Buku ajar manajemen hutan 2009

Laboratorium Kebijakan dan Kewirausahaan Kehutanan Fakultas Kehutanan - Universitas Hasanuddin

Kata Pengantar

Mata Kuliah ”Manajemen Hutan” merupakan salah satu mata kuliah yang wajib

diikuti oleh seluruh mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, baik mahasiswa pada Program Studi Manajemen Hutan maupun pada Program Studi Teknologi Hasil Hutan. Rata-rata jumlah mahasiswa yang ikut pada kuliah ini adalah 120 sampai 150 orang. Untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan pembelajaran serta untuk mempermudah mengorganisir pelaksanaan perkuliahan dengan metode Student Center Learning (SCL), sejak dua tahun terakhir ini, mahasiswa dibagi menjadi dua kelas sehingga rata-rata jumlah mahasiswa pada setiap kelas adalah 60 – 75 orang.

Pembagian kelas tersebut membawa konsekwensi penyajian materi perkuliahan yang mungkin dapat berbeda antara satu kelas dengan kelas yang lainnya apabila dilakukan oleh dosen yang berbeda, terutama apabila jadwal kelas tersebut paralel sehingga tidak memungkinkan satu orang dosen melaksanakan kuliah di dalam dua kelas yang berbeda pada waktu yang bersamaan. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan Buku Ajar yang menjadi pegangan bagi anggota tim pengajar dan mahasiswa di dalam pelaksanakan kuliah.

Buku Ajar ini dihimpun dari Hand Out yang terserak yang selama ini telah digunakan oleh tim pengajar pada setiap kali perkuliahan. Hand Out tersebut diedit, ditambah, ataupun dikurangi materinya kemudian distrukturkan menjadi Bab-Bab sesuai dengan Garis-Garis Besar Rancangan Pembelajaran (GBRP) yang telah disusun sebelumnya, menghasilkan Buku Ajar yang anda baca pada saat ini.

Ide untuk menulis Buku Ajar ini sejatinya telah lama dipikirkan, namun tidak dapat diwujudkan. Tuntutan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran serta adanya dukungan yang kuat dari Pimpinan Fakultas Kehutanan, dan pimpinan universitas pada saat ini telah memicu semangat tim pengajar untuk mewujudkan ide yang terpendam tersebut. Atas dukungan ini, kami ucapkan terima kasih.

Harapan kami, semoga kehadiran Buku Ajar ini dapat melengkapi pustaka mahasiswa dan menjadi pemicu bagi penulis untuk menyusun Buku Ajar yang lebih berkualitas.

Tamalanrea, Agustus 2009

Tim Penulis

Deskripsi Singkat :

Mata kuliah ini membahas pengertian dan ruang lingkup manajemen hutan, beberapa konsep dasar untuk pengelolaan hutan lestari, preskripsi pengelolaan hutan, konsep pengaturan hutan, dan analisis keputusan di dalam manajemen hutan.

Tujuan Umum :

1. Memahami konsep-konsep dasar pengelolaan hutan

2. Mampu meningkatkan produktivitas dan dan nilai eknomi sumberdaya hutan

3. Mampu menata unit-unit pengelolaan hutan sesuai dengan karakteristik sumberdaya hutan

Tujuan Khusus

1. Memahami kaidah-kaidah ilmiah pengelolaan hutan

2. Mampu mengembangkan manfaat dan jasa sumberdaya hutan

3. Mampu merencanakan, menganalisis, dan melaksanakan pengelolaan hutan sesuai prinsip-prinsip bisnis dan

prinsip-prinsip kelestarian

ii

iii

iv

: Pendahuluan

Pokok Bahasan

Tujuan Umum

: Memahami pengertian dan ruang lingkup manajemen hutan

Tujuan Instruksional Khusus : Selesai mempelajari Bab I, mahasiswa/i

mampu menjelaskan: (1) pengertian dan ruang lingkup manajemen hutan, (2) tujuan

dan fungsi manajemen hutan, (3) aspek- aspek teknis, sosial, ekonomi, dan lingkungan manejemen hutan

A. Pengertian dan Ruang Lingkup Manajemen Hutan

Manajemen dapat diartikan sebagai seni, ilmu, dan proses untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan melalui kegiatan dengan orang lain. Manajemen Hutan, dalam pandangan luas, adalah integrasi faktor-faktor biologi, sosial, ekonomi, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi keputusan pengelolaan hutan. Setiap sesuatu mempengaruhi sesuatu yang lain dalam pengelolaan hutan, oleh karena itu, seseorang harus mengetahui segala sesuatu untuk membuat keputusan. Hal ini mungkin benar, tetapi hanya pada tingkatan tertentu. Pandangan yang luas tersebut tidak diadopsi pada mata kuliah ini sebab kebutuhan pengetahuan tersebut tidak mungkin dicapai dan karena keputusan manajemen hutan tidak dibuat segera saat ini, tetapi melalui proses yang panjang.

Pada hirarki yang lebih rendah, manajemen hutan didefisikan sebagai seluruh keputusan yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan pengelolaan

1| Buku Ajar Manajemen Hutan 1| Buku Ajar Manajemen Hutan

Secara historis, manajemen hutan pada dasarnya terkait dengan aspek biologi dan aspek silvikultur dari hutan. Defenisi ini diturunkan dari filosofi biologi sebagai aspek dasarnya. Kadang-kadang defenisi manajemen hutan juga mencakup pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), inventarisasi, dan aspek- aspek kehutanan yang lain. Hal ini semua merupakan bagian integral dari manajemen hutan. Namun demikian, sebagai suatu profesi, ilmu manajemen hutan telah berkembang menjadi suatu bidang yang terpisah dari aspek-aspek tersebut di atas.

Materi Mata Kuliah Manajemen Hutan yang ditulis di dalam buku ajar ini membatasi kajiannya pada dua hal yaitu: (1) mengkaji kaidah-kaidah ilmiah pengelolaan hutan, dan (2) mengkaji aspek-aspek teknis membangun dan mengelola unit-unit pengelolaan hutan. Oleh karena itu, pengertian manajemen hutan yang diadopsi pada mata kuliah ini adalah aplikasi prinsip-prinsip ilmiah dan teknis kehutanan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip bisnis dan sosial untuk mencapai satu atau beberapa tujuan. Aspek-aspek Sosial, Bisnis, dan Teknis dalam Mengelola Hutan, disajikan pada Tabel 1.

