Kekuatan Pembuktian yang Melekat pada Setiap Alat Bukti

Proses pemeriksaan dan penyelesaian perkara oleh hakim, harus pula memperhatikan hukum artinya hakim harus menjalankan perundang-undangan. Misalnya hakim harus memperhatikan aspek Perbuatan Melawan Hukum PMH beradasarkan Pasal 1365 KUH Perdata yang menentukan unsur-unsur apa saja yang memenuhi syarat-syarat PMH yaitu: Pertama; ada suatu perbuatan atau kealpaan; Kedua; perbuatan atau kealpaan terjadi karena kesalahan pelaku; dan Ketiga; perbuatan itu mendatangkan kerugian kepada orang lain penggugat.

C. Kekuatan Pembuktian yang Melekat pada Setiap Alat Bukti

Bermacam-macam alat bukti baik bentuk maupun jenisnya yang mampu memberikan keterangan dan penjelasan tentang masalah yang diperkarakan di sidang pengadilan. Alat bukti mana yang diajukan oleh para pihak untuk membenarkan dalil gugat atau dalil bantahan. Berdasarkan keterangan dan penjelasan alat bukti yang diberikan oleh masing-masing pihak itulah, hakim melakukan penilaiannya atas pihak mana yang paling kuat dan sempurna. Menurut perspektif hukum perdata, para pihak yang berperkara hanya dapat membuktikan kebenaran dalil gugat dan dalil bantahan maupun fakta-fakta yang dikemukakan dengan jenis atau bentuk alat bukti tertentu saja. Sebab, hukum pembuktian yang berlaku di Indonesia khususnya masalah perdata ditentukan oleh undang-undang di luar daripada itu tidak sah sebagai alat bukti dan tidak memiliki nilai kekuatan pembuktian untuk menguatkan dalil atau bantahan yang dikemukakan. Oleh sebab itu, sistim demikian dikenal dengan sistim tertutup. Namun, saat ini alat Universitas Sumatera Utara bukti sudah berkembang ke arah sistim terbuka yang mana selain alat bukti yang ditentukan dalam KUHA Pidana dan KUHA Perdata juga diakui alat bukti lainnya sesuai dengan perkembangan misalnya alat bukti elektronik yang dikenal dalam UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Jenis alat bukti yang ditentukan dalam Pasal 1866 KUH Perdata dan Pasal 164 HIR terdiri dari: 1. Bukti surat; 2. Bukti dengan saksi; 3. Persangkaan; 4. Pengakuan; dan 5. Sumpah. Alat bukti tulisan dalam perspektif hukum perdata ditempatkan sebagai alat bukti pada urutan pertama. Hal ini sesuai dengan kenyataan jenis surat atau akta dalam perkara perdata, memegang peran yang penting. Semua kegiatan yang menyangkut bidang perdata sengaja dicatat atau dituliskan dalam surat atau akta. Setiap transkasi jual-beli, sewa-menyewa, penghibaan, pengangkutan, asuransi, perkawinan, kelahiran, dan kematian, sengaja dibuat dalam bentuk tertulis dengan maskud dapat digunakan sebagai alat bukti atas transaksi atau peristiwa hubungan hukum yang terjadi. Hal ini dapat dimungkinkan apabila suatu ketika timbul sengketa atas peristiwa itu, maka dapat dibuktikan permasalahan dan kebenarannya melalui Universitas Sumatera Utara akta yang bersangkutan. Oleh sebabnya, dalam huku perdata alat bukti yang dianggap paling dominan adalah alat bukti surat, sedangkan saksi pada dasarnya tidak begitu berperan, terutama dalam perkara transaksi bisnis. M. Yahya Harahap, mengatakan barangkali lebih berperan lagi alat bukti persangkaan dibandingkan alat bukti saksi dalam hal perdata. 112 Khusus dalam hal pembuktian unsur itikad tidak baik dalam perkara merek, menurut UU Merek di Indonesia tidak satupun pasal dalam UU Merek yang mengatur mengenai jenis-jenis alat bukti, namun karena masalah merek adalah masalah dalam dunia bisnis dan merupakan bagian dari hukum perdata, maka jenis alat bukti yang dimungkinkan diajukan dalam perkara merek adalah didasarkan kepada Pasal 1866 KUH Perdata dan Pasal 164 HIR di atas. Alat bukti surat dan alat bukti saksi digolongkan kepada alat bukti langsung. Artinya alat bukti ini dapat diajukan secara fisik oleh pihak yang berkepentingan di depan sidang pengadilan. Sedangkan persangkaan, pengakuan, dan sumpah digolongkan sebagai alat bukti tidak langsung, artinya alat bukti tersebut tidak diajukan secara fisik tetapi yang diperoleh berdasarkan kesimpulan dari hal atau peristiwa yang terjadi di persidangan. M. Yahya Harahap, berpendapat bahwa ketiga alat bukti tidak langsung ini menurutnya tidak tepat dikatakan sebagai alat bukti karena sifatnya tidak berfungsi membuktikan tetapi pembebasan pihak lawan untuk 112 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Op. cit., hal. 556-557. Universitas Sumatera Utara membuktikan hal yang diakui pihak lain dan sumpah itu sendiri hanya bersifat kesimpulan dari kebenaran bukan membuktikan kebenaran. 