Latar Belakang Lapuk Kayuteras pada Tegakan Hutan Tanaman Acacia mangium Willd

1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah penyakit hutan di Indonesia makin hari makin nyata. Hal ini berkaitan dengan makin luas dan intensifnya pembangunan hutan tanaman. Selain itu, penyakit hutan makin menjadi persoalan akhir-akhir ini, juga karena jenis- jenis pohon hutan yang sedang banyak dikembangkan dalam dua atau tiga dekade terakhir ini adalah jenis pohon hutan cepat tumbuh yang umumnya tergolong jenis eksotik. Kondisi seperti diuraikan di atas berbeda dengan situasi pada awal pembangunan hutan tanaman di Indonesia yakni ketika membangun hutan jati Tectona grandis dan tusam Pinus merkusii yang rupanya relatif tahan terhadap berbagai jenis penyakit. Di samping kedua jenis pohon hutan ini relatif tahan terhadap berbagai jenis penyakit, tujuan pembangunannya jelas serta penerapan sistem silvikultur yang tepat dan taat azas telah ikut menjamin pengelolaan tegakan hutan jati dan tusam yang sehat. Gambaran tentang penyakit hutan seperti diuraikan di atas: baik itu mengenai luas areal, intensif atau kurang intensifnya pengelolaan hutan, jenis pohon hutan cepat tumbuh atau yang tumbuhnya lambat, tahan atau rentannya jenis pohon hutan terhadap penyakit tertentu, bahkan dengan sistem silvikultur yang tepat, semuanya masih mengacu pada hal yang sama yakni bahwa jaringan yang sakit itu adalah jaringan hidup pohon hutan. Jaringan hidup tersebut dapat berupa jaringan daun, ranting, batang maupun akar pohon. Penyakit yang terjadi pada jaringan mati atau kayuteras pohon yang masih hidup merupakan satu kasus yang khas penyakit hutan. Penyakit ini dikenal sebagai penyakit lapuk kayuteras PLKT atau penyakit busuk hati atau heart rot. Sesungguhnya PLKT telah diangkat menjadi satu masalah di bidang kehutanan di Indonesia lebih dari tiga dekade yang lalu Hadi, 1972 diacu Hadi, 2001. Akan tetapi penyakit ini baru mendapat perhatian yang berarti di Indonesia sekitar satu dekade yang lampau. Di negara lain misalnya di Amerika Serikat hal ini sudah dipermasalahkan lebih dari satu abad yang lalu Tainter dan Baker, 1996. 2 Tentang PLKT di Indonesia yang dipermasalahkan Hadi, 1972 adalah PLKT pada tegakan jati di Jawa yang pernah menjadi pembahasan yang kontroversial berkaitan dengan daur tebang tegakan jati sejak tahun 1930. Masalahnya adalah apakah daur tebang tegakan jati itu dapat lebih dari 100 tahun dengan akibat akan kehilangan nilai karena PLKT atau harus kurang dari 100 tahun. Itulah sebabnya daur tebang tegakan jati pernah ditetapkan antara 60 hingga 100 tahun. Sejak saat itu belum juga ada penelitian untuk menjawab pertanyaan di atas yang demikian penting itu. Kini, PLKT dalam konteks Indonesia bahkan juga di beberapa negara Asia Tenggara, India bahkan di Australia adalah pada jenis tanaman hutan Acacia mangium. Tentang PLKT pada A. mangium yang telah banyak diteliti dan disampaikan dalam berbagai pertemuan ilmiah atau publikasi antara lain: jenis fungi penyebab PLKT, kejadiannya atau incidence, umur tanaman A. mangium mulai mengalami PLKT, zat ekstraktif yang terkandung di dalam kayuteras dan keterkaitan antara cabang yang mati dan terjadinya PLKT. Sementara besar persen kayu hilang atau cull factor dan hubungannya dengan umur tegakan hutan tanaman A. mangium sepengetahuan penulis belum pernah dilaporkan. Bentuk hubungan dimaksud penting sebagai satu informasi dalam pengaturan hasil hutan khususnya untuk kualitas kayu yang mementingkan kekuatan kayu. Topik ini menurut penulis menemukan momentum baru justru dalam kondisi dan situasi kehutanan Indonesia terbaru. Momentum baru tentang PLKT yang dimaksudkan sedikitnya dalam dua hal. Pertama, dahulu PLKT dipahami sebagai bagian dari upaya meminimalkan kerugian melalui perpendekan daur tebang. Terkenal dalam ilmu penyakit hutan dengan istilah daur patologis Boyce, 1961; Tainter dan Baker, 1997. Hal ini dapat dimengerti karena dahulu pembicaraan tentang PLKT menyangkut jenis pohon hutan jati yang pertumbuhannya lambat, relatif tahan terhadap berbagai penyakit dan karenanya daur tebangnya dapat mencapai sekitar 60 hingga 100 tahun. Konsep kelestarian hasil hutan berupa kayu ketika itu sangat menonjol. Sekarang, PLKT ingin dilihat secara baru dibandingkan dengan cara pandang di atas. Ini terkait dengan jenis pohon hutan A. mangium yang merupakan jenis pohon cepat tumbuh, rentan terhadap berbagai jenis penyakit, 3 dan daur tebangnya delapan tahun jauh lebih pendek daripada T. grandis. Konsep kelestarian hasil hutan, menjadi lebih luas dari sekedar hanya hasil hutan berupa kayu. Kedua, sejauh mana pemahaman tentang PLKT diterjemahkan dalam praktek silvikultur melalui paradigma baru, benar dan bertanggung jawab. Pendekatan yang bagaimana yang kiranya lebih konseptual tetapi sekaligus juga lebih operasional di lapangan. Pertanyaan-pertanyaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa masalah kehutanan di Indonesia sedang menghadapi dua masalah pokok dan sama pentingnya. Kedua masalah tersebut adalah kekurangan persediaan bahan baku asal kayu dan kerusakan lingkungan yang sangat berat. Memilih mengedepankan satu hal dan mengabaikan satu hal yang lain yang diutarakan di atas, tampaknya akan menimbulkan resiko yang luas terutama dalam jangka panjang. Menghadapi kondisi seperti ini menjadi penting bagaimana cara mengedepankan paradigma danatau visi yang jelas dan rasional tentang pengelolaan hutan tanaman yang sehat secara terpadu, efisien dan efektif. Dengan demikian, pengurusan hutan dan utamanya pengelolaan hutan pada tingkat satuan pengelolaan hutan lokal atau management unit perlu terus didukung oleh informasi-informasi yang baik dan relevan dari berbagai aspek. Hal ini merupakan tantangan dan sekaligus peluang bagi ilmuwan di Indonesia. Tantangan ini perlu dijawab secara baik dan tepat sasaran. Artinya bagaimana pembangunan hutan dirumuskan yang di satu sisi mencerminkan hutan sebagai sumber untuk pemenuhan kebutuhan akan bahan asal kayu dalam jumlah dan kualitas yang justru makin meningkat, dan pada sisi yang lain, hutan dipahami sebagai pengemban fungsi ekosistem khususnya di daerah tropis seperti di Indonesia. Jawaban terhadap persoalan di atas sesungguhnya sudah sangat jelas. Ini terbukti dengan luas hutan yang telah banyak dibangun di berbagai wilayah di Indonesia. Tercapai tidaknya tujuan antara lain ditentukan oleh kemampuan pengelola dan para pemangku kepentingan dalam memahami persoalan nyata yang bersifat menyeluruh. Hal tersebut dapat dilihat pada pemilihan jenis pohon serta penerapan sistem silvikultur yang sesuai dengan tujuan dan taat azas dalam pelaksanaan pembangunan hutan itu sendiri. 4 Satu di antara berbagai jenis pohon hutan yang dipandang sesuai untuk menanggulangi masalah seperti yang telah diuraikan di atas adalah jenis Acacia mangium. Hal ini tidak terlepas dari sifat kayu A. mangium yang mempunyai spektrum kemanfaatan yang luas. Di seluruh Indonesia jenis pohon hutan tanaman industri HTI A. mangium telah mencapai luas 443.535 ha atau 64.2 dari jenis HTI yang ada. Laporan terakhir menyebutkan bahwa di Indonesia, luas tanaman akasia telah mencapai 1.2 juta ha dan sebagian besar memang berupa tanaman A. mangium Mohammed dan Rimbawanto, 2006. Dari sekian luas tanaman hutan A. mangium yang telah dibangun di berbagai wilayah di Indonesia, tampaknya tujuan atau peruntukan akhir kayunya belumlah jelas benar. Dari informasi yang berhasil diperoleh, ternyata pembangunan HTI pulp dari berbagai jenis pohon dicanangkan seluas 4.94 juta ha atau 67 dibandingkan dengan keperluan lain seperti untuk kayu konstruksi yang hanya seluas 1.65 juta ha atau 23 Cossalter dan Nair, 2000. Dalam kenyataannya, tegakan hutan tanaman A. mangium yang dibangun adalah untuk menghasilkan pulp dan kertas. Daur tebang untuk kelas perusahaan seperti ini semula delapan tahun. Sekarang ada kecenderungan agar daur tebang tersebut lebih diperpendek lagi yakni menjadi hanya enam tahun. Jika kecenderungan seperti ini akan menjadi kenyataan, dikhawatirkan akan menimbulkan masalah baru ibarat pisau bermata dua. Terdapat sisi yang menguntungkan dan ada pula sisi yang kurang menguntungkan. Sisi yang menguntungkan: kebutuhan akan bahan baku asal kayu akan dapat dipenuhi dalam kurun waktu yang relatif singkat, jasa terkait dengan kegiatan bidang kehutanan berkembang atau menguntungkan dan kemajuan teknologi pengolahan kayu seperti glulam ikut mendorong pemanfaatan kayu dengan diameter kecil dan dengan umur pendek serta menghasilkan kayu dengan kualitas yang lebih tinggi dan ragam kemanfaatan yang lebih luas. Sebaliknya sisi yang kurang menguntungkan yakni: daya dukung tempat tumbuh makin memburuk dengan akibat kemunculan berbagai penyakit seperti penyakit busuk akar, fungsi atau potensi terbaik pohon hidup danatau ekosistem tegakan hutan menjadi tidak optimal khususnya berkaitan dengan penyimpanan karbon, penghasil oksigen serta peran dalam meredam bahaya banjir dan tanah longsor. 5 Rumusan Masalah Penelitian 1. Bagaimana bentuk hubungan kerusakan kayu akibat lapuk kayuteras dengan umur tegakan, 2. Apa penyebab lapuk kayuteras pada tegakan hutan tanaman A. mangium ? 3. Apa indikator mekanisme lapuk kayuteras pada tegakan A. mangium khususnya di areal penelitian. B. Tujuan Penelitian B. 1 Tujuan umum