mereka di puskesmas daerah. Dokter-dokter tersebut seperti perpanjangan tangan dari YTI kepada masyarakat. Peneliti melihat bahwa memang masing banyak para dokter yang belum sepenuhnya paham dengan thalasemia. Hal ini dapat dilihat dengan bagaimana mereka berinteraksi langsung dengan para komunikator. Sebagai seorang komunikator kesehatan yang baik, Prof. Bida kerap menyambungkan beberapa materi pelatihan kebeberapa kasus yang dapat terjadi di lapangan. Juga memberikan beberapa contoh yang sering ia hadapi. Kemudia pada sesi berikutnya ada acara diskusi yang dibuat oleh para komunikator kesehatan untuk bisa lebih mendalami lagi pesan yang mereka


(35)

sampaikan. Dua hingga tiga kasus diberikan kepada audien untuk dibicarakan bersama sama dengan narasumber.

waktu acara workshop kemaren, kita mendesain sebagus mungkin.sedemikian rupa supaya acara itu gak bosen. Acaranya gak monoton. Untungnya fasalitator kita semua bagus bagus bawain setiap materi. Kita juga diskusi. Diskusinya bahas kasus kasus yang kita kasih. Juga kita memberikan ilmu yang lebih mendalami lagi ilmu tentang thalasemia kepada mereka. Karena kan kebanyakan masyarakat kita yang kena thalasemia kan orang yang gak punya, orang orang yang mengharapkan fasilitas pemerintahan. Kalau lah mereka ke puskesmas terus dokter puskesmas nya gak ngerti atau gak yakin 100% kan kasian. Makanya dokter puskesmas itu bener bener ujung tombang kita. Target utama kita.”

Acara berikutnya yang diselenggarakan oleh YTI dan POPTI adalah acara gerak jalan serta acara donor darah da n pemeriksaan skrining gratis bagi masyarakat yang datang dan ikut di acara tersebut. Acara tersebut diselenggarakan di car free day didepan rumah walikota Medan. Acara meriah sekali. Acara tersebut selain menjadi tempat promosi YTI dan POPTI juga sebagai tempat untuk menggalang donor darah bagi para pasien thalasemia. Diacara tersebut peneliti mendapatkan kesempatan untuk bisa melihat anak – anak yang tergabung dengan POPTI bersama orang tua mereka. Juga antusiasme masyarakat untuk melakukan skrining gratis yang diadakan oleh Prodia.

Selain ada workshop, kita juga ada acara gerak jalan sekalian donor darah sama skrining gratis. Di hari minggu di car free day depan rumah walikota. Nanti kita para anggota sama sama mengajak masyarakat untuk melakukan skrining dan sekalian kami juga mencari pendonor tetap untuk anak – anak kami (penderita thalasemia). Terkadang mereka harus menunggu stok darah mereka ada baru bisa transfusi. Didalam ketentuannya sendiri kalau hb sudah dibawah 9 atau 8 harus segera transfusi. Jadi guna kami mencari donor tetap supaya sewaktu waktu dibutuhkan bisa digunakan.”

4.1.3.4 Informan Sekunder Pertama

Nama : Mursida


(36)

Waktu wawancara : 11:00 – 12:30 WIB

Tempat wawancara : Di rumah ibu Mursida di jalan karya darma johor. Wanita kelahiran 13 september 1967 ini merupakan seorang ibu rumah tangga dan juga seorang istri yang sangat soleha. Kesehariannya beliau berjualan di rumahnya, ini dilakukan guna membantu suami. Walaupun saat ini ekonomi keluarganya terbilang stabil, ia tetap berjualan untuk menambah keuangan keluarganya. Bertempat tinggal di jalan Karya Darma No.7 gg, Sehati IV Medan Johor, beliau tinggal bersama ketiga anaknya dan juga sang suami tercinta. Anak beliau yang pertama bernama Iyan Kusmiati. Anak yang kedua bernama alm. Endah Hariutami dan anak yang ketiga bernama Alya Muhjanuh

Selain menjadi seorang ibu rumah tangga beliau juga menjabat sebagai bendahara di POPTI. Ini ia lakukan sejak POPTI pertama kali dibentuk pada tahun 2007. Ia bergabung dengan POPTI dengan memiliki latar belakang salah satu anak beliau merupakan seorang pasien thalasemia. Anak kedua beliau yang bernama alm. Endah Hariutami didiagnosis thalasemia pada umur satu tahun. yang kemudian Endah tutup usia di usia yang masih sangat muda yaitu diumur sembilan tahun.