113 Klasifikasi alat bukti surat dikelompokkan yakni: akta otentik; akta bawah tangan; dan akta sepihak atau pengakuan sepihak. Pada dasarnya meskipun ketiga alat bukti jenis surat ini sama-sama digolongkan dalam satu rumpun ”surat”, namun kekuatan pembuktian yang melekat pada masing-masing akta adalah tidak sama, melainkan berbeda antara yang satu dengan yang lain sesuai dengan spesifikasi bentuknya, namun dimungkinkan pula pada ketiga jenis itu akan melekat nilai kekuatan pembuktian yang sama bobotnya apabila terpenuhi syarat-syarat tertentu. Nilai kekuatan dan batas minimal pembuktian akta otentik sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1870 KUH Perdata dan Pasal 285 RBG ditegaskan: ”Suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta para ahli warisnya atau orang- orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang lengkap atau sempurna dan mengikat tentang apa yang dimuat di dalamnya”. Hal ini berarti bahwa apa yang ditulis dalam akta itu harus dapat dipercaya oleh hakim, yaitu harus dianggap sebagai yang benar, selama ketidakbenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan. Nilai kekuatan pembuktian yang melekat padanya adalah: sempurna dan mengikat. Apabila alat bukti akta otentik yang diajukan memenuhi syarat formil dan materil dan bukti lawan yang dikemukakan tergugat tidak mengurangi keberadaannya, pada dirinya sekaligus melekat kekuatan pembuktian yang sempurna 113 Ibid., hal. 558. Universitas Sumatera Utara dan mengikat. Dengan demikian, kebenaran isi dan pernyataan yang tercantum dalam di dalamnya: sempurna dan mengikat kepada para pihak mengenai apa yang disebut dalam akta serta sempurna dan mengikat juga kepada hakim sehingga hakim menjadikannya sebagai dasar fakta yang sempurna dan cukup untuk mengambil putusan atas menyelesaikan perkara yang dipersengketakan. 114 Batas minimal pembuktian akta otentik: Pertama; cukup pada dirinya sendiri. Artinya akta otentik itu dapat berdiri sendiri tanpa memerlukan bantuan atau dukungan alat bukti yang lain, dengan maksud lain, secara berdiri sendiri berarti alat bukti akta otentik dengan sendirinya menurut hukum telah mencapai batas minimal pembuktiannya. Kedua; dapat berubah menjadi bukti permulaan tulisan. Artinya nilai kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat itu serta batas minimalnya dapat berubah-ubah karena adanya bukti lawan yang serupa, setara, dan sempurna sehingga mampu menggoyahkan eksistensi akta otentik yang bersangkutan. Oleh karenanya akta otentik tersebut dapat berubah menjadi bukti permulaan tulisan sehingga batas minimalnya pun berubah dengan maksud lain tidak dapat lagi berdiri sendiri tetapi harus dibantu oleh alat bukti lain. 115 Nilai kekuatan dan batas minimal pembuktian kata di bawah tangan diatur dalam Pasal 1875 KUH Perdata dan Pasal 288 RBG. Pasal 1875 KUH Perdata: “Suatu akta di bawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa akta itu hendak dipakai, atau dengan cara menurut undang-undang dianggap sebagai diakui, 114 Subekti, Hukum Pembuktian, Op. cit., hal. 27. 115 Ibid. Universitas Sumatera Utara memberikan terhadap orang-orang yang mendapat hak daripada mereka, bukti yang sempurna seperti suatu akta otentik”. Berdasarkan ketentuan Pasal 1875 KUH Perdata, agar pada akta di bawah tangan melekat kekuatan pembuktiannya maka harus dipenuhi syarat-syarat formil dan materil yaitu: dibuat secara sepihak atau berbentuk partai sekurang-kurangnya dua pihak tanpa campur tangan pejabat berwenang; ditandatangani oleh pembuat atau para pihak yang membuatnya; isi dan tandatangan diakui. Batas minimal pembuktian akta bawah tangan yakni: mampu berdiri sendiri tanpa bantuan alat bukti lain, dengan demikian pada dirinya sendiri terpenuhi batas minimal