Upaya Penyelesaian Sengketa Merek di Luar Pengadilan

BAB IV UPAYA HUKUM TERHADAP SUATU MEREK YANG DIDAFTARKAN

ATAS DASAR ITIKAD TIDAK BAIK

A. Upaya Penyelesaian Sengketa Merek di Luar Pengadilan

Penyelesaian sengketa merek dalam hal itikad tidak baik ini, dapat pula dilakukan upaya menyelesaikan sengketa melalui lembaga Arbitrase atau Alternatif Penyelesaian Sengketa APS yang didasarkan kepada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa selanjutnya ditulis UU APS. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Sengketa atau konflik secara lahirnya telah melekat pada kehidupan manusia dan tidak dapat menghindar dari sengketa atau konflik tersebut. Sengketa atau konflik harus diselesaikan. 119 Mengenai upaya penyelesaian sengketa merek di luar Pengadilan non litigasi, secara yuridis 120 , diatur sebagaimana diatur pada bagian keempat UU Merek tentang APS atau Alternative Dispute Resolution ADR. Pasal 119 Ahmad Zen Umar, “Arbitrase Pasar Modal Indonesia”, Makalah disampaikan pada Ceramah Umum BABMI dan Penyelesaian Sengketa Pasar Modal, di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan 5 Juli 2003, hal. 1. 120 Artidjo Alkostar, “Alternative Dispute Resolution Sebagai Salah Satu Bentuk Mekanisme Pemecahan dan Penanganan Masalah dalam Proses Penegakan Hukum Polri”, Makalah Seminar, Jakarta, 28 Februari 2007, hal. 9. Secara yuridis, menurut Artidjo Alkostar, ADR diluar pengadilan telah diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam hubungan ini telah terdapat beberapa lembaga pendorong metode ADR, antara lain BANI Badan Arbitrase Nasional Indonesia yang memfokuskan diri pada dunia perdagangan dan ADR dalam penyelesaian sengketa jasa konstruksi UU No. 18 Tahun 1999 jo UU No.m 29 Tahun 2000 jo PP No. 29 Tahun 2000 dengan yurisdiksi bidang keperdataan. Begitu pula terdapat ADR-ADR yang lain, seperti menyangkut masalah hak cipta dan karya intelektual, perburuhan, persaingan usaha, konsumen, lingkungan hidup dan lain-lain. Universitas Sumatera Utara 84 UU Merek ditegaskan bahwa: “Selain penyelesaian gugatan sebagaimana dimaksud dalam bagian Pertama Bab ini, para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui Arbitrase atau Alternatif Penyelesaian Sengketa”. 121 Sejarah gerakan ADR dimulai pada tahun 1976 Hakim Agung Warren Burger mempelopori ide ini pada suatu konfrensi di Saint Paul, Minnesota Amerika Serikat. 122 Ide ini disambut hangat oleh hukum akademis, praktisi dan masyarakat. Akhirnya ABA American Bar Assosiaciation merealisasikan rencana itu dan selanjutnya menambahkan Komite ADR pada organisasi mereka diikuti masuknya kurikulum ADR pada sekolah hukum di Amerika dan juga pada sekolah ekonomi. 123 Selanjutnya pengaturan dalam UU Merek tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak dijelaskan dalam Penjelasan Umum UU Merek tersebut dan ketentuan ini hanya diatur dalam Pasal 84 UU Merek. Oleh sebab itu, mengenai upaya penyelesaian sengketa merek di luar Pengadilan atau disebut dengan Arbitrase atau APS dalam penyelesaian merek dasar hukumnya berkaitan dengan UU APS. Cara-cara yang dilakukan para pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan sengketa di luar pengadilan, sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 10 UU Merek ditegaskan: “Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian diluar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, konsiliasi, atau penilaian ahli”. 121 Bagian Pertama Bab ini dimaksud adalah BAB VIII UU Merek tentang penghapusan dan pembatalan pendaftaran merek. 122 Jaqualine M. Nolan Haley, Alternative Dispute Resolution in a nutshell, St. Paaul, Minn: West Publising Co, 1992, hal. 5. 123 Ibid., hal. 6. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan Pasal 1 angka 10 UU Merek ini dapat dipahami bahwa cara-cara yang digunakan para pihak yaitu: konsultasi, negosiasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Sengketa dalam bidang merek, apabila diselesaikan melalui pengadilan litigasi, perjalanannya harus bersifat administratif dan formal. Sehingga untuk menghindari demikian, Maria S.W. Sumarjono, menyatakan bahwa: ”Sengketa yang diselesaikan melalui litigasi mendatangkan dampak, baik secara ekonomis, sosial dan lingkungan. Secara ekonomis, sebab sengketa itu telah memaksa pihak yang terlibat di dalamnya untuk mengeluarkan biaya. Semakin lama proses penyelesaian sengketa, akan semakin besar biaya cost yang dikeluarkan”. 