2| Buku Ajar Manajemen Hutan

Tabel 1. Aspek-Aspek Sosial, Bisnis, dan Teknis dalam Mengelola Hutan No. Aspek Sosial dan Bisnis

Aspek Teknis

1. Ekonomi Silvika dan Silvikultur

2. Organisasi dan Administrasi Inventarisasi

3. Keuangan

Logging

4. Akuntansi Teknologi Kayu

5. Statistik

Patrhology

6. Pemasaran Entomology

7. Hukum Bisnis Perlindungan Hutan

8. Perburuhan

Wildlife

9. Real Estate Rekreasi Hutan

10. Ilmu social dan Politik Civil Enginering

Tidak seorangpun yang bisa menguasai semua bidang ilmu tersebut di atas, dan hal ini menggambarkan bahwa manajemen hutan dalam pelaksanaannya bersifat kolektif. Seorang manajer hutan perlu memiliki pengetahuan dasar dan aplikasi dari semua bidang ilmu di atas dan menguasainya sebisa mungkin.

B. Tujuan dan Fungsi Manajemen Hutan

1. Tujuan Manajemen Hutan

Hutan dikelola untuk tujuan serbaguna, dengan tujuan akhir adalah untuk mendapatkan nilai manfaat bersih total yang paling tinggi. Pengelolaan hutan untuk tujuan produksi kayu, harus memperhatikan dan mendukung (compatible) tujuan lain, seperti DAS, wildlife, rekreasi, dll. Pada beberapa kasus, penggunaan kawasan hutan bertentangan (incompatible) dengan tujuan pengelolaan yang lain seperti pengelolaan areal penggembalaan di dalam kawasan hutan terkadang tidak compatible dengan pengelolaan hutan untuk tujuan produksi kayu. Hal ini mengharuskan pengelola hutan membuat keputusan tentang prioritas penggunaan lahan hutan. Manajemen hutan membutuhkan pengkajian dan aplikasi teknik-teknik analisis untuk membantu memilih alternatif manajemen yang memberikan kontribusi terbaik bagi pencapaian tujuan pengelolaan hutan.

3| Buku Ajar Manajemen Hutan

Tujuan pengelolaan hutan sangat tergantung pada tujuan pemilik hutan dan situasi ekonomi yang ada pada wilayah dimana hutan tersebut berada. Pada kawasan hutan negara, tujuan pengelolaan hutan sangat ditentukan oleh faktor politik dan tingkat kepentingan terhadap areal hutan. Tingkat kepentingan tersebut terkadang tidak dapat diukur dalam satuan ukuran nilai uang. Pengelolaan hutan negara biasanya lebih banyak difokuskan pada perlindungan tata air yang dibayar dengan kelestarian supply air, dan dikeola dengan tujuan serba guna. Sedangkan hutan milik dikelola dengan tujuan untuk menghasilkan barang dan jasa yang biasanya terfokus pada total produksi dan total benefit yang dapat diperoleh dari lahan hutan tersebut.

2. Fungsi Manajemen Hutan

Pengelolaan hutan lestari harus mencakup beberapa fungsi yaitu fungsi teknis, komersil, finansial, personial, fungsi administrasi, dan fungsi kepemimpinan. Fungsi teknis dalam manajemen hutan diarahkan untuk mencapai tujuan teknis, fungsi komersiil untuk mencapai tujuan ekonomi (berkaitan dengan pasar), fungsi finansiil untuk mencapai tujuan finansial (berkaitan dengan biaya dan pendapatan), fungsi personil berkaitan dengan kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia (SDM), fungsi administrasi merupakan fungsi penunjang, berkaitan dengan pengembangan, dan fungsi kepemimpinan berkaitan dengan unsur-unsur manajemen (POAC).

C. Aspek-aspek Teknis, Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan dalam Manajemen Hutan

Untuk merlaksanakan fungsi-fungsi tersebut di lapangan, seorang manajer hutan harus memperhatikan aspek-aspek teknis, sosial, ekonomi, dan lingkungan, sebagai berikut:

1. Aspek Teknis

Kegiatan manajemen hutan pada dasarnya berkaitan dengan pemanfaatan hutan sebagai sumberdaya alam dan sebagai suatu ekosistem. Kegiatan manajemen hutan akan dan harus berkaitan dengan kegiatan-kegiatan teknis yaitu, penanaman, pemeliharaan, perlinduingan hutan, pemanenan hutan,

4| Buku Ajar Manajemen Hutan 4| Buku Ajar Manajemen Hutan

2. Aspek Sosial Ekonomi

Kegiatan manajemen hutan pada dasarnya adalah kegiatan pengusahaan hutan. Oleh karena itu, aspek-aspek perusahaan yaitu aspek ekonomi dan aspek keuangan sangat erat hubungannya dengan manajemen hutan.

Untuk dapat melaksanakan dan mewujudkan aspek teknis manajemen hutan, dibutuhkan investasi (SDM, peralatan dan teknologi) dan analisis-analisis ekonomi dan finansial. Hal ini terutama karena manajemen hutan berkaitan dengan dimensi waktu yang panjang untuk dapat menghasilkan produk serta harus bertumpu pada prinsip kelestarian sebagai prinsip dasar pengelolaan hutan. Untuk dapat mewujudkan manajemen hutan lestari diperlukan adanya perencanaan yang efisien dan rasional.

3. Aspek Lingkungan

Pengelolaan hutan disamping memanfaatkan hutan sebagai sumberdaya alam, harus pula memperhatikan sisi lain dari hutan yaitu sebagai Ekosistem (ekosistem hutan).

Secara operasional, pengelolaan hutan akan memanfaatkan ekosistem hutan. Ini berarti bahwa dalam manajemen hutan harus diperhatikan pula pengaruh pemanfaatan tersebut terhadap komponen ekosistem hutan yang

terdiri dari “tanah-biologi hutan-iklim/lingkungan”. Pengelolaan hutan utamanya hutan alam tropis lembab (tropical rain

forest) yang kaya akan jenis penyusun tegakannya, harus diperhatikan pula adanya “keanekaragaman hayati” didalamnya dalam perspektif jangka panjang.

5| Buku Ajar Manajemen Hutan

Latihan Soal-soal:

1. Jelaskan pengertian dan ruang lingkup mata kuliah manajemen hutan

2. Jelaskan tujuan dan fungsi manajemen hutan

3. Jelaskan aspek-aspek teknis, sosial, ekonomi, dan lingkungan manejemen

hutan

Rujukan:

Davis, K.P. 1978. Forest Management (Valuation and Regulatino). Mc. Graw-Hill, Inc. Manila.

Junus. M. 1984. Dasar Umum Ilmu Kehutanan. Buku I. Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Indonesia Timur. LEPHAS

Leuschener. W. A. 1984. Introduction to Forest Resource Management. Joh Wiley and Sons. Inc.

Lawrence. S. D., K.N. Johnson. 1987. Forest Managament. Mc. Graw-Hill. Inc.

Soedirman. S. 1997. Buku Ajar Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman. Samarinda

6| Buku Ajar Manajemen Hutan

II

Pokok Bahasan

: Sejarah Pengelolaan Hutan

Tujuan Umum

: Memahami sejarah pengelolaan hutan

nasional dan dunia

Tujuan Instruksional Khusus : Selesai mempelajari Bab I, mahasiswa/i

mampu: (1) menjelaskan perkembangan

sejarah pengelolaan hutan, (2) mengevaluasi

sejarah pengelolaan hutan, dan (3)

menjelaskan konsep pengelolaan hutan mutakhir.

