C. Koordinasi Dalam Mencapai Tujuan dan Fungsi Otoritas Jasa Keuangan
Berdasarkan Pasal 4 UU OJK, tujuan OJK dibentuk agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan,
akuntabel, dan mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan
masyarakat. Sesungguhnya tujuan OJK untuk menyelenggarakan sektor jasa keuangan secara teratur, adil, transparan, akuntabel, mengingatkan pemikiran pada
prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan benar Good Corporate Governance
yang terdiri dari 5 lima prinsip yang disingkat dengan TARIF, yaitu: keterbukaan informasi transparency, akuntabilitas accuntability, kesetaraan dan
kewajaran fairness, kemandirian indepandency, dan pertanggungjawaban responsibility.
143
143
Yusuf Wibisono, Membedah Konsep Aplikasi CSR, Gresik: Fascho Publishing, 2007, hal. 11-12. Lihat juga: I Nyoman Tjager, F. Antonius Alijoyo, Humphrey R. Djemat, Bambang
Soembodo, Corporate Governance: Tantangan dan Kesempatan Bagi Komunitas Bisnis Indonesia, Jakarta: Prenhallindo, 2003, hal. 26. Lihat juga: Bapepam, Cetak Biru Pasar Modal Indonesia 2000-
2004 , Jakarta: Bapepem, 1999, hal. 70-76. Lihat juga: A. Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan
Relevansinya , Yogyakarta: Kanisius, 1998, hal. 74-81.
a. Keterbukaan informasi transparency secara sederhana bisa diartikan sebagai keterbukaan
untuk menyediakan informasi yang cukup, akurat, tepat waktu. b.
Akuntabilitas accuntability yaitu adanya kejelasan fungsi, struktur, sistem, kejelasan akan hak dan kewajiban serta wewenang dari elemen-elemen yang ada.
c. Pertanggungjawaban responsibility yakni kepatuhan perusahaan terhadap peraturan yang
berlaku, di antaranya termasuk masalah pembayaran pajak, hubungan industrial, kesehatan dan keselamatan kerja, perlindungan lingkungan hidup, memelihara lingkungan bisnis yang
kondusif bersama masyarakat dan sebagainya. d.
Kemandirian indepandency mensyaratkan agar perusahaan dikelola secara profesional tanpa adanya benturan kepentingan dan tanpa tekanan atau intervensi dari pihak manapun yang
tidak sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada. e.
Kesetaraan atau kewajaran fairness atau perlakuan yang adil dalam memenuhi hak shareholders
dan stakeholders sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Universitas Sumatera Utara
Tujuan lain pembentukan OJK agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan
dan stabil. Dalam konsep berkelanjutan dimaksud adalah untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan sustainable develompment. Sebagaimana menurut
The World Business Council of for Sustainable Development WBSCSD yang
menggambarkan sebagai “busines commitment to contribute to sustainable economic development, working with employees, their, the local community, and society at
large to improve their quality of life ” yaitu suatu komitmen bisnis untuk memberikan
kontribusi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, bekerja sama dengan pegawai, keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat luas untuk meningkatkan kualitas
hidup bersama.
144
Konsep berkelanjutan sejalan dengan pernyataan Ketua Dewan Direksi Ford Motor, William Clay Ford, Jr., yang menyatakan bahwa:
Terdapat perbedaan antara perusahaan yang baik good dengan perusahaan sangat baikbesar great. Perusahaan yang baik menawarkan produk dan
layanan yang memuaskan excellent. Sedangkan perusahaan besar tidak hanya menawarkan produk dan layanan yang excellent, akan tetapi juga turut
berusaha menciptakan dunia yang lebih baik.
145
Berdasarkan pernyataan tersebut hendaknya menjadi pemikiran mendalam bagi DK OJK untuk mencapai tujuan terselenggara sistem keuangan yang tumbuh
secara berkelanjutan dan stabil. DK OJK juga harus menyadari pentingnya tujuan pembentukan OJK untuk melindungi kepentingan nasabahkonsumen dan masyarakat
144
Philip Kotler dan Nancy Lee, Corporate Social Responsibility: Doing the Most Good for Your Company and Your Cause
, New Jersey: John Wiley and Sons, Inc, Hoboken, 2005, hal. 3
145
Ibid., hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
termasuk perlindungan terhadap pelanggaran dan kejahatan di sektor keuangan seperti manipulasi dan berbagai bentuk penggelapan dalam kegiatan jasa keuangan.