Saya tadinya gak ngerti thalasemia atau penyakit darah apapun. Saya kan bukan orang medis jadi gak ngerti hal hal yang kayak gini. Anak pertama ibu lahir dan sehat sehat aja. pas anak kedua ibu lahir, pas dia umur satu tahun, muka dia pucet aja. ibu curiga trus ibu bawa ke rumah sakit adam malik waktu itu. Dan mereka bilang kena thalasemia. Di tahun itu POPTI juga dibentuk. Dibentuk oleh POPTI pusat dari jakarta. Kalo gak salah tahun 2007.”

Ibu Mursida tidak menyangka bahwa dirinya merupakan seorang pembawa gen thalasemia. Ia merasa selama ini sehat wal afiat. Tidak ada yang penyakit apapun yang diderita beliau. Kemudian belai menikah dengan sang suami tercinta, suami beliau pun tidak memiliki riwayat penyakit yang serius. Akhirnya tanpa menyadari bahwa beliau memiliki gen pembawa thalasemia, mereka pun menikah. Dia karuniai seorang anak perempuan yang sangat cantik membuat pernikahan mereka menjadi lebih bahagia lagi. Seiring berjalannya waktu beberapa tahun berikutnya mereka kembali dikarunia seorang anak perempuan. Tumbuh kembangnya sama seperti anak-anak lain. Namun sedikit berbeda, sang anak-anak terlihat pucat dan lemas setiap saat.


(37)

Ketika di diagnosis dengan thalasemia dan tahu penyebabnya, saat itu beliau merasa mendapatkan cambukan yang sangat kuat di hatinya.

“Thalasemia ini benar benar gak ada tanda tandanya. Sebelum menikah ibu merasanya ya sehat aja gak ada penyakit serius. Bapak pun gitu juga. Gak ada penyakit serius. Palingan kalo ibu sakit sakit biasa kaya flu, demam, sakit perut, ya gitu gitu lah. Gak nyangka aja almarhum bisa sakit thalasemia. Anak ibu yang paling besar lahir sehat walafiat. Terus tumbuh kembangnya juga bagus. Sehat lagi. Yang kedua lahir pun ibu gak ada curiga apa apa. Tapi pas ibu liat dia selalu pucat dan lemas, ibu curiga kan. Ibu bawa berobat, kata dokter kena thalasemia. Karena ibu gak ngerti, ibu pun percaya gak percaya. Trus ada tetangga yang bilang berobat tradisional aja. pasti cepat sembuhnya. Ibu pun ikut kata tetangga tante tapi gak ada hasilnya. Ya memang dasarnya penyakit itu berasal dari medis, ya dokter juga lah pilihan yang terbaik untuk berobat. Enggak terima itulah kata yang pas menggambarkan apa yang ibu rasakan. Tapi karena udah gabung di POPTI jadi ada kawan kan mau cerita cerita. Bagi bagi pengalaman. Bahkan ibu sempat kongsi alat pengobtan anak kami. Dulu kan kami gak segini, dulu gak punya uang, jadi kami belinya kongsi.”

Thalasemia penyakit yang masih tidak diketahui oleh banya orang. Membutuhkan dana yang cukup besar untuk bisa mendapatkan pengobatan yang paling baik. Tanpa pengobatan yang baik dan sesuai dengan prosedur maka tingkat memiliki kehidupan yang sehat sangant tipis. Beliau mengatakan bahwa thalasemia itu adalah penyakit yang menyerang sistem darah ditubuh seseorang. Pucat dan lemas adalah gejala yang pada pendidikannya merupakan gejala bagi penyakit lain. Sehingga ketika sang anak terlihat pucat, ia merasa bahwa anak nya sedang sakit.

Thalasemia itu penyakit yang berbahaya dan gak ada obatnya. Cuma ada transfusi darah supaya sih anak bisa bertahan hidup. Tapi transfusi itu pun ada efek samping nya. Kalo kebanyakan darah, zat kelasi besinya kan meningkat nah jadi warna kulit sih anak jd itam. Kalo obat untuk sembuh total gak ada. Tapi kalo transfusi darah sama obat kelasi besi nya bagus dan teratur memungkinkan pasiennya sehat kayak orang normal. Ada anggota kita namanya gofar gofur, dia mahasiswa di fisip.baru aja tamat. Tahun ini wisudanya. Dia itu obat kelasi nya bagus trus transfusi teratur. Kalo kamu jumpa dia sekarang gak keliatan kalo sia sakit. Kulitnya bagus. Wajahnya juga bagus, mungkin orang orang gak akan nyangka dia itu thalasemia”


