Preskripsi Pengelolaan
b. Preskripsi Pengelolaan
Preskripsi pengelolaan adalah sejumlah kegiatan yang akan diimplementasikan pada wilayah unit pengelolaan hutan untuk mencapai hasil tertentu yang diinginkan. Kerangka desain preskripsi pengelolaan disajikan pada Gambar 12.
Preskripsi Pengelolaan
Kawasan Hutan dan Lahan Kondisi
Klasifikasi Penggunaan
Management
Lahan Masyarakat
Lahan oleh Regime
Lansekap Wilayah
Permintaan Lahan Degradasi Hutan Pengangguran
Preskripsi Analisis Sosial
Preskripsi
Ekonomi pengelolaan hutan
Silvikultur
oleh masyarakat Produktivitas
Lahan
Gambar 12. Kerangka Desain Preskripsi Pengelolaan Preskripsi pengelolaan hutan di wilayah unit pengelolaan Camara
diarahkan untuk mengatasi masalah struktur wilayah pedesaan seperti degradasi hutan, permintaan lahan usahatani masyarakat, pengangguran, meningkatkan produktifitas dan nilai lahan hutan, dan menghasilkan pangan untuk masyarakat di sekitar hutan. Preskripsi pengelolaan meliputi klasifikasi lahan dan preskripsi silvikultur.
1) Klasifikasi Lahan
Berdasarkan hasil analisis tata guna lahan, pengamatan lapangan, dan diskusi dengan masyarakat desa-desa hutan, maka lahan kawasan hutan diklasifikasi untuk mengadaptasikan struktur tataguna lahan paduserasi dengan struktur penggunaan lahan oleh masyarakat.
Kawasan hutan diklasifikasi secara vertikal dan secara horisontal. Klasifikasi lahan secara vertikal adalah membagi kawasan hutan menjadi tiga regime yaitu, 1/3 bagian regime puncak, 1/3 bagian regime tengah, dan 1/3 bagian regime bawah. Pembagian secara vertikal menjadi 3 regime ini sesuai dengan lanskap wilayah yang telah dibangun oleh masyarakat, serta mengacu kepada UU N0. 41/1999 pasal 18 yang menyatakan bahwa pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap Daerah Aliran Sungai (DAS) minimal 30% dari luas DAS dengan sebaran yang proporsional guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat.
Klasifikasi lahan secara horisontal membagi kawasan hutan menjadi tiga regime yaitu regime intensif, regime setengah intensif, dan regime tidak intensif. Istilah regime intensif dan tidak intensif terkait dengan intensitas pengelolaan unit usaha pada setiap regime. Luas wilayah masing-masing regime ditentukan oleh faktor-faktor lanskap wilayah desa, jumlah penduduk, jarak permukiman dengan kawasan hutan, dan fungsi kawasan hutan. Klassifikasi lahan tersebut secara sederhana disajikan pada Gambar 13.
Regime Regime Regime Intensif Setengah Tidak
Intensif Intensif
= Pusat Pemukiman Gambar 13. Klasifikasi Lahan Unit Pengelolaan Hutan
Klasifikasi lahan seperti pada Gambar 13 menunjukkan adanya regime- regime pengelolaan (management regime) yang bersifat spesifik lokal sesuai struktur wilayah pedesaan hutan. Contoh klasifikasi lahan yang dapat dijumpai pada wilayah pedesaan hutan disajikan pada Gambar 14.
Gambar 14. Contoh Klasifikasi Lahan Pada Unit Pengelolan Hutan Klasifikasi lahan seperti pada Gambar 14 dapat dijumpai antara lain di
Desa Sawaru, Pattiro Deceng, Cenrana, Timpuseng, Limampoccoe, Mario Pulana, Tellumpanuae, dan Desa Rompegading. Klasifikasi lainnya adalah permukiman masyarakat langsung berbatasan dengan kawasan hutan seperti dijumpai di Desa Benteng, Pattiro Deeceng, Barugae, Bentenge, Cenrana, Labuaja, dan lain-lain. Klasifikasi lahan seperti diuraikan di atas telah dipraktekkan oleh masyarakat dengan mempertimbangkan faktor fisik lahan seperti, kelerengan, ketinggian dari muka laut, kesuburan lahan, dan ketersediaan air. Klasifikasi tersebut, saat ini cenderung mengalami perubahan seiring dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat seperti, jumlah penduduk yang meningkat berdampak kepada permintaan lahan yang juga meningkat, aksesibilitas yang meningkat, kemampuan teknologi berusahatani yang meningkat. Dampak perubahan tersebut secara nyata dapat dilihat dari degradasi hutan akibat konversi kawasan hutan menjadi kebun atau ladang.
2) Preskripsi Silvikultur
Hasil analisis hubungan struktur wilayah pedesaan dengan tingkat degradasi hutan ditemukan bahwa desa-desa dengan spesialisasi wilayah adalah sektor kehutanan mengalami degradasi rendah, sedangkan desa-desa dengan spesialisasi wilayah adalah sektor ladang mengalami degradasi hutan tinggi. Oleh karena itu, preskripsi silvikultur hutan diarahkan untuk merubah struktur pola penggunaan lahan ladang menjadi struktur pola penggunaan lahan hutan.