DK OJK juga diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional, mampu menjaga
kepentingan nasional meliputi sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di sektor jasa keuangan dengan tetap mempertimbangkan aspek positif
globalisasi. Terkait dengan fungsi OJK sebagaimana ditentukan pada Pasal 5 UU OJK,
”berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan”. Makna dari
menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi diyakini bahwa fungsi OJK merupakan suatu kesatuan dari sistem lembaga jasa keuangan
termasuk sistem perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.
Fungsi OJK merupakan suatu kesatuan dari sistem lembaga jasa keuangan dapat dimaknai bahwa OJK adalah salah satu unsur atau elemen yang tidak bisa
dipisahkan dari sistem hukum khususnya sistem hukum di lembaga jasa keuangan. Subekti menyebut sistem hukum itu adalah suatu susunan atau tatanan yang teratur
merupakan keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang saling berkaitan satu
Universitas Sumatera Utara
sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu pemikiran untuk mencapai suatu tujuan.
146
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Saputra mengemukakan ciri-ciri suatu kesatuan adalah:
147
1. Sistem hukum adalah suatu kompleksitas elemen yang terbentuk dalam suatu
kesatuan interaksi proces; 2.
Masing-masing elemen terikat dalam suatu kesatuan hubungan yang satu sama lain saling bergantung interdepende of it parts;
3. Kesatuan elemen yang komplek itu membentuk suatu kesatuan yang lebih
besar, yang meliputi keseluruhan elemen pembentuknya itu the whole is more than the sum of its parts
; 4.
Keseluruhan itu menentukan ciri dari setiap bagian pembentuknya the whole determines the nature of its parts
; 5.
Bagian dari keseluruhan itu tidak dapat dipahami jika ia dipisahkan atau dipahami secara terpisah dari keseluruhan itu the parts cannot be understood
if considered in isolation from the whole ; dan
6. Bagian-bagian bergerak secara dinamis, mandiri, atau secara keseluruhan
dalam sistem itu. Sudikno Mertokusumo, memandang suatu kesatuan itu adalah sistem hukum
yang dimaksudnya sebagai suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan.
148
146
R. Subekti dalam H. Ridwan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 169.
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra juga memandang hal yang sama luasnya ruang lingkup
sistem hukum sebagai suatu kesatuan sistem besar yang tersusun atas sub-sub sistem yang kecil. Sub-sub sistem kecil itu misalnya bidang pendidikan hukum,
pembentukan hukum, peraturan perundang-undangan, penerapan hukum, aparatur
147
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Mandar Maju, 2003, hal. 65. Lihat juga: Bismar Nasution, ”Pengaturan dan Pengawasan Lembaga Jasa
Keuangan....Op. cit., hal. 7.
148
Sudikno Mertokusumo dalam H. Ridwan Syahrani, Loc. cit.
Universitas Sumatera Utara
hukum, dan lain-lain, dan pada bidang-bidang lainnya.
149
Lawrence M. Friedman mengelompokkan sistem hukum tersebut dalam tiga kelompok yaitu: struktur hukum,
substansi hukum, dan kultur hukum.
150
Soerjono Soekanto memandang sistem hukum terdiri dari elemen-elemen penting yakni struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum, jika salah satu
elemen dari tiga kompenen ini tidak bekerja dengan baik, akan mengganggu elemen lainnya hingga pada gilirannya mengakibatkan penerapan hukum yang tidak tidak
adil. Ketiga elemen ini menurutnya sebagai faktor penting dalam menerapkan hukum dan tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya
tujuan hukum yang diharapkan.
151
Sebagai faktor penentu apakah suatu sistem hukum pada lembaga jasa keuangan dapat berjalan dengan baik atau tidak, maka setidaknya faktor tersebut
dapat dipertimbangkan dalam pandangan Lawrence Milton Friedman yang menekankannya pada kinerja pelaksana hukum itu sendiri, sarana dan prasarana
hukum, substansi hukum, dan budaya hukum menyangkut perilaku.