(38)

Sebagai anggota dari POPTI, beliau selalu senantiasa mengajak orang orang disekitar untuk lebih peduli dengan thalasemia. Beliau juga membantu para pengurus lain dalam hal menyiapkan fasilitas yang diperlukan oleh pasien thalasemia. Membantu para orang tua dalam memberikan informasi terbaru dalam pengobatan thalasemia. Karena kebanyakan dari para orang tua penderita thalasemia merupakan orang orang yang memililki keterbelakangan pendidikan dan ekonomi sehingga diperlukan seseorang yang dapat membantu mereka, memberikan informasi terbaru dalam pengobatan thalasemia.

saya sama buk sarma itu selalu berulang kali mengajak orang orang disekitar kita. Tapi itu tadi, masyarakat kita ini tidak peduli. Gak ada pedulinya. Contohnya kayak anak ibu yang meninggal itu, kan banyak yang nanyak anak ibu kenapa bisa meninggal padahal kan umurnya masih muda kali. Ibu jelasin ke tetangga atau saudara saudara ibu, tapi ya gitu gak peduli. Udah tau penyebabnya pun udah ibu kasih tau. Skrining juga udah ibu bilang. Skrining itu wajib bagi yang belum menikah. Ibu jelasin juga skrinig itu apa. Kenapa harus dilakukan. Tapi iya itu tadi yang ibu omongin Cuma dianggep angin lalu aja”

4.1.3.5 Informan Sekunder Kedua

Nama : Ibu Sutina/ mama melisa

Tanggal wawancara : 21 April 2016 Waktu wawancara : 11:00 – 13:00 WIB

Tempat wawancara : Di rumah ibu Sutina di daereah kampung durian, jl. HM Said Gg, A. Kampung durian Medan.

Ibu Sutina atau dikenal dengan panggilan mama Melisa merupakan seorang ibu rumah tangga yang keseharian berProfesi sebagai pedagang kaki lima. Ia berjualan tidak jauh dari rumahnya. Ibu Sutina seorang pribadi yang sangat baik dan ramah. Hal ini dapat dibuktikan dengan keramahan yang ditunjukkan oleh beliau ketika menyambut kedatangan peneliti. Selain berdagang ibu Sutina juga sering mendapatkan pesanan katering untuk beberapa event bakti sosialisasi dari beberapa organisasi swasta lain.

“Ibu biasanya jualan dek, jualan sarapan di depan rumah. Didepan jalan ini. Selain jualan biasanya ibu dapat orderan dari lion’s club


(39)

buat masakin makanan yang biasanya dibagiin gitu buat orang donor darah.”

Bertempat tinggal disebuah rumah sederhana yang tepat berada disamping rumah abang ipar nya, ibu Sutina tinggal disebuah rumah yang terbilang sederhana. Rumah itu ditempat oleh ibu Sutina dengan sang suami berserta ketiga anaknya. Ibu Sutina sebenarnya memiliki empat orang anak, terdiri dari dua orang perempuan dan dua orang laki-laki. Tepat tiga bulan yang lalu anak nya yang paling besar, Melisa. Melisa merupakan seorang penderita thalasemia. Tapi dengan tranfusi darah yang dilakukan dengan teratur dan juga obat yang terus dikonsumsi, membuatnya bertahan hingga umur 31 tahun yang pada pendidikannya umur seorang penderita thalasemia adalah 30 tahun. Melisa dinyatakan menderita thalasemia ketika dia masih berumur 12 tahun. Pada saat itu Melisa selalu keliatan pucat dan lemas juga sesak nafas. Awalnya beliau membawa Melisa berobat ke puskesmas terdekat tetapi mereka juga masih bingung menetapkan diagnosa penyakit Melisa. Kemudian beliau dirujuk ke Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Adam Malik, disinilah diketahui bahwa Melisa terkena thalasemia.

Hal yang serupa terjadi dengan anak ibu Sutina yang ketiga. Seorang anak laki laki berusia 12 tahun itu, menderita thalasemia semenjak ia berumur 2,8 tahun. Saat itu ibu Sutina melihat gejala yang sama seperti yang terlihat saat melisa sakit. Setelah dibawa berobat, memang dugaan ibu Sutina benar, satu lagi buah hatinya menderita thalasemia. Hingga saat ini beliau masih sering membawa sang anak transfusi darah setiap dua bulan sekali kerumah sakit Sari Mutiara.

