Cukierman, Kiguel and Liviatan menggunakan istilah yang serupa yaitu independensi de jure
dan de facto. Independensi de jure merupakan independensi dari sisi legalitas dalam undang undang dan ini digunakan sebagai proksi gambaran atau perkiraan
untuk independensi de facto.
102
C. Independensi Otoritas Jasa Keuangan
Sebelum UU OJK diundangkan, ketika masih dalam proses RUU Bismar Nasution memprediksi predictability pada bagian penutup artikelnya di Buletin
Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, mengatakan:
103
Amanat Pasal 34 UU BI bila dilaksanakan akan mengakibatkan tidak efektifnya Bank Indonesia dalam menciptakan stabilitas nilai rupiah
sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 7 UU BI. Tujuan BI sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 7 tersebut, hanya dapat dilaksanakan secara
efektif apabila Bank Indonesia berwenang menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran,
serta mengatur dan mengawasi bank sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 8 UU BI.
Beroperasinya lembaga OJK dikhawatirkan akan mengakibatkan tidak
efektifnya Bank Indonesia menciptakan stabilitas nilai rupiah. Kekhawatiran itu juga telah diprediksi oleh Ec. Abdul Mongid yang sebelum UU OJK diundangkan,
mengatakan:
104
Rencana pengalihan kewenangan dalam pengawasan bank menunjukan adanya upaya mengurangi kewenangan BI sehingga BI hanya berfungsi dari
aspek moneter. Masalahnya adalah kalau kewenangan dalam mengawasi bank dicabut, maka secara otomatis kemampuan BI dalam menjalankan tugas
102
Ibid., hal. 6.
103
Ibid., hal. 15.
104
Ibid., hal. 23.
Universitas Sumatera Utara
moneternya terganggu karena bank merupakan lembaga keuangan yang sangat dominan dalam transmisi kebijakan moneter.
Menyikapi kedua pandangan di atas, salah satu masalah dalam kekhawatiran
itu dapat ditinjau dari sisi penentuan status suatu lembaga. Status BI pada Pasal 4 ayat 2 UU BI menentukan lembaga ini independen, bebas dari campur tangan
pemerintah dan pihak lainnya. Sementara status OJK yang ditentukan dalam Pasal 1 angka 1 jo Pasal 2 ayat 2 UU OJK hanya menentukan independen, bebas dari
campur tangan pihak lain yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam UU OJK.
UU OJK tidak menentukan bebas dari campur tangan pemerintah, melainkan hanya menentukan bebas dari campur tangan pihak lain seperti di atas.
Norma secara yuridis sebenarnya sudah tampak dari pengertian independensi OJK tidak menentukan campur tangan pemerintah. Ketentuan ini sangat berbeda
dengan independensi BI yang menentukan unsur pemerintah. Jika dianalisis Independensi OJK secara yuridis tampaknya sulit diwujudkan terutama menyangkut
ketentuan Pasal 1 huruf i UU OJK yang menentukan seorang anggota Ex officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat setingkat eselon I Kementerian
Keuangan. Unsur Ex officio Pasal 1 huruf i UU OJK ini sebenarnya merupakan unsur pemerintah atau sebagai wakil pemerintah.
Masuknya unsur pemerintah tidak bisa dipastikan di dalam lembaga OJK tidak mungkin tidak ada campur tangan pemerintah. Unsur perwakilan pemerintah di
dalam lembaga OJK akan membuat lembaga OJK tidak murni sebagai lembaga yang
Universitas Sumatera Utara
independen. Perbandingan masuknya unsur pemerintah kepada lembaga pengawasan jasa keuangan di berbagai negara diuraikan dalam Bab III Sub A Tesis ini.
Norma selanjutnya mengenai bebas dari campur tangan pihak lain. Pihak lain yang dimaksud semua instansi DK OJK baik dari perbankan, pasar modal,
perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga keuangan lainnya. Semua instansi DK OJK tersebut mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam UU OJK. Tetapi unsur Ex Officio dari BI tidak menjadi persoalan dalam rangka
melaksanakan independensi justru masuknya unsur Ex Officio dari BI untuk mempertahankan independensi BI sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 4 ayat 2
UU BI. Sulitnya mewujudkan independensi OJK tampak dari pengaturan yang
menentukan unsur Ex Officio OJK karena konsekuensi unsur Ex Officio terdapat kecenderungan bahwa anggota DK OJK dari instansi tertentu terpengaruh oleh
kebijakan instansinya.
