Paradigma Pembangunan
2. Paradigma Pembangunan
Pemanfaatan hutan alam di Indonesia secara besar-besaran dimulai dengan pemberian ijin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di luar P Jawa. Pemegang ijin HPH di dalam pelaksanaan kegiatannya menggunakan azas
kelestarian “sustained yield” yang berorientasi pada kelestarian hasil hutan kayu, yang kurang memperhatikan keberadaan masyarakat di dalam dan disekitar hutan. Paradigma “timber based management” yang melandasi pelaksanaan operasional HPH tersebut ternyata dalam perkembangannya tidak lagi mampu menjawab tuntutan kelestarian yang menghendaki keseimbangan antara kelestarian fungsi produksi/ekonomi, ekologi dan sosial. Kondisi tersebut
mendorong terjadi perubahan paradigma dari “timber based management” menjadi “resources based management”. Dengan demikian pembangunan KPH
harus juga berlandaskan pada paradigma resources based management. Pengelolaan hutan pada dasarnya menjadi kewenangan Pemerintah dan
atau Pemerintah Daerah, yang dalam kondisi tertentu dapat dilimpahkan kepada
BUMN yang bergerak di bidang kehutanan, baik berbentuk Perum, Perjan, maupun Persero yang pembinaannya di bawah Menteri. (Penjelasan pasal 21 UU 41).
Wilayah pengelolaan hutan provinsi dan kabupaten/kota merupakan wilayah pengurusan hutan di provinsi dan kabupaten/kota yang mencakup kegiatan-kegiatan:
a. perencanaan kehutanan;
b. pengelolaan hutan;
c. penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan;
d. pengawasan. (Penjelasan pasal 26 ayat 2 PP 44). Unit Pengelolaan Hutan merupakan kesatuan pengelolaan hutan terkecil
pada hamparan lahan hutan sebagai wadah kegiatan pengelolaan hutan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Penjelasan pasal 28 ayat 1 PP 44).
Pasal 32 PP 44 mengatur bahwa pada setiap Unit Pengelolaan Hutan dibentuk institusi pengelola yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pengelolaan hutan yang meliputi:
a. perencanaan pengelolaan;
b. pengorganisasian;
c. pelaksanaan pengelolaan; dan
d. pengendalian dan pengawasan. Berdasarkan Kepmenhut No 230/2003 pasal 8 ayat 5, kriteria kelembagaan pembentukan KPHP meliputi pemantapan, penataan atau peningkatan kelembagaan pada kawasan hutan produksi yang:
a. telah dibebani hak diatasnya;
b. tidak dibebani hak; dan atau
c. ada konflik di dalam kawasan hutan produksi, baik telah dibebani hak maupun tidak dibebani hak.
Selanjutnya pada ayat 7 pasal 12 Kepmenhut No 230/2003 ditetapkan standar pembentukan kelembagaan diatur melalui pemantapan kelembagaan, Selanjutnya pada ayat 7 pasal 12 Kepmenhut No 230/2003 ditetapkan standar pembentukan kelembagaan diatur melalui pemantapan kelembagaan,
a. Bagi kawasan hutan produksi yang telah dibebani hak/izin di atasnya, ditempuh dengan menetapkan pemegang hak/izin sebagai inti KPHP dan melakukan pemantapan kelembagaan dengan kelembagaan pemegang hak/izin yang sudah ada;
b. Bagi kawasan hutan produksi yang tidak ada hak/izin diatasnya, ditempuh dengan melakukan penataan atau pembentukan kelembagaan baru sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
c. Bagai kawasan hutan produksi yang ada konflik diatasnya dilakukan dengan peningkatan kelembagaan pada hutan produksi yang ada hak/izin diatasnya atau pembentukan/penataan kelembagaan baru pada hutan produksi yang tidak dibebani hak untuk mencari solusi konflik dalam kerangka pengelolaan hutan produksi lestari.