“Anak ibu itu ada empat orang. Satu meninggal. Tiga bulan yang lalu dia meninggal. Anak ibu yang paling besar namanya Melisa, Yang kedua namanya Qory, yang ketiga namanya Desi, trus yang keempat namanya Bagus. Anak ibu yang kena thalasemi itu si Melisa sama Si Bagus. Kalo si melisa itu ibu taunya thalasemia pas di umurnya 12 tahun, tapi kalo si adek an itu taunya pas masih umurnya 2 tahun 8 bulan. Gejala mereka mirip, pucet, lemas, trus sering sakit-sakit an. Alhamdulillahnya kalau mendiang itu obatnya sama tranfusinya itu teratur trus ibu kasih obat diluat obat-obatan yang harus dimakannya setiap hari. Sebanarnya obat itu, obat untu segala penyakit tapi pas dikasih ke anak anak mereka bilangnya badannya enak, sehat gitu.


(40)

Yauda ibu kasih terus. Tapi karena harganya mahal ibu makenya irit irit hahahahah...”

Ibu Sutina tidak pernah tahu bahwa dirinya memiliki gen thalasemia. Hal serupa juga dialami oleh suaminya. Ibu Sutina bertemu dengan sang suami setelah sang suami berpisah dengan istrinya. Setelah resmi bercerai ibu Sutina menikah dengan beliau. Pernikahan itu pun berjalan dengan sangat baik. Walaupun diselimuti kekurangan ekonomi tapi mereka masih bisa hidup dengan layak. Ibu Sutina juga tidak pernah mencurigai sang suami memiliki gen thalasemia karena sang suami sebelumnya sudah memiliki anak dan sang anak pun sehat wal afiat.

“Ibu sama sekali gak tau kalo ibu itu ada gen talasemia. Bapak pun gitu juga. Karena kan bapak itu udah pernikah dan punya anak. Anak nya sehat. Jadi ibu juga gak nyangka dia punya gen itu. Kalau seandainya ibu tau, pasti ibu eceknya udah siap siap atau paling ngk, ibu jaga jaga kalu memang punya anak thalasemia. Tapi kan taunya setelah melisa udah besar, kaget lah ibu. Gak terima juga. Yang paling sedih kalau liat dia sakit. Kambuh. Sedih kali ibu liatnya.”

Dengan tidak adanya sosialisasi yang dilakukan puskemas atau pemerintahan setempat mengenai thalasemia ini, masih banyak masyarakat diluar sana yang mengalami nasib yang sama seperti ibu Sutina. Tidak memiliki pengetahuan tentang penyakit ini. Hal ini juga menjadi salah satu penyebab bertambahnya penderita thalasemia yang sangat signifikan.

“ Ibu bener bener buta sama thalasemia. Gak tau. Dokter puskemas aja pun gak tau. Mereka juga gak ada tuh ngasih sosialisasi tentang thalasemia atau penyakit lain. Tidak informasi yang kita terima. Ibu juga bukan orang kesehatan jadi kan gak tau. Ibu juga sekolah aja tamat SMA. Ibu sama sekali gak ngerti.”

Sebelum mengetahui dengan pasti bahwa anaknya melisa menderita thalasemia. Banyak sekali sanak saudara yang berbagi informasi tentang pengobatan tradisional. Pengobatan yang diperncayai dapat menyembuhkan segala jenis penyakit. Sebagai seorang ibu yang ingin anaknya sembuh, beliau juga mencoba beberapa jenis pengobatan. Tapi tidak ada hasil yang terlihat.

“ dulu ibu sempat juga berobat tradisional. Banyak saudara yang bilang kalau dia kenal palasik. Jadi bagusnya berobat tradisional aja. trus ibu diyakinkan lagi sama mereka, kalau ada yang pernah berobat kesana. Dokter bilang udah gak tertolong tapi akhirnya sembuh juga


(1)

vi


(2)

vii

Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Strategi Komunikasi Kesehatan Yayasan Thalasemia Indonesia (Studi Deskriptif Kualitatif Strategi Komunikasi Kesehatan Yayasan Thalasemia Indonesia dalam mensosialisasikan informasi Thalasemia di kota Medan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui strategi komnukasi kesehatan yang dilakukan oleh YTI dalam menyebarluaskan informasi penyakit thalasemia di kota Medan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yang menekankan kepada bagaimana strategi komunikasi kesehatan dalam menyebarluaskan informasi thalasemia kepada masyarakat. Penelitian ini juga menggunakan metode triangulasi data dalam mengembangkan validats data. Subjek penelitian ini adalah tiga orang informan dari YTI dan tiga orang informan POPTI yang berada di kota Medan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komunikasi kesehatan yang selama ini dilakukan oleh YTI sudah memiliki strategi sosialisasi yang baik. Segmen audiens pun disesuaikan berdasarkan keperluan kegiatan sosialisasi. Namun ada kendala yang menjadi penghambat dari penyebarluasan informasi thalasemia yakni penggunaan media yang masih kurang. dalam hal ini penggunaan media massa masih sangat minim dilakukan oleh YTI maupun POPTI. Sehingga informasi thalasemia ini tidak dapat sampai kepada masyarakat.

