Analisis Literasi Media Pegawai Perpustakaan Proklamator Bung Hatta Bukittinggi

(1)

ANALISIS LITERASI MEDIA PEGAWAI PERPUSTAKAAN

PROKLAMATOR BUNG HATTA BUKITTINGGI

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu persyaratan menyelesaikan studi untuk Memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) dalam Bidang Studi

Ilmu Perpustakaan

Oleh:

SHINTA TRI SEPTIANI

120723042

ILMU PERPUSTAKAAN

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

ASBTRAK

Shinta Tri Septiani. 2014. “Analisis Literasi Media Pegawai Perpustakaan Proklamator Bung Hatta Bukittinggi”. Skripsi. Program Studi Ilmu Perpustakaan, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat literasi media pegawai Perpustakaan Proklamator Bung Hatta.

Populasi dalam penelitian ini adalah pegawai di Perpustakaan Proklamator Bung Hatta yang berjumlah 13 orang. Penentuan sampel dengan menggunakan teknik total sampling diketahui sampel sebanyak 13 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan studi kepustakaan.

Hasil penelitian menunjukkan hal-hal sebagai berikut. Pertama, dari keterampilan (skill) yang dimiliki oleh pegawai perpustakaan, hampir setengah pegawai mempunyai kemampuan yang masih kurang bagus dalam menganalisis, merangkum, menentukan keakuratan informasi dan mengabstrak dimana secara keseluruhan dapat dipersentasikan menjadi 47,4%. Sementara pada umumnya kemampuan pegawai dalam mendayagunakan, menilai, mengevaluasi dan memahami informasi sudah bagus, dimana secara keseluruhan dapat dipersentasikan menjadi 76,9%. Kedua, media yang disediakan oleh perpustakaan sebagian besar (66,6%) telah tersedia sesuai dengan perkembangan media saat ini (media cetak, elektronik dan online), namun yang disayangkan hampir setengah (46,1%) pegawai frekuensi penggunaannya masih jarang dikarenakan pemahaman terhadap penggunaan media khususnya media elektronik yang masih sering meminta bantuan orang lain. Sementara itu, program pendidikan yang diberikan perpustakaan untuk menunjang pengetahuan pegawai dalam menggunakan media tidak ada.


(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Analisis Literasi Media Pegawai Perpustakaan Proklamator Bung Hatta Bukittinggi”.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mengalami kesulitan-kesulitan, antara lain kurangnya pengetahuan penulis dalam penelitian ilmiah dan kurangnya buku-buku atau bahan pustaka tentang penelitian ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan dalam mencapai kesempurnaan, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Dari hati yang tulus penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua tercinta Ayahanda dan Ibunda Teristimewa Drs. Yunardi dan Asnayetti, S.Pd yang telah mencurahkan kasih sayangnya untuk mendukung, membesarkan, mendidik, dan memenuhi kebutuhan penulis sejak kecil sampai penulis mengikuti perkuliahan, berkat doa dan pengorbanan kedua orangtualah ananda dapat menyelesaikan skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Perpustakaan dan Informasi

2. Ibu Dr. Irawaty A. Kahar, M.Pd, selaku Ketua Program Studi Ilmu Perpustakaan dan Informasi.

3. Ibu Himma Dewiyana, S.T, M.Hum selaku sekretaris Program Studi Ilmu Perpustakaan dan Informasi Fakultas Ilmu Budaya USU.

4. Ibu Laila Hadri Nasution, S.Sos, M.P selaku pembimbing I, yang telah banyak memberikan bantuan, bimbingan dan arahan serta waktu dalam penulisan skripsi ini.

5. Bapak Ishak, SS, M.Hum selaku pembimbing II, yang telah membimbing dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(4)

6. Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu Perpustakaan dan Informasi yang telah memberikan ilmu dan bimbingan yang bermanfaat bagi penulis.

7. Seluruh pegawai Perpustakaan Proklamator Bung Hatta yang telah memberikan bimbingan yang bermanfaat bagi penulis.

8. Semua teman-teman seperjuangan Ilmu Perpustakaan ekstensi angkatan 2012 yang telah memberikan bantuan, semangat dan dorongan serta motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga Allah SWT membalas semua bantuan, pengorbanan dan amal baik mereka semua, serta menjadi pahala yang besar di sisi Allah SWT. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, penulis berharap semoga karya ini bermanfaat bagi diri penulis dan orang yang membacanya, serta mohon kritikan dan saran-saran yang membangun demi terjaminnya kualitas skripsi ini. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membutuhkan dan dapat memperluas pemikiran serta wawasan dimasa yang akan datang.

Medan, 11 September 2014 Penulis

Shinta Tri Septiani NIM. 120723042


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR... vii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

1.5 Ruang Lingkup Penelitian... 4

BAB II KAJIAN TEORITIS 1.1 Pengertian Literasi ... 5

1.2 Prinsip Pendidikan Literasi ... 6

1.3 Tingkatan Literasi ... 7

1.4 Media ... 8

2.4.1 Jenis-jenis Media ... 9

2.4.2 Peran Media Massa... 9

2.4.3 Prinsip Tentang Kebebasan Memperoleh Informasi ... 11

1.5 Dampak-dampak Terhadap Media ... 12

2.5.1 Dampak Positif Media ... 12

2.5.2 Dampak Negatif Media ... 14

2.5.2 Dampak Media terhadap Perpustakaan... 17

1.6 Literasi Media ... 17

2.6.1 Perkembangan Literasi Media ... 19

2.6.2 Elemen Literasi Media ... 20

2.6.3 Prinsip Literasi Media ... 23

2.6.4 Kemampuan Literasi Media ... 25

2.6.5 Model Literasi Media ... 28

1.7 Literasi Media di Masyarakat ... 29

1.8 Kompetensi Literasi di Era Digital ... 31

1.9 Kriteria Penilaian Tingkat Literasi Media ... 33

2.9.1 Individual Competencies(Kompetensi Individual)... 35

2.9.2 Environmental Factor(Faktor Lingkungan)... 36

1.10 Evaluasi Tingkat Kompetensi ... 39

BAB III METODE PENELITIAN 1.1 Lokasi Penelitian ... 42

1.2 Populasi ... 42

1.3 Sampel ... 42

1.4 Jenis dan Sumber Data ... 43


(6)

1.6 Instrumen Penelitian ... 43

1.7 Kisi-kisi Kuesioner ... 43

1.8 Analisis Data ... 44

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Pendidikan Responden ... 45

4.2 Keterampilan (Skill) ... 45

4.3 Dimensi Lingkungan ... 52

4.4 Rangkuman Hasil Penelitian ... 58

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 1.1 Kesimpulan ... 59

1.2 Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 61


(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kompetensi Individu dan Sosial ... 36

Tabel 2.2 Tingkat Kompetensi ... 40

Tabel 3.1 Kisi-kisi Kuesioner ... 44

Tabel 4.1 Kecakapan Bermedia ... 45

Tabel 4.2 Kemampuan Menganalisis Informasi ... 46

Tabel 4.3 Mendayagunakan Informasi pada Media... 46

Tabel 4.4 Kemampuan Merangkum Data di Media... 47

Tabel 4.5 Keakuratan Informasi ... 48

Tabel 4.6 Kemampuan Menilai Inforamsi ... 48

Tabel 4.7 Pemahaman Terhadap Informasi di Media ... 49

Tabel 4.8 Kemampuan Menganalisis Pesan Media ... 50

Tabel 4.9 Kemampuan Mengevaluasi Pesan Media ... 50

Tabel 4.10 Kemampuan Abtracting ... 51

Tabel 4.11 Media di Perpustakaan ... 52

Tabel 4.12 Jenis Media ... 53

Tabel 4.13 Frekuensi Penggunaan Media ... 53

Tabel 4.14 Pemahaman Penggunaan ... 54

Tabel 4.15 Kemampuan Mengoperasikan Media ... 55

Tabel 4.16 Program Pendidikan Media ... 55


(8)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Model Literasi Media ... 28 Gambar 2.2 Literasi Media di Masyarakat ... 30 Gambar 2.3 Struktur dari Kriteria Penilaian Literasi Media ... 34


(9)

ASBTRAK

Shinta Tri Septiani. 2014. “Analisis Literasi Media Pegawai Perpustakaan Proklamator Bung Hatta Bukittinggi”. Skripsi. Program Studi Ilmu Perpustakaan, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat literasi media pegawai Perpustakaan Proklamator Bung Hatta.

Populasi dalam penelitian ini adalah pegawai di Perpustakaan Proklamator Bung Hatta yang berjumlah 13 orang. Penentuan sampel dengan menggunakan teknik total sampling diketahui sampel sebanyak 13 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan studi kepustakaan.

Hasil penelitian menunjukkan hal-hal sebagai berikut. Pertama, dari keterampilan (skill) yang dimiliki oleh pegawai perpustakaan, hampir setengah pegawai mempunyai kemampuan yang masih kurang bagus dalam menganalisis, merangkum, menentukan keakuratan informasi dan mengabstrak dimana secara keseluruhan dapat dipersentasikan menjadi 47,4%. Sementara pada umumnya kemampuan pegawai dalam mendayagunakan, menilai, mengevaluasi dan memahami informasi sudah bagus, dimana secara keseluruhan dapat dipersentasikan menjadi 76,9%. Kedua, media yang disediakan oleh perpustakaan sebagian besar (66,6%) telah tersedia sesuai dengan perkembangan media saat ini (media cetak, elektronik dan online), namun yang disayangkan hampir setengah (46,1%) pegawai frekuensi penggunaannya masih jarang dikarenakan pemahaman terhadap penggunaan media khususnya media elektronik yang masih sering meminta bantuan orang lain. Sementara itu, program pendidikan yang diberikan perpustakaan untuk menunjang pengetahuan pegawai dalam menggunakan media tidak ada.


(10)

1.2 Perumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah diuraikan, rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana kemampuan literasi media pegawai Perpustakaan Proklamator Bung Hatta?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat literasi media pegawai Perpustakaan Proklamator Bung Hatta.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi beberapa pihak. 1. Bagi Perpustakaan Proklamator Bung Hatta sebagai bahan masukan

meningkatkan literasi media sehingga menjadi literet media.

2. Bagi peneliti sendiri sebagai bahan kajian akademik dalam bidang literasi media

3. Bagi peneliti selanjutnya sebagai referensi untuk penelitian yang berkaitan dengan topik yang sama.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah literasi media pegawai Perpustakaan Proklamator Bung Hatta yang mencakup keterampilan (skill) dan dimensi lingkungan (perpustakaan).