Secara garis besar, bentuk pengusahaan hutan yang pernah dilakukan, khususnya di negara- negara maju, dari dulu sampai sekarang dapat dibedakan menjadi tiga atau empat macam (Simon, 1999), yaitu: (1) penambangan kayu, (2) pengelolaan hutan tanaman, (3) pengelolaan sumberdaya hutan, dan (4) pengelolaan ekosistem hutan.

Penambangan kayu dan pengelolaan hutan tanaman tergolong pada strategi kehutanan konvensional, sedangkan pengelolaan sumberdaya hutan dan pengelolaan ekosistem hutan termasuk dalam strategi kehutanan sosial. Perbedaan pokok antara kedua strategi pengelolaan hutan tersebut terletak pada tujuan pengelolaan dan system perencanaan yang digunakan, dengan segala konsekuensi dan implikasinya.

7| Buku Ajar Manajemen Hutan

Pengelolaan hutan berarti pemanfaatan fungsi hutan untuk memenuhi kebutuhan manusia secara maksimal. Pada waktu masyarakat manusia belum mengenal hubungan komersil secara luas, hutan hanya dimanfaatkan sebagai tempat untuk mengambil bahan makanan, nabati ataupun hewani, atau tempat mengambil kayu untuk membuat rumah tempat tinggal dan untuk sumber energy. Hutan juga sering ditebang untuk memperluas tempat pemukiman, lahan pertanian, atau mengamankan wilayah dari gangguan binatang buas.

A. Penambangan Kayu (Timber extraction)

1. Penambangan kayu di Lembah Eufrat dan Tigris

Penambangan kayu di daerah ini sudah dimulai dilakukan sekitar tahun 2000 SM, yaitu pada masa kerajaan Babylonia. Karena sudah berlangsung lama, maka sangat sedikit informasi yang tersedia untuk melukiskan lebih mendalam tentang penambangan kayu di Babylonia ini beserta kerusakan hutan yang ditimbulkannya.

Salah satu cirri kejayaan suatu negara adalah tingginya intensitas perdagangan yang dilakukan masyarakat negara tersebut, termasuk perdagangan kayu. Secara konvensional, kayu diperlukan untuk bahan konstruksi rumah, alat-alat pertanian dan alat transportasi darat maupun air.

Karena tidak diikuti dengan usaha permudaan kembali, maka timber extraction di Mesopotamia ini berakhir dengan kehancuran hutan. Bahkan begitu beratnya tingkat kerusakan hutan tersebut , daerah yang semula terkenal dengan kesuburannya itu akhirnya sebagian berubah menjadi padang rumput, bahkan padang pasir sampai sekarang.

2. Penambangan Kayu di Eropa Tengah dan Barat

Penambangan kayu di daerah ini mulai dilakukan sekitar abad ke-3, yaitu pada waktu kekaisaran Romawi mulai mengembangkan wilayah jajahannya ke seluruh Eropa Tengah dan Barat. Negara yang paling banyak mengalami kegiatan ini, dan oleh karena itu juga paling besar menerima dampak negative, adalah Jerman. Jalan raya yang menghubungkan Roma-Frankfurt sekarang ini adalah jalan yang dulu digunakan untuk kepentingan mengontrol daerah jajahan

8| Buku Ajar Manajemen Hutan 8| Buku Ajar Manajemen Hutan

Perkembangan pengelolaan hutan yang sangat berarti sehubungan dengan kerusakan hutan akibat penambangan kayu di Eropa Tengah dan Barat adalah diumumkannnya Undang-Undang Kehutanan di Perancis, terkenal dengan Ordonance de Melun , pada tahun 1376 oleh raja LUIS XIV (OSMASTON, 1966 dalam SIMON, 1999).

Untuk mendukung kegiatan pengelolaan hutan yang baik, seperti yang dikehendaki oleh jiwa Undang-Undang itu, kemudian Perancis mendirikan sekolah kehutanan. Di sini barangkali pengeruh Universitas Al Hambra di Cordoba memang ada, karena banyak pula pemuda Perancis yang kemudian ikut menuntut ilmu ke Spanyol.

Setelah Ordonance de Melun pada 482 Kerajaan Inggris juga mengeluarkan Forest Act , yang kemudian disempurnakan lagi pada Tahun 1543 (OSMASTON, 1966 dalam SIMON, 1999). Pada periode berikutnya, pendidikan kehutanan lebih berkembang di Jerman. Akademi kehutanan di Tarrant dikenal sebagai sekolah tinggi kehutanan yang pertama di dunia. Oleh karena itu, secara konsepsional Jerman juga tampil menjadi negara yang berhasil memperbaiki kerusakan hutan akibat penambangan kayu di Eropa. Masalah ini akan dibahas lagi dalam paragraf-paragraf selanjutnya.

3. Penambangan Kayu di Indonesia

Penambangan kayu di Eropa dilakukan oleh pemerintah kolonial. Hal ini terulang lagi di Negara-negara Asia, Afrika dan Amerika latin sampai masa perang dunia II. Bnagsa-bangsa Eropa banyak yang keluar dari tanah airnya mencari tanah jajahan, seperti Inggris, Spanyol Italia, bahkan juga bangsa- bangsa kecil seperti Belanda, Belgia dan Portugal.

Di negara jajahan itu, para penjajah menguras sumberdaya apa saja yang dapat dijual dengan memperoleh kekayaan, termasuk hutan. Itu pulalah yang dilakukan Belanda di Indonesia. Oleh karena itu, penjajah bangsa Belanda juga sangat giat melakukan penambangan kayu.

9| Buku Ajar Manajemen Hutan

B. Pengelolaan Kebun Kayu

Kerusakan hutan akibat Timber extraction kemudian mulai dipikirkan benar-benar agar tidak berkepanjangan. Bahkan, kerusakan hutan telah menyadarkan orang Jerman akan perlunya permudaan kembali kawasan hutan bekas tebangan agar produksi kayu dapat lestari. Oleh karena itu, salah satu hikmah yang dirumuskan Jerman dari tragedy kerusakan hutan itu adalah munculnya istilah kelestarian hasil, yang konon sudah mulai dikenal pada abad ke-9.