Kata Kunci:


(3)

viii

Universitas Sumatera Utara

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS... iv

KATA PENGANTAR ... v

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vii

ABSTRAK ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah ... 1

1.2 Fokus Masalah ... 9

1.3 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Manfaat Penelitian ... 10

BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Paradigma Kajian ... 11

2.2 Kajian Pustaka ... 13

2.2.1 Komunikasi ... 13

2.2.1.1 Strategi Komunikasi ... 15

2.2.1.2 Sosialisasi ... 19

2.2.2 Komunikasi Kesehatan ... 19

2.2.3 Model Kepercayaan Kesehatan (Health Believe Model) 27

2.4 Kerangka Pemikiran ... 31

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Kualitatif ... 32

3.2 Subjek Penelitian ... 32

3.3 Objek Penelitian ... 33

3.4 Unit Analisis... 33

3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 34

3.5.1 Penentuan Informan ... 35

3.5.2 Lokasi dan Waktu Penelitian... 35

3.5.3 Keabsahan Data ... 36

3.6 Teknik Analisis Data ... 36

3.6.1 Triangulasi Data ... 37

BAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 40


(4)

ix

Universitas Sumatera Utara

4.1.1 Deskripsi Proses Penelitian ... 40 4.1.3 Hasil Wawancara dan Pengamatan ... 44 4.2 Pembahasan ... BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan ... 96 5.2 Saran ... 98 DAFTAR REFERENSI

LAMPIRAN

- Hasil Wawancara

- Surat Keterangan Penelitian

- Biodata Peneliti


(5)

x

Universitas Sumatera Utara No. Judul Halaman 4.1Karakteristik Informan Penelitian ... 43 4.2Tabel Seleksi Media Penyebaran Informasi ... 90 4.3Karakteristik Media ... 91


(6)

xi

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman 2.3.Kerangka Pemikiran ... 31


Dokumen yang terkait

Masyarakat Batak Toba Di Desa Serdang Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang (1954-1990)

1 145 88

Tradisi Masyarakat Desa Janji Mauli Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan (1900-1980)

3 83 104

PROSES KOMUNIKASI ANTARBUDAYA MASYARAKAT PENDATANG DENGAN MASYARAKAT LOKAL DI KABUPATEN SUBANG (Studi Pada Masyarakat Pendatang Desa Pusakaratu Kecamatan Pusakanagara Kabupaten Subang)

8 55 15

Wisata Berbasis Masyarakat Studi Kasus Desa Simonis Kabupaten Labuhanbatu Utara

1 11 112

Komunikasi Antarbudaya Masyarakat Sunda Dalam Asimilasi dengan Masyarakat Setempat di Desa Babussalam Kecamatan Marbau Kabupaten Labuhanbatu Utara

0 0 14

Komunikasi Antarbudaya Masyarakat Sunda Dalam Asimilasi dengan Masyarakat Setempat di Desa Babussalam Kecamatan Marbau Kabupaten Labuhanbatu Utara

0 0 1

Komunikasi Antarbudaya Masyarakat Sunda Dalam Asimilasi dengan Masyarakat Setempat di Desa Babussalam Kecamatan Marbau Kabupaten Labuhanbatu Utara

0 0 8

Komunikasi Antarbudaya Masyarakat Sunda Dalam Asimilasi dengan Masyarakat Setempat di Desa Babussalam Kecamatan Marbau Kabupaten Labuhanbatu Utara

0 0 16

Komunikasi Antarbudaya Masyarakat Sunda Dalam Asimilasi dengan Masyarakat Setempat di Desa Babussalam Kecamatan Marbau Kabupaten Labuhanbatu Utara

0 0 3

BAB II KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM MENINGKATKAN KERUKUNAN A. Komunikasi Antarbudaya 1. Pengertian Komunikasi Antarbudaya - KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM MENINGKATKAN KERUKUNAN MASYARAKAT ISLAM PADA APARATUR KECAMATAN BEKRI KABUPATEN LAMPUNG TENGAH - Raden

0 1 32