pembuktian. Ada faktor yang dapat mengubah atau menurunkan nilai kekuatan dan batas minimal pembuktian akta bawah tangan karena: diajukan bukti oleh pihak lain dimana isi dan tanda tangan diingkari atau tidak diakui oleh pihak lawan, nilai kekuatan pembuktian yang melekat padanya jatuh menjadi bukti permulaan tulisan, sehingga batas minimalnya berubah menjadi alat bukti yang tidak dapat berdiri sendiri tetapi diperlukan alat bukti lain. 116 Nilai kekuatan dan batas minimal akta sepihak sebagaimana diatur dalam Pasal 1878 KUH Perdata dan Pasal 291 RBG. Pasal 1878 KUH Perdata, yaitu “sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum”. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1878 KUH Perdata, mesti dipenuhi syarat formil dan materil. Syarat formilnya yaitu dibuat 116 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Op. cit., hal. 547. Universitas Sumatera Utara atau ditulis oleh tangan sendiri atau penandatangan sedangkan syarat materilnya yaitu memuat pengakuan utang atau pembayaran barang dengan jenis dan jumlah barang tertentu. Nilai kekuatan pembuktian akta sepihak ini sama nilai kekuatan pembuktiannya dengan akta otentik, dengan demikian memiliki nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat. Sedangkan batas minimal pembuktiannya sama dengan batas minimal akta otentik dan akta bawah tangan sehingga akta sepihak dapat dikatakan sempurna dan berdiri sendiri tanpa diperlukan bantuan alat bukti lain. Batas pembuktian akta sepihak dapat pula menurun atau merosot karena disebabkan oleh adanya alat bukti dari pihak lawan dengan isi dan tanda tangannya diingkari pembuat. Sehingga akta sepihak ini dapat berubah menjadi bukti-bukti permulaan tulisan dengan kata lain tidak lagi memiliki nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat. Karena batas minimalnya menurun, maka akta sepihak tidak dapat berdiri sendiri melainkan harus diperlukan bantuan alat bukti lain. 117 Pasal 7 UU Merek selengkapnya adalah: 1 Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Direktorat Jenderal dengan mencantumkan: a. Tanggal, bulan, dan tahun; b. Nama lengkap, kewarganegaraan dan alamat pemohon; c. Nama lengkap dan alamat kuasa apabila permohonan diajukan melalui kuasa; d. Warna-warna apabila merek yang dimohonkan pendaftarannya menggunakan unsur-unsur warna; e. Nama negara dan tanggal permintaan Merek yang pertama kali dalam hal Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas. 2 Permohonan ditandatangani Pemohon atau Kuasanya. 117 Ibid., hal. 548. Universitas Sumatera Utara 3 Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dapat terdiri dari satu orang atau beberapa orang secara bersama, atau badan hukum. 4 Permohonan dilampiri dengan bukti pembayaran biaya. 5 Dalam hal Permohonan diajukan oleh lebih dari satu Pemohon yang secara bersama-sama berhak atas Merek tersebut, semua nama Pemohon dicantumkan dengan memilih salah satu alamat sebagaimana alamat mereka. 6 Dalam hal Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat 5, Permohonan tersebut ditandatangani oleh salah satu dari Pemohon yang berhak atas Merek tersebut dengan melampirkan persetujuan tertulis dari para Pemohon yang mewakilkan. 7 Dalam hal Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat 5 diajukan melalui Kuasanya, surat kuasa untuk itu ditandatangani oleh semua pihak yang berhak atas Merek tersebut. 8 Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat 7 adalah Konsultan Hak Kekayaan Intelektual. 9 Ketentuan mengenai syarat-syarat untuk dapat diangkat sebagai Konsultan Hak Kekayaan Intelektual diatur dengan Peraturan Pemerintah, sedangkan tata cara pengangkatannya diatur dengan Keputusan Presiden. Berdasarkan uraian di atas mengenai sistim pembuktian, beban pembuktian, dan kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti, dikaitkan dengan Pasal 7 UU Merek sebagaimana disebutkan di atas, dapat dipahami bahwa pembuktian siapa pemilik sah atas merek yang dipersengketakan di sidang pengadilan dapat dilihat dengan merujuk kepada alat-alat bukti khususnya bukti surat yang menggambarkan pemilik merek kinotakara yakni K-Link Sendirian