124 Sejalan dengan itu, Runtung Sitepu, mengatakan bahwa para pencari keadilan dalam penyelesaian sengketa melalui litigasi pengadilan, terbentur pada hambatan- hambatan yang disebabkan oleh beberapa kelemahan antara lain waktu yang lama, biaya yang relatif mahal. Hal ini dapat menimbulkan efek psikologis seperti stres yang berkepanjangan bagi penggugat dan tergugat. Selain itu, putusan tidak menyelesaikan masalah win lost solution bahkan dapat merenggangkan hubungan, putusan hakim tidak dapat diprediksi dan banyak terdapat mafia peradilan. 125 Terdapatnya berbagai cara dalam menyelesaikan sengketa ini sebagaimana yang dikatakan Lawrence M. Friedman, hal ini dimaksudkan agar orang tidak 124 Maria S.W. Sumarjono, dkk., Mediasi Sengketa Tanah, Potensi Penerapan Alternatif Penyelesaian Sengketa ADR di Bidang Pertanahan, Jakarta: Kompas, 2008, hal. 3-4. 125 Runtung Sitepu, ”Alternative Dispute Resolution dan Arbitrase”, Makalah dalam Pendidikan Khusus Profesi Advokat PKPA, Kerjasama DPC IKADIN Medan dengan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2008, Kolom 2. Universitas Sumatera Utara menyelesaikan sengketa di antara mereka dengan cara-cara yang tidak sah, atau main hakim sendiri dan aksi kekerasan. 126 Berdasarkan Pasal 1 angka 10 UU Merek, salah satu wujudnya adalah mediasi yaitu suatu proses negosiasi penyelesaian masalah dimana suatu pihak luar, tidak berpihak atau netral untuk membantu mereka dalam mencapai suatu kesepakatan. 127 Mediasi merupakan salah satu bentuk dari APS yang dapat diartikan secara luas dan sempit. Mediasi dalam arti luas adalah penyelesaian sengketa yang dilaksanakan baik oleh pihak ketiga, di luar sistem peradilan maupun di dalam sistem peradilan. Jika dilaksanakan di luar sistem peradilan seperti mediasi, arbitrase, konsiliasi, dan negosiasi, sedangkan yang termasuk di dalam sistem peradilan dikenal dengan Court Annexed Mediation atau lebih dikenal dengan Court Annexed Dispute Resolution. 128 Gary Godpaster, mengemukakan bahwa mediasi adalah proses negosiasi yang memerlukan pihak ketiga mediator untuk pemecahan masalah. Mediator adalah pihak luar yang tidak memihak impartial dan netral bekerja dengan pihak yang 126 Lawrence M. Friedman, dalam Rahngena Purba, “Lembaga Masyarakat Adat Runggun dan Perdamaian Desa Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan di Tanah Karo”, Butir-Butir Pemikiran Hukum guru Besar dari Masa ke Masa, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Hukum, USU, 1979-2001, disunting Tan Kamelo, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003, hal. 428. 127 Bismar Nasution, ”Penyelesaian Sengketa Alternatif Melalui Mediasi”, Makalah disampaikan pada Dialog Interaktif PERMA No. 2 Tahun 2003 Tentang Mediasi di Pengadilan, Medan: Tanggal 21 November 2003, hal. 1. Mediasi menurut Bismar Nasution yaitu adalah perluasan dari proses negosiasi. Pihak-pihak yang bertikai yang tidak mampu menyelesaikan konflik akan menggunakan jasa pihak ketiga yang bersikap netral untuk membantu mereka dalam mencapai suatu kesepakatan. Tidak seperti proses adjudikasi dimana pihak ketiga menerapkan hukum terhadap fakta-fakta yang ada untuk mencapai suatu hasil, dalam mediasi, pihak ketiga akan membantu pihak- pihak yang bertikai dalam menerapkan nilai-nilainya terhadap fakta-fakta untuk mencapai hasil akhir. Nilai-nilai ini dapat meliputi: hukum, rasa keadilan, kepercayaan agama, moral dan masalah-masalah etik. Sifat pembeda dari mediasi adalah bahwa pihak-pihak yang bertikai selain sebagai pihak ketiga yang bersifat netral, akan memilih norma-norma yang akan mempengaruhi hasil pertikaian mereka. 128 Ibid., hal. 3. Universitas Sumatera Utara bersengketa untuk membantu pihak-pihak yang bersengketa dalam memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan, dan mediator tidak berwenang untuk memutuskan sengketa melainkan hanya sebagai penengah saja. 129 Mediasi tidak lain adalah perpanjangan dari proses negoisasi. 130 Penyelesaian sengketa secara mediasi dapat dilaksanakan melalui beberapa tahapan diantaranya; Pertama, memeriksa sengketa, Kedua, menjelaskan proses mediasi dan peran, Ketiga, membantu pihak-pihak dalam memberikan informasi dan proses tawar-menawar, Keempat, membantu para pihak-pihak untuk menyusun kesepakatan. Tahapan-tahapan yang dilaksanakan bertujuan untuk menyikapi proses tawar-menawar atau upaya untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain melalui proses interaksi, komunikasi yang dinamis dan harapan untuk penyelesaian atau jalur keluar atas masalah yang sedang berlangsung negosiasi. 