(11)

BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Pengertian Literasi

Literasi yang dalam bahasa Inggrisnya literacy berasal dari bahasa Latin littera (huruf) yang pengertiannya melibatkan penguasaan sistem-sistem tulisan dan konvensi-konvensi yang menyertainya. Namun demikian, literasi utamanya berhubungan dengan bahasa dan bagaimana bahasa itu digunakan. Adapun sistem bahasa tulis itu sifatnya sekunder. Manakala berbicara mengenai bahasa, tentunya tidak lepas dari pembicaraan mengenai budaya karena bahasa itu sendiri merupakan bagian dari budaya. Sehingga, pendefinisian istilah literasi tentunya harus mencakup unsur yang melingkupi bahasa itu sendiri, yakni situasi sosial budayanya. Berkenaan dengan ini Kern (2000) mendefinisikan istilah literasi secara komprehensif sebagai berikut:

Literacy is the use of socially-, and historically-, and culturally-situated practices of creating and interpreting meaning through texts. It entails at least a tacit awareness of the relationships between textual conventions and their context of use and, ideally, the ability to reflect critically on those relationships. Because it is purpose-sensitive, literacy is dynamic – not static – and variable across and within discourse communities and cultures. It draws on a wide range of cognitive abilities, on knowledge of written and spoken language, on knowledge of genres, and on cultural knowledge. (Literasi adalah penggunaan praktik-praktik situasi sosial, dan historis, serta kultural dalam menciptakan dan menginterpretasikan makna melalui teks. Literasi memerlukan setidaknya sebuah kepekaan yang tak terucap tentang hubungan-hubungan antara konvensi-konvensi tekstual dan konteks penggunaanya serta idealnya kemampuan untuk berefleksi secara kritis tentang hubungan-hubungan itu. Karena peka dengan maksud/ tujuan, literasi itu bersifat dinamis – tidak statis – dan dapat bervariasi di antara dan di dalam komunitas dan kultur diskursus/ wacana. Literasi memerlukan serangkaian kemampuan kognitif, pengetahuan bahasa tulis dan lisan, pengetahuan tentang genre, dan pengetahuan kultural).

Dari pernyataan di atas dapat diketahui bahwa literasi memerlukan kemampuan yang kompleks. Adapun pengetahuan tentang genre adalah pengetahuan tentang jenis-jenis teks yang berlaku/ digunakan dalam komunitas wacana misalnya, teks naratif, eksposisi, deskripsi dan lain-lain. Terdapat tujuh


(12)

unsur yang membentuk definisi tersebut, yaitu berkenaan dengan interpretasi, kolaborasi, konvensi, pengetahuan kultural, pemecahan masalah, refleksi, dan penggunaan bahasa. Ketujuh hal tersebut merupakan prinsip-prinsip dari literasi. 2.2 Prinsip Pendidikan Literasi

Menurut Kern (2000) terdapat tujuh prinsip pendidikan literasi, yaitu: 1. Literasi melibatkan interpretasi

Penulis/ pembicara dan pembaca/ pendengar berpartisipasi dalam tindak interpretasi, yakni: penulis/ pembicara menginterpretasikan dunia (peristiwa, pengalaman, gagasan, perasaan, dan lain-lain), dan pembaca/ pendengar kemudian mengiterpretasikan interpretasi penulis/ pembicara dalam bentuk konsepsinya sendiri tentang dunia.

2. Literasi melibatkan kolaborasi

Terdapat kerjasama antara dua pihak yakni penulis/ pembicara dan membaca/ pendengar. Kerjasama yang dimaksud itu dalam upaya mencapai suatu pemahaman bersama. Penulis/ pembicara memutuskan apa yang harus ditulis/ dikatakan atau yang tidak perlu ditulis/ dikatakan berdasarkan pemahaman mereka terhadap pembaca/ pendengarnya. Sementara pembaca/ pendengar mencurahkan motivasi, pengetahuan, dan pengalaman mereka agar dapat membuat teks penulis bermakna.

3. Literasi melibatkan konvensi

Orang-orang membaca dan menulis atau menyimak dan berbicara itu ditentukan oleh konvensi/ kesepakatan kultural (tidak universal) yang berkembang melalui penggunaan dan dimodifikasi untuk tujuan-tujuan individual. Konvensi disini mencakup aturan-aturan bahasa baik lisan maupun tertulis.

4. Literasi melibatkan pengetahuan kultural.

Membaca dan menulis atau menyimak dan berbicara berfungsi dalam sistem-sistem sikap, keyakinan, kebiasaan, cita-cita, dan nilai tertentu. Sehingga orang-orang yang berada di luar suatu sistem budaya itu rentan/


(13)

beresiko salah dipahami oleh orang-orang yang berada dalam sistem budaya tersebut.

5. Literasi melibatkan pemecahan masalah.

Karena kata-kata selalu melekat pada konteks linguistik dan situasi yang melingkupinya, maka tindak menyimak, berbicara, membaca, dan menulis itu melibatkan upaya membayangkan hubungan-hubungan di antara kata-kata, frase-frase, kalimat-kalimat, unit-unit makna, teks-teks, dan dunia-dunia. Upaya membayangkan/ memikirkan/ mempertimbangkan ini merupakan suatu bentuk pemecahan masalah.

6. Literasi melibatkan refleksi dan refleksi diri.

Pembaca/ pendengar dan penulis/ pembicara memikirkan bahasa dan hubungan-hubungannya dengan dunia dan diri mereka sendiri. Setelah mereka berada dalam situasi komunikasi mereka memikirkan apa yang telah mereka katakan, bagaimana mengatakannya, dan mengapa mengatakan hal tersebut.

7. Literasi melibatkan penggunaan bahasa.

Literasi tidaklah sebatas pada sistem-sistem bahasa (lisan/ tertulis) melainkan mensyaratkan pengetahuan tentang bagaimana bahasa itu digunakan baik dalam konteks lisan maupun tertulis untuk menciptakan sebuah wacana/ diskursus.

Dari poin diatas maka prinsip pendidikan literasi adalah literasi melibatkan interpretasi, kolaborasi, konversi, pengetahuan kultural, pemecahan masalah, refleksi diri, dan melibatkan penggunaan bahasa.

2.3 Tingkatan Literasi

Literasi tidaklah seragam karena literasi memiliki tingkatan-tingkatan yang menanjak. Jika seseorang sudah menguasai satu tahapan literasi maka ia memiliki pijakan untuk naik ke tingkatan literasi berikutnya. Wells (1987, 111) menyebutkan bahwa terdapat empat tingkatan literasi, yaitu: performative, functional, informational, dan epistemic. Orang yang tingkat literasinya berada pada tingkat performatif, ia mampu membaca dan menulis, serta berbicara dengan


(14)

simbol-simbol yang digunakan (bahasa). Pada tingkat functional orang diharapkan dapat menggunakan bahasa untuk memenuhi kehidupan sehari-hari seperti membaca buku manual. Pada tingkat informational orang diharapkan dapat mengakses pengetahuan dengan bahasa. Sementara pada tingkat epistemic orang dapat mentransformasikan pengetahuan dalam bahasa.

Dengan demikian tingkatan literasi dimulai dari tingkatan paling bawah yaitu performative, functional, informational, dan epistemic.

2.4 Model Literasi Informasi

Menurut UNESCO yang dikutip oleh Nasution (2013: 12-13), memasukkan enam kategori kelangsungan hidup kemampuan literasi abad 21 yang terdiri dari:

1. Basic Literacy, kadang-kadang disebut Literasi Fungsional (Functional Literacy), merupakan kemampuan dasar literasi atau sistem belajar konvensional seperti bagaimana membaca, menulis, dan melakukan perhitungan numerik dan mengoperasikan sehingga setiap individu dapat berfungsi dan memperoleh kesempatan untuk berpartisipasi di masyarakat, di rumah, di kantor maupun sekolah.

2. Computer literacy, merupakan seperangkat keterampilan, sikap dan pengetahuan yang diperlukan untuk memahami dan mengoperasikan fungsi dasar teknologi informasi dan komunikasi, termasuk perangkat dan alat-alat seperti komputer pribadi (PC), laptop, ponsel, iPod, BlackBerry, dan sebagainya, literasi komputer biasanya dibagi menjadi hardware dan software literasi.

3. Media Literacy, merupakan seperangkat keterampilan, sikap dan pengetahuan yang diperlukan untuk memahami dan memanfaatkan berbagai jenis media dan format di mana informasi di komunikasikan dari pengirim ke penerima, seperti gambar, suara, dan video, dan apakah sebagai transaksi antara individu, atau sebagai transaksi massal antara pengirim tunggal dan banyak penerima, atau, sebaliknya.

4. Distance Learning dan E-Learning adalah istilah yang merujuk pada modalitas pendidikan dan pelatihan yang menggunakan jaringan


(15)

telekomunikasi, khususnya world wide webdan internet, sebagai ruang kelas virtual bukan ruang kelas fisik. Dalam distance learning dan e-learning, baik guru dan siswa berinteraksi secara online, sehingga siswa dapat menyelesaikan penelitian dan tugas dari rumah, atau di mana saja di mana mereka dapat memperoleh akses ke komputer dan saluran telepon.

5. Cultural Literacy. Merupakan literasi budaya yang berarti pengetahuan, dan pemahaman, tentang bagaimana suatu negara, agama, sebuah kelompok etnis atau suatu suku, keyakinan, simbol, perayaan, dan cara komunikasi tradisional, penciptaan, penyimpanan, penanganan, komunikasi, pelestarian dan pengarsipan data, informasi dan pengetahuan, menggunakan teknologi. Sebuah elemen penting dari pemahaman literasi informasi adalah kesadaran tentang bagaimana faktor budaya berdampak secara positif maupun negatif dalam hal penggunaan informasi modern dan teknologi komunikasi

6. Information literacy, erat kaitannya dengan pembelajaran untuk belajar, dan berpikir kritis, yang menjadi tujuan pendidikan formal, tapi sering tidak terintegrasi ke dalam kurikulum, silabus dan rencana pelajaran, kadang-kadang dibeberapa negara lebih sering menggunkan istilah information competencies atau information fluency atau bahkan istilah lain.

Literasi media merupakan bagian dari literasi informasi yang seiring dengan perkembangan zaman sehingga media juga ikut berkembang. Untuk itu dibutuhkan literasi media agar mampu mempunyai kemampuan dan sikap terhadap penggunaan media.

2.5 Media

Perkembangan media tidak terlepas dari ilmu komunikasi yang pada intinya bertujuan untuk menyampaikan pesan karena pada dasarnya media berfungsi menyampaikan pesan kepada masyarakat luas. Sejarah perjalanan media massa di Indonesia memperlihatkan adanya pasang surut peran media massa. Hal ini terjadi karena media massa sebagai bagian dari subsistem komunikasi Indonesia dalam


(16)

sistem sosial Indonesia, akan dipengaruhi oleh subsistem sosial lainnya, termasuk ideologi, politik dan pemerintahan negara dimana media massa itu berada.

Secara umum, media massa diartikan sebagai alat-alat komunikasi yang bisa menyebarkan pesan secara serempak dan cepat kepada audiens dalam jumlah yang luas dan heterogen (Nurudin 2004, 3). Media massa merupakan media informasi yang terkait dengan masyarakat, digunakan untuk berhubungan dengan khalayak (masyarakat) secara umum, dikelola secara profesional dan bertujuan mencari keuntungan (Mondry 2008, 12). Menurut Bungin (2008, 85), media massa merupakan institusi yang berperan sebagai agent of change, yaitu sebagai institusi pelopor perubahan. Jadi, media massa merupakan alat komunikasi atau penyampaian pesan kepada masyarakat dengan tujuan mencari profit.