152
149
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Op. cit., hal. 151.
150
Lawrence M. Friedman, dalam Achmad Ali, Op. cit., hal. 204. Struktur hukum, mencakup keseluruhan institusi-institusi hukum baik lembaga-lembaga pemerintahan maupun aparat penegak
hukum seperti: Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, Lembaga Pemasyarakatan, dan Advokat. Substansi hukum, mencakup keseluruhan aturan hukum, norma hukum, dan asas hukum, baik yang tertulis
maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan yang bersifat mengikat dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Kultur hukum, mencakup pola, tata cara berfikir dan bertindak, baik
atas karena kebiasaan-kebiasaan maupun karena perintah undang-undang, baik dari perilaku aparat penegak hukum dan pelayanan dari instansi pemerintah maupun dari perilaku warga masyarakat dalam
menerjemahkan hukum melalui perilakunya, dan lain-lain.
151
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, Rajawali, 1983, hal. 5.
152
Lawrence Milton Friedman, diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar
, Jakarta: Tatanusa, 2001, hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
Demikian luasnya sistem hukum sebagai suatu kompleksitas, dengan tujuan agar semua elemen khususnya OJK, BI, LPS, dan Kemenkeu mampu mencermatinya
secara tajam dalam memahami keutuhan prosedural yang terjalin melalui koordinasi yang baik antar lembaga. Koordinasi pelaksanaan fungsi lembaga-lembaga hukum
antar instansi harus saling mematuhi ketentuan tugas, wewenang dan tanggung jawabnya demi kelancaran proses penerapan hukum khususnya dalam perspektif UU
OJK. Oleh sebab itu, profesionalisme dalam menjalankan tugas merupakan unsur paling penting misalnya kemampuan berdasarkan keahlian dan keterampilan personal
dari penyelenggara hukum itu sendiri.
153
Kelambatan, kekeliruan, tidak profesional, tidak memiliki kepemimpinan dan keterampilan yang baik dari penyelenggara hukum maupun pada instansi tertentu
akan mengakibatkan rusaknya jalinan pelaksanaan koordinasi dan sinkronisasi penerapan hukum dalam suatu sistim.
154
Konsekuensinya adalah bahwa lembaga OJK tidak akan berjalan untuk mencapai tujuan sebagaimana Pasal 4 UU OJK, karena
OJK tidak menjalankan fungsinya untuk menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa
keuangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 UU OJK.
153
Ibid.
154
Ibid, hal. 212-213.
Universitas Sumatera Utara
D. Hubungan Koordinasi Antara Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Dengan Gubernur Bank Indonesia
Berangkat dari penjelasan dalam paragraf 10 UU OJK yang menjelaskan sebagai berikut:
Secara kelembagaan, Otoritas Jasa Keuangan berada di luar Pemerintah, yang dimaknai bahwa Otoritas Jasa Keuangan tidak menjadi bagian dari kekuasaan
Pemerintah. Namun, tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya Otoritas Jasa Keuangan
merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal dan
moneter. Oleh karena itu, lembaga ini melibatkan keterwakilan unsur-unsur dari kedua otoritas tersebut secara Ex-officio. Keberadaan Ex-officio ini
dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerjasama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan sektor jasa keuangan. Keberadaan Ex-officio
juga diperlukan guna memastikan terpeliharanya kepentingan nasional dalam rangka persaingan global dan kesepakatan internasional, kebutuhan
koordinasi, dan pertukaran informasi dalam rangka menjaga dan memelihara stabilitas sistem keuangan.
Berdasarkan penjelasan di atas, tampaknya persoalan di institusi publik tidak terlepas dari apa yang telah pernah dituliskan oleh Zulkarnain Sitompul dalam
bukunya yang berjudul “Problematika Perbankan” yang mengatakan, ”Masalah utama yang dihadapi industri keuangan khususnya perbankan saat ini adalah lemahnya
penerapan Good Corporate Governance GCG”. Menurutnya masalah GCG tidak akan selesai dengan beralihnya kewenangan pengawasan. Bahkan diilustrasikannya
masalah itu pada siapa yang lebih tepat mengawasi industri perbankan adalah soal sepele, semudah memilih ”teh sosro” atau ”teh kita”, tergantung selera.