Preskripsi silvikultur untuk merubah struktur tersebut harus bersifat sequential system memproduksi tanaman pangan, hasil hutan bukan kayu, dan hasil hutan kayu. Preskripsi pola perladangan masyarakat membangun hutan kemiri adalah contoh preskripsi yang dapat merubah struktur tersebut di atas.
Pola perladangan masyarakat membangun hutan kemiri dimulai dengan kegiatan tumpangsari selama tiga tahun pertama dengan areal tumpangsari seluas 0,25 ha. Pembatasan luas areal tumpangsari tersebut menyesuaikan dengan kemampuan petani membuka lahan dan alokasi waktu yang tersedia.
Pada tahun ke empat kegiatan tumpangsari berpindah pada areal lain dengan luas yang sama yaitu 0,25 ha. Dengan masa tumpangsari selama 3 tahun dan dengan luas areal yang layak untuk menghidupi setiap KK petani rata- rata seluas 2,0 ha, maka setiap KK memerlukan areal berladang berpindah sebanyak 8 areal, yang akan dikelola secara berotasi selama jangka waktu 24 tahun. Siklus pemanfaatan lahan pola tumpangsari disajikan pada Gambar 15.
Areal VI (0,25 ha)
Tumpangsari
Areal VII
Areal IV
tahun 16-18
tahun 19-21 Areal V tahun 10-12 Areal III
(0,25 ha)
(0,25 ha)
Tumpangsari Areal VIII
Tumpangsari
Areal II
tahun 7 - 9 (0,25 ha)
tahun 13-15
(0,25 ha)
Tumpangsari Tumpangsari
Areal I
tahun 22-24
tahun 4 - 6
(0,25 ha) Tumpangsari
tahun 1-3
Gambar 15. Siklus Pemanfaatan Lahan Pola Tumpangsari Areal I dikelola secara tumpangsari dengan pohon kemiri selama 3 tahun
pertama, jarak tanam 5 x 5 m atau sebanyak 100 pohon kemiri padasetiap areal ladang tumpangsari. Pada tahun ke 4, kegiatan tumpangsari berpindah ke Areal
II selama 3 tahun. Pada tahun ke 7 kegiatan tumpangsari berpindah ke Areal III selama 3 tahun. Dengan demikain, areal seluas 2 ha/KK akan dikelola secara tumpangsari selama 24 tahun. Apabila tanaman tahunan yang ditanam adalah kemiri, maka pada tahun ke 5 kemiri pada areal I sudah mulai berbuah, pada tahun ke 6 kemiri pada Areal II mulai berbuah, dan setersunya sehingga seluruh areal sudah berbuah pada tahun 26. Usia produktif berbuah pohon kemiri adalah 15 sampai 25 tahun. Oleh karena itu, sejak tahun ke 26, proses regenerasi pola tumpangsari dapat dilakukan kembali pada Areal I, secara berotasi seperti pada periode I. Demikainlah seterusnya, petani mengelola lahan hutan kemiri seluas 2 ha secara berotasi.
3) Rotasi
Faktor jenis tanaman dan luas areal yang dikelola oleh setiap KK mejadi pertimbangan dalam menentukan panjang rotasi. Untuk jenis tanaman kemiri dengan luas areal kelola 2,0 ha/KK dapat mengikuti rotasi seperti pada Gambar
40, sedangkan untuk jenis tanaman yang lain seperti jati, mahoni, akasia, menyesuaikan dengan rotasi masing-masing jenis. Struktur wilayah pedesaan yang berbeda-beda juga dipertimbangkan dalam menentukan panjang rotasi. Desa-desa dengan tekanan penduduk yang tinggi, maka rotasi pengelolaan dapat dipersingkat, yaitu sesuai kondisi kesuburan lahan untuk dapat dikelola kembali sebagai areal ladang tumpangsari. Dalam hal ini, rotasi pengelolaan tidak mengikuti rotasi teknis atau rotasi ekonomi dari tanaman pohon akan tetapi menyesuaikan masa bera lahan. Sedangkan pada desa-desa dengan tekanan penduduk rendah, maka rotasi pengelolaan hutan dapat mengikuti daur ekonomi tanaman pohon.
Penentuan rotasi yang fleksibel sesuai dengan kebutuhan masyarakat terhadap lahan usahatani disebut rotasi sosial. Makna kata sosial adalah situasional dan dinamis sesuai kondisi spesifik wilayah pedesaan hutan, namun tetap mendukung integrasi ekonomi, ekologi dan kelestarian. Hasil wawancara dengan responden diketahui rotasi ladang yang ideal untuk hutan kemiri adalah
10 - 20 tahun. Oleh karena itu, dengan pola tumpangsari seperti pada Gambar
15 dan rotasi 10 tahun, maka luas lahan tumpangsari yang dikelola oleh setiap Kepala Keluarga petani minimal 0,75 ha/KK.