Istilah kelestarian hasil telah mendorong perlu adanya pengaturan tebangan yang baik sehingga jumlah hasil kayu yang dipungut setiap tahun tidak terlalu bervariasi. Dari sini, selanjutnya rimbawan Jerman berhasil menemukan berbagai macam metode pengaturan hasil yang dipergunakan untuk mengatur etat tebangan. Adanya metode permudaan dan metode pengaturan hasil ini, setelah jangka waktu yang cukup panjang, membentuk elemen-elemen pengelolaan hutan modern yang berlandaskan pada kelestarian hasil hutan (sustained yield principles). Berdasarkan semua pengalaman tersebut, maka pada tahun 1816 HEINRICH VON COTTA dapat menyelesaikan sebuah buku yang berjudul Anweisung zum Waldbau (petunjuk silvikultur). Dlam tulisannya, COTTA menjelaskan secara sistematik metode pengaturan hasil yang sudah dipraktekkan secara luas di Jerman sejak beberapa abad terakhir. Oleh karena itu, selanjutnya dikenal ada metode COTTA atau metode Periodik Blok, yang nama aslinya adalah Periodic Yields with A Regeneration Block method.

Beberapa waktu sebelumnya GEORG LUDWIG HARTIG, guru COTTA, telah menulis buku yang menerangkan perlunya pembagian wilayah sebagai dasar penyusunan organisasi lapangan untuk menyelenggarakan pengelolaan hutan yang efisien. Dalam tulisan HARTIG itu, juga ditekankan perlunya pembuatan hutan monokultur dengan system silvikultur tebang habis dengan permudaan buatan. Walaupun ide HARTIG tentang hutan monokultur itu segera ditentang pada ekolog dan rimbawan konservasionis, misalnya KARL HAYER (MANAN, 1988 dalam SIMON, 1999), karena alas an perkembangan hama dan

10 | Buku Ajar Manajemen Hutan 10 | Buku Ajar Manajemen Hutan

Pada awal abd ke-18, yaitu pada tahun 1710, seorang ahli kehutanan Jerman lainnya, HANS CARL VON CARLOWITZ, menulis buku dengan judul Silvicultura economika (ekonomi silvikultur). Di dalam buku ini, CARLOWITZ menerangkan keuntungan yang diperoleh dari penanaman hutan satu jenis (monokultur) untuk mewujudkan apa yang dinamakan Sustained yield forestry. Gagasan CARLOWITZ inilah yang dielaborasi lebih lanjut oleh HARTIG dan muridnya COTTA.

Gagasan hutan tanaman monokultur dengan 1 daur itu menjadi lebih kokoh lagi setelah pada tahun 1849 FAUSTMAN menulis rumus daur dinansial. Dengan dirumuskannya system pengelolaan hutan seperti itu, seolah-olah Jerman telah memproklamirkan system pengelolaan kebun kayu, yang kelak menjadi acuan pembangunan hutan di seluruh dunia. Selanjutnya, semua kegiatan teknik kehutanan mulai dari pembuatan tanaman pemeliharaan sampai pemanenan dengan segala kelengkapannya terus mengalami kemajuan. Paling tidak selama lebih dari dua abad, yaitu abad ke-18 sampai pertengahan abad ke-

20, Jerman memang menjadi kiblat ilmu kehutanan seluruh negara di dunia (PELUSO, 1993). Di Indonesia, system Jerman diterapkan untuk membangun hutan jati yang rusak akibat timber extraction selama masa VOC dan awal pemerintahan Hindia Belanda.

Ciri-ciri system pengelolaan hutan dari Jerman tersebut adalah:  Pada umumnya merupakan hutan tanaman monokultur dengan system silvikultur tebang habis dan permudaan buatan.  Karena monokultur, maka untuk kesederhanaan dalam perencanaan digunakan konsep Kelas Perusahaan (Planning unit) yang sekaligus berlaku

sebagai alat pengendali kelestarian hasil.

11 | Buku Ajar Manajemen Hutan

 Satuan kelas perusahaan adalah unit perencanaan yang dinamakan Bagian

Hutan, yang untuk hutan jati di Jawa luasnya berkisar antara 4.000 – 6.000

ha.  Untuk pengaturan hasil digunakan konsep daur tunggal. Pada mulanya daur

tunggal itu ditetapkan dengan criteria teknik, tetapi kemudian diganti dengan daur financial setelah FAUSTMANN menemukan rumus perhitungan yang monumental pada tahun 1949.

Konsep pengelolaan hutan yang dimaksudkan itu berkembang pesat sejak abad ke-17, terutama karena beberapa keuntungan yang secara teoritik memang cukup memberi harapan, yaitu:  Perencanaannya sederhana dan oleh karena itu mudah dan murah.  Pelaksanaan pengelolaan juga lebih mudah dan biaya yang murah sehingga

diharapkan diperoleh keuntungan uang yang tinggi.  Konsep kelas perusahaan menguntungkan bagi pengadaan bahan baku

industry yang pada waktu itu di Jerman masih terbatas menggunakan jenis tertentu saja.

Walaupun konsep yang ditentukan dengan lebih memperhatikan kepentingan ekonomi itu sejak awal sudah ditentang oleh ekolog dan kaum konservasionis, tetapi sebagaimana lazimnya, pertimbangan ekonomi hampir selalu diunggulkan karena jangkauan waktunya hanya untuk jangka pendek, dibanding dengan pertimbangan lingkungan yang relatif lebih abstrak dan bersifat jangka panjang. Kekurangan-kekurangan system tersebut:  Tegakan monokultur rentan terhadap gangguan hama dan penyakit karena

keragaman hayati menjadi sangat miskin sehingga ekosistem hutan tidak lagi stabil.

 Fungsi perlindungan terhadap lingkungan berkurang banyak karena pembangunan hutan hanya ditekankan pada produktivitas kayu yang setinggi mungkin.

 Tidak dapat memaksimumkan produktivitas kawasan hutan karena system pengelolaan seragam untuk areal yang relative luas (satu kelas perusahaan),

12 | Buku Ajar Manajemen Hutan 12 | Buku Ajar Manajemen Hutan

Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan masyarakat, termasuk di negara sedang berkembang yang dulu merupakan Negara jajahan bangsa- bangsa Eropa, kekurangan hutan tanaman monokultur semakin dapat dipahami secara luas. Di lain pihak, kemajuan teknologi yang selalu menyertai pembangunan di mana pun, justru menuntut peran hutan sebagai pelindung ekosistem dan lingkungan hidup. Di samping itu juga dituntut agar fungsi hutan untuk menjadi sumberdaya yang selalu menyajikan berbagai macam keperluan masyarakat, seperti yang diberikan oleh hutan alam klimaks, dapat diwujudkan kembali.

C. Pengelolaan Sumberdaya Hutan

Pengelolaan hutan untuk menghasilkan kayu berkembang pesat di negara-negara maju, khususnya Eropa Barat dan Amerika Utara, sepanjang abad ke-18 dan 19. Sistem pengelolaan kebun kayu itu, yang menempatkan kelesatarian hasil sebagai landasannya, dikenal sebagai sistem pengelolaan hutan modern. Di Jawa, system tersebut juga dapat dilaksanakan dengan sukses untuk membuat hutan tanaman jati. Landasan politis ini telah digariskan oleh DAENDELS tahun 1811, persiapannya dirumuskan Tim MOLLIER yang mulai bekerja pada tahun 1849, sedangkan pelaksanaan operasionalnya baru berjalan mulai tahun 1898 setelah usulan BRUINSMA tentang organisasi territorial yang dinamakan vesterij diterima oleh pemerintah pada tahun 1892 (LUGT, 1933 dalam SIMON, 1999).