Posisi pengurusan dan pengelolaan hutan berdasarkan peraturan perundangan dapat digambarkan sebagai berikut :
3. Litbang, Diklat
1. Tata hutan 2. Pemanfaatan Unit
Kawasan ada Hak
IUPHHK
Kriteria Kelembagaan
Kawasan tdk ada Hak
Ijin Lain
Kawasan Konflik
Ganbar 9. Posisi Pengurusan dan Pengelolaan Hutan
Untuk dapat melaksanakan mandat pengelolaan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku yang berlandaskan pada paradigma “resources based management ”, maka diperlukan pembangunan/penyempurnaan kelembagaan pengelolaan hutan yang berintikan pada pembangunan kelembagaan KPH. Pembangunan kelembagaan tersebut dapat melalui pemantapan kelembagaan, penataan kelembagaan, peningkatan kelembagaan atau pembentukan kelembagaan.
Sebagai konsekuensi dari kewenangan pemerintah dan atau pemerintah daerah dalam pengelolaan hutan, maka organisasi KPH seharusnya memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut :
• Organisasi KPH merupakan organisasi Pemerintah atau Pemerintah Provinsi, atau Pemerintah Kabupaten/Kota;
• Organisasi KPH merupakan unit organisasi yang diisi oleh personal yang memiliki kompetensi di bidang pengelolaan hutan yang memadai untuk
melaksanakan kegiatan tata hutan dan perencanaan hutan, pemanfaatan hutan, rehabilitasi dan reklamasi, perlindungan hutan dan konservasi alam;
• Organisasi KPH ditetapkan oleh Pemerintah dan atau Pemerintah Provinsi dan atau Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangan; • Organisasi KPH dipimpin oleh Kepala KPH yang bertangungjawab atas :
– pelaksanaan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; – penyelenggaraan pengelolaan hutan.
• Dalam melaksanakan tanggung jawab, Kepala KPH berkewajiban : – menjabarkan kebijakan nasional, provinsi dan kabupaten/kota untuk
diimplementasikan di lapangan; – melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan mulai dari perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan serta pengendalian; – melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan – membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan
pengelolaan hutan Untuk dapat mewujudkan bentuk riil KPH di tingkat tapak maka diperlukan
upaya penguatan kapasitas organisasi KPH, yang antara lain sebagai berikut: • Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota :
– membiayai inisiasi pembangunan KPH dan infrastrukturnya seperti lembaga diklat, sertifikasi SDM, pengelolaan konflik, keamanan hutan,
pemberantasan illegal loging, dengan dana APBN dan APBD – menggunakan KPH sebagai penguatan sistem pengurusan hutan untuk mewujudkan integrasi program kehutanan nasional, provinsi dan kabupaten.
– melaksanakan pengendalian terhadap KPH sesuai dengan kewenangan masing-masing – menetapkan sistem penilaian kinerja sebagai dasar evaluasi kinerja organisasi KPH sesuai kewenangan masing-masing. • Penilaian kinerja KPH dilaksanakan oleh Pemerintah atau lembaga independen yang ditunjuk.
Agar organisasi KPH dapat berjalan sesuai dengan tujuan pembentukannya, maka diperlukan dukungan sumberdaya manusia (SDM). Untuk itu diperlukan adanya kebijakan SDM (SDM Policy) untuk tingkat Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota guna memenuhi kebutuhan SDM organisasi KPH. Kejelasan dan ketersediaan sumber anggaran untuk membiayai kegiatan organisasi KPH perlu dirancang sejak awal pembentukannya.
Penting untuk diperhatikan, guna mendukung percepatan pembangunan KPH khususnya di kawasan hutan produksi yang tidak dibebani hak/izin di atasnya, diperlukan adanya komitmen dari semua pihak untuk mengkonvergensikan kegiatan dan koherensi program pembangunan kehutanan ke dalam wilayah pengelolaan KPHP yang akan dibangun. Konvergensi kegiatan dan koherensi program tersebut harus dimulai dari tahapan perencanaan maupun pelaksanaan baik di tingkat pusat maupun daerah.