155
Makna yang dapat dipetik dari tulisan tersebut adalah adanya kesamaan tugas dan fungsi dari dua lembaga berbeda pada satu sektor misalnya pada sektor
155
Zulkarnain Sitompul, Problematika Perbankan,....Op. cit., hal.148.
Universitas Sumatera Utara
perbankan. Sehingga, jika terjadi masalah pada suatu ketika dalam penanganan perbankan, maka untuk menentukan lembaga mana yang berwenang, dikhawatirkan
akan ditentukan oleh selera masing-masing lembaga, apalagi dengan masuknya Ex- Officio
dari Kemenkeu cq Pemerintahan. Kondisi pengaturan seperti ini berpotensi menimbulkan hubungan yang memihak pada kepentingan pemerintah.
Koordinasi yang baik menjunjung tinggi norma moral sehingga perilaku dalam hubungan tersebut akan terpuji antara DK OJK dengan Dewan Gubernur BI
baik di dalam maupun di luar FKSSK, norma moral tersebut merurpakan kunci utama. Dalam melaksanakan tugasnya, misalnya sebagaimana ditentukan dalam Pasal
39 UU OJK, mengamanatkan OJK berkoordinasi dengan BI dalam membuat peraturan pengawasan di bidang Perbankan antara lain:
1. Kewajiban pemenuhan modal minimum bank;
2. Sistem informasi perbankan yang terpadu;
3. Kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing,
dan pinjaman komersial luar negeri; 4.
Produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya; 5.
Penentuan institusi bank yang masuk kategori systemically important bank; dan
6. Data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan informasi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 39 UU OJK tersebut di atas, diketahui bahwa BI tidak bisa secara sendirian sesuai seleranya untuk membuat pengaturan menyangkut
keenam aspek tersebut demikian pula OJK, akan tetapi harus melalui koordinasi dan kerjasama antara BI dan OJK, demikian pula menyangkut masalaha peangawasan
bank terkait dengan keenam aspek tersebut harus berkoordinasi secara bersama-sama. Namun sejak diundangkannya UU No.21 Tahun 2011 tentang OJK ini hingga kini
Universitas Sumatera Utara
belum ada format baku yang menentukan petunjuk teknis pelaksanaan kerjasama dimaksud.
BI melakukan pemeriksaan terhadap bank, baik secara berkala maupun setiap waktu jika diperlukan. Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap perusahaan induk,
perusahaan anak, pihak terkait, pihak terafiliasi dan debitur bank. Bagi bank dan pihak-pihak yang diperiksa, wajib memberikan informasi kepada BI tentang:
keterangan dan data yang diminta; kesempatan untuk melihat semua pembukuan, dokumen dan sarana fisik yang berkaitan dengan kegiatan usahanya; dan hal-hal lain
yang diperlukan vide Pasal 29 UU BI. BI dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank dengan
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK vide Pasal 40 ayat 1 UU OJK. Pelaksanaan langsung ini BI melaksanakan fungsi, tugas, dan
wewenangnya untuk melakukan pemeriksaan khusus terhadap bank tertentu. Dalam melakukan kegiatan pemeriksaan tersebut, BI tidak dapat memberikan penilaian
terhadap tingkat kesehatan bank vide Pasal 40 ayat 2 UU OJK. Laporan hasil pemeriksaan bank oleh BI disampaikan kepada OJK paling lama 1 satu bulan sejak
diterbitkannya laporan hasil pemeriksaan tersebut vide Pasal 40 ayat 3 UU OJK. Selanjutnya OJK menginformasikan kepada LPS mengenai bank bermasalah
yang sedang dalam upaya penyehatan oleh OJK. Dalam hal OJK mengindikasikan bank tertentu mengalami kesulitan likuiditas danatau kondisi kesehatan semakin
memburuk, OJK segera menginformasikan ke BI untuk melakukan langkah-langkah sesuai dengan kewenangan BI vide Pasal 41 UU OJK. Demikian pula bagi LPS
Universitas Sumatera Utara
dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank yang terkait dengan fungsi, tugas dan wewenangnya, serta berkoordinasi terlebih dahulu dengan OJK vide Pasal 42 UU
OJK. Hubungan koordinasi antara BI dan OJK termasuk LPS dalam menentukan
penilaian terhadap bank dan melakukan penyehatan terhadap bank bermasalah yang sedang diperiksa diuraikan dalam Bab IV Sub B angka 4 Tesis ini, ditentukan dalam
Pasal 34 UU OJK, bahwa BI, OJK, dan LPS wajib membangun dan memelihara sarana pertukaran informasi secara terintegrasi. Berdasarkan ketentuan Pasal 43 UU
OJK ini jelas ditegaskan untuk ketiga lembaga ini kewajiban untuk melakukan koordinasi dan kerjasama secara terintegrasi.
