Simpulan Pendahuluan Lapuk Kayuteras pada Tegakan Hutan Tanaman Acacia mangium Willd

38 yang makin baik, dan pada saat yang sama tegakan hutan dapat pula memenuhi fungsi lingkungan baik tanah. air dan udara. Akan tetapi jika tujuan pembangunan hutan tanaman industri semata-mata hanya untuk produksi kayu yang tidak mementingkan kekuatan, Anonim 1996 melaporkan bahwa tegakan A. mangium di tempat tumbuh dengan bonita III dan perlakuan penjarangan dengan intensitas 40 pada umur 5 tahun, volume tegakan maksimum telah dapat dicapai pada umur 6 hingga 7 tahun.

F. Simpulan

1. Daur tebang tegakan A. mangium untuk kualitas kayu pertukangan di BKPH Parung Panjang dengan kondisi pengelolaan yang sekarang adalah 8 tahun. 2. Peresentase kayu hilang masih 29.73 untuk tanaman umur 8 tahun atau 31.25 untuk tanaman umur 9 tahun. 3. Belum optimalnya pemeliharaan hutan dapat berakibat tinggi persentase kayu hilang dengan akibat makin pendeknya daur tebang. sebaliknya jika rencana dan praktek pemeliharaan taat azas dapat dilakukan maka daur tebang dapat menjadi lebih dari 8 tahun. 4 FUNGI PELAPUK KAYUTERAS PADA Acacia mangium Willd

A. Pendahuluan

Fungi pelapuk kayu termasuk pelapuk kayuteras, oleh para pakar dilaporkan tergolong ke dalam kelas Basidiomycetes Rayner dan Boddy, 1988; Bakshi, 1976; Boyce, 1961. Secara lebih sempit kelompok fungi tersebut tergolong ke dalam ordo Aphyllophorales. Kelompok fungi ordo ini mempunyai tubuh buah yang bersifat mudah diamati makroskopis. Selanjutnya kelompok fungi tersebut terbagi lagi berdasarkan himenofor ke dalam suku Thelephoraceae dengan himenofor yang datar, Clavariaceae dengan himenofor berbentuk gada, Hydnaceae – himenofor berbentuk seperti gigi dan Polyporaceae dengan himenofor berbentuk tabung-tabung danatau menyerupai insang lamellate. Satu ciri paling penting fungi kelas Basidiomycetes, terletak pada struktur yang dikenal sebagai sambungan-apit atau cukup ditulis clamp saja. Struktur clamp-connexionclamp-connectionclamp-cell ini terdapat pada miselium sekunder dikariotik. Tentang sambungan apit ini yang unik ialah bahwa dalam kondisi kekurangan oksigen, struktur ini tidak terbentuk walaupun hifanya binukleat tetapi tetap soenositik. Perilaku inti yang demikian dan terjadi pada kelas Basidiomycetes ini dikenal dengan istilah astatosoenositik astatocoenocytic Boidin, diacu Petersen,1971 dalam Kirk dkk, 2001. Hal yang pernah dan tampaknya hingga kini masih menjadi persoalan adalah berkenaan dengan teknik identifikasi fungi pelapuk kayu. Khususnya bagi fungi pelapuk kayuteras menjadi lebih sulit oleh karena pada umumnya tidak selalu dapat diperoleh tubuh buah fungi tersebut. Bahkan teknik untuk mendapatkan fungi yang dimaksud teknik isolasi sering masih menjadi masalah. Dari banyak hasil studi pustaka tentang teknik dan isolat yang diperoleh yang digunakan oleh para pakar dalam bidang ini masih diragukan validitasnya Rayner dan Boddy, 1988. Hal tersebut antara lain karena ada perbedaan antara fungi pelapuk kayugubal dengan fungi pelapuk kayuteras. 40 Faktor lain yang ikut mempersulit studi tentang fungi pelapuk kayu adalah berhubungan dengan ukuran struktur–struktur kunci yang diperlukan untuk kepentingan identifikasinya. Ukuran spora dan hifa berbagai jenis fungi tersebut relatif lebih kecil dibandingkan dengan spora atau hifa fungi kelompok Basidiomycetes yang lain. Berbagai hal tersebut di atas telah dibahas oleh Rayner dan Boddy 1988. Sebagai akibat tidak tersedianya tubuh buah fungi pelapuk kayuteras, maka upaya identifikasi yang masih digunakan oleh para pakar di bidang ini adalah melalui diagnosis biakan. Untuk keperluan ini, yang paling kritis adalah penyusunan kode, baik itu berupa huruf ataupun angka. Upaya ke arah ini telah dilakukan oleh Campbell dan Vaughan 1942 diacu Rayner dan Boddy, 1988, Nobles 1948, Boidin 1966 diacu Rayner dan Boddy, 1988, Bakshi dkk., 1969 dan Stalpers, 1978 diacu Rayner dan Boddy, 1988. Tampaknya cara atau kode berupa angka dari dua yang terakhir inilah yang masih sering digunakan, utamanya yang dibuat oleh Stalpers, 1978. Hal ini mudah dimengerti, sebab selain jumlah jenis fungi yang telah dicakup dalam metode ini yakni sebanyak 550 jenis dan terdiri atas 1500 galur, juga karakter yang digunakan sebagai parameter berjumlah lebih dari seratus. Walaupun demikian, jumlah ini menurut Rayner dan Boddy 1988 masih terlalu sedikit dibandingkan dengan jenis fungi pelapuk atau kelompok fungi pelapuk yang mungkin terdapat di alam. Makin banyak jumlah galur yang tersedia atau yang digunakan dalam pengujian untuk masing-masing jenis ini, akan makin mantap hasil identifikasinya. Parameter yang Diamati Parameter yang digunakan oleh Nobles,1948 yang kemudian digunakan secara utuh oleh Bakshi dkk, 1969 demikian pula yang dikembangkan oleh Stalpers, 1978, secara garis besar dapat dibedakan ke dalam beberapa kelompok: a. Kelompok inang yakni apakah inang termasuk pohon daun jarum atau pohon daun lebar Nobles, 1948 dan Bakshi dkk, 1969, b. Pertumbuhan fungi dalam medium malt ekstrak agar selama satu minggu atau 7 hari Nobles,1948; Bakshi dkk, 1969 dan juga Stalpers, 1978, 41 c. Warna dan tekstur koloni biakan selama pengamatan oleh semua penulis di atas , d. Reaksi biokemis yang dapat diamati dalam medium yang ditambahkan bahan kima tertentu terutama dalam minggu pertama pengamatan Nobles, 1948; Bakshi dkk,1969 juga Stalpers, 1978, e. Karakter mikroskopis fungi semua penulis, dan f. Sistem tipe perjodohan mating system: homotalus, heterotalus bipolar atau tetrapolar Stalpers, 1978. Karakter-karakter seperti telah diuraikan di atas tersebut terdiri atas angka- angka atau merupakan kode yang terdefinisikan dengan jelas. Demikianlah metode Nobles, 1948 dan Bakshi dkk, 1969 yang terdiri atas sebelas entri atau parameter, sedang metode Stalpers, 1978 dengan penyesuaian oleh Rayner dan Boddy, 1988 terdiri atas 96 parameter. Kode-kode tersebut di atas tersusun sedemikian rupa dan membentuk rumus yang mengacu langsung ke jenis fungi pelapuk kayu. Khusus mengenai metode Bakshi dkk, 1969 termuat dalam Jurnal Indian Forest Records No. 9 vol. 2 dan No. 11 vol. 3. Cultural Diagnosis of Indian Polyporaceae. Laporan Bakshi dkk, 1969 dalam Jurnal ini diharapkan mewakili keanekaragaman fungi pelapuk kayu daerah tropis sementara laporan Stalpers,1978 demikian pula dengan Nobles, 1948 mewakili keanekaragaman fungi pelapuk kayu daerah subtropis. Fungi Pelapuk Kayuteras pada A. mangium Jenis-jenis fungi pelapuk kayuteras yang telah dilaporkan berasosiasi dengan A. mangium oleh berbagai pihak antara lain adalah : Phellinus pachyphloeus dan Trametes palustris di India Mehrotra dkk, 1996; P. noxius, Tinctoporellus epimiltinus dan Rigidoporus hypobrunneus di Semenanjung Malaysia dan Kalimantan Timur dan Oxyporus cf. latemarginatus di Semenanjung Malaysia Lee dan Noraini Sikin, 1999. Akhir-akhir ini, Glen, Potter dan Sulistyawati 2006 melaporkan hasil temuan mereka mengenai fungi yang berasosiasi dengan lapuk kayuteras pada A. mangium atas berbagai daerah di Indonesia yakni : Oudemansiella aff. canariensis, Pycnoporus aff. sanguineuscinabariensis, dan Trametes sp. 42 Berbagai jenis fungi ini diidentifikasi dengan menggunakan teknik biologi molekuler. Ditambahkan oleh mereka bahwa ke-tiga jenis fungi tersebut di atas diduga mempunyai peran sebagai pelapuk kayuteras pada tanaman A. mangium oleh karena pengujian enzimatis memberikan hasil yang positif adanya enzim laccase dan tyrosinase.

B. Metodologi