Pada waktu sistem Timber Management itu dirumuskan, keadaan social ekonomi masyarakat di Pulau Jawa masih jauh berbeda dengan keadaan sekarang. Perubahan keadaan social-ekonomi maupun kemajuan iptek tersebut menyebabkan konsep kebun kayu yang disusun pada akhir abad ke-19 itu tidak lagi sinkron (gayut) dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat pada akhir abad ke-20 ini. Selama dekade 1950-an pengelolaan kebun kayu mulai menghadapi masalah-masalah baru yang berkaitan dengan masalah-masalah social-ekonomi

13 | Buku Ajar Manajemen Hutan 13 | Buku Ajar Manajemen Hutan

Pada Kongres Kehutanan Dunia V denga tema Multiple Use of Forest Land dan Kongres Kehutanan Dunia VIII tahun 1978 dengan tema Forest for People, yang rimbawan telah menyadarinya dan memberi reaksi yang tepat terhadap perubahan tersebut. Sayangnya aplikasi konsep baru itu di lapangan sangat lambat sehingga selama periode itu, bahkan sampai sekarang, laju kerusakan hutan tersebut meningkat.

Dengan lahirnya istilah social forestry (kehutanan sosial) pada Kongres Kehutanan Dunia VIII tahun 1978, maka pengelolaan kebun kayu yang semula dianggap sebagai bentuk pengelolaan hutan modern telah berubah menjadi strategi pengelolaan hutan modern telah berubah menjadi strategi pengelolaan kehutanan konvensional (conventional forestry). Dalam strategi pengelolaan hutan yang baru ini ada tiga perbedaan yang penting dibanding dengan sistem konvensional (kebun kayu), yaitu:  Tujuan pengelolaan hutan tidak hanya untuk menghasilkan kayu

pertukangan, melainkan untuk memanfaatkan sumberdaya kawasan hutan bagi semua jenis hasil hutan yang dapat dihasilkan di tempat yang bervariasi menurut lokasi.

 Orientasi pengelolaan hutan berubah dari kepentingan untuk memperoleh keuntungan financial bagi perusahaan ke kepentingan dan kebutuhan masyarakat, khususnya yang bertempat tinggal di dalam dan kawasan hutan.

 Berbeda dengan pengelolaan kebun kayu yang berskala luas dengan konsep kelas perusahaan untuk satu bagian hutan sebagai unit, dalam strategi kehutanan social bentuk pengelolaan hutan beragam sesuai dengan sifat fisik wilayah mikro dan pengaruh sosial (management regiems), untuk memaksimumkan produktivitas tiap jengkal kawasan hutan. Satuan wilayah mikro yang diambil di sini adalah unit kegiatan tahunan, khususnya pekerjaan

14 | Buku Ajar Manajemen Hutan 14 | Buku Ajar Manajemen Hutan

Karena tujuan pengelolaan hutan tidak lagi hanya menghasilkan kayu pertukangan, melainkan hasil apa saja yang tersedia di tempat dan sesuai dengan kondisi fisik wilayah maupun tuntunan sosial-ekonomi masyarakat, maka bentuk pengelolaan hutan ini dinamakan Pengelolaan Sumber Daya Hutan (Forest Resource Management).

Bagi forest resource management, konsep timber management dengan kelas perusahaan monokultur, dan daur tunggal akan membatasi upaya mencapai produktivitas maksimumnkarena konsep yang lama itu sama sekali tidak fleksibel, tidak dapat menyesuaikan dengan kondisi mikro. Oleh karena itu, yang cocok adalah konsep management regimes, polikutur, daur ganda dan satuan regime dalam petak. Dengan demikian, perubahan dari timber management ke forest resource management benar-benar memerlukan perubahan dalam semua aspek perencanaan maupun pelaksanaan pengelolaan. Tujuan penerapan sistem pengelolaan yang beragam dalam bentuk berbagai regimes adalah untuk memaksimumkan produktivitas tiap jengkal kawasan hutan disesuaikan dengan kondisi tanah dan lahan serta faktor lingkungan setempat yang mempengaruhinya. Kalau konsep kelas perusahaan dibandingkan dengan konsep Management Regimes, masing-masing mempunyai keuntungan dan kelemahan.

Keuntungan konsep Management regimes:  Karena polikultur, tegakan lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit;  Tegakan polikultur berpengaruh lebih baik terhadap lingkungan, termasuk

aspek hidro-orologi dan kehidupan satwa;  Hasil yang diperoleh dari hutan akan semakin beragam (diversifikasi) sehingga menguntungkan konsumen maupun produsen.

Kekurangan konsep Management regimes:  Perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan lebih sulit. Setiap daerah memerlukan rencana tersendiri disesuaikan dengan kondisi tersebut;

15 | Buku Ajar Manajemen Hutan

 Karena titik (1) di atas, maka diperlukan kualifkasi tenaga perencana maupun pengelola yang lebih baik;  Kalau rencana dan pelaksanaan pengelolaan di lapangan kurang

professional, keuntungan perusahaan justru menurun. Keuntungan dan kelemahan konsep Kelas perusahaan merupakan

kebalikan dari konsep Management Regimes tersebut.

D. Pengelolaan Ekosistem Hutan

Sesuai kodratnya, peranan pohon yang paling utama adalah untuk menjaga ekosistem permukaan planet bumi ini. Oleh karena itu, dengan semakin banyaknya jumlah penduduk serta produk teknologi, fungsi lindung akan menjadi lebih penting dibanding dengan fungsi ekonomi yang diharapkan dari hutan. Dalam kondisi seperti ini, tidak mustahil bahwa fungsi ekonomi akan berubah menjadi hasil sampingan (side products), sedang hasil utama yang diharapkan dari hutan adalah fungsi perlindungan lingkungan. Pada tahap ini, bentuk pengelolaan hutan akan berubah menjadi tingkatan yang sangat kompleks, yaitu Pengelolaan Ekosistem Hutan (Forest Ecosystem Management).

Dikaitkan dengan masukan (input) yang diperlukan dan keluaran (output) yang dihasilkan, maka ilmu yang diperlukan untuk membangun sistem pengelolaan ekosistem hutan benar-benar masih amat jauh dari yang sekarang tersedia. Namun demikian, bukan berarti bahwa konsep ini belum dapat dimulai sampai sekarang, karena fenomena-fenomena yang terdapat di lapangan dapat dikaji dan ditiru untuk model awal. Alternatif lain untuk menyusun rekayasa system pengelolaan ekosistem hutan adalah dengan mengembangkan sedikit demi sedikit konsep pengelolaan sumberdaya hutan, dengan menggeser titik berat keluaran dari fungsi ekonomi ke fungsi perlindungan lingkungan.