Pertukaran informasi secara terintegrasi maksudnya di sini adalah bahwa sistem pengawasan dibangun oleh OJK, BI, dan LPS saling terhubung satu sama lain,
sehingga setiap institusi dapat saling bertukar informasi dan mengakses informasi perbankan yang dibutuhkan setiap saat timely basis. Informasi tersebut meliputi
informasi umum dan khusus tentang bank, laporan keuangan bank, laporan hasil pemeriksaan bank yang dilakukan oleh BI, LPS, atau oleh OJK, dan informasi lain
dengan tetap menjaga dan mempertimbangkan kerahasiaan informasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sistem pengawasan keuangan yang terintegrasi yaitu semua lembaga keuangan diawasi oleh lembaga pengawasan yang tunggal dengan cakupan
pengawasan yang luas baik untuk aspek mikroprudensial, makroprudensial dan praktek bisnisnya. Konsep ini diterapkan di Inggris, Australia dan Belanda. Model
Universitas Sumatera Utara
pengawasan demikian inilah yang sedang digagas dengan OJK. Masing-masing lembaga harus twin peak yaitu sistem pengawasan berbasis pada tujuan di mana ada
pemisahan antara fungsi supervisi safety dan soundness di satu sisi dengan fungsi pada praktek bisnis.
156
Hubungan koordinasi antara OJK dan BI juga ditentukan dalam Protokol Koordinasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 44, Pasal 45, dan Pasal 46 UU OJK.
Dalam Protokol Koordinasi ini sebagai wadah untuk mempertemukan antara Kemenkeu, BI, OJK, dan LPS dalam satu forum koordinasi yang disebut dengan
Forum Koordinasi Stabilitas Sistim Keuangan FKSSK. Koordinasi dalam forum ini dilakukan jika tidak memungkinkan untuk penanganan masalah perbankan oleh OJK
terkait dengan penyelesaian dan penanganan suatu bank gagal yang ditengarai berdampak sistemik.
Namun ketentuan mengenai Protokol Koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 45, dan Pasal 46 hanya berlaku sampai dengan diundangkannya
undang-undang mengenai Jaring Pengaman Sistem Keuangan saat ini masih dalam RUU JPSK. Sehingga wadah FKSSK ini diperlukan tidak bersifat permanen sebab
ditentukan dalam Pasal 69 ayat 4 UU OJK hanya bersifat sementara menunggu diundangkannya UU JPSK.
FKSSK dibentuk untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, dengan anggota terdiri atas:
157
156
Ec Abdul Mongid, Op. Cit., hal. 27.
157
Pasal 44 ayat 1 UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Universitas Sumatera Utara
1. Menteri Keuangan selaku anggota merangkap koordinator;
2. Gubernur Bank Indonesia selaku anggota;
3. Ketua Dewan Komisioner OJK selaku anggota; dan
4. Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan selaku anggota.
