Tugas Pengawasan Bank Indonesia

Tugas pengaturan BI sesuai dengan amanat Konstitusi yakni pada Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945 169 Melihat pentingnya kedudukan BI sebagai lembaga negara yang independen berada di luar pemerintahan, maka independensi BI membawa konsekuensi yuridis dan logis bahwa BI juga mempunyai kewenangan untuk mengatur atau membuat atau menerbitkan peraturan dalam bentuk PBI yang merupakan pelaksanaan UU BI dan menjangkau seluruh bangsa dan negara Indonesia. Dengan demikian, BI sebagai suatu lembaga negara yang independen dapat menerbitkan peraturan dengan disertai kemungkinan pemberian sanksi administratif. , BI ditunjuk sebagai lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan mengatur peredaran uang rupiah sebagai alat pembayaran yang sah. Berhubung kelancaran sistem pembayaran sangat penting bagi pelaksanaan kebijakan moneter, kepada BI diberikan tugas mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran vide: Pasal 8 huruf b UU BI, agar tugas tersebut dapat dilaksanakan secara efektif.

2. Tugas Pengawasan Bank Indonesia

Tugas BI untuk mengawasi bank-bank sangat jelas dan tegas ditentukan dalam Pasal 8 huruf c UU No.23 Tahun 1999 yakni, “mengatur dan mengawasi bank”. Beda redaksional “mengaturpengaturan” dengan “mengawasipengawasan” dengan “mengatur dan mengawasi”. Kalau redaksi “mengaturpengaturan” BI itu berarti khusus untuk membuat peraturan misalnya dengan dikelaurkannya PBI demikian pula jika digunakan redaksi “mengawasipengawasan” berarti BI 169 Bismar Nasution, “Implementasi Pasal 34 Undang-Undang...., Op. Cit., hal. 11. Universitas Sumatera Utara dikhususkan untuk melakukan pengawasan. Namun, jika diperhatikan pasal-pasal dalam UU BI tidak ada dicantumkan ketentuan yang mengatur secara khusus atau dalam satu bab tertentu dalam UU BI tentang kewenangannya sebagai pengawas secara berdiri sendiri. Pada Bab V UU BI menentukan tentang “Tugas Mengatur dan Menjaga Kelancaran Sistem Pembayaran” dan pada Bab VI UU BI menentukan tentang “Tugas Mengatur dan Mengawasi Bank”. Sedangkan “Tugas Mengawasi” tidak ada diatur dalam satu bab tersendiri, melainkan pencantuman tugas “mengatur dan mengawasi” digabungkan dalam satu bab yaitu pada bab VI UU BI. Penulis menganalisis ketentuan demikian, bahwa kewenangan BI untuk mengawasi jelas-jelas diminimalisir. Bab VI UU BI tentang “Tugas Mengatur dan Mengawasi Bank” terdiri dari Pasal 24 sd Pasal 35. Jika ditelaah ketentuan dari Pasal 24 sd Pasal 33 tampaknya pembuat UU BI mencampuradukkan tugas mengatur dan mengawasi itu dalam satu bab yaitu di bab VI UU BI. Inilah yang menurut hemat penulis yang dimaksud dengan kewenangan BI mengeluarkan peraturan yang berkenaan dengan pelaksanaan pengawasan. Sedangkan ketentuan yang secara khusus tentang tugas mengawasi diserahkan kepada suatu lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen sebagaimana ditentukan di Pasal 34 ayat UU BI berikut ini: b. Tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang. Universitas Sumatera Utara c. Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010. Aspek-aspek yang menjadi kewenangan BI untuk membuat peraturan yang berkenaan dengan pelaksanaan pengawasan tersebut dapat dilihat dari Bab VI UU BI tentang “Tugas Mengatur dan Mengawasi Bank” yang dirumuskan sebagai berikut: 170 a. Menetapkan peraturan pemberian dan pencabutan izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan bank dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan peraturan perundang- undangan vide: Pasal 24 UU BI; b. Menetapkan peraturan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian vide: Pasal 25 UU BI. Penulis melihat maksud pembuat undang-undang mencantumkan kewenangan BI untuk mengatur prinsip kehati-hatian dalam pasal ini agar melalui prinsip kehati-hatian dijadikan BI sebagai salah satu strateginya untuk melakukan fungsi pengawasan. Sebab, ketentuannya diatur dalam satu paket