Dalam pengelolaan ekosistem hutan, kepentingan lingkungan hidup lebih diutamakan, sedangkan keuntungan finansial dipandang sebagai hasil sampingan saja. Oleh karena itu, untuk merancang pengelolaan ekosistem hutan diperlukan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat lengkap. Inilah

16 | Buku Ajar Manajemen Hutan 16 | Buku Ajar Manajemen Hutan

E. Evaluasi Pengelolaan Hutan

Seperti yang terjadi sejak dulu kala pertentangan tentang peranan hutan antar kepentingan selalu dimenangkan oleh kepentingan ekonomi. Puncak perkembangan yang terlahir itu adalah lahirnya badan-badan internasional seperti ITTO (International Timber Tride Organization). Di samping terjadinya aksi boikot oleh masyarakat dan LSM di Negara maju terhadap penjualan kayu yang ditebang dari hutan alam, ITTO lalu membuat aturan-aturan utuk membatasi laju pengrusakan hutan oleh para pengusaha perkayuan, sambil mendorong perbaikan sistem pengelolaan hutan yang dilaksanakan di negara- negara sedang berkembang, khususnya yang memiliki hutan alam tropika.

Namun begitu jauh sebenarnya baik LSM maupun ITTO belum memiliki konsep yang bersifat operasional untuk memperbaiki pelaksanaan pengelolaan hutan oleh negara-negara sedang berkembang. Oleh karena itu, aturan-aturan itu hanya cenderung memberi tekanan kepada negara-negara pemilik hutan tropika agar yang bersangkutan mencari sendiri jalan pemecahan untuk memperbaiki system pengelolaan hutan yang harus dilaksanakan. Hal ini disebabkan karena elemen ilmu yang diperlukan untuk memperbaiki sistem pengelolaan hutan tropika yang sebagian besar telah rusak karena penebangan untuk memenuhi permintaan bahan baku industry perkayuan milik atau menjadi kebutuhan Negara maju itu sebenarnya belum tersedia.

Agar supaya di kemudian hari dilaksanakan penilaian yang obyektif tentang rencana dan pelaksanaan suatu pengelolaan hutan, maka dipikirkan adanya landasan teori objektif pula. Pada dasarnya tujuan pengelolaan hutan harus mengacu pada bagaimana perumusannya untuk memaksimumkan manfaat yang disediakan oleh hutan. Begitu pula aplikasinya harus tidak menyimpang dari rencana yang selalu berpegang teguh pada prinsip-prinsip agro-ekosistem tentang produktivitas, stabilitas, kelestarian dan keadilan.

17 | Buku Ajar Manajemen Hutan

F. Kehutanan Masyarakat (Community Forestry): Konsep Pengelolaan Hutan Mutakhir

Konsep pemikiran kehutanan masyarakat berkembang setelah kebijakan industrialisasi kehutanan yang bersifat ekonomi-sentrik gagal. Hal ini ditandai dengan tingginya laju degradasi hutan dan kemiskinan masyarakat di dalam dan disekitar hutan. Kegagalan kebijakan industrialisasi kehutanan mendorong terjadinya pergeseran paradigma pembangunan kehutanan, yaitu: dari state based forest management ke community based forest management, dari timber oriented ke forest ecosystem management, dari big scale business ke small owner scale business, dari eksploitasi ke rehabilitasi dan konservasi, dari pendekatan sektoral ke pendekatan regional (sistem), dan dari sistem pengelolaan yang seragam ke sistem pengelolaan spesifik berdasarkan potensi lokal (Alam, 2003).

Kehutanan masyarakat (community forestry) adalah sistem pengelolaan hutan yang berintikan partisipasi rakyat, artinya rakyat diberi wewenang merencanakan dan merumuskan sendiri apa yang mereka kehendaki. Sedangkan pihak lain menfasilitasi rakyat untuk dapat menumbuhkan bibit, menanam, mengelola, dan melindungi sumberdaya hutan milik mereka, agar rakyat memperoleh keuntungan maksimum dari sumberdaya hutan dan mengelolanya secara berkelanjutan (FAO, 1995).

Desmond F. D. (1996), mengemukakan bahwa kehutanan masyarakat adalah pengendalian dan pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat lokal untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, yang terpadu dengan system pertanian masyarakat. Definisi Desmond F. D. ini lebih radikal dibanding dengan definisi FAO (1995) karena menghilangkan pernyataan perlunya pihak lain memberikan advis dan input needed kepada masyarakat lokal. Namun demikian, kedua definisi tersebut mempunyai kesamaan yaitu tidak mempersoalkan status lahan (kawasan hutan atau bukan kawasan hutan), tetapi menekankan kepada siapa pengelolanya. Hal inilah yang membedakan konsep kehutanan masyarakat (community forestry) dengan konsep Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang digalakkan pemerintah Indonesia.

18 | Buku Ajar Manajemen Hutan

Konsep hutan kemasyarakatan (forest community) atau disingkat HKm pertama kali diperkenalkan oleh pemerintah pada tahun 1995 dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 622/Kpts-II/1995, kemudian direvisi dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 677/Kpts-II/1998, kemudian direvisi lagi dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 865/Kpts-II/1999, dan revisi terakhir adalah Keputusan Menteri Kehutanan No. 31/Kpts-II/2001. Intisari konsep kehutanan masyarakat dari beberapa keputusan menteri tersebut adalah membangun sistem pengelolaan hutan negara yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat tanpa mengganggu fungsi pokok hutannya.

Kebijakan terakhir pemerintah yang terkait dengan konsep kehutanan masyarakat adalah Program Social Forestry. Di dalam Peraturan Menteri Kehutanan No: PP.01/Menhut-11/2004 dijelaskan pengertian Social Forestry adalah sistem pengelolaan sumberdaya hutan pada kawasan hutan negara atau hutan hak, yang memberi kesempatan kepada masyarakat setempat sebagai pelaku dan atau mitra utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya dan mewujudkan kelestarian hutan. Program Social Forestry, dengan demikian, pada dasarnya berintikan kepada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat desa di dalam dan di sekitar hutan melalui suatu sistem pengelolaan hutan yang menempatkan masyarakat desa sebagai pelaku utama, mitra kerja, dan sebagai pihak yang harus mendapat bagian kesejahteraan yang memadai dari kegiatan pengelolaan hutan. Program Social Forestry mengedepankan partisipasi masyarakat desa sebagai unsur utama dalam pengelolaan hutan.

Social Forestry mengandung makna yaitu rangkaian kegiatan pengembangan dan pengurusan hutan negara dan hutan hak yang dilakukan sendiri oleh pemiliknya/masyarakat dengan fasilitasi dari semua stakeholder terkait, serta memperhatikan prinsip-prinsip pengusahaan hutan. Forestry mengandung makna sebagai suatu tatanan sistem, sedangkan kata social mempunyai dimensi yang bermacam-macam, yaitu (Kartasubrata, J., 2003):

1. sosial dalam artian konsep perhutanan sosial mendukung integrasi ekonomi, ekologi, dan kelestarian.

