Sejarah Budaya Batak ELABOBRASI DAN INTERPRETASI TEMA

Ada tiga kategori dari metafora Intangible Metaphor metafora yang tidak diraba yang termasuk dalam kategori ini misalnya suatu konsep, sebuah ide, kondisi manusia atau kualitas-kualitas khusus individual, naturalistis, komunitas, tradisi dan budaya Tangible Metaphors metafora yang dapat diraba Dapat dirasakan dari suatu karakter visual atau material Combined Metaphors penggabungan antara keduanya Dimana secara konsep dan visual saling mengisi sebagai unsur-unsur awal dan visualisasi sebagai pernyataan untuk mendapatkan kebaikan kualitas dan dasar. Menurut Charles Jenks, dalam ”The Language of Post Modern Architecture” Metafora sebagai kode yang ditangkap pada suatu saat oleh pengamat dari suatu obyek dengan mengandalkan obyek lain dan bagaimana melihat suatu bangunan sebagai suatu yang lain karena adanya kemiripan. Menurut Geoffrey Broadbent, 1995 dalam buku “Design in Architecture” Transforming : figure of speech in which a name of description term is transferred to some object different from. Dan juga menurutnya pada metafora pada arsitektur adalah merupakan salah satu metod kreatifitas yang ada dalam desain spektrum perancang.

b. Sejarah Budaya Batak

Kerajaan Batak didirikan oleh seorang Raja dalam negeri Toba sila-silahi silalahi lua’ Baligi Luat Balige, kampung Parsoluhan, suku Pohan. Raja yang bersangkutan adalah Raja Kesaktian yang bernama Alang Pardoksi Pardosi. Masa kejayaan kerajaan Batak dipimpin oleh raja yang bernama Sultan Maharaja Bongsu pada tahun 1054 Hijriyah berhasil memakmurkan negerinya dengan berbagai kebijakan politiknya. Universitas Sumatera Utara III.1.2 Interpretasi Tema Pengamatan mengenain pencerminan nilai budaya pada arsitektur , merupakan usaha untuk menelusuri kembali konsep maupun kaidah antara kedua hal tersebut dan hubungan yang terjadi antara keduanya, yang ada dan dikembangkan pada masa lalu, yang berguna bagi perumusan konsep dan pendekatan yang akan diterapkan pada perwujudannya saat sekarang adan akan datang melalui karya arsitektur. Dari pendekatan terhadap arsitektur metafora ini berdasarkan nilai-nilai budaya arsitektur tradisional . Maka untuk konsep yang di ambil dalam perancanangan ini yaitu mengenai wujud kebudayaan dalam hal tindakan yang berpola ,berupa aktivitas-aktivitas manusia berinteraksi ,bergaul,serta berhubungan satu sama lainnya atau social system. Dalam hal mempertahankan kebudayaan yang dipahami adalah tradisi yaitu kebiasaan yang masih hidup dalam masyarakat yang harus di ungkapkan dalam kreasi arsitektur.Dan juga bagaimana budaya dalam berinteraksi satu sama lainnya, budayaadat dal;am hal berpemerintahan , kemudian menghasilkan kegiatan-kegiatan dan juga ruang-ruang yang dibutuhkan. Terdapat pengamatan yang dilakukan dalam mendesain dengan menggunakan pendekatan Arsitektur metafora , yaitu melalui tahapan-tahapan sebagai berikut: 1. Memperhatikan faktor-faktor yang banyak mempengaruhi bentuk arsitektur ,yang terdiri dari tiga faktor : • Pengaruh keadaan fisik lingkungan. • Pengaruh peradapan. • Pengaruh latar belakang sejarah kebudayaan. Unit-unit sebagian besar berkonstruksi tiang dan balok yang di exposed dalam hal ini adari pipa-pipa baja, sangat khas arsitektur Nusantara. Unit-unit dalam terminal dihubungkan dengan selasar-selasar terbuka sangat khas tropical dengan taman di kiri- kanan, penumpang akan berangkat maupun tiba dapat merasakan langsung tidak saja sinar ,tetapi juga udara alamiah tidak seperti pada bandara Internasional umumnya yang serba artificial. Hal pembagi sebelum masuk unit-ruang tunggu juga terbuka tanpa dinding, berkolom-kolom dan balok dari baja silindris memberikan kesan seperti nalok kayu dolken batang kayu utuh berpenampang lingkaran.Unit ruang tunggu beraksitektur joglo , meskipun dalam dimensi lebih besardari joglo pada Universitas Sumatera Utara umumnya, tetapi bentuk maupun sistem konstruksinya tidak berbeda dengan soko guru dan usuk , dudur , takir , dan lain-lain elemen konstruksi Jawa. Stasiun TGV yang terletak di Lyon, Perancis, adalah salah satu contoh karya arsitektur yang menggunakan gaya bahasa metafora konkrit karena menggunakan kiasan obyek benda nyata tangible. Stasiun TGV ini dirancang oleh Santiago Calatrava, seorang arsitek kelahiran Spanyol. Melalui pendekatan tektonika struktur, Santiago Calatrava merancang Stasiun TGV dengan konsep metafora seekor burung. Bentuk Stasiun TGV ini didesain menyerupai seekor burung. Bagian depan bangunan ini runcing seperti bentuk paruh burung. Dan sisi-sisi bangunannya pun dirancang menyerupai bentuk sayap burung. gambar Stasiun TGV diunduh dari http:cnci.org.za Untuk metafora kombinasi, dapat kita lihat pada E.X Plaza Indonesia, karya Budiman Hendropurnomo DCM. Dalam buku “Indonesian Architecture Now”, Imelda Akmal menulis bahwa gubahan massa E.X yang terdiri atas lima buah kotak dengan posisi miring adalah hasil ekspresi dari gaya kinetik mobil-mobil yang sedang bergerak dengan kecepatan tinggi dan merespon gaya sentrifugal dari Bundaran Hotel Indonesia yang padat. Kolom- kolom penyangga diibaratkan dengan ban-ban mobil, sedangkan beberapa lapis dinding Gbr.III.1 Gambar Stasiun TGV Universitas Sumatera Utara melengkung sebagai kiasan garis-garis ban yang menggesek aspal. Dari konsep-konsep tersebut, gaya kinetik merupakan sebuah obyek yang abstrak intangible. Kita tidak dapat melihat gaya kinetik secara visual. Akan tetapi, ban-ban mobil merupakan obyek yang dapat kita lihat secara visual tangible. Perpaduan antara gaya kinetik obyek abstrak dan ban-ban mobil konkrit inilah yang menghasilkan metafora kombinasi. III.1.3 Kesimpulan Studi Banding Dari studi banding yang telah dibahas diatas, dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu : 1. Tema metafora dapat diaplikasikan ke dalam bangunan melalui penggunaan unsur- unsur bangunan. 2. Mengaplikasikan karya arsitektur bangunan dengan penyesuaian terhadap lingkungan sekitar dan pemamfaatan potensi bentuk tapak. 3. Mengadopsi suatu bentuk objek kedalam suatu bangunan, baik secara langsung maupun tidak. 4. Metafora mengidentifikasikan pola-pola yang mungkin terjadi dari hubungan- hubungan paralel dengan melihat keabstrakannya, berbeda dengan analogi yang melihat secara literal Gbr.III.2 E.X Plaza Indonesia Universitas Sumatera Utara

BAB IV ANALISA PERANCANGAN