yaitu di bab VI UU BI tentang “Tugas Mengatur dan Mengawasi Bank”. c. Menetapkan perizinan sebagaimana yang juga ditentukan di Pasal 24 UU BI yakni: memberikan dan mencabut izin usaha bank; memberikan izin pembukaan, penutupan, dan pemindahan kantor bank; memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank; memberikan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu vide: Pasal 170 Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia,...Op. cit., hal. 327-328. Universitas Sumatera Utara 26 UU BI. Penulis menganalisis maksud pembuat undang-undang mencantumkan ketentuan pemberian izin atau tidak memberikan izin kepada bank, merupakan salah satu cara pengawasan yang harus dilakukan oleh BI agar BI melakukan pertimbangan yang rasional agar terhindar dari risiko- risiko perbankan. Lebih konkretnya dapat diterjemahkan maksud Pasal 27 UU BI yang menegaskan terhadap ketentuan Pasal 24 jo Pasal 26 UU BI adalah pengawasan langsung dan tidak langsung. Pengawasan langsung dapat dilakukan oleh BI dalam bentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan- tindakan perbaikan, sedangkan pengawasan tidak langsung terutama dalam bentuk pengawasan dini dapat dilakukan oleh BI melalui penelitian, analisis dan evaluasi laporan bank. d. Menetapkan kewajiban bank untuk menyampaikan laporan, keterangan dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh BI, baik terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait dan pihak terafilisi dari bank jika diperlukan vide: Pasal 28 UU BI. Penulis melihat maksud pembuat undang-undang menetapkan kewajiban bank untuk menyampaikan laporannya sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh BI juga bertujuan untuk melaksanakan pengawasan BI terhadap bank dimaksud. e. Melakukan pemeriksaan terhadap bank, baik secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan vide: Pasal 29 UU BI. Pengawasan dilakukan untuk memperoleh kebenaran atas informasi kegiatan usaha bank yang disampaikan kepada BI dan untuk mengetahui kepatuhan bank terhadap Universitas Sumatera Utara ketentuan yang berlaku yang meliputi pemeriksaan terhadap buku-buku, berkas-berkas, warkat, catatan, dokumen, dan data elektronis, termasuk salinan-salinannya, dan lain-lain. f. Bahkan BI dapat menugasi pihak lain untuk dan atas nama BI melaksanakan pemeriksaan vide: Pasal 30 UU BI. Pihak-pihak dimaksud dinilai oleh BI memiliki kemampuan untuk melaksanakan pemeriksaan, misalnya Akuntan Publik yang dapat dilakukan secara sendiri atau bersama-sama dengan pemeriksa dari BI. g. Memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu jika menurut penilaian BI terhadap suatu transaksi patut diduga merupakan tindak pidana di bidang perbankan vide: Pasal 31 UU BI. h. Mengatur dan mengembangkan sistem informasi antar bank, yang dapat diperluas dengan menyertakan lembaga lain di bidang keuangan, atau dapat dilakukan sendiri oleh BI dan atau oleh pihak lain dengan persetujuan BI vide: Pasal 32 UU BI. Ketentuan ini menurut penulis satu-satunya pasal yang secara tegas menentukan kewenangan BI untuk mengeluarkan peraturan yang berkenaan dengan pelaksanaan pengawasan. i. Memberikan penilaian terhadap bank yang membahayakan kelangsungan usaha bank yang bersangkutan dan atau membahayakan sistem perbankan atau terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional vide: Pasal 33 UU BI. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, dalam Bab VI UU BI tentang “Tugas Mengatur dan Mengawasi Bank” hanya ada satu pasal yang secara jelas dan tegas menentukan kewenangan BI untuk mengeluarkan peraturan yang berkenaan dengan pelaksanaan pengawasan yaitu Pasal 32 UU BI berkenaan dengan melaksanaan pengawasan untuk pengembangan sistem informasi antar bank yang juga menyertakan lembaga lain di bidang keuangan. Walaupun dalam Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 33 UU No.23 Tahun 1999 UU BI tidak ditentukan secara jelas dan tegas kewenagan BI untuk mengeluarkan peraturan yang berkenaan dengan pelaksanaan pengawasan, tetapi dapat dimaknai secara logis bahwa ketentuan- ketentuan dimaksud juga bisa dilakukan oleh BI untuk mengeluarkan peraturan yang berkenaan dengan pelaksanaan pengawasan, sebab judul pada kepala Bab VI UU BI ini ditegaskan tentang “Tugas Mengatur dan Mengawasi Bank”. Hal ini berarti tugas mengatur dan mengawasi pada Bab VI UU BI berada dalam satu paket, sehingga BI juga berwenang mengeluarkan peraturan terkait pelaksanaan pengawasan jika dibutuhkan sebagaimana dalam Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 33 UU No.23 Tahun 1999 UU BI. Sesungguhnya sudah cukup baik substansi pengaturan dalam UU BI yang meletakkan dasar kewenangan untuk mengatur atau mengawasi atau pengaturan dan pengawasan terhadap bank dalam arti sempit walaupun dalam ketentuan UU BI ada yang diatur secara tersendiri dan ada pula yang diatur dalam satu paket untuk pelaksanaan pengawasan terhadap bank. Tetapi sebahagian kalangan manganggap BI Universitas Sumatera Utara tidak mampu menjalankan tugasnya dengan efektif sehingga menimbulkan krisis keuangan yang parah. Bismar Nasution, mengatakan pandangan ini tidak sepenuhnya beralasan, sebab menurutnya: Bila diteliti struktur pengawasan perbankan pada waktu itu diketahui bahwa pengawasan bank dilakukan oleh dua lembaga yaitu BI dan Departemen Keuangan. BI bertugas mengawasi bank dalam arti sempit audit sedangkan tugas mengatur dan memberimencabut ijin usaha bank ada pada Departemen Keuangan. Sehingga tidak efektif tugas pengawasan yang dilakukan oleh BI terhadap bank sehingga memicu terjadi krisis pada tahun 19971998 tentunya adalah tanggung jawab bersama kedua lembaga tersebut. 171 Dalam pandangan di atas, kewenangan luas dimiliki Departemen Keuangan dalam hal melaksanakan pengamanan uang masyarakat dalam konteks APBN secara optimal atau meminimumkan beban rakyat vide: Pasal 76 ayat 2 UU No.23 Tahun 1999. Dalam konteks ini, kegiatan perbankan tidak bisa diserahkan seluruhnya pada mekanisme pasar, karena kenyataannya, pasar tidak selalu mampu membetulkan dirinya self correcting jika terjadi sesuatu di luar dugaan. Oleh karena itu, dukungan kontrol terhadap aktivitas perbankan dengan kewajiban melaksanakan prinsip kehati-hatian merupakan solusi terbaik untuk menjaga dan mempertahankan eksistensi perbankan. 172 Sekedar mengingatkan kembali bahwa krisis perbankan tahun 1997 di Indonesia, menunjukkan betapa lemahnya komitmen untuk melaksankan prinsip kehati-hatian di kalangan pelaku bisnis perbankan. 173 171 Bismar Nasution, “Implementasi Pasal 34 Undang-Undang...., Op. Cit., hal. 13. 172 Heru Supraptomo., ”Analisis Ekonomi Terhadap Sistem Perbankan”, Jurnal Hukum Bisnis , Volume 1, Tahun 1997, Jakarta, hal. 63. 173 Mulhadi, Prinsip Kehati-hatian Prudent Banking Principle Dalam Kerangka UU Perbankan Di Indonesia , Medan: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Universitas Sumatera Utara, 2005, hal. 2-3. Universitas Sumatera Utara Kendatipun Departemen Keuangan sebagai wakil dari pemerintahan telah dimasukkan dalam regulasi UU BI misalnya pada Pasal 76 ayat 2 yang juga memasukkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional BPPN, pada prinsipnya bertujuan untuk melakukan pengamanan uang masyarakat APBN secara optimal atau meminimumkan beban rakyat, 174 Sebagai faktor kunci keberhasilan lembaga otoritas pengawas jasa keuangan antara lain: koordinasi yang baik, keseragaman kultur, dan perlawanan terhadap sikap moral hazard merupakan kunci utamanya. Faktor kunci tersebut di manapun dan bahkan di negara maju sekalipun, merupakan hal yang terpenting untuk diterapkan khususnya di bidang pengawasan dalam sistem keuangan agar keberadaan lembaga pengawas menjadi lebih berarti dan bermanfaat bagi kelangsungan pembangunan suatu negara tertentu. namun harus diyakini oleh BI dan Departemen Keuangan bahwa sebahagian besar faktor penentu keberhasilan