19 | Buku Ajar Manajemen Hutan

2. sosial dalam hal keterpaduan dalam masyarakat. Fungsi kunci yang berhubungan dengan sumberdaya hutan seperti pengambilan keputusan, pengawasan, pengelolaan, investasi, dan pemanfaatan hasil tidak terkonsentrasi di tangan institusi pemerintah dan pemegang konsesi (swasta) saja, akan tetapi terdistribusi ke masyarakat.

3. sosial dalam hal ditetapkan secara sosial, yang berarti situasional dan dinamis.

4. sosial dalam hal suatu bentuk kehutanan yang menjadi acuan masyarakat secara politis, sosial, institusional, dan ekonomis.

Pada dasarnya istilah kehutanan masyarakat (community forestry) dan social forestry jika dikaitkan dengan latar belakang permasalahannya menunjukkan kesamaan maksud yaitu, (Alam, 2003):

1. menggeser paradigma pembangunan kehutanan dari atas dan tersentralisasi menuju pembangunan kehutanan yang mengutamakan kontrol dan keputusan dari masyarakat lokal.

2. Mengubah sikap dan keterampilan rimbawan dari pelindung hutan terhadap gangguan manusia menjadi bekerja bersama masyarakat.

Campbel (1997) dalam Suhardjito, dkk. (2000) mengusulkan 20 langkah pergeseran yang diperlukan untuk menerapkan konsep kehutanan masyarakat, sepeti disajikan pada Tabel 2.

20 | Buku Ajar Manajemen Hutan

Tabel 2. Pergeseran yang Diperlukan untuk Menerapkan Konsep Kehutanan Masyarakat

dari

menuju

A. Sikap Dan Orientasi

1. Pengendalian Dukungan/Fasilitasi 2. Penerima Manfaat

4. Pembuatan keputusan unilateral

Partisipatif

5.Orientasi Penerimaan Orientasi sumberdaya 6. Keuntungan nasional

Orientasi keadilan local 7. Diarahkan oleh rencana

Proses belajar/evolusi

B. Institusional Dan Adninistratif

8. Sentralisasi Desentralisasi 9. Manajemen (Perencanaan, pelaksanaan,

Kemitraan

monitoring) oleh pemerintah 10. Top down

Partisipatif/negosiatif 11. Orientasi target

Orientasi proses 12. Anggaran kaku untuk rencana kerja besar

Anggaran fleksibel 13. Aturan-aturan untuk menghukum

Penyelesaian konflik

C.Metode Manajemen

14. Kaku

Fleksibel

15. Tujuan Tunggal Tujuan Ganda 16. Keseragaman

Keanekaragaman 17. Produk tunggal

Produk beragam 18. Silvikultur tunggal

Silvikultur spesifik local 19. Tanaman

Regenerasi alam 20. Tenaga kerja/buruh/ pengumpul

Manajer/pelaksana/pemroses/ pemasar

Sumber: Suhardjito, dkk. (2000)

Implementasi konsep kehutanan masyarakat di lapangan dijumpai dalam beberapa istilah yang merupakan varian dari konsep dasar kehutanan masyarakat, antara lain (Suhardjito, dkk., 2000):

1. Collaborative Forest Management, adalah: pengelolaan kawasan hutan tertentu dengan pola kemitraan yang melibatkan berbagai stakeholders (pemerintah, pengusaha, dan masyarakat lokal). Para stakeholders mengembangkan kesepakatan-kesepakatan yang menjelaskan peran, tanggung jawab, dan dan hak-haknya dalam mengelola sumberdaya hutan. Kesepakatan-kesepakatan tersebut paling tidak meliputi, (1) kejelasan kawasan hutan dan tata batasnya, (2) lingkup pemanfaatan dan pemanenan hutan, (3) penetapan dan pengakuan atas peran, tanggung jawab, dan hak

21 | Buku Ajar Manajemen Hutan 21 | Buku Ajar Manajemen Hutan

2. Co-management, sama dengan Collaborative Forest Management, hanya berbeda dalam model partisipasinya, dimana dalam Co-management bentuk partisipasinya sampai pada proses-proses politik dan proses pengambilan keputusan.

3. Joint Forest Management (JFM), adalah: kerangka manajemen hutan yang mendorong kemitraan antara Departemen Kehutanan dengan kelembagaan lokal dan anggota masyarakat yang hidupnya bergantung pada hutan untuk mengembangkan pola yang saling menguntungkan dan bertanggung jawab terhadap sumberdaya hutan yang dikelola. Di India, JFM memberikan akses penuh hasil hutan bukan kayu kepada masyarakat, dan 20 - 50% bagi hasil untuk kayu pada saat panen.

Untuk menghindari terjadinya kerancuan definisi, maka perlu adanya suatu rumusan dasar yang menjadi penciri dari konsep kehutanan masyarakat yaitu, (Suhardjito, dkk., 2000):

1. Masyarakat lokal mampu mengambil peran utama dalam pengelolaan hutan, dengan cara-cara yang cocok dan sesuai dengan tujuan serta nilai-nilai lokal.

2. Masyarakat lokal mempunyai hak-hak yang sah dalam mengelola sumberdaya hutan.

3. Pengelolaan hutan mengkaitkan secara simultan tujuan-tujuan lingkungan, ekonomi, dan sosial.

4. Kemitraan dan pengembilan keputusan oleh masyarakat lokal merupakan ciri minimum dari kehutanan masyarakat.

G. Pertanyaan dan Tugas

1. Jelaskan perkemangan sejarah pengelolaan hutan

2. Jelaskan konsep pengelolaan hutan mutakhir

3. Jelaskan satu bentuk pengelolaan hutan yang anda ketahui

22 | Buku Ajar Manajemen Hutan

Rujukan:

Simon. 1993; Hutan Jati dan Kemakmuran: Problematika dan Strategi Pemecahannya. Aditya Media. Yogyakarta.

Simon, 1995; Pengelolaan Hutan Kolaboratif

FKKM, 1998.

23 | Buku Ajar Manajemen Hutan

III

Pokok Bahasan

: Review Teori Dasar Pengelolaan Hutan

Tujuan Umum : Memahami dasar-dasar teori yang berkaitan dengan system pengelolaan hutan

lestari

Tujuan Instruksional Khusus : Selesai mempelajari Bab III, mahasiswa/i

mampu menjelaskan: (1) konsep hutan seumur, hutan tidak seumur, hutan normal,

riap, rotasi, dan konsep kelestarian.

Untuk dapat mengelola hutan dengan baik, diperlukan dasar-dasar teori yang berkaitan dengan system pengelolaan hutan. Dasar-dasar teori yang dimaksud mencakup teori tentang pengelolaan hutan pada umumnya dan elemen-elemen dasar pengelolaan hutan.