FKSSK dibantu kesekretariatan yang dipimpin salah seorang pejabat eselon I di Kemenkeu. Pengambilan keputusan dalam rapat FKSSK berdasarkan musyawarah
untuk mufakat, jika tidak tercapai maka pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak atau voting vide Pasal 44 UU OJK. Dalam kondisi
normal belum terjadi krisis pada sistim keuangan, maka FKSSK:
158
1. Wajib melakukan pemantauan dan evaluasi stabilitas sistem keuangan;
2. Melakukan rapat paling sedikit 1 satu kali dalam 3 tiga bulan;
3. Membuat rekomendasi kepada setiap anggota untuk melakukan tindakan
danatau membuat kebijakan dalam rangka memelihara stabilitas sistem keuangan; dan
4. Melakukan pertukaran informasi.
Menurut Pasal 45 ayat 2 UU OJK, dalam kondisi tidak normal telah terjadi krisis pada sistim keuangan, maka untuk pencegahan dan penanganan krisis, Menteri
Keuangan, Gubernur BI, Ketua DK OJK, danatau Ketua DK LPS yang mengindikasikan adanya potensi krisis atau telah terjadi krisis pada sistem keuangan,
masing-masing dapat mengajukan ke FKSSK untuk segera dilakukan rapat guna memutuskan langkah-langkah pencegahan atau penanganan krisis.
158
Pasal 45 ayat 1 UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan ketentuan Pasal 45 ayat 2 UU OJK diketahui bahwa diupayakannya penanganan bank melalui FKSSK jika telah terjadi krisis pada sistem
keuangan yakni suatu kondisi di mana sistem keuangan gagal menjalankan fungsi dan perannya secara efektif dalam perekonomian nasional yang ditunjukkan dengan
memburuknya berbagai indikator ekonomi dan keuangan antara lain berupa kesulitan likuiditas, masalah solvabilitas, danatau penurunan kepercayaan publik terhadap
sistem keuangan. Oleh sebab itu, Menteri Keuangan, Gubernur BI, Ketua DK OJK, dan Ketua
DK LPS berwenang mengambil dan melaksanakan keputusan untuk dan atas nama institusi yang diwakilinya dalam rangka pengambilan keputusan FKSSK vide Pasal
45 ayat 3 UU OJK. Melalui koordinasi dalam FKSSK ditetapkan dan dilaksanakan kebijakan yang diperlukan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis pada
sistem keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing vide Pasal 45 ayat 4 UU OJK dan keputusan FKSSK terkait dengan penyelesaian dan penanganan suatu
bank gagal yakni suatu kondisi bank yang mengalami kesulitan keuangan dan membahayakan kelangsungan usahanya serta dinyatakan tidak dapat lagi disehatkan
oleh OJK sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya, dan keputusan FKSSK ini mengikat LPS.
Kebijakan FKSSK terkait dengan keuangan negara wajib diajukan untuk mendapat persetujuan DPR. Keputusan DPR tersebut wajib ditetapkan dalam waktu
paling lama 24 dua puluh empat jam sejak pengajuan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diterima oleh DPR vide Pasal 46 UU OJK. Berdasarkan
Universitas Sumatera Utara
ketentuan ini, diketahui bahwa dalam hubungannya dengan DPR, kebijakan penaganan oleh FKSSK terhadap bank yang bermasalah untuk pengucuran dana dari
pemerintah wajib melalui keputusan DPR paling lama 1 x 24 jam. Sekedar mengingatkan kembali permasalahan di sektor jasa keuangan
khususnya perbankan pada masa krisis di tahun 1998 dan kasus yang dihadapi Bank Century bisa dikatakan persoalannya menyangkut masalah moral hazard,
perlindungan nasabahkonsumen, dan koordinasi lintas sektoral.
159
Namun, perlu pula diamati bahwa di samping sistem hukum sebagai penyebab krisis, dapat juga
disebabkan timbulnya penurunan dalam disiplin pasar market dicipline atau moral hazard sikap aji mumpung di berbagai sektor ekonomi dan politik bahkan
permasalahan moral hazard itu sudah cukup luas dan mendalam.
160
Pembuatan sistem hukum yang efektif ditujukan pula untuk mengurangi moral hazard sekaligus untuk
mengatasi krisis ekonomi.
161
Perlindungan terhadap nasabahkonsumen dilakukan misalnya melalui penerapan prinsip kehati-hatian dalam mengelola sistem
perbankan.