105
105
Oka Mahendra, ”Beberapa Catatan Terhadap RUU Otoritas Jasa Keuangan”, Artikel dalam Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 8, Nomor 3, September 2010, hal. 40.
Keberadaan Ex Officio dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan
sektor jasa keuangan, tetapi setidaknya dengan unsur Ex Officio OJK khususnya dari Kemenkeu dapat memberikan campur tangan instansi asalnya di luar lembaga OJK
itu sendiri.
Universitas Sumatera Utara
Secara kelembagaan, OJK berada di luar Pemerintah, yang dimaknai bahwa OJK tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Dalam pelaksanaan fungsi,
tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sektor perbankan tidak perlu memasukkan unsur Ex Officio OJK dari Kemenkeu karena
bertentangan dengan hakikat independen yang sesungguhnya. Pencapaian tujuan lembaga publik mutlak diperlukan independensi, tetapi norma pengaturan
independensi tidak menjadi ukuran keberhasilan dalam mencapai tujuan jika independensi digerakkan oleh unsur politis apalagi model pengaturan independensi
OJK menyertakan unsur Ex Officio OJK dari Kemenkeu. Kepincangan independensi OJK juga tampak dari norma pengaturan
pendanaan OJK yang bersumber dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Sebagaimana norma ini ditentukan dalam Pasal 34 ayat 2 UU OJK,
berikut, “Anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara danatau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan”.
Dengan ketentuan ini OJK sebagai lembaga independen dalam memenuhi hidupnya seakan meminta kepada pihak lain yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.
Terkait dengan pengaturan pendanaan OJK yang bersumber dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan, Pengamat Ekonomi dari Unika
Atmajaya, A. Prasetyantoko dan politisi Anggota Komisi XI DPR RI, M. Firdaus juga mengungkapkan pandangan yang sama bahwa pungutan seperti ini akan
Universitas Sumatera Utara
berdampak pada wibawa dan independensi OJK itu sendiri.
106
OJK merumuskan jumlah iuran untuk Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, Asuransi Jiwa, Asuransi Umum, Reasuransi, Dana
Pensiun Lembaga Keuangan, Dana Pensiun Pemberi Kerja, Lembaga Pembiayaan Perusahaan Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, dan Perusahaan Pembiayaan
Infrastruktur serta Lembaga Jasa Keuangan lainnya. Sedangkan Lembaga Jasa Keuangan lainnya yaitu Pegadaian, Perusahaan Penjaminan, Lembaga Pembiayaan
Ekspor Indonesia, dan Perusahaan Pembiayaan Sekunder Perumahaan. Semuanya, akan dikenakan besaran sebesar 0,03 sampai dengan 0,06 dari aset yang dimiliki
setelah diaudit untuk periode 2013-2015. Dampak dari pungutan iuran seperti ini kemungkinan perbankan nasional menurut Sigit Pramono justru semakin tidak efisien
setelah di bawah naungan OJK. Sementara itu, Direktur Utama Bank Mandiri, Zulkifli Zaini menilai bahwa jumlah iuran OJK sebesar 0,03 hingga 0,06, jalas
sangat memberatkan industri perbankan. Jika anggaran OJK
hanya bersumber dari APBN mungkin independensi tidak sulit untuk diterapkan, bagaimana mungkin OJK bisa independen jika ada pihak lain yang memberikan iuran
kepada OJK. Dinilai pengenaan iuran dari pihak lain tersebut bisa melalaikan independensi OJK dalam melakukan fungsi dan tugasnya.
107
106
http:www.infobanknews.com201211misteri-besaran-iuran-ojk-dan-pengaruhnya- terhadap-independensi, diakses tanggal 27 Desember 2012. Artikel Ditulis Angga Bratadharma di
Infobanknews.com, dengan judul “Misteri Besaran Iuran OJK dan Pengaruhnya Terhadap Independensi”.
107
http:bisnis.news.viva.co.idnewsread369488-perbanas-kritik-iuran-pengawasan- perbankan-di-ojk, diakses tanggal 27 Desember 2012. Artikel ditulis oleh Antique dan Nina Rahayu
Universitas Sumatera Utara
BAB III HUBUNGAN KOORDINASI ANTARA DEWAN KOMISIONER OTORITAS