Media adalah perpanjangan tangan manusia (the extendion of man). Maksudnya apa yang menjadi keinginan, cita-cita dan tujuan seorang manusia bisa diperluas oleh media. Media dengan jangkauan yang dimilikinya bisa menembus ruang dan waktu dan menyebarkan banyak hal. Ini artinya, jika ingin menjadi seorang penjahat terkenal maka hubungilah media. Lakukan kejahatan-kejahatan yang luar biasa kemudian beritahukan wartawan. Beberapa saat kemudian pastilah akan menjadi penjahat terkenal. Sebaliknya, jika ingin menjadi seorang artis terkenal, berhubunganlah dengan media, berbaik-baiklah dengan wartawan dan beri informasi yang dibutuhkan. Profil anda akan tersebar luas ke seluruh lapisan masyarakat dan menjadi terkenal (Nurudin 2008, 51).

Begitulah kuatnya media mempengaruhi benak dan persepsi khalayaknya. Saat ini, nyaris pembicaraan masyarakat tidak lepas dari media massa. Jika saat ini perbincangan hangat tentang penculikan bayi, kekerasan terhadap anak dan Pemilu, maka agenda pembicaraan masyarakat pun tidak jauh berbeda. Inilah sebabnya mengapa media dikatan sangat kuat, baik menyangkut perluasan penyebaran beritanya maupun memengaruhi persepsi, sikap dan perilaku masyarakat.


(17)

2.4.1 Jenis-jenis Media

Adapun bentuk media antara lain media elektronik (radio, televisi), media cetak (surat kabar, majalah, tabloid), buku, film dan internet (Bungin 2008, 85). Media massa dalam konteks jurnalistik pada dasarnya terbatas pada tiga jenis media yaitu:

1. Media cetak, yang terdiri dari surat kabar, tabloid, majalah, buletin/ jurnal dan sebagainya.

2. Media elektronik, yang terdiri dari radio dan televisi.

3. Media online, yaitu media internet seperti website, blog dan lain sebagainya.

Jadi secara umum, media terdiri atas media cetak, elektronik dan media online.

2.4.2 Peran Media Massa

Dalam menjalankan paradigmanya sebagai institusi pelopor perubahan, media massa memiliki peran (Bungin 2008, 85):

1. Sebagai institusi pencerahan masyarakat, 2. Menjadi media informasi,

3. Sebagai media hiburan.

Menurut McQuail (1987, 1) media massa memiliki fungsi penting, antara lain:

1. Media merupakan industri yang berubah dan berkembang yang menciptakan lapangan kerja, barang dan jasa, serta menghidupkan industri lain yang terkait.

2. Media massa merupakan sumber kekuatan, alat kontrol, manajemen dan inovasi dalam masyarakat yang dapat digunakan sebagai pengganti kekuatan atau sumber daya lainnya.

3. Media merupakan lokasi (forum) yang semakin berperan untuk menampilkan peristiwa-peristiwa kehidupan masyarakat, baik yang bertaraf nasional maupun internasional.

4. Media berperan sebagai wahana pengembangan kebudayaan, bukan saja dalam pengertian pengembangan bentuk seni dan simbol, tetapi juga dalam pengertian pengembangan tata cara, mode , gaya dan norma-norma.


(18)

5. Media telah menjadi sumber dominan bukan saja bagi individu untuk memperoleh gambaran dan citra realitas sosial, tetapi juga bagi masyarakat dan kelompok secara kolektif.

Perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/ atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka. Perpustakaan hakikatnya fasilitas publik. Sebagai fasilitas publik tentu saja harus selalu disosialisasikan. Sosialisasi tersebut meliputi sosialisasi keberadaan, jam layanan, jumlah kunjungan, koleksi, fasilitas, dan sebagainya. Di antara media yang efektif dalam menyosialisasikan sesuatu, tak terkecuali dengan perpustakaan adalah media massa, baik media massa internal (media yang diterbitkan sendiri) maupun media massa eksternal (media milik institusi lain di luar institusi perpustakaan) (Mediatama 2010).

Dengan demikian media massa berperan sebagai sarana informasi, pendidikan, hiburan dan sarana sosialisasi dengan kata lain sebagai sarana untuk penyebaran ide, kebijakan dan aturan-aturan baru yang mengkonsumsi masyarakat.

2.4.3 Prinsip Tentang Kebebasan Memperoleh Informasi

Lembaga dunia seperti PBB telah mengakui bahwa prinsip kebebasan memperoleh informasi telah dianggap strategis untuk bisa didapat oleh masyarakat luas, dan untuk itu pers menjadi menjadi salah satu sarana penting untuk memastikan masyarakat bisa mendapatkan informasi yang dibutuhkannya.

Oleh karena itu tak berlebihan jika tiga konsep ini saling berkaitan satu sama lain; kebebasan memperoleh informasi (public access to information), sistem negara yang demokratis (democratic state), pemerintah yang baik (good governance), serta pemerintahan yang terbuka (open goverment). Konsep pemerintahan yang baik. Konsep pemerintahan yang baik (good governance) mensyaratkan adanya pemerintahan yang terbuka (open government) sebagai salah satu fondasinya, dan juga adanya jaminan terhadap kebebasan memperoleh


(19)

informasi (freedom of information). Pemerintahan yang terbuka di sini juga didefinisikan sebagai pemerintahan yang transparan, terbuka dan partisipatoris. (Tim Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) 2005)

Menurut Achmad Santosa yang dikutip oleh Suranto (2005, 18) manyatakan bahwa pemerintahan yang terbuka mensyaratkan adanya jaminan atas lima hal, yaitu:

1. Hak untuk memantau perilaku pejabat publik dalam menjalankan peran publiknya (right to observe).

2. Hak untuk memperoleh informasi (right to information).

3. Hak untuk terlibat dan berpartisipasi dalam proses pembentukan kebijakan publik (right to participate).

4. Kebebasan berekspresi, yang salah satunya diwujudkan dalam kebebasan pers.

5. Hak untuk mengajukan keberatan terhadap penolakan dari pelaksanaan hak-hak tersebut.

Besarnya kasus-kasus korupsi dan pelanggaran Hak Asasi Manusia menjadi alasan utama mengapa saat ini dibutuhkan adanya UU kebebasan memperoleh informasi. Disini media bisa mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan informasi yang dianggap sesitif dan juga sekaligus membongkar kultur birokrasi yang selama ini dianggap sangat tertutup.

Inilah arti penting media, terutama media lokal untuk ikut berpartisipasi menghasilkan pemerintahan yang lebih terbuka, lebih bertanggungjawab dan membuka partisipasi pembuatan kebijakan kepada masyarakat.

2.4 Dampak- dampak Terhadap Media

Media sama seperti industri lainya yang mengalami perubahan akibat perkembangan demokrasi, revolusi industri dan teknologi, serta kemunculan kota-kota. Arus imigran dan berkembangnya pendidikan turut memperbesar khalayak media. Revolusi teknologi mengubah pers dari kegiatan sambilan menjadi industri besar. Aneka instrumen baru, seperti clattering linotypes dan photoengraving digunakan untuk menopang laju perkembangan media cetak dalam melayani pasar massal (Rivers, Jensen dan Theodore 2008, 51-52).

Rivers, dkk juga menjelaskan tentang demokratisasi isi sebagai salah satu dampak dari media. Koran, majalah dan buku semula hanya ditujukan ke


(20)

kalangan tertentu (mapan, berpendidikan). Namun, setelah pendidikan dan kemakmuran menyebar dari elite ke kalangan kebanyakan, maka sasaran media pun meluas. Ini membuat media pun menyesuaikan isinya, yakni yang sekiranya bisa diterima oleh berbagai pihak. Film, radio dan televisi juga melakukan hal yang serupa. Selera dan kepentingan mayoritas menentukan isi dan cara penyampaian media.

Untuk lebih jelasnya, selengkapnya akan dijelaskan dampak positif dan negatif dari media.

2.5.1 Dampak Positif Media

Media cetak memiliki pengaruh yang besar dalam masyarakat. Mayoritas orang-orang membaca surat kabar setiap paginya. Media elektronik dalam segala bentuk adalah sebuah sumber yang besar dari komunikasi massa. Ini menghasilkan efek langsung terhadap cara berpikir manusia dan ini adalah sumber yang besar untuk menyajikan sebaik-baiknya hiburan. Dampak dan pengaruh dari elektronik, satelit dan cable transmission sangatlah besar. Media elektronik dalam bentuk transmisi satelit, internet, jaringan kabel mempunyai banyak manfaat. Ini bisa membantu memberikan informasi mengenai budaya-budaya yang berbeda, sistem politik dan sosial dari seluruh bagian di dunia. Ini memberikan berita terkini dan informasi tentang apa yang sedang terjadi di dunia. Media elektronik adalah sumber terbesar dari pengetahuan tentang fakta-fakta geografi dunia. Ini juga menyediakan informasi tentang penemuan terbaru. Media adalah sumber yang luar biasa untuk mendapatkan ilmu tentang sains, semesta, samudra, sosiologi dan politik (Irfanz 2012).

Media telah menjabat sebagai anugerah bagi umat manusia . Hal ini telah memberikan kita eksposur ke dunia luar dan mengakibatkan pertukaran pandangan mengenai berbagai pengetahuan dari berbagai macam orang dari seluruh dunia, sehingga menyebabkan pertukaran informasi dan pengetahuan global. Media massa telah memberi kita masing-masing platform untuk menyuarakan pendapat pada segala macam isu-isu sosial dan politik dan berbagi informasi dengan satu sama lain. Berkat perkembangan teknologi, kita mampu


(21)

untuk mendapatkan sebuah platform yang memungkinkan untuk menampilkan diri ke seluruh dunia (Oak, 2011).

Media seperti telvisi, radio dan internet meningkatkan kesadaran keseluruhan massa. Mereka meningkatkan pengetahuan umum dengan menyediakan informasi dari seluruh dunia. Koran, selain memperbarui kita dengan berita terbaru dan informasi baru, juga berkontribusi terhadap peningkatan kosakata. Koran adalah pemula terbaik dalam mengembangkan kebiasaan membaca pada anak-anak. Media telah bertanggung jawab untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih kecil untuk hidup (Oak, 2011).

Media bertanggung jawab untuk mempengaruhi bagian utama dari kehidupan kita sehari-hari. Media berkontribusi terhadap transformasi dalam nilai-nilai budaya dan sosial dari massa. Media dapat membawa perubahan dalam sikap dan keyakinan dari orang-orang biasa. Sifat persuasif dari konten yang disajikan atas media mempengaruhi pikiran dan perilaku masyarakat umum. Media memiliki dampak langsung atas gaya hidup masyarakat.