131 Selain mediasi, penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah arbitrase, negosiasi, dan konsiliasi. 132 Arbitrase menggunakan jasa pihak ketiga yaitu arbiter. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. 133 Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa mediator tidak 129 Gary Godpaster, Negosiasi dan Mediasi: Sebuah Pedoman Negosiasi dan Penyelesaian Sengketa Melalui Negosiasi, Jakarta: Elips Project, 1993, hal. 201. 130 Gatot Sumartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2006, hal. 121. 131 Runtung Sitepu, Op. cit., hal. 5. 132 Bismar Nasution, Loc. cit., Lihat juga: Tim Penyusun ELIPS, Kamus Hukum Ekonomi, Jakarta: Elips Project, hal. 111. 133 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa UU APS. Universitas Sumatera Utara berwenang memutus sengketa antar para pihak akan tetapi arbiter dalam arbitrase mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa antara para pihak. 134 Sarana atau tempat melakukan arbitrase adalah suatu lembaga. Lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu; lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa. 135 Lembaga arbitrase di Indonesia adalah Badan Arbitrase Nasional Indonesia BANI. Arbiter mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa antara para pihak. Sehingga putusan arbitrase memiliki kekuatan eksekutorial. Kelebihan arbitrase adalah: 136 1. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak; 2. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena prosedural dan administratif; 3. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut mereka diyakini mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang relevan dengan masalah yang disengketakan, di samping jujur dan adil; 4. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya termasuk proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; 5. Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dengan melalui tata cara prosedur yang sederhana dan langsung dapat dilaksanakan. 134 Gary Godpaster, Loc. cit. 135 Pasal 1 angka 8 UU APS. 136 Rachmadi Usman, Hukum Arbitrase Nasional, Jakarta: Grasindo, 2002, hal. 4-5. Apabila pihak yang dikalahkan tidak mematuhi putusan secara sukarela, maka pihak yang menang dapat meminta eksekusi ke pengadilan. Universitas Sumatera Utara Walaupun arbitrase memiliki kelebihan, namun peran arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan digeser oleh alternatif penyelesaian sengketa yang lain, karena: 137 1. Biaya mahal, karena terdapat beberapa komponen biaya yang harus dikeluarkan seperti biaya administrasi, honor arbiter, biaya transfortasi dan akomodasi arbiter, serta biaya saksi dan ahli; 2. Penyelesaian yang lambat, walau banyak sengketa yang dapat diselesaikan dalam waktu 60-90 hari, namun banyak juga sengketa yang memakan waktu yang panjang bahkan bertahun-tahun, apalagi jika ada perbedaan pendapat tentang penunjukan arbitrase serta hukum yang ditetapkan, maka penyelesaiannya akan bertambah rumit. Cara konsiliasi dapat pula ditempuh dalam melakukan penyelesaian sengketa merek dengan memanfaatkan jasa konsiliator. Seorang konsiliator akan mengklarifikasikan masalah-masalah yang terjadi dan bergabung di tengah-tengah para pihak, tetapi kurang aktif dibandingkan dengan seorang mediator dalam menawarkan pilihan-pilihan options penyelesaian suatu sengketa. Konsiliasi menyatakan secara tidak langsung suatu kebersamaan para pihak di mana pada akhirnya kepentingan-kepentingan yang saling mendekat dan selanjutnya dapat dicapai suatu penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak. 138 Penyelesaian sengketa dengan cara konsiliasi ini memiliki banyak kesamaan dengan aribtrase, dan juga menyerahkan kepada pihak ketiga untuk memberikan pendapatnya tentang sengketa yang disampaikan para pihak. Namun, pendapat dari konsiliator tersebut tidak mengikat sebagaimana mengikatnya putusan arbitrase. 137 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Yakarta: RajaGrafindo Persada, 2004, hal. 250. 138 Ibid., hal. 259. Universitas Sumatera Utara Keterikatan para pihak terhadap pendapat dari konsiliator menyebabkan penyelesaian sengketa tergantung pada kesukarelaan para pihak. Lembaga-lembaga penyelesaian sengketa di atas baik mediasi, arbitrase, konsiliasi, dan negosiasi, merupakan lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan non litigasi khususnya mengenai sengketa merek, sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Pasal 84 UU Merek.

B. Upaya Penyelesaian Sengketa Merek Melalui Pengadilan