A. Konsep Tegakan dan Hutan

Berikut ini akan dikemukakan beberapa konsep dasar yang terkait dengan tegakan dan hutan:

1. Tegakan (Stand) adalah kesatuan pohon-pohon atau tumbuhan lain yang menempati suatu areal tertentu dan yang memiliki komposisi jenis (species), umur, dan kondisi yang cukup seragam untuk dapat dibedakan dari hutan

24 | Buku Ajar Manajemen Hutan 24 | Buku Ajar Manajemen Hutan

2. Tegakan tidak Seumur (Even-aged stand) adalah tegakan yang terdiri dari pohon-pohon yang berumur sama atau paling tidak berada dalam kelas umur yang sama. Smith (1962) menyebutkan bahwa suatu tegakan dianggap seumur kalau perbedaan umur antara pohon-pohon yang paling tuadan yang paling muda tidak melebihi 20% panjang daur (rotasi). Sebenarnya dalam hutan yang dipermudakan secara alamsukar sekali dijumpai tegakan yang terdiri dari pohon-pohon yang berumur sama. Oleh karena itu mungkin lebih tepat kalau kita katakana bahwa tegakanseumur adalah tegakan yang terdiri dari pohon-pohon dengan perbedaan umur antara pohon yang paling muda dan yang paling tua yang diperbolehkan adalah 10 sampai 20 tahun. Namun demikian, apabila tegakan tersebut tidak akan ditebang sebelum berumur 100 – 200 tahun, maka perbedaan umur yang diperbolehkan mencapai 25% dari umur daur atau rotasi.

3. Tegakan tidak Seumur (Uneven-aged stand) adalah tegakan yang terdiri dari pohon-pohon dengan perbedaan umur antara pohon yang paling tua dengan pohon yang paling muda paling sedikit sebesar tiga kelas umur. Jadi dalam tegakan tidak seumur terdapat paling sedikit tiga kelas umur.

4. Kelas umur (age class) adalah salah satu dari rangkaian selang (interrval) waktu yang menyusun rentangan umur (life span) pohon hutan. Jadi rentangan umur pohon hutan dibagi ke dalam beb erapa selang waktu . Di Indonesia, biasanya panjang selang waktu tanaman hutan adalah 5 atau 10 tahun. Untuk jenis pohon yang rumbuh cepat panjang selang waktu hanya 1 tahun. Biasanya tiap jenis pohon ditetapkan panjang selang waktui yang sama. Untuk Albizia falcataria panjang selang waktu ditetapkan 1 tahun, Pinus merkusii 5 tahun, Tectona grandis yang tumbuh lebih lama 10 tahun.

5. Hutan Seumur (Even-aged Forest) adalah hutan yang terdiri atas tegakan- tegakan seumur, meskipun perbedaan umur yang sangat besar (lebih dari ¼

25 | Buku Ajar Manajemen Hutan 25 | Buku Ajar Manajemen Hutan

6. Hutan Tidak Seumur (Uneven-aged Forest) adalah hutan yang terdiri dari tegakan-tegakan tidak seumur. Contoh: Suatu hutan terdiri dari tegakan-tegakan A, B, C, dan D. Hutan tersebut dapat dikatakan tidak seumur kalau tegakan A tidak seumur, tegakan B tidak seumur, tegakan C tidak seumur, dan tegakan D tidak seumur.

7. Dinamika Tegakan. Dinamika suatu tegakan didasarkan atas prinsip-prinsip ekologi yang telah memberikan sumbangan kepada sifat dasar dari tegakan tersebut, seperti suksesi, kompetisi, toleransi,dan konsep zona optimum. Faktor-faktor inilah yang secara lansung mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan dari tegakan yang dibangun. Pertumbuhan tersebut akan mempengaruhi pertumbuhan tinggi, diameter, dan volume dari tegakan yang telah dibangun. Faktor-faktor tersebut selanjutnya akan mempengaruhi apakah tegakan itu tegakan seumur atau tegakan tidak seumur. Tegakan seumur dan tegakan tidak seumur inilah yang menentukan sistem silvikultur yang akan dibangun. Berikut ini, diuraikan secara singkat tentang prinsip-prinsip ekologi yang telah memberikan sumbangan kepada sifat dasar dari tegakan, yaitu:

a. Suksesi Hutan

26 | Buku Ajar Manajemen Hutan

Suksesi tumbuhan adalah pergantian suatu komunitas tanaman pada suatu areal oleh komunitas tanaman lain. Suksesi primer mulai dari permukaan bumi yang tidak ditumbuhi tanaman, kemudian terjadi perkembangan pergantian ke arah yang lebih maju, dan akhirnya mencapai tahap ekspresi ekologi yang paling tinggi yang disebut klimaks. Apabila perjalanan suksesi tadi mundur akibat adanya ganguan seperti api, penebangan oleh peladang berpindah, maka penyembuhan ke arah tahap sebelum datangnya gangguan disebut suksesi sekunder. Suksesi primer terjadi karena adanya pergantian sekelompok spesies oleh yang lainnya yang disebabkan oleh perkembangan dalam ekosistem itu sendiri, sedangkan suksesi sekunder terjadi karena pengaruh kekuatan luar yang meruah ekosistem seperti pengrusakan hutan, dan lain-lain. Rimbawan pada umumnya mengelola tegakan yang sedang berada dalam perkembangan suksesi sekunder. Malahan banyak spesies pohon-pohon membentuk komponen-komponen tahap perkembanmgan di bawah klimaks, danseringkali usaha utama rimbawan adalah menghalangi tendensi dari suatu komunitas maju ke arah spesies-spesies pembentuk klimaks. Setiap wilayah hutan memiliki ciri-ciri komunitas pohon-pohonan tertentu, dan rimbawan menggunakan praktek-praktek silvikultur untuk mempertahankan suatu tahap perkembangan dalam rentetan perjalanan suksesi sehingga tujuan pengelolaan hutandapat dipenuhi.

b. Kompetisi

Kompetisi adalah suatu proses yang bergerak maju karena setiap spesies memiliki kemampuan yangberbeda dalam suatu lingkungan tertentu, dan spesies yang kurang mampu mengadakan penyesuaian akan hilang dari persaingan. Agar sukses dalam persaingan, suatu spesies harus memiliki sumber biji yang cukup, tempat perkecambahan biji yang cocok, keadaan pertumbuhan yang cukup, dan tidak memiliki kelemahan utama dalam terhadap serangan penyakit, hama, dan binatang yangdapat merintangi kelansungan hidupnya.

27 | Buku Ajar Manajemen Hutan

Dalam proses kompetisi ini, suatu spesies dapat menempatkan dirinya sebagai spesies yang dominan dan bahkan suatu spesies dapat menggantikan spesies lainya sehingga terdapat suatu proses saling ganti mengganti antarberbagai spesies.