Berhad yang terlebih dahulu terdaftar karena di dalam akta otentik pendaftaran merek jelas disebutkan mengenai: tanggal, bulan, tahun, nama lengkap, kewarganegaraan dan alamat pemohon, nama lengkap dan alamat kuasa apabila permohonan diajukan melalui kuasa, warna-warna apabila merek yang dimohonkan pendaftarannya menggunakan unsur-unsur warna, dan nama negara dan tanggal permintaan Merek yang pertama kali dalam hal Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas. Universitas Sumatera Utara Oleh sebab itu, hakim yang menerima, memeriksa, dan memutus perkara merek berkaitan dengan pihak lain yang sengaja beritikad tidak baik dalam pendaftaran merek yang sama dengan merek yang telah ada, harus mendasarkannya pada ketentuan Pasal 6 merek harus dibatalkan karena: 1. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang danatau jasa yang sejenis; 2. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang danatau sejenisnya; dan 3. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi- geografis yang sudah dikenal. Selain ketentuan Pasal 7 UU Merek yang menyangkut dengan akta otentik, dalam Pasal 27 ayat 3 UU Merek ditegaskan pula hal-hal yang dimuat dalam sertifikat merek yang telah terdaftar dengan sertifikat ini dapat pula dijadikan alasan oleh hakim untuk memutus perkara merek bagi siapa pihak-pihak yang bisa membuktikannya di sidang pengadilan. Sertifikat merek sebagaimana dimaksud harus memuat: 1. Nama dan alamat lengkap pemilik Merek yang didaftar; 2. Nama dan alamat lengkap Kuasa, dalam hal Permohonan diajukan berdasarkan Pasal 10; 3. Tanggal pengajuan dan Tanggal Penerimaan; 4. Nama negara dan tanggal permohonan yang pertama kali apabila permohonan tersebut diajukan dengan menggunakan Hak Prioritas; 5. Etiket Merek yang didaftarkan termasuk keterangan mengenai macam warna apabila Merek tersebut menggunakan unsur warna, dan apabila Merek menggunakan bahasa asing danatau huruf selain huruf Latin danatau angka yang tidak lazim digunakan dalam bahasa Indonesia disertai terjemahannya dalam bahasa Indonesia, huruf Latin dan angka lazim digunakan dalam bahasa Indonesia serta cara pengucapannya dalam ejaan Latin; 6. Nomor dan tanggal pendaftaran; 7. Kelas dan jenis barang danatau jasa yang Mereknya didaftar; dan 8. Jangka waktu berlakunya pendaftaran Merek. Universitas Sumatera Utara Sertifikat merek tersebut menurut Pasal 27 ayat 1 UU Merek, dalam hal tidak ada keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Direktorat Jenderal menerbitkan dan memberikan Sertifikat Merek kepada Pemohon atau Kuasanya dalam waktu paling lama 30 tiga puluh hari terhitung sejak tanggal berakhirnya jangka waktu pengumuman. Berdasarkan ketentuan ini, sertifikat merek tersebut dikeluarkan dan diberikan oleh Direktorat Jenderal HKI sebagai pejabat yang berwenang mengeluarkannya. Mengenai beban pembuktian adanya tindakan non use, semua harus diputuskan oleh suatu Badan Peradilan. Pengadilan lah yang dapat melakukan pengawasan atas alasan dari pada Kantor Merek untuk mencabut berdasarkan non use. Ada kemungkinan dalam Model Law, dihapuskannya suatu pendaftaran merek jika merek tersebut telah menjadi nama generik removel of mark which becomes a generic name yaitu kekuatan pembedaan dari pada suatu merek dipandang menjadi “luntur” dan dapat dihapus jika si pemegang merek telah memberikan nama dari mereknya menjadi milik ”umum” dan menjadi suatu “generic name”. 118 118 Sudargo Gautama, Hukum Merek Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989, hal. 81. Model Law for Developing Countries on Marks, Trade Names and Unfair Competition, telah menentukan dalam section 30 mengenai cara-cara dapat dibatalkannya suatu pendaftaran merek karena adanya itikad buruk berupa tindakan non use. Pasal 30 ayat 1 Model Law, diusulkan bahwa jangka waktu tidak dipakainya merek yang memberi dasar untuk pembatalan adalah 5 lima tahun dalam UU Merek 3 tahun. Kemudian dalam ayat 2 dari section 30 Model Law, dinyatakan bahwa “ircumstances beyond the control” dari pada pemilik merek yang terdaftar. Universitas Sumatera Utara

BAB IV UPAYA HUKUM TERHADAP SUATU MEREK YANG DIDAFTARKAN