pengawasan perbankan adalah mengutamakan koordinasi yang baik dan pembentukan kultur baru serta anti moral hazard harus ditanamkan dalam dirinya sendiri. Pandangan demikian mengingatkan pemikiran pada suatu teori yang disebut teori utilitarisme tentang hukum moral, teori ini menolak keras tindakan aji mumpung moral hazard dimaksud. Sebagaimana teori manfaat yang paling terkenal dikemukakan dari Jeremy Bentham dalam karyanya berjudul “An Introduction to the Principles of Morals and Legislation ”, yakni: ”...manfaat melandasi segala kegiatan berdasarkan sejauh mana tindakan itu meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan 174 Lihat Penjelasan Pasal 76 ayat 2 UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Universitas Sumatera Utara kelompok atau dengan kata lain meningkatkan atau melawan kebahagiaan itu sendiri, sehingga tujuan hukum untuk mencapai kesejahteraan akan tercapai”. 175 Dalam karya Philippe Nonet dan Philip Selznick juga disebutkan, meskipun sumber-sumber kontrol yang lainnya penting, namun sumber-sumber kontrol tersebut tidak bisa bersifat tunggal diandalkan untuk menyelamatkan masyarakat dari kesewenang-wenangan, intimidasi atau hal-hal yang lebih buruk. Melainkan juga dibutuhkan penghormatan yang tertinggi terhadap otoritas dimaksud misalnya menjunjung tinggi penerapan moral di dalam hukum, pemisahan hukum dari politik secara tegas, penyimpangan dari hukum harus ditindak tegas serta adanya kontrol sosial. 176 Philippe Nonet dan Philip Selznick juga memandang akan pentingnya diterapkan fleksibilitas dan keterbukaan institusi-institusi pada koridor-koridor tertentu. 177 Ketika melemahnya otoritas, maka patut dipertanyakan validitas moral yang dianut. Dalam kondisi ini, otoritas akan terancam, maka alternatif-alternatif menjadi pilihan nyata yang menegaskan karakter moral individu. 178 175 Ian Saphiro, Asas Moral dalam Politik...Op. cit., hal. 13-14. Namun walaupun dengan masuknya Departemen Keuangan sebagaimana dalam Pasal 76 ayat 2 UU No.23 Tahun 1999 jelas akan mengurangi keindependensian BI dalam menjalankan tugas mengatur dan mengawasi perbankan. Demikian pula kehadiran lembaga OJK sebagai 176 Philippe Nonet dan Philip Selznick, diterjemahkan oleh: Raisul Muttaqien, Hukum Responsif ....Op. cit., hal. 5-7. 177 Ibid.7-8. 178 Ibid, hal. 10-11. Universitas Sumatera Utara lembaga pengatur dan pengawas terhadap bank tetap mutlak diperlukan mengingat persoalan perbankan yang semakin meningkat akhir-akhir ini. Teori pengawasan bank ternyata juga mengajarkan sistem pengawasan bank yang ideal dari sudut pandang kepentingan semata-mata untuk mewujudkan pencapaian dan menjaga sistem perbankan yang sehat, jika otoritas pengawas bank dapat melakukan tugas pengawasannya secara efektif dan semua bank yang diawasi dalam kondisi terkendali sepenuhnya. Kondisi demikian dimungkinkan jika jumlah bank yang diawasi sedikit dan semua kegiatan bank sampai pada hal yang paling teknis diatur melalui seperangkat aturan yang ketat dan pembatasan ruang gerak usaha bank melalui berbagai aturan yang bersifat larangan. 179 Hendaknya bagi negara Indonesia tidak gagah-gagahan meminjam ungkapan dari Sutan Batoeghana atau coba-coba untuk membentuk lembaga OJK. Sebab perlu dipikirkan dan direnungkan bersama hasil penelitian empiris yang dilakukan Central Banking Publication di tahun 1999 menunjukkan bahwa dari 123 negara yang diteliti, tiga perempatnya 34 memberikan kewenangan pengawasan industri perbankannya kepada Bank Sentral, fakta ini dikatakan Bismar Nasution, lebih menonjol di negara negara sedang berkembang. 