162
159
Lufti Zen Fuadi, “Pokok-Pokok Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan”, Makalah disampaikan pada Seminar Sosialisasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan , Tiara Medan Hotel Convention Center, Medan, Tanggal 8
Juni 2012, hal. 2.
160
Bismar Nasution, ”Mengkaji Ulang Hukum.......”, Op. cit., hal. 7.
161
Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah Bank Suatu Gagasan Tentang Pendirian Lembaga Penjamin Simpanan di Indonesia
, Jakarta: Fakultas Hukum Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002, hal. 72.
162
Chatamarrasjid Ais, Hukum Perbankan Nasional Indonesia Ditinjau Dari Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia
, Edisi Revisi, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009, hal. 146. Prinsip kehati-hatian digunakan sebagai perlindungan secara tidak langsung oleh pihak
perbankan terhadap kepentingan-kepentingan nasabah penyimpan dana dan terhadap kepentingan bank
Universitas Sumatera Utara
Oleh sebab itu, melalui koordinasi yang dibangun rezim OJK diharapkan dapat meminimalisir berbagai risiko yang mungkin timbul melalui mengatur dan
mengawasi kegiatan sektor perbankan, sekurang-kurangnya mengingatkan perlunya penanganan risiko secara seksama, bahkan jika perlu melarang bank melakukan
kegiatan tertentu yang cenderung mengundang risiko tinggi,
163
Dalam ketentuan UU OJK yang mengamanatkan FKSSK tercantum dalam salah satu pokok pikiran yakni ”hubungan kelembagaan” yang berarti harus dibangun
melalui koordinasi yang baik antar lembaga. agar tujuan perbankan
nasional baik secara individal maupun keseluruhan menjadi sehat dan aman serta dapat memelihara kepercayaan masyarakat akan tercipta perbankan nasional yang
sehat dimaksud.
164
Koordinasi dalam hubungan kelembagaan merupakan kunci utama untuk menciptakan perbankan nasional yang
sehat dan aman. Tetapi disadari atau tidak, koordinasi merupakan barang mewah di negeri ini. Walaupun demikian, setidaknya melalui koordinasi dapat meminimalisir
kendala-kendala yang membuat terhambatnya sistem perbankan. Apalagi koordinasi antar lembaga di negeri ini, meski sudah dirasakan membaik masih lebih banyak yang
merupakan mimpi.
165
itu sendiri atas risiko kerugian yang timbul dari suatu tindakan atau timbul dari kebijaksaan dan kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank. Penerapan prinsip kehati-hatian merupakan suatu upaya dan
tindakan pencegahan yang bersifat internal oleh bank yang bersangkutan.
163
Bismar Nasution, “Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011........”, Loc. cit.
164
Pasal 44 ayat 1 UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
165
Priyanto B. Nugroho, “OJK dan Skandal Korupsinya di Korea Selatan”, http:luar- negeri.kompasiana.com20110802ojk-dan-skandal-korupsinya-di-korea-selatan, diakses tanggal 15
Juni 2012.
Universitas Sumatera Utara
Melalui koordinasi dapat membawa dampak yang baik, pencitraan terhadap profil lembaga, jika orang-orang yang terikat didalamnya mampu menjalankan tugas
dan tanggung jawabnya secara arif, bijak, dan profesional. Demikian sebaliknya, koordinasi justru akan memperburuk suatu lembaga jika para pengemban tugas dan
tanggung jawab itu berperilaku cenderung mengabaikan hukum, etika, dan moral. Persoalan koordinasi mudah untuk diucapkan tetapi sulit untuk diterapkan. Melalui
koordinasi dapat merusak citra lembaga-lembaga dan melalui koordinasi juga dapat mencapai tujuan yang hakiki.
Dalam melaksanakan tugasnya, lembaga OJK melakukan koordinasi dan bekerjasama dengan BI mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan
tugas pengawasan bank, koordinasi juga dalam hal meminta penjelasan atau keterangan dari BI tentang data mikro dan makro yang diperlukan. Sedangkan BI
tetap melakukan tugas dan fungsinya sesuai dengan UU BI secara independen dalam koridor-koridor tertentu dan tidak bertentangan dengan UU OJK.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV PENGATURAN TUGAS PENGAWASAN ANTARA OTORITAS JASA