2.5.2 Dampak negatif media

Dampak negatif dari media terhadap individu antara lain sebagai berikut (Oak 2012):

1. Imitasi Buta.

Maksudnya ketika ingin meniru gaya seorang artis glamor, apakah pernah terpikirkan untuk apa melakukannya. Dampak media begitu hebat, sampai terkadang hal kecil bisa menjadi besar dan dirasakan oleh penonton. Pada usia-usia tertentu penikmat media tertarik untuk apa pun yang mencolok dan apa pun yang bisa dijadikan berita.

2. Pesan yang salah

Berita negatif disorot untuk membangkitkan pikiran orang tentang yang diberitakan. Misalnya, efek negatif dari kecanduan digambarkan melalui iklan, tapi sayangnya terkadang pesan itu disalah artikan. Dalam hal ini peran orang tua dan guru sangat penting untuk memilih apa yang harus dilihat dan tidak.


(22)

3. Kenegatifan

Untuk beberapa hal media bertanggung jawab dalam menimbulkan perasaan negatif bagi mereka pengkonsumsi media. Sebuah paparan awal film atau kekerasan, buku penerbitan konten dewasa dan berita yang menggambarkan praktek-praktek jelek memiliki dampak yang mendalam pada pikiran muda dan meninggalkan bekas pada pikiran yang dipengaruhi. Bukan hanya anak-anak yang akan berdampak, bahkan pikiran orang dewasa pun juga akan terpengaruh. Dampaknya bisa saja menyerang alam bawah sadarnya seperti mimpi buruk setelah menonton film horor atau kekerasan.

4. Gaya hidup yang tidak sehat

Media bertanggung jawab atas perubahan dalam kebiasaan makan remaja dan gaya hidup yang tidak sehat yang mereka adopsi. Hal ini karena ada iklan junk food dimana-mana. Media mengekspos massa untuk produk makanan cepat saji, makanan kaleng, diet, dan minuman energi. Hal ini menyebabkan remaja untuk mengadopsi kebiasaan makan yang tidak sehat. Tidak ada yang menyebarkan pentingnya berolahraga untuk tetap fit. Tapi ada iklan peralatan olahraga yang mahal, dan program berat badan dan kehilangan lemak. Menonton TV atau browsing web hingga larut malam dapat merusak kebiasaan tidur.

5. Ledakan informasi

Media sendiri sangat adiktif. Misalnya, bila tidak menonton TV kita berselancar di internet, ketika tidak di web, kita membaca surat kabar, ketika tidak membaca apa-apa, kita sedang mendengarkan sesuatu. Dengan demikian, sepanjang waktu, kita terpaku pada beberapa bentuk media. Hal ini membombardir kita dengan konten, berita, informasi, gosip. Beberapa hal yang diperlukan, beberapa tidak; beberapa hal penting, beberapa tidak. Media di mana-mana, yang mempengaruhi setiap aspek kehidupan.


(23)

Anak-anak harus berinvestasi lebih banyak waktu membaca buku yang baik, belajar, bermain di luar dan berolahraga. Karena media begitu memikat, sebagian besar waktu mereka dihabiskan terpaku pada televisi, membaca gosip selebriti, mendengarkan sesuatu yang sensasional atau berkeliaran tanpa tujuan di Internet. Ini paling mempengaruhi anak-anak dan remaja, karena mereka terkena hal-hal yang mungkin menafsirkan salah atau bahkan mungkin tidak mengerti pada usia itu.

7. Benci diri sendiri

Wanita dengan tubuh mungil dan perempuan dengan sosok barbie selalu terbukti lebih populer atau menarik sementara kelebihan berat badan yang digambarkan sebagai kurang populer,tidak punya teman dan ditindas. Ketika pikiran ini mengatasi pikiran anak-anak dan remaja, mereka lebih memilih jalan operasi atau diet ketat untuk mendapatkan tubuh yang sempurna.

8. Masalah kesehatan

Media memiliki efek negatif pada kesejahteraan fisik dan psikologis masyarakat. Orang-orang menghabiskan berjam-jam di depan televisi atau browsing. Kurangnya aktivitas fisik menyebabkan masalah obesitas. Mereka siap untuk diet untuk menurunkan berat badan. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan kasus anoreksia

9. Mengubah tampilan

Media dengan caranya sendiri, mengubah pandangan masyarakat terhadap kehidupan. Media adalah antarmuka di mana jutaan melihat dunia luar, tapi tidak semua jenis media hanya menampilkan kebenaran. Dengan maksud menekankan poin mereka atau untuk meraih perhatian yang lebih besar dari massa, media hypesatau melebih-lebihkan hal-hal untuk tingkat tertentu. Tidak semua orang mampu menyaring elemen tersebut. Sebagian percaya semua menjadi nyata, terutama anak-anak dan remaja.

10. Kebingungan Fakta-Fantasy

Vampir, manusia serigala, penyihir, hantu, peri, superhero, malaikat - di mana mereka datang? Ini bukan hanya media yang akan disalahkan,


(24)

karena karakter ini milik cerita rakyat. Namun media berperan dalam menyebarkan karakter ini dan membuat mereka tampak nyata. Karakter ini memasuki dunia kita melalui buku-buku dan film. Fiksi lucu hanya sampai perbedaan jelas antara fakta dan fiksi.

11. Dilema benar atau salah

Media begitu kuat sehingga massa akhirnya percaya segala sesuatu yang dikatakan. Sumber-sumber media begitu banyak jumlahnya dan mereka semua begitu meyakinkan, sehingga sulit untuk membedakan antara benar dan salah. Media terus membombardir kita dengan informasi. Seberapa jauh kita pergi untuk memeriksa keasliannya, bagaimana kritis kita menilai realitas reality show dan kebenaran di balik kisah nyata. Dan itulah bagaimana media berdampak terhadap kita.

Sejumlah paparan media memperkenalkan diri ke dunia luar, akses yang tidak terkontrol dan keyakinan tanpa berpikir tidak akan membawa kita kemana saja, hal itu hanya akan membawa pengaruh negatif.

2.5.3 Dampak Media Terhadap Perpustakaan

Dalam era globalisasi, pengaruh media cetak seperti buku keberadaannya di perpustakaan mempunyai peranan yang sangat besar, karena mampu bertahan lama di samping koleksinya dapat dibaca berulang-ulang. Selain itu perpustakaan sering juga dijadikan tempat bertanya dan kegiatan belajar dan digunakan semaksimal mungkin untuk mencari informasi baik sudah lama maupun yang masih baru (H.Wijoyo 2008).

Bertitik tolak dari pengaruh media cetak maka tidak terlepas dengan adanya koleksi yang dimiliki suatu perpustakaan. Hal ini biasa digambarkan pada perpustakaan nasional bahwa sekitar 600.000 butir meliputi buku, majalah, Koran harian, penerbitan PBB dan peta. Bila dirinci terdapat sekitar 165.000 judul monograf, 15.000 judul majalah, sekitar 20.000 lembar peta serta surat kabar sekitar 4.000 judul, koleksi-koleksi perpustakaan tersebut terutama lengkap dengan terbitan dari zaman Hindia Belanda di Indonesia hingga tahun 1942, ini dilaporkan Sulistyo – Basuki (1994) pada buku Priodisasi Perpustakaan Indonesia.


(25)

Namun di era globalisasi semakin bertambah jumlah koleksinya serta semakin dibutuhkan tenaga pustakawan yang professional. Bahwa sebuah perpustakaan, tidak hanya sekedar ruangan yang luas, terutama koleksi buku, serta ada yang menjaga perpustakaan. Tetapi perpustakaan itu selain dilengkapi hal tersebut di atas juga pengelolanya harus betul-betul professional atau tenaga pustakawan. Karena dalam mengelola perpustakaan, ada beberapa konsep dasar yang harus diketahui, dan kalau ini tidak ditangani oleh yang professional maka perpustakaan itu tidak bias berkembang sebagaimana yang diharapkan (H.Wijoyo 2008).

2.5 Literasi Media

Literasi media di Indonesia lebih dikenal dengan istilah melek media. Potter (2008) mengatakan bahwa literasi media adalah sebuah perspekif yang digunakan secara aktif ketika individu mengakses media dengan tujuan untuk memaknai pesan yang disampaikan oleh media. Selanjutnya, Jane Tallim menyatakan bahwa literasi media adalah kemampuan untuk menganalisis pesan media yang menerpanya, baik yang bersifat informatif maupun yang menghibur.

Rubin yang dikutip oleh Baran (2004, 51) menawarkan tiga definisi mengenai literasi media yang dikutip dari sumber-sumber yang berbeda, yaitu : 1. Defenisi pertama menyebutkan bahwa literasi media adalah kemampuan untuk

mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan mengkomunikasikan pesan. 2. Defenisi kedua bahwa literasi media adalah pengetahuan tentang bagaimana

fungsi media dalam masyarakat.

3. Defenisi ketiga dari peneliti komunikasi massa, Justin Lewis dan Shut Jally, menyebutkan bahwa literasi media adalah pemahaman akan batasan-batasan budaya, ekonomi, politik dan teknologi terhadap kreasi, produksi dan transmisi pesan.

Rubin kemudian menyatakan defenisi literasi media sebagai berikut. Media literacy, then, is about understanding the sources and technologies of communication, the codes that are used, the messages that are produced, and the selection, interpretation, and impact of those messages.


(26)

Literasi media adalah pemahaman terhadap sumber-sumber dan teknologi komunikasi, simbol-simbol yang digunakan, dan proses seleksi, interpretasi, dan dampak dari pesan-pesan tersebut.

Kemudian The National Communication Association dalam Potter (2010, 677), sebuah organisasi sarjana professional yang didirikan oleh sejumlah besar akademisi universitas menyatakan bahwa literasi media adalah

Being a critical and reflective consumer of communication requires an understanding of how words, images, graphics, and sounds work together in ways that are both subtle and profound. Mass media such as radio, television, and film and electronic media such as the telephone, the internet, and computer conferencing influence the ways meanings are created and shared in contemporary society. So great is this impact that in choosing how to send a message and evaluate its effect, communicators need to be aware of the the distinctive characteristic of each medium.

Organisasi profesional ini menjelaskan bahwa sebaiknya kritis dan reflektif dalam mengkonsumsi media komunikasi. Hal ini membutuhkan pemahaman tentang bagaimana kata-kata, gambar, grafik, dan suara “bekerjasama” dalam cara yang sukar diketahui dan sukar dicari, serta kewaspadaan tentang efek yang berbeda dari tiap media.

Literasi media adalah hasil dari proses dinamis antara dasar (ketersediaan dan konteks) dan puncak (kemampuan komunikatif). Rute dari dasar ke puncak adalah kompetensi media individu (media penggunaan dan pemahaman kritis) Celot (2010, 33).

Dari pengertian tersebut, literasi media dapat diterjemahkan sebagai kecakapan bermedia, yaitu sebuah kesadaran dan kecakapan komprehensif untuk menempatkan diri dan masyarakat di depan media sebagai pelaku aktif. Dengan adanya kecakapan bermedia, seseorang diharapkan mampu untuk menyeleksi media dan isinya untuk dikonsumsi, sehingga literasi media diartikan sebuah pemahaman akan sumber-sumber dan teknologi komunikasi, kode-kode yang digunakan, pesan-pesan yang dihasilkan serta seleksi, interpretasi dan dampak dari pesan-pesan tersebut. Banyak yang secara langsung menyalahkan tayangan televisi yang tidak pantas atau menyebutkan serta mengeluhkan dampak bahaya


(27)

yang dimilikinya, namun jarang mempertanyakan peranan diri sendiri dalam proses komunikasi massa.

2.6.1 Perkembangan Literasi Media

Peristiwa paling penting yang terjadi pada perkembangan komunikasi dan teknologi adalah: tampilnya media elektronik (telepon, film, radio dan televisi) yang mendominasi sejak tahun 1950-an dan terakhir munculnya media digital, contohnya internet sejak tahun 1980-an. Munculnya media digital, yang telah diperluas pada sebuah kecepatan dan sebuah jangkauan yang tidak pernah terlihat sebelumnya dalam sejarah, telah memimpin, dalam konteks masyarakat informasi, sebuah intelektual baru, semiotik, komunikatif dan iklim budaya, yang telah menandai efek dari perorangan, relasi kerja dan perkembangan sosial. Untuk lebih memahami media baru literasi ini, berikut peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam proses literasi (Baran 2004, 38-49)

1. Literasi klasik (membaca, menulis, memahami) yang mendominasi abad dan menghubungkan kepada proses membaca dan menulis, serta di sekolah-sekolah dasar telah digunakan sebagai aturan dasar.

2. Literasi audiovisual, yang menghubungkan kepada media elektronik sperti film dan televisi, fokus pada gambar dan rangkaian gambar. Ini merupakan permulaan dari pendidikan berbeda yang digagas dengan segera tetapi tidak didukung penuh oleh kebijakan yang nyata.

3. Informasi atau digital literasi yang berasal dari komputer dan media digital yang telah membuat pentingnya belajar keterampilan baru. Ini merupakan konsep terbaru dan sering digunakan untuk mengacu pada keterampilan teknik yang diperlukan untuk peralatan digital modern.

4. Literasi Media yang dibutuhkan sebagai hasil dari konvergensi media – yang menggabungkan media elektronik (komunikasi massa) dan media digital (komunikasi multimedia) yang terjadi dalam berbagai perkembangan masyarakat informasi. Literasi Media ini meliputi beragam bentuk literasi: membaca, menulis, audiovisual, digital dan


(28)

keterampilan baru yang diperlukan dalam sebuah iklim konvergensi media.

Berdasarkan sejarah literasi media dimulai dari penulisan alphabet, kita mengenal apa yang disebut dengan literasi dari membaca dan menulis. Kemudian muncul percetakan, dan selanjutnya diikuti dengan revolusi industri. Secara ringkas literasi media merupakan bagian dari proses perkembangan komunikatif manusia, yang dimulai dengan pengenalan dari penulisan alphabet dan telah diperluas ke dalam perkembangan media elektronik dan informasi digital.

2.6.2 Elemen Literasi Media

Awalnya literasi diartikan sebagai kemampuan untuk memahami dan menggunakan simbol tertulis. Dengan perkembangan media tidak tercetak, definisi ini harus diperluas lagi mencakup kemampuan untuk mengefektifkan apapun bentuk dari komunikasi, khususnya keterlibatan komunikasi massa yang disebut dengan literasi media.

Silverblatt (1995) menyebutkan lima elemen dasar yang menjadi karakteristik dari literasi media. Karakteristik tersebut adalah :

1. An awareness of the impact of media. Writing and the printing press helped changed the world and the people in it. Mass media do the same. If we ignore the impact of media on our lives, we run the risk of being caught up and carried along by that change rather than controlling or leading it. 2. An understanding of the process of mass communication. If we know the

component of mass communication process and how they relate to one another , we can form axpectations of how they can serve us.

3. Strategies for analyzing and discussing media messages. To consume media messages thoughtfully, we need a fondation on which to base thought and reflection. If we make meaning, we must possess the tools with which to make it.

4. An understanding of media content as a text that provides insight into our culture and our lives. How do we know a culture and its people, attitudes, values, concerns? We know them through communication. For modern cultures like ours, media messages increasingly dominate that coomunication, shaping our understanding of and insight into our culture. 5. The ability to enjoy, understand, and appreciate media content. Media

literacy does not mean living the life of a grump, liking nothing in the media, or always being suspicious of harmfull effects and cultural degradation.


(29)

Hal di atas dapat dijelaskan sebagai berikut. 1. An awareness of the impact of media.

Tanggap akan dampak media bagi individu maupun masyarakat. Media massa mengubah dunia dan orang-orang di dalamnya. Jika kita mengabaikan dampak media bagi kehidupan kita, kita lebih berisiko terperangkap dan terbawa arus perubahan tersebut ketimbang mengontrol atau memimpinnya.

2. An understanding of the process of mass communication

Pemahaman tentang proses komunikasi massa. Jika kita mengetahui komponen dari proses komunikasi massa dan bagimana komponen tersebut berkaitan satu sama lain, kita dapat membuat perkiraan tentang bagaimana mereka “melayani” kita.

3. Strategies for analyzing and discussing media messages

Strategi dalam analisis dan diskusi pesan-pesan media. Untuk mengonsumsi pesan media secara peka, kita membutuhkan fondasi, sebagai pemikiran dan refleksi awal. Jika kita menafsirkan makna, kita harus memiliki alat yang memadai untuk mencapainya.

4. An understanding of media content as a text that provides insight into our culture and our lives

Pemahaman isi media sebagai naskah yang menyediakan wawasan ke dalam budaya dan kehidupan kita. Kita mengenali segala yang berkaitan dengan budaya melalui komunikasi. Bagi budaya modern seperti kita, pesan-pesan media semakin mendominasi kegiatan komunikasi, membentuk pemahaman dan wawasan tentang budaya kita.

5. The ability to enjoy, understand, and appreciate media content

Kemampuan untuk menikmati, memahami, dan mengapresiasi isi media. Literasi media bukan berarti hidup sebagai seorang pembeci media atau selalu curiga terhadap dampak bahayanya dan terjadinya degradasi budaya.


(30)

Kemudian, dari lima tersebut (Baran 2004, 54-56) menambahkan dua lagi elemen dasar literasi media, yaitu:

1. An understanding of ethical and moral obligations of media practitioners. To make informed judgements about the performance of the media, we also must be aware of the competing pressures on practitioners as they do their jobs.

2. Development of appropriate and effective production skills. Tradiotional literacy assumes that people who can read can also write. Media literacy also makes this assumption. Therefore, media literate individuals should develop production skills that enable them to create useful media messages.

Pendapat Baran tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Understanding of the ethical and moral obligations of media practitioners Pemahaman etis dan kewajiban moral bagi para praktisi media. Kita harus memahami peraturan resmi maupun tidak resmi pada pengoperasian media. Dengan kata lain, kita harus tahu secara respektif, kewajiban etis dan keabsahannya.

2. Development of appropriate and effective production skills.

Pengembangan tentang keterampilan produksi yang efektif dan sesuai. Literasi tradisional mengasumsikan bahwa mereka yang dapat membaca pasti bisa menulis. Literasi media juga mengasumsikan demikian. Pemahaman kita tentang literasi (di setiap jenisnya) menyebut tidak hanya untuk pemahaman yang efektif dan efisien tetapi juga untuk penggunaannya yang efektif dan efisien. Karena itu, individu yang cakap mengonsumsi media sepatutnya mengembangkan kemampuan menghasilkan yang memungkinkan mereka menghasilkan pesan-pesan media yang bermanfaat.

Elemen literasi media ini akan terasa penting bila sudah terjun kedalam dunia media. Apapun pekerjaan saat ini umumnya selalu berhubungan dengan media contohnya saja untuk menyebarkan informasi, dalam pelatihan, presentasi atau untuk tetap terhubung dengan klien dan cutomers.


(31)

2.6.3 Prinsip Literasi Media

Kita mengenal dunia lewat media, namun media tidak menyuguhkan dunia untuk kita. Dalam kenyatannya untuk menjadi masyarakat yang bertanggung jawab kita butuh literasi media. Untuk itu dibawah ini mengenai prinsip dari literasi media (Aufderheide 2012), yaitu:

1. All media are constructions. 2. The media construct reality

3. Audience negotiate meaning in media 4. Media have commercial implications

5. Media contain ideological and value messages Prinsip tersebut akan dijelaskan sebagai berikut. 1. Semua media terkonstruksi.

Konsep yang paling penting dalam pendidikan literasi media adalah bahwa media tidak menyajikan refleksi sederhana dari realitas kehidupan, mereka adalah hasil dari sebuah produksi dan memiliki tujaun tertentu. Keberhasilan produksi ini terletak pada kealamian mereka. Namun, meskipun tampak alami, media sebenarnya adalah konstruksi dengan kehati-hatian yang telah mengalami berbagai determinan dan keputusan. Tugas kita adalah untuk mengekspos kompleksitas media sehingga terlihat makna dibalik konten tersebut.

2. Media membentuk realitas.

Setiap orang berpikiran apakah dunia ini dan bagaimana cara kerjanya. Hal ini didasarkan pada pengamatan. Ketika sebagian besar mengamati tentang konstruksi media dengan sikap, interpretasi dan kesimpulan yang sudah dibangung maka media sedang membangun realitasnya sendiri dari pemahaman itu.

3. Audiens menegosiasikan makna dalam media.

Dasar pemahaman media adalah kesadaran tentang bagaimana berinteraksi dengan teks-teks media. Ketika melihat teks media akan ditemui makna melalui berbagai macam faktor: kebutuhan pribadi dan kecemasan, kesenangan atau kesulitan sehari-hari, sikap rasial dan seksual, keluarga dan latar belakang budaya. Semua ini memiliki pengaruh pada bagaimana


(32)

kita memproses informasi. Misalnya, cara di mana dua siswa menanggapi situasi komedi televisi (sitkom) tergantung pada pemahaman masing-masing. Singkatnya, masing-masing dari menemukan atau "negosiasi" makna dalam cara yang berbeda.

4. Media memiliki implikasi komersial.

Kebanyakan produksi media di negara ini bertujuan untuk bisnis dan mencari untung. Walaupun disebut dengan media publik – televisi publik, radio publik – harus menghasilkan uang untuk bertahan. Media massa tidak berbicara kepada individu saja, tetapi pada sekelompok orang atau disebut juga dengan pasar demografi (orang tua, muda, orang-orang dengan hobi yang berbeda). Semakin banyak uang yang dikeluarkan oleh demografi yang beragam, semakin bernilai target pasar oleh media massa. 5. Media mengandung pesan-pesan ideologis dan nilai.

Literasi media seseorang selalu waspada terhadap nilai-nilai yang dibawa oleh teks media dan dampak ideologinya. Semua produk media memberikan nilai tidak untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk nilai-nilai atau cara hidup. Mereka biasanya menegaskan sistem sosial yang ada. Pesan-pesan ideologis yang terkandung di dalamnya, narasi film Hollywood yang biasa hampir tak terlihat untuk Amerika Utara, tetapi mereka akan jauh lebih bernilai kepada orang-orang di negara berkembang. Media mainstream khas Amerika Utara menyampaikan sejumlah pesan eksplisit dan implisit ideologis, yang dapat mencakup beberapa atau semua hal berikut: sifat "kehidupan yang baik" dan peran kemakmuran di dalamnya, kebajikan "konsumerisme," kata peran yang tepat dari perempuan, penerimaan otoritas, dan patriotisme tidak perlu diragukan lagi. Kita harus menggunakan teknik decoding untuk mengungkap pesan-pesan ideologis dan nilai-nilai sistem.

Prinsip media ini harus disadari baik individu maupun kelompok agar media yang mereka konsumsi tanpa disadari baik atau buruk memiliki tujuan tertentu, sehingga konsumen bisa memproteksi diri sendiri dari hal-hal negatif dan menerima hal-hal positif yang akan ditularkan oleh media.


(33)

2.6.4 Kemampuan Literasi Media

Mengkonsumsi konten media sangatlah mudah, seperti hanya dengan menekan tombol televisi atau dengan memutar musik di radio. Namun demikian, mengkonsumsi media membutuhkan sejumlah keahlian khusus (Baran 2004, 56-58) yaitu:

1. The ability and willingness to make an effort to understand content to pay attention, and to filter out noise.

2. An understanding of and respect for the power of media messages.

3. The ability to distinguish emotional from reasoned reactions when responding to content and to act accordingly.

4. Development of heightened expectations of media content

5. A knowledge of genre conventions and the ability to recognize when they are being mixed.

6. The ability to think critically about media messages, no matter how creadible their sources.

7. A knowledge of the internal language of various media anf the ability to understand its effects, no matter how complex.

Beberapa kemampuan di atas akan dijelaskan sebagai berikut.

1. Kemampuan dan kemauan untuk berusaha memahami, memperhatikan, dan menyaring penyampaian pesan media

Apapun yang ikut campur dalam keberhasilan komunikasi disebut gangguan, terlebih gangguan dalam proses komunikasi massa merupakan hasil dari perilaku konsumsi. Misalnya, ketika menonton TV seringkali melakukan hal lain, seperti makan, ngobrol dengan teman di telepon, membaca atau ketika mengendara sambil mendengarkan radio. Tentunya, kualitas dari yang dibuat berhubungan dengan usaha yang diberikan. 2. Pemahaman dan penghargaan bagi kekuatan pesan media.

Media massa telah ada selama lebih dari satu setengah abad. Setiap orang dapat menikmatinya. Kontennya bebas dan relatif tidak mahal. Kebanyakan isi nya sedikit konyol sehingga mudah untuk disalah artikan dan memberi pengaruh. Namun pengaruh ini tidak berlaku bagi mereka yang literet media. Mereka cukup mengerti pengaruh komunikasi massa terhadap sikap, kebiasaan, nilai.


(34)

3. Kemampuan untuk membedakan kondisi emosi dari reaksi beralasan ketika menanggapi konten dan untuk bertindak seharusnya.

Konten media sering di desain untuk menyentuh tingkat emosional manusia. Sering kita terlena ketika mendengarkan musik yang indah atau acara TV. Tapi, karena kita bereaksi secara emosional untuk pesan ini bukan berarti mereka tidak mempunyai dampak terhadap hidup kita. 4. Meningkatkan tingginya ekspekstasi terhadap konten media.

Media digunakan untuk mengisi hari-hari dan menghabiskan sedikit waktu. Ketika memutuskan untuk menonton acara di TV, kita mengganti channels hingga menemukan sesuatu yang pas untuk dilihat. Ketika berharap akan menemukan konten media yang bagus, maka juga akan membuat usaha yang besar juga untuk mendapatkannya.

5. Pengetahuan tentang kumpulan genre dan kemampuan untuk mengenali media ketika dipadukan.

Kata-kata genre disini berarti menunjukkan media yang berbeda, seperti berita, film dokumenter, film horor, atau majalah dan lain-lain. Pengetahuan tentang konvensi ini penting karena memberikan isyarat dan pemahaman langsung. Contohnya, dalam film dokumenter tentang tenggelamnya kapal Titaniclebih masuk akal dibanding melihatnya di film Hollywood. Alasan kedua mengapa penting yaitu, terkadang dalam usaha untuk mendapatkan banyak penonton (alasan profit) atau untuk alasan kreatifitas, pembuat konten media memadukan konvensi genre ini. Membaca teks media menjadi lebih sulit setelah di co-opted.

6. Kemampuan untuk berpikir secara kritis tentang pesan-pesan media, tidak masalah bagaimana terpercayanya sumber mereka.

Perlu diketahui bahwa media sangat penting dalam demokrasi karena media merupakan pusat pemerintahan. Inilah sebabnya kenapa media berita terkadang disebut sebagai keempat cabang pemerintahan, pelengkap eksekutif, yudisial dan cabang legislatif. Ini bukan berarti harus percaya pada setiap yang mereka laporkan. Namun, sulit untuk memilih antara ingin percaya dan menerima apa yang dilihat, mendengar tanpa bertanya,


(35)

bila berharap untuk menangguhkan kepercayaan dan didorong dengan media sendiri untuk melihat kontennya bisa dipercaya dan benar.

7. Pengetahuan tentang bahasa internal dari beragam media dan kemampuan untuk mengerti dampak, tidak peduli seberapa kompleksnya.

Masing-masing media sesuai genre punya gaya konvensi dan bahasanya sendiri. Bahasa yang ditampilkan dalam nilai produksinya menyangkut pilihan pencahayaan, editing, special effect, musik, angle kamera, lokasi, ukuran dan penempatan tajuk. Untuk mampu mebaca teks media harus dipahami bahasanya.

2.6.5 Model Literasi Media

Melengkapi literasi media yang sulit dicapai namun memiliki tujuan yang layak, dapat dilihat dan dimengerti dibawah ini mengenai model literasi media.

Gambar 2.1 Model Literasi Media Sumber: (Baran 2004)

Model dari literasi media tersebut menunjukkan beberapa tema yang telah diselidiki. Keseluruhan literasi media pada dasarnya memiliki dasar untuk


(36)

memahami proses dari komunikasi massa. Pada tingkat kedua dari elemen yang paling dasar yaitu, pemahaman isi media sebagai naskah yang menyediakan wawasan ke dalam budaya dan kehidupan kita, dan kewaspadaan akan dampak media. Sekali konsumen pesan media yang memperoleh tiga unsur ini, yang lainnya harus diikuti dengan logika. Individual dapat mengubah posisi relatif dari elemen dasar yang tersisa dan memblok bangunan yang sesuai dengan strategi konsumsi sesuai dengan pribadi masing-masing (Baran 2004, 60).

Bagi Potter (2008, 9-12) perspektif dibangun oleh struktur pengetahuan (knowledge structure) yang kita miliki. Untuk membangun struktur pengetahuan diperlukan “alat” dan “bahan baku”. Alat adalah keterampilan (skills) kita, sedangkan bahan baku adalah informasi dari media dan dari dunia nyata. Menggunakan secara aktif berarti sadar terhadap pesan, dan secara sadar berinteraksi dengan pesan-pesan tersebut. Kunci media literacy adalah membangun struktur pengetahuan yang baik. Individu perlu memiliki pengetahuan tentang efek media, isi media, industri media, dunia nyata dan diri.

Potter mengajukan ada tiga pilar yang membentuk literasi media, yaitu : 1. Personal Locus, terdiri dari tujuan dan dorongan. Locus merupakan

kombinasi antara kesadaran terhadap tujuan, dorongan, dan energy yang mengarahkan kepada pencarian informasi. Locus beroperasi dalam dua bentuk: sadar dan tidak sadar.

2. Struktur pengetahuan, yaitu seperangkat informasi yang terorganisasi dalam memori seseorang dan terbentuk secara sistematis dalam waktu yang lama. Dengan struktur pengetahuan yang berkembang, kita bisa memahami seluruh rentang isu media, dan bisa memahami mengapa media selalu bersikap seperti itu.

3. Keterampilan (skill), ada tujuh keterampilan dalam konteks literasi media, yaitu: keahlian untuk menganalisis, mengevaluasi, memilah, menginduksi, mendeduksi, mensintesis dan mengabstraksis pesan- pesan media.


(37)

2.6 Literasi Media di Masyarakat

Literasi media hanya membantu konsumen untuk memahami media, sehingga ia memiliki kemampuan untuk mengendalikan pengaruh media dalam kehidupan masyarakat sehari hari. Gambar dibawah ini menunjukkan jalannya proses literasi media terhadap konsumen media di masyarakat (Arifianto 2008).

Gambar 2.2 Literasi Media di Masyarakat Sumber: (Arifianto 2008)

Tidak seluruh masyarakat konsumen media memiliki pemahaman yang cukup memadai terhadap content media yang sekarang semakin bebas dan vulgar. Pemberdayaan masyarakat melalui literasi media memiliki konotasi penguatan pemahaman komunitas masyarakat terhadap eksistensi content media. Kepemilikan pengetahuan dan pemahaman terhadap content media diharapkan mereka dapat menentukan pilihan, dan mengedukasikan kepada komunitasnya mana informasi yang bermanfaat, dan sebaliknya. Ketika kebebasan informasi dan media telah menglobal,setiap orang dihadapkan pada berbagai pilihan informasi yang tersaji di-media (media massa dan media baru). Tidak semua informasi bermanfaat bagi konsumen media. Kondisinya jauh semakin komplek ketika media baru (online) mulai mengambil alih fungsi media massa. Dimana


(38)

pertumbuhan media social seperti, FB, Twitter, dan lainnya mulai mendominasi budaya masyarakat.

Literasi media muncul dan sering dibicarakan karena media sering dianggap sumber kebenaran, dan pada sisi lain, tidak banyak yang tahu bahwa media memiliki kekuasaan secara intelektual di tengah publik dan menjadi medium untuk pihak yang berkepentingan untuk memonopoli makna uang akan dilempar ke publik. Karena pekerja media bebas untuk merekonstruksi fakta keras dalam konteks untuk kepentingan publik (pro bono publico) dan merupakan bagia dalam kebebeasan pers tanggung jawab atas suatu hasil rekonstruksi fakta adalah berada pada tangan jurnalis, yang seharusnya netral dan tidak dipengaruhi oleh emosi dan pendapatnya akan narasumber dan bukan pada narasumber (Ashidisiregar 2013).

Oleh sebab itu bila seseorang memiliki literasi media ia akan dapat mengembangkan kompetensi yang dimilikinya. Kompetensi tersebut berkaitan dengan pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki dalam memaknai pesan. Pengetahuan literasi media akan mendorong orang untuk selalu mempertanyakan atas apa yang mereka tonton, baca atau dengarkan. Pengetahuan yang baik akan mengembangkan rasa kritis untuk menganalisa pesan, dan bias berita pada program-program yang ada dalam media massa.

2.7 Kompetensi Literasi di Era Digital

Elemen dari teori model literasi adalah identifikasi kompetensi pembelajaran lingkungan yaitu kompetensi instrumental, kognitif, sosial, aksiologis, komunikatif. Model tersebut tidak terpisahkan, pendidikan dan global untuk melek dalam penggunaan TIK membutuhkan pengembangan simultan dari lima bidang kompetensi dalam subjek untuk belajar. Berikut kelima bidang tersebut (Area dan Teressa 2012, 18-19).

1. Instrumental competence: technical control over each technology and its logical use procedures. This refers to the acquisition of practical knowledge and skills for using hardware and software or computer programs.


(39)

2. Cognitive-intellectual competence: the acquisition of specific cognitive knowledge and skills that enable the subject to search for, select, analyse, interpret and recreate the vast amount of information to which he has access through new technologies and communicate with others via digital resources.

3. Socio-communicative competence: the development of a set of skills related to the creation of various text types and their dissemination in different languages, establishing fluid communication with other subjects through the technologies available.

4. Axiological competence: referring to the awareness that ICT are not aseptic or neutral from the social viewpoint but exert a significant influence on the cultural and political environment in our society.

5. Emotional competence: this deals with the affections, feelings and emotional sentiment aroused by the experience of acting in digital environments.

Kelima bidang tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. 2. Kompetensi Instrumental

Kontrol teknis atas setiap teknologi dan penggunaan prosedur yang logis. Ini yang mengacu pada perolehan pengetahuan dan keterampilan ractical untuk menggunakan perangkat keras (set-up, instalasi dan penggunaan berbagai perangkat periferal dan mesin komputasi) dan perangkat lunak atau program komputer (sistem operasi, aplikasi dan navigasi internet dan komunikasi, dll).

3. Kompetensi kognitif-intelektual:

Ini merujuk kepada praktek pengetahuan akuisisi tertentu dan keterampilan yang memungkinkan subjek untuk mencari, pilih, menganalisis, menafsirkan dan menciptakan sejumlah besar informasi yang memiliki akses melalui teknologi baru dan berkomunikasi dengan orang lain melalui sumber daya digital. Subjek belajar untuk memanfaatkan data cerdas untuk dapat mengakses informasi, memberikan makna, menganalisis secara kritis dan merekonstruksi itu disukainya. 4. Kompetensi sosial komunikatif

Pengembangan seperangkat keterampilan yang berhubungan dengan penciptaan berbagai jenis teks (hypertextual, audiovisual, ikon, tiga dimensi, dll), dan penyebaran mereka dalam bahasa yang berbeda,


(40)

membangun komunikasi dengan mata pelajaran lain melalui teknologi yang tersedia. Ini juga mengasumsikan perolehan dan pengembangan norma-norma perilaku dengan sikap sosial inheren positif terhadap orang lain yang bisa mengambil bentuk kerja kolaboratif, rasa hormat dan empati dalam jaringan sosial pilihan.

5. Kompetensi aksiologis

Mengacu pada kesadaran bahwa teknologi informasi tidak aseptik atau netral dari sudut pandang sosial, tetapi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap lingkungan budaya dan politik dalam masyarakat kita; akuisisi nilai-nilai etika dan demokratis ditimbulkan oleh penggunaan informasi yang benar dan teknologi akan membantu untuk menghindari difusi komunikasi sosial negatif.

6. Kompetensi emosi

Ini berkaitan dengan kasih sayang, perasaan dan sentimen emosional terangsang oleh pengalaman bertindak dalam lingkungan digital. Ini dapat terjadi selama tindakan yang berlangsung dalam pengaturan virtual, seperti video game, atau selama komunikasi interpersonal dalam jaringan sosial. Literasi dalam dimensi ini berkaitan dengan belajar bagaimana mengontrol emosi negatif, dengan perkembangan empati dan pembangunan identitas digital yang ditandai dengan keseimbangan afektif-personal dalam penggunaan ICT.

2.8 Kriteria Penilaian Tingkat Literasi Media

Dua dimensi dari literasi media dikelompokkan menjadi kompetensi individual dan faktor lingkungan. Hal ini didasarkan pada gejala melek media diwujudkan dalam kemampuan individu dan faktor lingkungan yang mendorong atau menghancurkan mereka. (Celot 2010, 9)

Kompetensi individual merupakan kapasitas perseorangan yang berhubungan dengan melatih keterampilan tertentu (akses, analisis, komunikasi). Kompetensi ini ditemukan dalam satu set yang lebih luas dari kapasitas yang meningkatkan tingkat kesadaran, analisis kritis dan kapasitas kreatif untuk


(41)

memecahkan masalah. Sedangkan, faktor lingkungan merupakan serangkaian faktor kontekstual yang mempengaruhi individu dan berhubungan dengan pendidikan media dan warga negara yang tepat.

Hal ini digambarkan dalam sebuah piramid yang menyajikan keberagaman kriteria dari literasi media dan cara yang berhubungan satu sama lain, ini juga untuk negara yang jelas bahwa tahap yang lebih tinggi tidak akan ada tanpa adanya tahap yang lebih rendah.

Gambar 2.3 Struktur dari kriteria penilaian literasi media Sumber: Celot (2010)

Grafik menunjukkan bidang di mana indikator telah dipilih. Dasar piramida menggambarkan diperlukan pra-kondisi untuk media pengembangan literasi dan faktor-faktor yang memfasilitasi atau menghambat itu. Tingkat kedua menggambarkan kompetensi pribadi untuk memfasilitasi keterampilan teknis dan


(42)

proses kognitif, yang pada gilirannya memfasilitasi kemampuan komunikatif di puncak piramida, yang memungkinkan keterlibatan penuh dengan masyarakat media.

Celot (2010, 10) juga menjelaskan Kompetensi individu diilustrasikan oleh tingkat kedua piramida, yang dimulai dengan penggunaan, prasyarat sekunder pengembangan melek media. Kegunaan adalah persimpangan antara ketersediaan dan keterampilan operasional. Mereka adalah keterampilan praktis dengan tingkat kesadaran yang rendah sadar diri. Di bawahnya ada pemahaman kritis, yang merupakan pengetahuan, sikap dan pemahaman tentang konteks media dan konten, dan bagaimana memanifestasikan dirinya dalam perilaku. Ini mencakup semua proses kognitif yang mempengaruhi praktik pengguna (efektivitas tindakan, derajat kebebasan atau pembatasan, peraturan dan norma-norma, dll). Gunakan membutuhkan pengetahuan. Faktor ini membutuhkan meta pengetahuan (pengetahuan tentang pengetahuan). Hal ini memungkinkan pengguna untuk mengevaluasi aspek media, dengan cara membandingkan jenis dan sumber informasi yang berbeda, tiba ke kesimpulan tentang kebenaran dan kesesuaian, dan membuat pilihan informasi.

Puncak piramida mewakili kemampuan komunikatif, yang merupakan manifestasi dari tingkat melek media, dan kualitas yang bertumpu pada keberhasilan atau kegagalan dari tingkat yang lebih rendah. Ini adalah keterampilan yang menampakkan diri dalam komunikasi dan partisipasi dengan kelompok-kelompok sosial melalui media, dan pembuatan konten. Ini adalah tingkat tertinggi dari literasi media.

Untuk lebih jelasnya masing-masing kompetensi dan faktor lainnya yang terlihat dari piramida di atas akan dijelaskan sebagai berikut.

2.9.1 Individual Competencies(Kompetensi individual)

Keterampilan individu atau operasi dikembangkan bersama tiga kriteria: melakukan (kemampuan operasi dan penggunaan praktis); mengetahui kritis (critical understanding); dan hubungannya dengan tujuan bahwa keterampilan


(43)

atau operasi harus bertemu. Dalam hal ini mereka harus mampu menciptakan, komunikasi, hubungan sosial dan partisipasi dalam ruang publik.

Dalam kompetensi individu, ada kriteria berikut:

1. Kegunaan (keterampilan teknis): kapasitas yang berhubungan dengan media akses dan penggunaan.

2. Pemahaman kritis (kompetensi cognitive): Aspek yang berhubungan dengan pemahaman dan evaluasi isi dan media.

3. Kemampuan komunikatif (sosial, partisipasi, kemampuan kreatif): Aspek yang berhubungan dengan pembuatan konten, hubungan sosial dan partisipasi warga negara. (Celot 2010, 34)

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 2.1

Kompetensi Individu dan Sosial Kompetensi Perilaku Dimensi kemampuan

individu Objektif (pelaksanaan kerjasama) Kemampuan personal Kegunaan Kemampuan Teknis Kemampuan mengoperasikan media merupakan syarat untuk menggunakan alat media

dengan efektif Penggunaan Media Penggunaan instrumental Pemahaman Kritis Kemampuan kognitif Kapasitas yang behubungan

dengan pengoperasian pengetahuan dan semiotik:

encoding, menafsirkan, mengevaluasi teks media

Evaluasi dan mengambil hal-hal dari media dan

konten media Pemahaman dan kewaspadaan

Kompetensi

sosial Komunikasi

Kemampuan komunikatif dan

partisipatif Kapasitas untuk berinteraksi

dengan yang lain dan mempertahankan jaringan

Membangun hubungan sosial

Jaringan media Berpartisipasi dalam ruang publik masyarakat

Masyarakat aktif Menciptakan dan memproduksi konten

Penciptaan konten Sumber: (Celot 2010, 34)

2.9.2

Environmental Factor (Faktor Lingkungan)

Media tidak ada dalam gelembung, dan melek media sangat jarang berkembang dalam isolasi terhadap lingkungannya. Bahkan ketersediaan dasar


(44)

media dan perangkat teknis dipengaruhi oleh sikap pemerintah, keberadaan badan-badan non-pemerintah dan kegiatan mereka, dan inisiatif dari media itu sendiri dalam memberikan kontribusi terhadap penciptaan khalayak melek media. Studi ini tidak akan mengetahui efektivitas kegiatan itu sendiri, melainkan akan mengamati elemen korelatif antara keberadaan pemerintah yang terlibat, masyarakat sipil dan industri media, dan tingkat literasi media yang lebih tinggi terpadat (Celot 2010, 45).

Dibawah ini akan ditunjukkan faktor lingkungan kontekstualisasi memfasilitasi pengembangan literasi media, dan karena itu termasuk faktor-faktor yang menimbulkan atau membahayakan keterampilan individu (Celot 2010, 47).

a. Media availability(Ketersediaan media)

Ketersediaan mengacu pada jenis media dan alat seorang individu dapat mengakses dalam konteks tertentu dan bagaimana mereka didistribusikan secara sosial. Penilaian ini membutuhkan deskripsi ketersediaan situasi media di setiap negara.

Media Pluralism within Media Availability indicators (media pluralisme dalam indikator ketersediaan media) merupakan faktor penting yang mempengaruhi perkembangan melek media. Yang lebih luas berbagai pilihan konten media, sumber dan platform, praktik komunikasi yang lebih terpengaruh. Ada lima jenis pluralisme yang penting untuk situasi keseluruhan media di setiap Negara, yaitu geografis, budaya, politik, jenis media dan genre dan kepemilikan dan kontrol. Unsur-unsur ini berhubungan dengan kriteria penilaian diandalkan dalam studi, dan memberikan wawasan faktor lingkungan yang membentuk melek media.

Indikator sosial seperti media pluralisme, yang secara intrinsik terkait dengan kebebasan pers, telah menjadi titik referensi internasional untuk keadaan media di negara tertentu. Mereka menetapkan kondisi fundamental dari lingkungan media, tidak hanya bagi para profesional industri media untuk bertindak secara bebas, tetapi juga bagi publik untuk mengandalkan media sebagai mediator dimana mereka dapat berpartisipasi secara aktif dalam urusan publik.


(45)

b. Media Literacy Context(Konteks literasi media)

Faktor lingkungan memberikan wawasan lingkungan melek media. Jika faktor-faktor yang menguntungkan, dan melek media memiliki posisi penting dan dipertimbangkan dalam kebijakan nasional, maka tingkat melek media akan tinggi. Hubungan ini dapat dibuktikan secara statistik dan tidak mengesampingkan kemungkinan bahwa di lingkungan sebagian besar bermusuhan atau netral terhadap perkembangan literasi media (Celot 2010, 48-50).

Selain ketersediaan, faktor-faktor berikut membentuk lingkungan yang mempengaruhi melek media.

1. Media Education(Pendidikan media)

Literasi media dapat diisolasi sebagai kompetensi eksplisit atau ada dalam bagian komponennya dalam kurikulum pendidikan umum dan pembelajaran seumur hidup. Perhatian khusus diberikan pada kurikulum sekolah dan kapasitas staf pengajar, berdasarkan tingkat pelatihan mereka dan sistem di mana mereka beroperasi.

Menggunakan pendidikan untuk menunjukkan tingkat literasi media mungkin menyesatkan. Media tradisional tidak pernah memiliki tempat yang menonjol dalam pendidikan, dan media baru (telepon genggam, televisi dan internet) relatif diabaikan juga dalam kurikulum. Namun, jika suatu negara memiliki kurikulum pendidikan media yang sangat efektif, warga akan lebih percaya diri dalam berinteraksi dan terlibat dengan segala bentuk umum media. Indikator dalam kriteria media pendidikan dipisahkan menjadi empat bagian: kurikulum, pelatihan guru, kegiatan pendidikan media, dan resources.

2. Media Literacy Policy(Kebijakan literasi media)

Peran badan-badan publik merupakan dasar identifikasi melek media publik, terutama jika ada yang melindungi kepentingan dan kebebasan berekspresi. Faktor ini memberikan penilaian terhadap undang-undang dan kebijakan yang berkaitan dengan literasi media, termasuk kewajiban hukum, peraturan dan tindakan, organisasi, manifesto organisasi dan partisipasi masyarakat dengan maksud untuk mempengaruhi regulasi melek media nasional.


(1)

Supardi, A. 1979. Statistik.Bandung: Fakultas Tarbiah IAIN Sunan Gunung Jati. Suranto, AW. 2005. Komunikasi Perkantoran.Yogyakarta: Media Wacana. Sutarno. 2006.Manajemen Perpustakaan.Jakarta: Sagung Seto.

Tim Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP). 2005. Media Sadar Publik. Jakarta: LSPP.


(2)

LAMPIRAN 1

Kuesioner Penelitian

LITERASI MEDIA PEGAWAI PERPUSTAKAAN PROKLAMATOR BUNG HATTA BUKITTINGGI

Dengan segala kerendahan hati, saya mohon bantuan Saudara untuk mengisi kuesioner ini dengan sejujurnya, untuk keperluan penelitian saya mengenai “literasi media pegawai Perpustakaan Proklamator Bung Hatta”. Atas bantuan Saudara, saya ucapkan terima kasih.

PETUNJUK PENGISIAN

2. Sebelum Saudara menjawab pertanyaan bacalah dengan baik 3. Berikan tanda X pada jawaban yang paling benar

4. Usahakan untuk menjawab seluruh pertanyaan yang diajukan. PERTANYAAN KUESIONER

1. Bagaimana kecakapan Saudara dalam menggunakan media? a. Sangat bagus

b. Bagus

c. Kurang bagus d. Tidak bagus

2. Mampukah Saudara menganalisis informasi yang disampaikan di dalam media?

a. Sangat bisa b. Bisa

c. Kurang bisa d. Tidak bisa

3. Mampukah Saudara mendayagunakan informasi di media massa untuk membandingkan pernyataan-pernyaataan yang ada di media?

a. Sangat bisa b. Bisa

c. Kurang bisa d. Tidak bisa

4. Dari data-data yang ada di media, dapatkah Saudara merangkumnya menjadi sebuah informasi?

a. Sangat bisa b. Bisa

c. Kurang bisa d. Tidak bisa

5. Seberapa akurat informasi yang Saudara peroleh dari media? a. Sangat akurat

b. Akurat

c. Kurang akurat d. Tidak akurat

6. Mampukah Saudara menilai sebuah informasi itu sangat penting, biasa, atau basi?

a. Sangat bisa b. Bisa

c. Kurang bisa d. Tidak bisa


(3)

7. Seberapa dalam pemahaman Saudara terhadap informasi yang ada di media? a. Sangat paham

b. Paham

c. Kurang paham d. Tidak paham

8. Menurut Saudara, bagaimana kemampuan Saudara dalam menganalisis pesan media?

a. Sangat bagus b. Bagus

c. Kurang bagus d. Tidak bagus

9. Menurut Saudara, bagaimana kemampuan Saudara dalam mengevaluasi pesan media?

a. Sangat bagus b. Bagus

c. Kurang bagus d. Tidak bagus

10. Berhubungan dengan abstracting, setelah membaca atau melihat sebuah media dapatkah Saudara mengambil suatu kesimpulan atau poin dari yang dibaca?

a. Sangat bisa b. Bisa

c. Kurang bisa d. Tidak bisa

11. Bagaimana media yang tersedia di Perpustakaan Proklamator Bung Hatta untuk pemenuhan kebutuhan informasi pegawai?

a. Sangat mencukupi b. Cukup

c. Kurang mencukupi d. Tidak mencukupi

12. Apa saja media yang tersedia Perpustakaan Proklamator Bung Hatta? a. Media cetak

b. Media elektronik

c. Media online d. Ketiganya

13. Seberapa sering Saudara menggunakan jenis media yang ada? a. Selalu

b. Sering

c. Kadang-kadang d. Tidak pernah

14. Dengan semua media yang tersedia apakah Saudara mengerti dengan cara penggunaannya?

a. Sangat mengerti b. Mengerti

c. Kurang mengerti d. Tidak mengerti

15. Seberapa sering Saudara meminta bantuan orang lain untuk mengoperasikan media?

a. Selalu b. Sering

c. Kadang-kadang d. Tidak pernah

16. Adakah program pendidikan media yang diadakan oleh Perpustakaan Proklamator Bung Hatta?

a. Ada b. Tidak ada

c. Ragu-ragu d. Tidak tahu


(4)

LAMPIRAN II

Tabel Rekapitulasi Data Primer

Responden Jawaban

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

1 b c b b b a b a a a b d b a c b

2 a c b b b a b c b c b d c c c a

3 b b b b c c b c b b c d b b c a

4 b c b a b b b c b a a d c c c c

5 b a b c c b b c b c b d c b c a

6 c b b b c b b c b b c c d c d b

7 c c b a c b b b c c b d c b c d

8 a b b c b a b c a b b d c a c d

9 a c b b c b b b c c b d c c c c

10 c b b c c c b c c c b d b b c b

11 c b b a c a b b c a c b b c c d

12 c b b c a b b c b b b d b b c a


(5)

LAMPIRAN III

PROFIL PERPUSTAKAAN

PROKLAMATOR BUNG HATTA BUKITTINGGI 1.1 Sejarah Singkat

Perpustakaan Bung Hatta memiliki peranan yang sangat penting bagi masyarakat kota Bukittinggi. Perintisan perpustakaan ini menempuh perjalanan yang sangat panjang. Perintisan pertama dilakukan oleh bapak Dr. Bung Hatta sendiri sebagai wakil Presiden waktu berkedudukan di Istana Wakil Presiden pada tanggal 12 Agustus 1976 sebagai perpustakaan Umum pemerintah Kota Bukittinggi, yang kemudian berganti nama menjadi Gedung Tri Arga, dan kini diberi nama Istana Bung Hatta. Meski telah mengalami kemajuan akan tetapi bangunan perpustakaan tidak lagi memadai untuk menampung permintaan sesuai perkembangan kebutuhan masyarakat. Pemerintah dan msyarakat kota Bukittinggi menaruh perhatian untuk perkembangannya dan berkeinginan membangun Perpustakaan Proklamator bung Hatta di Bukittinggi – Sumatera Barat. Dengan semangat dan tekat yang kuat pada tanggal 21 September 2006 berdirilah Perpustakaan Proklamator Bung Hatta yang diresmikan oleh Presiden RI DR.H. Susilo bambang Yudhoyono, sebagai unit pelaksana teknis Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Bukittinggi.

1.2 Visi dan Misi Perpustakaan

Visi Perpustakaan Proklamator Bung hatta menjadi lembaga pencerdasan kehidupan bangsa berskala nasional yang maju dan handal dalam bidang edukatif, informatif, preservatif, dan rekreatif.

Misi perpustakaan Proklamator Bung Hatta.

1. Meningkatkan sarana, metode dan media pembelajaran bagi publik dalam pembentukan learning society.


(6)

3. Menyimpan, memelihara dan mengembangkan koleksi perpustakaan dalam bentuk buku dan non buku.

4. Melayani penyelenggaraan seminar dan diskusi ilmiah baik yang berskala lokal dan regional, maupun yang berskala nasional dan internasional 5. Memelihara dan mengembangkan sarana rekreasi edukatif dan

kontemplatif. 1.3 Fasilitas Perpustakaan

Untuk mendukung fungsi Perpustakaan, disediakan berbagai fasilitas yang tersebar pada bangunan perpsutakaan. Adapun fasilitas tersebut sebagai berikut.

Tabel 1. Fasilitas Perpustakaan No Fasilitas Jenis Ruangan

1 Lantai dasar - Ruang bahan pustaka terbuka - Ruang bahan pustaka langka - Ruang referensi

- Bagian sirkulasi - Ruang baca - Taman baca

- Ruang baca non book

- Ruang kerja (ruangan kepala, ruangan kasi, ruangan staf)

- Ruangan pengadaan - Ruang penjilidan - Ruang seminar - Ruang perawatan - Mini theatre - Musholla - Wartel

2 Lantai 1 - Ruang bahan pustaka terbuka - Ruagn internet

- Ruang baca terbuka - Ruang baca group - Ruang baca anak - Bagian sirkulasi - Photo copy 3 Lantai 2 - Ruang auditorium