180 179 Bismar Nasution, ”Pengaturan dan Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan....Op. cit., hal. 8. Kegagalan negara-negara maju dengan menerapkan otoritas pengawas seperti OJK di Indonesia seharusnya menjadi pertimbangan dan harus direnungkan bersama khususnya bagi pemerintah dan DPR yang membentuk 180 Bismar Nasution, ”Kajian Terhadap RUU….Op. cit., hal. 6. Universitas Sumatera Utara OJK turut menggandeng pelaksanaan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap bank. Diketahui dari hasil penelitian empiris Central Banking Publication tersebut disimpulkan secara general bahwa sebahagian besar negara-negara di dunia khususnya negara berkembang tetap menjadikan kedudukan Bank Sentral-nya menjadi sebuah instansi yang bertanggung jawab penuh atas kebijakan moneter, menjaga stabilitas nilai mata uang, stabilitas sektor perbankan, dan sistem finansial secara keseluruhan. Bank Sentral dinilai lebih piawi dan bertanggung jawab untuk menjaga stabilitas harga atau nilai mata uang yang berlaku di suatu negara tertentu, misalnya terjadinya inflasi dan deflasi atau naiknya harga-harga atau turunnya suatu nilai uang. 181 Tugas untuk menjaga agar tingkat inflasi dapat terkendali dan selalu berada pada nilai yang serendah mungkin atau pada posisi yang optimal bagi perekonomian lowzero inflation sudah menjadi otoritas BI, dengan mengontrol keseimbangan jumlah uang dan barang, jika jumlah uang yang beredar terlalu banyak maka otoritas yang dimiliki oleh Bank Sentral dapat digunakan secara luas sesuai dengan UU BI dan UU Perbankan tanpa harus mengalihkan kewenangannya kepada otoritas lain. 182 Namun, kewenangan dalam arti sempit yang dimiliki BI untuk mengontrol keuangan negara, meregulasi dan mengawasi bank untuk mencapai dan memelihara 181 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Ditinjau Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia , Jakarta: Kencana, 2009, hal. 175. 182 Ibid., hal. 176. Universitas Sumatera Utara kestabilan nilai rupiah, ternyata dimungkinkan masuknya intervensi pemerintah melalui Pasal 76 ayat 2 UU BI. Oleh sebabnya, kewenangan itu harus ditopang dengan tiga pilar utama, yaitu: kebijakan moneter dengan prinsip kehati-hatian; sistem pembayaran yang cepat dan tepat; serta sistem perbankan dan keuangan yang sehat. 183 Memperhatikan prinsip kehati-hatian sebagaimana dikatakan Paul L. Davies, maka otoritas BI diwajibkan beritikad baik dan wajib dapat dipercaya, serta selamanya dapat wajib jujur dalam memikul tanggung jawab atas pelaksanaan pengawasan terhadap bank. 184 D. Tugas dan Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia Menurut Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan Amanat Pasal 34 ayat 1 UU BI menentukan tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dengan mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank. Dalam penjelasannya dikemukakan bahwa lembaga tersebut berfungsi antara lain melakukan pengawasan terhadap bank…. dan seterusnya. Amanat Pasal 34 ayat 1 UU BI menekankan kepada lembaga tersebut untuk bertindak sebagai dewan pengawas supervisory board, dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank secara berkoordinasi dengan BI. 183 Paragraf 6 Penjelasan Umum UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. 184 Bandingkan dengan: Paul L. Davies., Gower’s Principles of Modern Company Law, London: Sweet Maxweel, 1997, hal. 598-599. Universitas Sumatera Utara Namun ternyata setelah diundangkannya UU OJK menentukan lain, yakni memberikan kewenangan luas kepada OJK untuk membuat pengaturan dan pengawasan bahkan kewenangannya dapat bertindak sebagai penyidik layaknya seperti KPK. Sebagai contoh dalam Pasal 5 dan Pasal 6 ditegaskan OJK berwenang melaksanakan pengaturan dan pengawasan, padahal diketahui sebelumnya seperti yang telah ditentukan dalam amanat Pasal 34 ayat 1 UU BI, wewenangnya adalah mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank, namun fakta yuridisnya menentukan kewenangan OJK meliputi mengatur, mengawasi, memeriksa, dan bahkan sebagai penyidik. Oleh sebab itu, ketentuan- ketentuan dalam UU OJK tampak menjadikan OJK sebagai lembaga super body bukan supervisory board.

1. Tugas Pengaturan dan Pengawasan antara Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia